Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Minggu, 23 Juni 2013

Pendidikan Islam VS Pendidikan Islam



STUDI KOMPARASI PENDIDIKAN KARAKTER
 DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM   
PENDEKATAN FILOSOFIS HISTORIS
Syahrul, S.Pd.I
A.          Pengantar
Akhir-akhir ini pendidikan karakter menjadi topic yang hangat di dunia pendidikan di Indonesia. Hal ini berkaitan erat dengan realitas masyarakat dan dunia pendidikan pada khususnya. Tawuran pelajar, penyalahgunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas yang berimbas pada pernikahan kecelakaan (accident) dan aborsi. Masyarakat sudah sangat permisif dengan dekadensi moral, pemecahan masalah diselesaikan dengan pentungan dan jotosan, hukum diselesaikan dijalanan. Seolah-olah pendidikan telah kehilangan fungsinya membina dan membentuk karakter peserta didik dan mewarnai bangsa.
Penguatan karakter melalui pendidikan juga diamini oleh M. Nuh selaku kementerian pendidikan bahwa pembentukan karakter  perlu  dilakukan  sejak  usia  dini.    Jika  karakter  sudah terbentuk sejak usia dini, maka  tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. John Luther pernah berkata; “Good character is more to be praised than outstanding talent. Most talents are to some axtent a gift. Good character, by contranst, is not given  to us. We have  to build  it peace by peace – by  thought, choice, courage and determination.” Karakter  yang  baik  lebih  patut  dipuji  daripada  bakat  yang luar  biasa. Hampir  semua  bakat  adalah  anugerah. Karakter  yang baik,  sebaliknya,  tidak  dianugerahkan  kepada  kita.  Kita  harus membangunnya  sedikit  demi  sedikit    dengan  pikiran,  pilihan, keberanian,  dan  usaha  keras-  (John  Luther,  dikutip  dari  Ratna Megawangi,  Semua  Berakar  Pada  Karakter  (Jakarta:  Lembaga Penerbit FE-UI, 2007).[1]
Kegundahan pemerintah/pemimpin akan kemerosotan moral dalam berkehidupan kebangsaan tentunya sangat beralasan, di Barat yang notabenenya sangat mengangung-anggungkan kebebasan (liberal), HAM, emansipasi dan toleransi pun harus melakukan intervensi ke dunia pendidikan dalam pembentukan karakter. Meraka pun meyakini bahwa sekolah memiliki peran yang penting dalam pembinaan dan pembentukan karakter untuk menciptakan masyarakat yang baik. Indonesia yang bukan Negara sekuler tentunya sangat berkepentingan dalam hal ini.
Wacana pendidikan karakter bukanlah tanpa diskursus dan perdebatan diantara tokoh-tokoh pendidikan. Mengapa harus pendidikan karakter? Bukankah bangsa ini telah lama menerapkan pendidikan budi pekerti atau dalam pendidikan islam dikenal dengan pendidikan akhlak. Apa dan bagaimana pendidikan karakter?, apa saja nilai-nilai dalam pendidikan karakter?, dan bagaimana aplikasi dan implikasinya di dunia pendidikan?, yang kemudian komparasikan dengan sudut pandang pendidikan islam. Dengan pendekatan filosofis historis –menggali secara mendalam dan terperinci serta konteks sejarahnya- diharapkan dapat menemukan penilaian yang objektif. Sehingga kita tidak mudah latah menerima konsep pendidikan yang datang dari luar tanpa ada kritis (taken for granted)  dan tidak mencoba menggali, menimbang, dan menerapkan khasanah yang sudah kita miliki yang nyata-nyatanya lebih cocok dengan budaya sendiri. Meminjam istilah Ibnu Khaldun, al-maghluub muu’laun Abadan bil iqtida’ bil-ghaalib (kecendrungan manusia mengikuti pihak yang menang)
B.           Pembahasan
Karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat; watak, sedangkan berkarakter berarti mempunyai tabiat; mempunyai kepribadian; berwatak (1995: 445) Dengan kata sesuatu yang melekat pada diri individu yang tidak membutuhkan pemikiran dalam bertindak atau terjadi secara reflek. Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir. Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Dari sanalah kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku (an individual’s pattern of behavior … his moral contitution) (Karen E. Bohlin, Deborah Farmer, Kevin Ryan, Building Character in School Resource Guide, San Fransisco: Jossey Bass, 2001, hlm.1).[2]
Anita Syaharuddin mengutip di dalam buku Educating  For Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, (1992: 12-22) bahwa Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami seseorang dalam merespons situasi secara bermoral—yang dimanifestasikan dalam tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan habit  atau kebiasaan yang terus menerus dilakukan. Lebih jauh, Lickona menekankan tiga hal dalam mendidik karakter. Tiga hal itu dirumuskan dengan indah: knowing, loving, and acting the good. Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter dimulai dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya,  dan pelaksanaan atau peneladanan atas karakter baik itu[3]. Ada beberapa istilah yang mirip dan sering disamakan antara karakter dengan kepribadian dan temperamen, padahal  sebenarnya berbeda. Karakter lebih menjurus ke arah tabiat-tabiat yang dapat disebut benar atau salah, sesuai atau tidak sesuai  dengan norma-norma sosial yang diakui.[4]
Akhmad Sudrajat pemerhati pendidikan di dunia maya (website) mendefinisikan Pendidikan karakter sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.[5] Secara sederhana pendidikan karakter bukan hanya sekedar menghafal, mengisi kognitif semata tetapi pendidikan yang melibatkan akal, emosi dan fisik peserta didik sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh yang kemudian membentuk kebiasan yang baik (good habits) peserta didik, sehingga apa yang menjadi pengetahuan juga menjadi aksi nyata dengan proses pendidikan love the good, feeling the good and action the good.  
Kensep Pendidikan menurut Al-Attas, adalah “penyemaian dan penanaman adab dalam diri seseorang –ini disebut dengan ta’dib. Al-Qur’an menegaskan bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi Muhammad Saw., yang oleh kebanyakan sarjana muslim disebut sebagai Manusia Sempurna atau Manusia Universal (al-Insan al-Kulliy).[6] Konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan islam, bukannya tarbiyah ataupun ta’lim sebagaimana yang dipakai pada saat ini. Dia mengatakan “struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim), dan pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa konsep pendidikan islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkaian konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib. [7] yang secara konsisten dipertahankan oleh al-Attas.
Konsep adab dalam Islam terkait dengan keyakinan bahwa dalam melakukan tindakan, manusia mempunyai rujukan yang utama yaitu wahyu Allah swt dan sunnah Nabi-Nya. Konsep pendidikan karakter yang bercorak sekuler-liberal tidak mungkin dapat mencetak manusia-manusia beradab. Menurut Prof al-Attas, prinsip etika yang sejati dan universal hanya dapat dibangun oleh jiwa manusia yang bersifat spiritual. Yaitu ketika jiwa mendapatkan ilmu yang benar dari Tuhannya.[8] Di dalam pendidikan islam, karakter yang baik atau akhlak baik hanya merupakan salah satu bagian saja dari akhlak. Karena akhlak bukan hanya berprilaku baik (akhlak pribadi) tetapi juga akhlak kepada Allah, kepada Rasulnya, akhlak pribadi, dan akhlak kepada keluarga, masyarakat dan Negara.  
 Secara terminologi terlihat tidak permasalahan yang subtansi, tetapi muncul permaslahan pada nilai-nilai karakter apa yang akan dibentuk.  Sebagai pedoman hidup maka karakter dapat dikembangkan berdasarkan berbagai ideologi atau nilai, falsafah suatu bangsa, masyarakat. Karena luasnya cakupan dari pendidikan karakter maka UNESCO telah melakukan kajian yang mendalam dan menarik kesimpulan bahwa ada enam dimensi karakter yang bersifat universal yang diakui semua agama maupun bangsa. Keenam dimensi karakter ini adalah trustworthiness (Jujur atau dapat dipercaya), respect (sikap menghargai dan menghormati orang lain tanpa memandang latar belakang yang menyertainya) responsibility (watak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan), fairness (selalu mengedepankan standar keadilan tanpa dipengaruhi oleh sikap dan perasaan yang dimilikinya ketika berhadapan dengan orang lain),  caring (sikap memahami kegembiraan dan kepedihan yang dialami orang lain), dan citizenship (watak menjadi warga Negara yang baik ). (rynders, 2006).[9]
Nilai agama (religi) bukan menjadi nilai yang universal, sehingga kejujuran yang dibangun bukan berlandaskan pada nilai agama yang luhur. Sehingga dampaknya kemudian orang bisa jadi sangat jujur, disiplin, dan pekerja keras tanpa harus bertuhan (atheis). Hal yang sama diamini oleh Dinar Dewi Kania peneliti Insists, mengapa nilai agama tidak menjadi nilai universal. Hal tersebut merupakan konsenkuensi dari sekularisasi yang melanda Eropa setelah hilangnya kepercayaan masyarakat Barat terhadap kepempinan gereja. Sekularisasi menyebabkan pengukuran baik-buruk, benar-salah, semata-mata dilakukan melalui rasio dan pengalaman indera manusia. Masyarakat Barat pada akhirnya menganggap nilai-nilai agama merupakan fenomena subjektif yang dialami oleh masing-masing individu dan tidak bersifat universal. Konsepsi nilai dalam peradaban Barat terus berevolusi sesuai dengan tuntutan jaman akibat ketiadaan nilai absolut yang bersumber dari wahyu yang mengatur kehidupan masyarakat dan menjadi rujukan moralitas. Konsep nilai berkembang sesuai dengan konsepsi masyarakat Barat terhadap hakikat manusia, agama dan ilmu serta kehidupan itu sendiri. Perkembangan konsep nilai ini menunjukkan betapa Barat tidak pernah akan berhenti merumuskan nilai-nilai yang dianggap baik bagi kehidupan masyarakatnya[10].
Kemudian manarik apa yang dikritisi oleh Hamid Fahmy Zarkasyi tentang nilai yang berlaku Barat, “Apa yang disebut baik dan perilaku baik itu di Barat relatif. Nilai baik buruk berubah seiring dengan perubahan kehidupan. Akhirnya pendidikan bukan untuk menanamkan nilai, tapi menggali nilai-nilai yang sesuai dengan nilai mereka yang boleh jadi bersifat lokal. Di Amerika karakter yang ditanamkan di sekolah sesuai dengan latar belakang dan perkembangan sosial dan ekonomi mereka sendiri. Di Amerika isu sentralnya adalah nilai-nilai feminisme, liberalisme, pluralisme, demokrasi, humanisme dan sebagainya. Maka arah pendidikan karakter di sana adalah untuk mencetak sumber daya manusia yang pro gender, liberal, pluralis, demokratis, humanis agar sejalan dengan tuntutan sosial, ekonomi, dan politik di Amerika”.[11] Sehingga merupakan sesuatu yang memprihatinkan apabila umat Islam masih percaya bahwa etika universal dapat dibangun menggunakan framework Barat modern yang menganggap Tuhan dan jiwa tidak memiliki objektivitas dan nilai ilmiah sebagai sumber ilmu.
Untuk kasus di Indonesia Pendidikan Nasional (Kementerian Pendidikan Nasional, Badan penelitian dan pengembangan, Pusat Kurikulum (2011). Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa pedoman sekolah yang mencakup 18 nilai karakter sebagai berikut; Religius, Jujur, Toleransi, Disiplin, kerja keras, kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin Tahu, Semangat kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/ komunikatif, Cinta damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli social, Tanggung jawab.[12] Kembali nilai karakter menyesuaikan diri dengan kondisi local setempat. Kedelapan belas nilai (value) karakter di atas akan sangat sulit diterapkan pada dataran praktik. Terlalu banyak sehingga menghilangkan kefokusan dalam pengajaran dan penerapan. Guru pun mungkin belum bisa mengingat semuanya, apalagi siswanya. Jika berkaca pada Jepang nilai karakter yang dibangun hanya empat; jujur, bekerja keras, disiplin, dan bertanggungjawab tetapi mampu mendarah daging bagi setiap warganya.
Jika dilihat lebih teliti lagi sesungguhnya ke-18 nilai karakter di atas terkesan dikotomi atau sekuler. Nilai agama/religi hanya menjadi salah satu bagian (sub) dari seluruh nilai. Nilai religi atau ketaatan kepada agama apa yang dimaksud?, apakah orang yang rajin salat, gemar berpuasa, semangat berhaji yang dikatakan paling religi sementara yang jujur, kerja keras, dan disiplin dll tidak dikatakan sebagai tindakan religi? Padahal bagi seorang muslim semua aktifitas selama disandarkan kepada Allah akan bernilai ibadah (religi). Jika pemahaman yang dikotomik ini diajarkan maka yang timbul kemudian pengkotak-kotakan pelajaran. Belajar matematika, sains, dan sastra adalah urusan dunia (materi) sedangkan belajar agama urusan akhirat. Seharusnya tertanam di benak guru dan siswa bahwa masuk lab/laboraturium dan belajar IPA juga termasuk belajar agama/ibadah sehingga spirit yang dibangun, spirit spiritual.
Wahbah al-Zuhaili dalam buku Ilmu Pendidikan Islam (Mujib dan Mudzakkir, 2008: 36-38) mengemukakan nilai-nilai normatif pendidikan Islam yang mengacu pada al-Qur’an terdapat tiga pilar utama, yaitu; Pertama, pendidikan I’tiqadiyah, yang berkaitan dengan pendidikan keimanan atau pendidikan aqidah yang tertuang dalam enam rukun iman. Kedua, pendidikan khuluqiyah, yang berkaitan dengan pendidikan etika, membersihkan diri dari perbuatan tercela dan menghiasi diri dengan perbuatan terpuji. Ketiga, pendidikan amaliyah, yang berkaitan dengan tingkah laku sehari-hari. Pendidikan amaliyah terbagai ke dalam dua aspek yaitu, pendidikan ibadah (ubudiyah) yang mencakup hubungan dengan Tuhan seperti, shalat, puasa, zakat, haji, dan nazar. Yang kedua pendidikan muamalah. Pendidikan muamalah mencakup beberapa dimensi yaitu, syakhshiyah, madaniyah,  jana’iyah, murafa’at,dusturiyah, duwaliyah, iqtishadiyah.[13] Islam sebagai pedoman, hudan lil-naas, dan tibyan li-kullisyai’ penjelas semua hal, sehingga nilai (value) yang dikandungnya menyeluruh dan universal. Sistem nilai dalam islam dapat dilihat pada bagan di bawah ini; 

3. Amaliyah
1.Akhlak Terhadap Allah swt
2.Akhlak Terhadap Rasulullah
3.Akhlak Terhadap Pribadi
4.Ahklak dalam Keluarga 
5.Akhlak Bermasyarakat
6. Akhlak Bernegara
1.      Ubudiyah
(Ibadah dlm arti Khusus)
2.   Muamalah
(Ibadah dlm arti Luas)

1.Ibadah Shalat
2.Ibadah Zakat
3.Ibadah Puasa
4. Haji
1.   Menuntut Ilmu
2.   Syakhshiyah
3.   Dusturiyah
4.   Duwaliyah dll.
1.Nilai Iman Kepada Allah
2.Nilai Iman kepada MalaikatNya
3.Nilai Iman kepada Kitab-KitabNya
4.Nilai Iman kepada Rasul-rasulNya
5.Nilai Iman kepada Hari Akhir
6.Nilai Iman kepada Qadha & Qadhar

2. Khuluqiyyah
Islam
1. I’tiqadiyah
Skema 1
 


  
Selanjut pada ranah aplikasi pengajaran dan penanaman pendidikan karakter terkesan tidak sistematis dan belum dirumuskan dengan jelas. Akhmad Sudrajat menjelaskan secara singkat bagaimana pendidikan karakter di sekolah dibentuk bahwa semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Tetapi belum ada prinsip-prinsip acuanya yang jelas
Pendidikan karakter islam setidaknya memenuhi enam prinsi, pertama, menjadikan Allah sebagai tujuan hidup. kedua, memperhatikan akal perkembangan rasio. Ketiga, memperhatikan perkembangan kecerdesan emosi. Empat, praktik melalui keteladanan dan pembiasaan. Kelima, memperhatikan pemenuhan kebutuhan hidup. Keenam, menempatkan nilai sesuai prioritas[14]. Abdullah Nashih Ulwan pakar pendidikan anak dalam islam menyusun sutuh tahapan pendidikan yaitu, pendidikan iman, moral, fisik, rasio, kejiwaan, social, dan seks. Prinsip-prinsip ini kemudian yang menjadi acuan penanaman dan pembentukan karakter islami.
C.          Kesimpulan
Setelah melakukan analisis dan elaborasi yang singkat dan sederhana, penulis kemudian menarik kesimpulan/kongklusi bagaimana pendidikan islam melihat pendidikan karakter. Ada beberapa hal yang menjadi pembeda antara keduanya, yaitu;
1.      Pendidikan karakter dalam hal ini karakter yang baik merupakan salah satu bagia dari pendidikan islam. Pendidikan islam mengajarkan akhlak bukan hanya untuk pribadi tetapi juga bagaimana berakhlak kepada Allah dan Rasulnya.
2.      Nilai-nilai pendidikan karakter di Barat akan selalu bersifat relatif, karena nilai moral dan etika akan sangat berbeda satu dengan yang lain bahkan bertentangan. Baik dan buruk akan selalu menjadi perdebatan para filosof. Pendidikan islam mengenal nilai absolut yang bersumberkan pada wahyu dari Tuhan yang absolut.
3.      Nilai-nilai pendidikan karakter di Indonesia mengesankan adanya dikotomi dan secular. Nilai agama/religi hanya menjadi sub nilai yang tidak menjiwai semua nilai. Sedangkan di dalam pendidikan islam, nilai ilahiyah/agama harus menjadi sumber inspirasi dan landasan dalam segala aktifitas agar bernilai ibadah
4.      Pada dataran aplikasi penerapan belum ada rumusan prinsip-prinsip yang jelas sehingga akan meimbulkan banyak penafsiran sesuai dengan selera masing-masing. Pada pendidikan islam ada beberapa prinsip yang harus ada di dalam pembelajaran setidaknya prinsip iman dan ketuhanan.   
Disampin perbedaan di atas, ada yang menjadi kesamaan antara pendidikan islam dengan pendidikan karakter, bahwa keduanya membentuk prilaku yang baik yang mendarah daging yang dilakukan secara spotan. Adagium Arab mengatakan al-ilmu bila amalin ka-sysyajari bila tsmarin, ilmu yang tak diamalkan bagaikan pohon tak berbuah. Tak bernilai. Ilmu tanpa karakter.
Pengintegrasian pendidikan islam dengan pendidikan karakter akan terlihat indah jika melalui islamisasi. Karena ilmu tidak bebas nilai (free value) maka proses islamisasi menajdi penting. Dengan memasukkan nilai-nilai yang prinsip yaitu agama, kemudian menghilangkan dikotomi pengkotak-kotakan nilai. Sehingga bangsa Indonesia kemudian tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang luhur. “Ibarat pepatah mencari jarum kampak hilang” Wallahu’alam bishawab 






[1] Adian Husaini, Pendidikan Islam Membentuk Manusia Berkarakter & Beradab, Jakarta: Cakrawala publishing, 2010, h. 23.
[3] Artikel Anita Syaharuddin,  Pendidikan Karakter: Apa Lagi? dapat di akses di www.insistsnet.com atau www.adianhusaini.com dalam bentuk pdf. Diakses pada 20/02/2011
[4] D. Marimba, Ahmad, Pengantar Filsafat pendidikan Islam, Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1989, h. 66.
[6] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed M. Naquib al-Attas, Bandung: Mizan 2033, h. 174.
[7] Ibid., h. 175
[8] Dewi Dunar Kania.pdf. pendidikan Karakter Barat, Friday, 18 January 2013
[9] Zamroni, “Strategi dan Model Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah”, makalah pada Seminar Pendidikan Karakter di Sekolah di Magelang, Magelang 23 Mei 2011.
[10] Dewi Dunar Kania.pdf. pendidikan Karakter Barat, Friday, 18 January 2013
[11] Hamid Fahmy Zarkasyi.pdf. pendidikan karakter, Wednesday, 23 January 2013.
[12] Zamroni, “Strategi dan Model Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah”, makalah pada Seminar Pendidikan Karakter di Sekolah di Magelang, Magelang 23 Mei 201, h. 5.
[14] Erma pawitasari.pdf. enam prinsip pendidikan karakter islami, Friday, 18 January 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar