Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Minggu, 23 Juni 2013

Kaidah-Kaidah Tafsir



KAIDAH-KAIDAH TAFSIR AL-QUR’AN
SEBUAH REVIEW
(BERDASARKAN BUKU AL-QAWAID AL-HISAN LI TAFSIRIL QUR’AN KARYA AS-SA’DI)
SYAHRUL, S.Pd.I
A.    Pengantar
Al-Qur’an al-Karim akan terus membimbing manusia selama ia tetap mempelajari dan mengamalkannya. Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir akan tetap terjaga keasliannya dari perubahan-perubahan dari musuh-musuh islam (wainna lahu lahafdzuun). Al-Qur’an hanya akan menjadi sekedar kitab suci dan bacaan yang diperlombakan jika umat islam tidak mempelajari dan menelaah secara mendalam. Oleh karena itu Nabi mengingatkan bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya (khairukum man ta’allama al-Qur’an wa allamahu).
Ilmu tafsir sangat diperlukan dalam memahami kitab suci al-Qur’an. Tetapi menjadi seorang mufassir harus memiliki syarat-syarat dan keilmuan yang ketat. Dr. Muhammad Nabil Ghanaim mensyaratkan empat persyaratan yaitu, pertama, mempunyai pengetahuan mendalam tentang al-Qur’an dan as-Sunnah. Kedua, mengetahui pendapat para sahabat dan tafsir mereka terhadap al-Qur’an. Ketiga, penafsir harus mempunyai aqidah yang luruh. Keempat, menguasai ‘irab bahasa Arab. Syeikh Manna’ al-Qaththan masih menambahkan satu syarat lagi yaitu membersihkan diri dari hawa nafsu.
Adapun ilmu yang harus dikuasai menurut Abu Hayyan al-Andalusi, Jalaluddin as-Syuyuti dan al-Alusi adalah; ilmu bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, Badi, Isytiqaq, Usul Fiqh, Fiqh, Ilmu Qira’at, Ilmu Hadits, Asbab an-Nuzul, Nasikh wa al-Mansukh, Ilmu Kalam, dan Ilmu Mauhibah.
Karena al-Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab maka kaidah-kaidah yang diperlukan para mufassir dalam memahami al-Qur’an terpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman asas-asasnya, penghayatan uslub-uslubnya dan penguasaan rahasia-rahasianya. Makalah ini akan menjabarkan lima kaidah sesuai tugas yang diberikan berdasarkan buku karya as-Sa’di yaitu kaidah ke-7, ke-18, ke-20, ke-21, dan ke-26. Tetapi untuk memudahkan sistimatika penulisan maka disusun sesuai urutan nomor terkecil ke terbesar.
 
B.     Macam-Macam  Kaidah Tafsir karya as-Sa’di
Kaidah Pertama, apabila di dalam al-Qur’an kata ism (kata benda) ditemukan atau disebut secara sendiri (infarada),maka itu menunjukkan pengertian umum yang sejalan dengannya. Akan tetapi jika disebutkan bersamaan dengan yang lain sebagai penjelasnya, pengertian ism menjadi terbatas pada yang dijelaskan saja.
Contohnya adalah kata iman yang dalam beberapa ayat disebutkan secara tersendiri, sedangkan, sedangkan dalam beberapa ayat lain dikaitkan dengan amal saleh atau sifat-sifat lain. Berdasarkan kaidah di atas, maka kata iman yang disebutkan secara sendiri menunjuk semua pengertian iman, baik yang berhubungan dengan masalah akidah ataupun syariat – konkrit (dhahir) maupun abstrak (bathin).  Definisi iman menurut ulama salaf adalah qaulul qalbi wal lisan wa amalul qalbi wal lisani wal jawarih (keyakinan yang diucapkan oleh lidah, dibenarkan dalam hati, dan termanifestasi dalam perbuatan anggota tubuh)
Adapun iman yang disertai dengan penyebutan amal saleh, misalnya dalam ayat innal-ladzina amanu wa ‘amilushshalihati … (sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berimal saleh…) iman ditafsirkan berkaitan dengan perbuatan hati, berupa makrifah, pembenaran, keyakinan (‘itiqad), ketaatan (inabah). Sementara kata amal saleh ditafsirkan dengan pelaksanaan semua syariat, baik perkataan maupun perbuatan.
Contoh lain kata al-birr (kebajikan) dan kata al-Taqwa (menjaga diri, waspada). Jika al-birr dan al-taqwa disebutkan sendiri-sendiri –disamping kebajikan- masing-masing juga menunjuk pengertian menjunjung semua perintah dan menjauhi semua larangan Allah dan RasulNya. Contoh al-taqwa disebutkan sendiri terdapat dalam surat Ali Imran ayat 133-134. Di sini taqwa dijabarkan dalam bentuk sifat-sifat kebaikan, jika sifat itu tidak dimilki seseorang maka hakekat taqwa tidak bisa dicapai. Kata al-birr disebutkan secara tersendiri terdapat dalam surat al-Infithar ayat 13. Kata dalam ayat ini menunjukkan pengertian melakukan perbuatan-perbuatan kebaikan dan meninggalkan perbuatan maksiat secara umum.
Adapun kata al-birr dan al-taqwa yang digabung dalam satu ayat seperti yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 5, masing-masing memiliki pengertian  yang berbeda. Al-birr ditafsirkan sebagai semua nama yang disukai dan diridhai Allah swt dalam bentuk perbuatan dan perkataan. Sedangkan kata al-taqwa ditafsirkan semua nama yang mengandung pengertian meninggalkan perbuatan dan perkataan maksiat kepada Allah. Begitupula kata al-itsm jika disebut sendirian maksudnya adalah semua perbuatan maksiat yang dapat menimbulkan dosa bagi pelakunya baik vertical kepada Allah maupun horizontal kepada manusia. Kata al-‘udwan bila disebut secara sendiri pun bermakna sama, namun apabila keduanya disebutkan bersamaan dalam satu ayat, al-itsm bermakna perbuatan maksiat kepada Allah dan al-‘udwan ditafsirkan sebagai nama dari permusuhan antar sesama manusia baik berkaitan dengan harta, darah dan harga diri.  
Contoh lain adalah faqir dan miskin, jika disebutkan secara bersama-sama dalam satu ayat seperti dalam surat at-Taubah ayat 60, maka makna faqir adalah orang yang sangat membutuhkan bantuan tetapi ia tidak memiliki apa-apa. Sedangkan miskin bermakna orang yang kebutuhanya lebih besar daripada apa yang dimilikinya. Jika faqir dan miskin disebutkan secara terpisah maka ia bermakna sama.
Kaidah kedua, dalam banyak ayat Allah menunjuki (yahdi man-yasya’) bagi siapa yang dikehendaki dan menyesatkan (yudhillu man-yasya’) bagi yang dikehendaki, dan di ayat yang lain Allah menyebutkan sebab-sebab seseorang mendapatkan hidayah dan petunjuk dan kebalikannya. Contoh lainnya; yaghfiru liman-yasya’ (mengampuni), yuadzdzibu man-yasya’ (mengadzab), yarhamu man-yasya” (merahmati), yabsuthur-rizqa man-yasya’ (melapangkan rezeki) dll. Hal ini menunjukkan akan kesempurnaan kehendak (Tauhid), dan kesendirian Allah dalam mencipta segala sesuatu serta dalam mengurus/mengatur semua perkara. Segala perbendaharaan dunia menjadi milikNya dan akan member, menahan kepada yang dikehendaki. Agar manusia hanya berharap, meminta, dan berdoa kepada Allah serta menghindari dari berharap kepada selainNya. Seperti tertuang dalam hadis Qudsi; (Ya ‘ibadi kullukum dhallin illa man hadaituhu, fastahduuni ahdikum) wahai hambaku kalian semua tersesat kecuali mereka yang Ku beri petunjuk, maka minta petunjuklah kepadaKu, akan kutunjuki.
Di sebagian ayat yang lain, Allah menyebutkan sebab-sebabnya, agar seorang hamba mengetahui sebab dan jalan menuju hidayah dan menghindari kesesatan. Contohnya dalam surat al-lail ayat 5-10.

Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. 5.  Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, 6.  Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (syurga), 7.  Maka kami kelak akan menyiapkan baginya jalan yang mudah. 8.  Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, 9.  Serta mendustakan pahala terbaik, 10.  Maka kelak kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar.
Dalam ayat ini Allah menjelaskan sebab-sebab hidayah dan kemudahan begitu pula sebab-sebab dan kesusahan hidup. Seperti halnya sebab seorang hamba mendapatkan ampunan (maghfirah).
(156)  … Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami. (157)  (yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya). (QS. Al-A’raf: 156-157)
Ayat yang lainnya;
 وَسَارِعُوا إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ [٣:١٣٣]
Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (QS. Ali Imran: 133)
Kemudian Allah menyebutkan sebab-sebab untuk mendapatkan ampunan (maghfirah) dan rahmat, yaitu dengan mencapai ketaqwaan baik dalam ayat ini maupun di dalam ayat yang lain. Begitu pula perintah menyimak dengan baik bacaan al-Qur’an agar mendapatkan rahmat (turhamuun) (QS. 7:204) dan perintah untuk taat kepada Allah dan RasulNya (QS. 3:132) dan contoh-contoh yang lainnya.
Kaidah ketiga, dilihat dari satu sisi, seluruh al-Qur’an bersifat muhkam (jelas, tegas, mudah difahami, dan terperinci maksudnya). Di sisi lain al-Qur’an juga dapat dikatakan seluruhnya mutasyabih (serupa, samar, perlu penjelasan, dan tidak mudah difahami). Dapat juga dilihat bahwa sebagian muhkam dan sebagai lagi mutasyabih. Allah mensifati al-Qur’an dengan tiga sifat ini. Ayat yang menegaskan sifat muhkam al-Qur’an terdapat dalam surat Hud ayat 1. Maksudnya adalah al-Qur’an itu al-Haq (kebenaran) yang disusun dengan sangat sistematis, mencapai puncak kerapian dan kebijaksanaan. Dalam al-Qur’an tidak didapati pertentangan dan perselisihan. Semua perintah berisi kebaikan dan keberkahan dan semua larangan berangkat dari keburukan dan akan menimbulkan keburukan.
Bahwa al-Qur’an bersifat mutasyabih, dinyatakan dalam surah az-Zumar ayat 23. Maksud mutasyabih di sini ialah berupa kebaikan, kebenaran, nilai petunjuk dan kebenaranya. Sifat mutasyabih (keserupaan) al-Qur’an dapat diumpamakan ketika al-Qur’an menjelaskan sifat buah-buahan yang berasal dari tanam-tanaman dan tumbuh-tumbuhan, terdapat dalam surat al-An’am ayat 141. Dapat pula sifat mutasyabih al-Qur’an diserupakan dengan keterangan tentang sifat kenikmatan dan buah-buahan di Surga (QS. Al-Baqarah: 25). termasuk dalam pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya Hanya Allah yang mengetahui seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
Adapun al-Qur’an menyebutkan sebagian ayat mutasyabih dan sebagian lagi muhkam terdapat dalam surat Ali Imran ayat 7. …Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , Itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat… dijelaskan pula dalam ayat ini, bahwa sebagian manusia berkeyakinan yang teguh dalam memahami ayat mutasyabih bahwa semua berasal dari al-Qur’an, dan jika ada ayat yang mutasyabih maka dapat ditemukan penjelasannya pada ayat yang lain sehingga menjadi jelas (muhkam).
Contohnya dalam beberapa ayat menyebutkan bahwa Allah maha kuasa atas segala-galanya, seperti jika Allah berkehendak maka terjadilah (kun fayakun), dan ayat lain bahwa Allah menyesatkan kepada siapa yang dikehendaki dan menunjuki siapa yang dikehendaki (QS. Fathir: 8). Jika secara sepintas saja dan hanya focus pada ayat-ayat yang senada, maka akan menimbulkan pemahaman yang keliru bahwa Allah menyesatkan dan menunjukkan seseorang secara acak tanpa sebab yang jelas. Padahal petunjuk dan penyesatan diberikan Allah melalui sebab-sebab yang dilakukan serta menjadi predikat dirinya (QS. Al-Maidah: 16 dan QS. Al-A’raf: 30). Begitupula jika hanya memahami ayat-ayat qudrah bahwa manusia bebas memilih dan berkehendak tanpa ada campur tangan Allah akan menimbulkan pemahaman yang keliru pula. Hendaknya dua kelompok ayat ini difahami secara proposional bahwa manusia bisa memilih dan menentukan perbuatan baik maupun buruk tetapi daya untuk membuat pilihan, keputusan, kekuasaan dan kekuatan melakukan perbuatan baik dan buruk Allahlah yang menciptakan.
Kaidah keempat, petunjuk al-Qur’an tetap relevan dalam setiap ruang dan waktu. Kebaikan (al-ma’ruf) dan kemungkaran (al-munkar) pada dasarnya dapat dibagi dua, yaitu dari segi konsep (ide) dan perincian pelaksanaan. Dilihat dari segi konsep, keduanya bersifat universal. Keduanya diketahui dan dikenal manusia sebagai sesuatu yang baik atau yang buruk, dimana saja mereka berada dan pada zaman apapun mereka hidup. Keduanya tetap dan tidak berubah-ubah. Berbuat baik kepada orang tua, adil, menjaga harga diri membela yang lemah, jujur merupakan perbuata baik yang pasti diakui semua orang, begitu pula sebaliknya pembunuhan, berzina, meminum khamar, dan semua perbuatan buruk pasti diakui sebagai kejahatan.
Jenis kedua adalah kebaikan (al-ma’ruf) dan keburukan (al-munkar) yang mengalami perubahan dan perbaikan karena perbedaan ruang, waktu dan keadaan. Penilaian baik dan buruk diserahkan kepada urf dan kemaslahatan yang sedang berlaku pada waktu tertentu. Contohnya adalah perintah berbuat baik kepada orantua, akan tetapi Allah tidak menentukan secara khusus jenis perbuatan baik yang terbaik (al-birr wa al-ihsan) kepada orangtua. Tiadanya perincian jenis-jenis kebaikan dalam masalah ini  agar perintah itu mencakup semua sifat dan keadaan yang muncul kemudian, yang dipandang sebagai perbuatan baik kepada orangtua.
Begitu pula perintah Allah berbuat baik kepada keluarga, tetangga, teman-teman dan sebagainya. Ukuran, jenis, bentuk, macam, dan model kebaikannya adalah yang dipandang dan dinilai baik oleh masyarakat pada umumnya (menurut adat dan kebiasaan), sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum syara’. Begitu pula perintah berbuat baik (bil ma’ruf) suami kepada istri (QS. An-Nisa’: 19 dan QS. Al-Baqarah: 228), Allah menyerahkan aturan pergaulan, hak dan kewajiban suami-istri yang baik kepada pertimbangan dan penilaian urf yang berlaku saat itu di lingkungan suami istri.    
Contoh dari kaidah di atas ialah firman Allah pada surat al-Anfal ayat 26 dan 31:
Hai anak Adam, Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu Pakaian untuk menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan….

…. makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Dua ayat di atas secara umum mengandung pembolehan makan dan minum serta berpakaian tanpa menyebutkan jenis makanan dan minuman serta model pakaiannya. Ayat ini tentunya membolehkan manusia mengkomsumsi bermacam-macam makanan, minuman dan pakaian yang jenis dan macamnya berbeda-beda (karena adanya perbedaan iklim, budaya, adat istiadat, keadaan tempat, dan masa) tanpa membedakan apakah semuanya sudah dikenal pada waktu ayat ini turun.
Contoh lainya adalah transaksi perdagangan yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 29:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu…
Ayat ini tidak menentukan jenis dan macam perdangan yang benar, tidak pula menentukan secara tegas bentuk redaksi transaksi (akad) yang menyebutkan prinsip ridha atau “suka sama suka” sebagai keabsahan suatu jual beli atau perdangan.
Kaidah kelima, hukum di dalam suatu ayat bergantung pada kondisi yang dipersyaratkan di dalamnya. Pada prinsipnya semua ayat al-Qur’an yang di dalamnya memuat berbagai persyaratan atau kaitan keadaan (quyud), maka hokum-hukumnya tidak berlaku –kecuali jika di dalam kasus yang hendak ditentukan hukumnya terdapat persyaratan atau kaitan keadaan tersebut.
Contoh penerapan kaidah di atas;
Ayat tentang alasan perbuatan syirik
  Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya…. (QS. Al-Mu’minun: 117)
Menyembah sesuatu selain Allah adalah perbuatan kafir dan musyrik. Mengenai alasanya, tentunya tidak ada alasan yang dibenarkan, pengaitan perbuatan tersebut dengan alasan tertentu seolah-olah menjadi pembenaran boleh melakukan asalkan dengan alasan tertentu. Tetapi maksud pengaitan perbuatan syirik dengan suatu alasan adalah untuk menjelaskan betapa keji dan tercela perbuatan syirik, bukan menoleransinya
Membunuh Para Nabi A.S Tanpa Hak  
…. dan mereka membunuh para nabi dengan tanpa hak… (QS. Al-Baqarah; 61)
Ayat ini seolah-oleh membenarkan membunuh para nabi yang dilakukan dengan sah, padahal semua pembunuhan terhadap nabi adalah tanpa hak. Ayat ini –disamping menegaskan bahwa pembunuhan para nabi itu sangat tercela- juga menegaskan pelaku pembunuhan tersebut adalah orang-orang yang sangat jahat dan berdosa.
Mengawini Anak Tiri
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu… dan anak-anak tirimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri… (QS. An-Nisa’ 23)
Larangan mengawini anak tiri dengan keadaan di bawah pemeliharaan seorang ayah tiri sama sekali tidak berhubungan diperbolehkan mengawininya. Seorang laki-laki secara mutlak haram mengawini anak tirinya, baik anak itu berada dalam pemeliharaannya ataupun tidak. Penyebutan kaitan tersebut adalah untuk menegaskan betapa keji tindakan seorang ayah tiri yang mengawini anak tirinya -yang kedudukannya sama dengan anak kandungnya.
Alasan Membunuh Anak
Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. (QS. Al-Isra: 31)
Membunuh anak, dalam keadaan bagaimanapun, adalah tindakan terlarang. Karena itu, adanya kaitan pembunuhan anak dengan kemiskinan dimaksudkan untuk menyatakan kumulasi kejahatan yang akan terjadi yaitu, kejahatan membunuh tanpa alasan, kejahatan membunuh orang, dan kejahatan membunuh karena menentang taqdir. Penyebutan kaitan tersebut untuk menegaskan –bahwa sedangkan membunuh anak dalam keadaan miskin pun sangat terlarang- apalagi jika dalam keadaan ekonomi orang tua baik.
Melakukan Gadai dalam Perjalanan  
Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang berpiutang…. (QS. Al-Baqarah: 283)
Melakukan penggadaian untuk mendapatkan uang adalah sah hukumnya, baik dilakukan di rumah maupun ketika sedang dalam bepergian (musafir). Atas dasar itu tujuan al-Qur’an menyebutkan kaitan transaksi gadai dengan keadaan dalam pejalanan adalah untuk menegaskan bahwa transaksi itu, tetap sah walaupun dilakukan dalam keadaan yang paling rawan. Sebab biasanya dalam kondisi musafir tingkat kepercayaan sangat tipis kecuali adanya jaminan tertentu dalam bentuk gadai.
Jumlah Saksi dalam Transaksi Utang-Piutang
…dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai…. (QS. Al-Baqarah: 282)
Penyebutan jumlah saksi seperti di dalam ayat di atas adalah dalam bentuk kesaksian yang lebih sempurna, yang dengan menganjurkan jumlah saksi seperti itu para pihak akan lebih merasa tenang, dan hak masing-masing menjadi lebih terjamin.
Melakukan Tayamum sebagai Pengganti Wudhu.
… dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu …. (QS. An-Nisa’: 43)
Melakukan tayamum boleh saja dilakukan, baik ketika sedang musafir ataupun tidak. Artinya tayamum tidaklah dipersyaratkan ketika sedang dalam perjalanan (safar) saja, tetapi tetapi juga ketika sedang berada di wilayah sendiri (muqim), asalkan pada waktu itu tidak ditemukan air. Penyebutan kaitan bepergian pada ayat di atas hanyalah untuk menjelaskan bahwa biasanya orang yang sedang bepergian yang sulit menemukan air.
Melakukan Qashar Shalat
Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir… (QS. An-Nisa’: 101)
Di antara ulama terdapat kesepakatn bahwa melakukan qashar shalat tetap dibolehkan meskipun ketika sedang dalam keadaan aman dan tidak mesti ketika dalam keadaaan takut diserang musuh saja. Wallahu’alam

Daftar Bacaan

Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an, Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2007.
Abdurrahman bin Nashir al-Sa’di, al-Qawaid al-Hisan lil Tafsiril Qur’am, maktabh al-Ma’arif
Jurnal Kajian Islam AL-INSAN, Vol. 1, No. 1, Januari 2005
Al-Qur’an terjemahan Depag
Terjemahan al-Qawaid al-hisan




Tidak ada komentar:

Posting Komentar