Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Minggu, 24 Maret 2013

UN vs MI


MI & UN
Oleh Syahrul[1]
Teori Multiple Intelligence (MI)  yang  memiliki arti multi kecerdasan, kecerdasan yang luas atau kecerdesan tak berbatas ini pertama kali dicetuskan oleh Dr. Howard Gardner, seorang psikolog dari Project Zero Harvard University pada tahun 1983. Teori ini (MI) sebagai jawaban terhadap teori kecerdasan Intellectual Question (IQ) yang telah lama mendominasi teori kecerdasan di dunia. Lebih khusus di dunia pendidikan. Tingkat kecerdasan diukur dengan angka-angka yang menafsirkan tingkat kecerdasan seseorang. Meskipun sejarah teori IQ penuh dengan kepentingan penguasa pada saat itu, namun sudah jamak telah diyakini dan diterapkan di banyak institusi-institusi dalam rekrutmen anggota.
Teori kecerdasan MI mencoba untuk menghargai/menilai manusia seutuhnya, tidak dengan satu sudut saja. Jika kita sepakat bahwa pendidikan adalah memanusiakan manusia, maka tidak ada peserta didik yang bodoh karena manusia adalah makhluk unik dan special. Desain Tuhan yang Maha Sempurna (fii ahsani taqwim). Kecerdasan manusia tidak bisa dinilai hanya dari sisi kognitif yang direduksi dalam hasil mengerjakan soal atau tes yang berbentuk angka. Memahami manusia/siswa bagaikan menyelami samudra lautan.
Ujian Nasional (UN) yang dihadapi para siswa pada tiap tahunnya telah jamak menjadi sistem evaluasi yang menentukan sukses tidaknya seorang siswa untuk menempuh jenjeng pendidikan selanjutnya. Jika gagal, maka pada tahun ini siswa harus bersabar menanti setahun kemudian untuk mengambil paket B. Cap/stigma anak bodoh, nakal, malas dan 1001 cap negatif lainnya akan anak dapatkan baik dari sekolah, teman maupun orangtuanya. Tidakkah tekanan psikologi ini akan melekat seumur hidup dan memberikan dampak bagi masa depan mereka. Terlepas dari pro dan kontra pelaksanaan UN yang tiada akhir (never ending), namun ini lah realitasnya hari ini yang akan dihadapi siswa. Tulisan ini akan mencoba mengupas sedikit paradigm UN dari sudut pandang MI.
Benjamin S. Bloom membagi kemampuan seseorang menjadi tiga; pertama, kemampuan kognitif yang menghasilkan kemampuan berpikir. Kedua, kemampuan psikomotorik yang menghasilkan kemampuan berkarya. Ketiga, kemampuan afektif yang menghasilkan kemampuan bersikap (Munif, 2011: 71). Kemampuan kognitif dalam Taksonomi Bloom pun memiliki tingkatan-tingkatan, yang paling rendah adalah hafalan. Akan tetapi hafalan itulah yang banyak dituangkan di dalam soal atau tes. Harus diakui bersama bahwa mengukur prestasi dan mendokumentasikan dalam bentuk raport yang paling mudah adalah pada ranah kognitif dan dalam bentuk soal atau tes. Sementara aspek psikomotorik seperti prestasi olah raga, seni, karya tulis dan aspek afektif seperti sopan baik kepada guru maupun teman, suka menolong membutuhkan ketelitian, kesabaran, dan kemauan yang keras untuk mendokumentasikannya, tapi bukan menjadi penentu kelulusan. Bahkan terkadang hanya sekedar laporan di atas kertas yang hanya dibutuhkan pada saat tertentu saja.  Meskipun secara legal-formal syarat kelulusan adalah baiknya prilaku tapi apakah berlaku?
Delapan kecerdasan menurut Dr. Howard Gardner yaitu, kecerdasan linguistik, matematis-logis, visual-spasial, musikal, kinestetis, interpersonal, intrapersonal, dan kecerdasan natural dan masih akan ditemukan kecerdasan-kecerdasan yang lain, karena kecerdasan itu bersifat dinamis. Sementara UN yang hanya menguji Matematik, Ilmu Alam, dan bahasa merupakan bagian terkecil dari kecerdasan manusia, apalagi jika akan dikaitkan dengan kesuksesan masa depan, tentu sangat tidak relevan. Sebenarnya UN akan menjadi mudah dan tidak menjadi “monster”  jika didekati dengan pengajaran mengacu pada gaya belajar anak yakni dengan pendekatan MI. tentunya kembali lagi kepada guru, karena menerapkan pendekatan MI tentunya lebih susah pada awalnya yang membutuhkan kreatifitas tingkat tinggi. Tapi siswa yang kreatif lahir dari guru yang kreatif. Adagium mengatakan, “jika guru berhenti belajar maka pada saat itu pula ia harus berhenti mengajar”.  


[1] Syahrul, SPdI, Guru SMP Muhammadiyah 2 Sawangan, Magelang, Jateng. Mahasiswa Pasca Sarjana UMY

Sabtu, 23 Maret 2013

Demokrasi Religius


A.    Paradoksi Demokrasi (Sebuah Kritik Atas Demokrai)
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, bukan dari bahasa Arab.Ini adalah bentuk dari dua kata; demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan, kekuasaan, atau hukum.Dengan demikian, secara letterleg, arti “demokrasi” adalah pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat atau hukum rakyat.[1]Intinya adalah menjadikan suara rakyat suara Tuhan (vox vovuli vox dei).Kedaulatan ditangan rakyat (government by the people). Mengapa diskursus antara Islam dan demokrasi selalu hangat?, setidaknya perdebatan itu kemudian terpolarisasi menjadi tiga, yaitu yang menerima demokrasi seutuhnya tanpa kritik, kemudian yang menolaknya mentah-mentah tanpa kompromi, dan yang ketiga mencoba untuk kompromi dan dialog dengan tetap kritis.