Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Sabtu, 09 November 2013

Kebebasan Manusia?



KONSEP KEBEBASAN MANUSIA DALAM TAFSIR AL-MISBAH
 KARYA M. QURAISH SHIHAB
 oleh Syahrul
I.       Pendahuluan

Kebebasan merupakan hak manusia yang paling asasi, meskipun kebebasan tidak bisa diartikan sebgai kebebasan tak terbatas, karena setiap kebebasan akan dibatasi oleh kebebasan yang lain. Sebelum melihat bagaimana al-Qur’an menjelaskan kebebasan manusia, maka memahami manusia akan lebih mengantarkan kepada pemahaman yang sempurna.
Problematika kebebasan kehendak benar-benar mempunyai kedudukan khusus dalam sejarah pemikiran Islam, bahkan dianggap sebagai problematika rasional paling tingggi yang pernah menghambat kaum muslimin. Pemikiran-pemikiran awam tertuju padanya, tetapi ia juga dipelajari oleh orang-orang khusus sejak masa awal islam. Di sekitarnya muncul berbagai macam pertayaan,yang karenanya banyak timbul perdebatan dan banyak lahir aliran pemikiran spesifik atas namanya. Dengan berlalunya zaman, aliran-aliran ini masih tetap beraneka ragam dan banyak jumlahnya.[1]
Kata kebebasan dalam Islam diungkapkan dengan dua istilah. Pertama, dengan istilah hurriyah. Dalam al-Mausu’ah al-Islamiyah al-‘Ammah, kebebasan didefinisikan sebagai kondisi keislaman dan keimanan yang membuat manusia mampu mengerjakan atau meninggalkan sesuatu sesuai kemauan dan pilihannya, dalam koridor sistem Islam, baik aqidah maupun moral. Dari pengertian ini terdapat dua bentuk kebebasan. Pertama, kebebasan internal (hurriyah dakhiliyah) yaitu kekuatan memilih antara dua hal yang berbeda dan bertentangan. Kebebasan jenis ini tergambar dalam kebebasan berkehendak (hurriyat al-iradah), kebebasan nurani (hurriyat adh-dhomir), kebebasan jiwa (hurriyat an-nafs) dan kebebasan moral (hurriyat al-adabiyah). Kedua, kebebasan eksternal (hurriyat kharijiyah). Bentuk kebebasan ini terbagi menjadi tiga: ath-thabi’iyah, yaitu kebebasan yang terpatri dalam fitrah manusia yang menjadikannya mampu melakukan sesuatu sesuai apa yang ia lihat; as-siyasiyah, yaitu kebebasan yang telah di berikan oleh peraturan perundang-undangan; ad-diniyah, kemampuan atas keyakinan terhadap berbagai mazhab keagamaan.
Kedua, kebebasan diungkapkan dengan istilah ikhtiyar. Ikhtiyar sebagaimana yang dipakai dalam teologi Islam, tidaklah sama dengan ide modern mengenai kebebasan (dalam arti freedom/liberty). Sebab, akar kata ikhtiyar adalah khair atau baik, yang berarti memilih sesuatu yang terbaik. Karena itu, jika bukan memilih sesuatu yang baik, maka sebenarnya itu bukanlah pilihan, melainkan kezaliman. Memilih sesuatu yang terbaik adalah kebebasan yang sejati dan untuk melakukannya seseorang dituntut untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Sebaliknya, memilih sesuatu yang buruk adalah pilihan yang berdasarkan kejahilan dan bersumber dari aspek-aspek tercela nafsu hewani.[2]
Baik secara tersirat maupun tersurat, al-Qur’an banyak berbicara tentang kebebbasan manusia untuk menentukan sendiri perbuatannya yang bersifat ikhtiariah. Yang dimaksud dengan perbuatan ikhtiariah adalah perbuatan yang dapat dinisbatkan kepada manusia dan menjadi tanggung jawabnya karena memang ia mempunyai kemampuan untuk melakukan dan meninggalkannya. Misalnya, menerima atau menolak ayat-ayat yang dibawa para Rasul. Dalam surat 31/Luqman: 21-22

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan Allah". mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)? Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan Hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.

Kedua sikap ini merupakan perbuatan ikhtiariah. Orang dapat memilih dan melakukan sikap pertama (menolak) atau kedua (menerima), dan karenannya ia akan dibalas dengan siksaan atau pahala sesuai dengan pilihannya itu. Secara tersirat, diturunkannya al-Qur’an menunjukkan adanya kebebasan yang diberikan kepada manusia dalam memilih jalan hidupnya, yang berkenaan dengan iman dan kufur terhadap apa yang dibawa al-Qur’an sendiri
  Sejarah kemudian melahirkan banyak aliran pemikiran teologi islam (kalam) berkaitan kebebasan manusia dalam hubungannya dengan perbuatan Allah. Ada dua aliran yang sangat paradoks dan kontaradiktif (face o face). Paham Jabariah berpendapat, bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk menentukan perbuatan, karena pada dasarnya Allah telah menentukan perbuatan-perbuatannya sejak azali dan mewujudkannya padanya (manusia) atas kemampuannya sendiri. Paham Qadariyah, sebaliknya, berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatannya; Allah sama sekali tidak menentukannya sebelumnya.[3] Kedua paham ekstrim ini hanya akan melahirkan kerancuan-kerancuan teologi jika dipegangi dengan secara berlebihan.
  Makalah singkat ini tidak akan terjebak ke dalam perdebatan yang panjang lebar para teolog muslim (mutakallimun), tapi mencoba mengkonstruksi ayat-ayat yang menjadi sumber perdebatan -yang melahirkan aliran dan ajaran yang saling bertentangan- dalam prespeltif tafsir kontemporer, yaitu tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab kemudian mendeskripsikannya dengan analisis kualitatif. Sistematika penulisan makalah ini dimulai pada bagian pertama, berupa pengantar, kedua, sekilas pandangan beberapa aliran-aliran teologi dalam melihat persoalan kebebasan manusia. Ketiga, pembahasan dan penjelasan Tafsir al-Misbah berkaitan dengan ayat-ayat yang menjadi perdebatan. Keempat, penutup yang berisi kesimpulan.
Perlu diketahui, bahwa tafsir al-Misbah merupakan produk tafsir modern bahkan kontemporer oleh seorang ulama asli Indonesia dengan otoritas keilmuan yang mumpuni. Metode tafsir al-Misbah merupakan kombinasi dari dua metode tafsir yaitu metode tahlili dan maudu’i.        

II.    Aliran-Aliran Teologi (kalam)
Problematika muncul pada saat terjadi serentetan bencana; fitnah berkobar terhadap Usman; sesama orang islam saling menyerang; sekelompok orang mengajukan tahkim (perdamaian) tetapi yang lain menolak; orang-orang mulai mempertanyakan tentang dosa besar dan dosa kecil, meraka menghukumi pelaku dosa tersebut (apakah) ia masih termasuk seorang mukmin atau kafir, atau justru berada di tengah-tengah antara dua kondisi tersebut. Pada saat munculnya problematika inilah pembahasan mengenai taqdir mendapat porsi.[4] Kemudian muncullah beberapa aliran teologi.

Mu’tazilah
 Cirri khas paling khusus dari Mu’tazilah, ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini mereka pergunakan untuk menghukum berbagai hal. Mereka berpendapat bahwa alam punya hokum kokoh yang tunduk kepada akal.[5] Kebebasan berkehendak erat hubungannya dengan keadilan Tuhan. Mereka memandang keadilan Tuhan menjadi hilang jika seseorang dituntut harus mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak ia kerjakan, atau jika ia dihisab tentang perbuatan yang tidak ia kehendaki. Akal dapat mengetahui sifat-sifat yang menjadikannya jelek sehingga akal dapat mengetahui yang baik adalah baik dan yang jelek adala jelek. Sedangkan syariat dalam penentuan baik buruk itu sebenarnya tidak lebih hanya sekedar mengungkapkan dan menceritakan kenyataan baik-buruk tersebut, karena baik dan buruk itu bersifat rasional dan akal dapat mengetahuinya sebelum adanya syari’at. Atas dasar itulah aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa manusia mukallaf sebelum datangnya syari’at melalui hal-hal yang ditunjukkan oleh akal.[6]
Keadilan Allah menuntut bahwa manusia haruslah bebas. Karena tanpa adanya kebebasan ini, kenabian dan risalah tidak ada artinya, tidak ada dasar bagi syari’ah atau taklif bahkan untuk apa pengutusan para rasul kepada orang yang tidak mempunyai kebebasan dalam mengikuti dan mendengarkan dakwah meraka? Bagaimana seseorang diperintah untuk melakukan atau tidak melakukan (sesuatu) sedangkan ia tidak mempunyai kehendak?. Mu’tazilah juga berpendapat bahwa kekuasaan manusia yang bersifat temporal (al-Hadisah) itu bersumber dari kekuasaan yang Qadim (eternal), karena Allah telah memberi suatu kemampuan kepada hambannya yang secara umum bisa dipergunakannya untuk melakukan dan meninggalkannya, atau dia menciptakan suatu kekuatan pada hambaNya ketika ia menghadapi semua aktivitasnya. Kemampuan baru ini setiap saat berpengaruh, keterpengaruhannya itulah yang merupakan tempat adanya pahala dan siksa.[7]
Mu’tazilah membagi perbuatan manusia menjadi dua klasifikasi: ikhtiariah dan Idtirar. Perbuatan-perbuatan ikhtiariah adalah tindakan-tindakan yang dituju akal manusia dengan berdasarkan pada pengetahuan dan kehendak. Perbuatan-perbuatan jenis ini merupakan alasan bagi taklif seperti shalat dan puasa. Sedangkan perbuatan-perbuatan Idtirar adalah perbuatan-perbuatan yang terjadi dengan sendirinya, tanpa ada campur tangan kehendak manusia, seperti api yang membakar dan mengigil ketika dingin.

Asy’ariah dan Maturidiah
Asy’ariyah merupakan aliran yang hidup hingga sekarang, berumur hamper sepuluh abad. Aliran ini tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H, sehingga sekarang masih ada, walaupun harus menghadapi tekanan kira-kira 1,5 abad. Satu saat bertarung melawan kaum rasionali, yang diwakili Mu’tazilah, tapi kadang juga melawan naqliyah (tekstualis) yang diwakili oleh Salaf ekstrim. Abu Hasan al-Asy’ari (260-324 H) hendak berdiri di tengah di antara dua aliran tersebut. Perbedaan antara Asy’ariyah dengan Maturidiyah tidaklah serius masing-masing mewakili pendapat al-sunnah wa al-jama’ah.[8]
Menurut Asy’ariah semua perbuatan, baik dan buruk, diciptakan oleh Allah. Sama sekali tidak ada keraguan dalam hal ini. Merupakan kesalahan tersendiri jika mengatakan bahwa orang kafir itu menciptakan perbuatan kafirnya, karena seseorang tidak menciptakan kecuali apa yang dituju dan diinginkannya. Kekafiran itu adalah sesuatu yang fasid dan jelek, tidak patut diinginkan, maka jika ia dating dengan tanpa unsur kesengajaan dari penciptanya maka tidak mungkin jika padahal penciptanya. Pada hakikatnya, yang bukan pencipta tidak boleh mencipta. Sehingga kemungkinan penciptanya tinggal Allah SWT. Jelas bahwa Asy’ari ingin menjelaskan bahwa ada perbuatan-perbuatan yang terjadi pada manusia justru sebalik dari kehendaknya, dan tidak mungkin ia sebagai penciptanya selama iradah sebagai satu-satunya sumber aksi.[9]    
Mu’tazilah telah melihat bahwa mengembalikan seluruh perbuatan kepada Allah berarti bahwa manusia berada di antara dua kemungkinan: berada dalam kenikmatan yang harus disyukuri atau berada dalam kesulitan yang harus dihadapinya dengan sabar. Bagi al-Asy’ari tidak ada masalah sama sekali dalam masalah ini. Yang jelas ada bencana-bencana yang harus dihadapi dengan sabar seperti sakit dan kehilangan anak, tetapi juga ada bencana yang tidak boleh dihadapi dengan kesabaran seperti kekafiran dan perbuatan maksiat. Ini berarti bahwa Allah mentakdirkan dan menentukan perbuatan-perbuatan maksiat, tetapi tidak berarti bahwa Dia memerintahkan agar hal itu dlakukan.
Jika Allah SWT pencipta semua perbuatan, lantas apa yang tersisa untuk manusia? Al-Asy’ari menjawab bahwa manusia mempunyai kasab  dan ikhtiar. Kasab berarti semata-mata hubungan qudrat dan kehendak manusia dengan perbuatan, sedangkan perbuatan ini merupakan ciptaan Allah, karena kudrat kita sama sekali tidak bisa berpengaruh kepada yang diqudratinya, karena ia sendiri makhluk Allah. Pokoknya Allah menjalankan sunnah-sunnahNya dengan menciptakan –bersama dengan qudrat yang baru- perbuatan yang dikehendaki dan disengaja akal manusia. [10]  

III. Perpektif Tafsir al-Misbah
 Terjadinya perbedaan paham tentang kebebasan manusia berangkat dari pijakan yang sama yaitu al-Qur’an. Ada beberapa ayat yang kemudian menimbulkan penafsiran dan intepretasi yang berbeda. Al-Qur’an terkadang mendukung kebebasan berkehendak, sedangkan sebagian yang lain menentangnya. Sepintas lalu akan terlihat kontradiksi, tetapi sebenarnya tidak menunjukkan pertentangan.

1.      Kelompok ayat yang mendukung kebebasan berkehendak diantaranya;

Katakanlah: "Hai manusia, Sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al Quran) dari Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk Maka Sesungguhnya (petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. dan barangsiapa yang sesat, Maka Sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. dan Aku bukanlah seorang Penjaga terhadap dirimu". (QS. Yunus: 108)

Tafsirnya: Setelah banyak perintah dan larangan yang dikemukakan sebulumnya, sebagai penutup uraian surah, Nabi diperintahkan  untuk menyampaikan bahwa segala larangan itu untuk kepentingan masing-masing bukan untuk nabi. Seruan ini bagi manusia seluruhnya baik yang percaya maupun tidak, baik yang hidup pada masa nabi maupun yang akan dating. Bahwa telah dating al-Qur’an sebagai kebenaran dan pembimbing oleh karena itu barang siapa yang mendapat petunjuk yakni beriman kepada Muhammad dan mengamalkan kandungan al-Qur’an , maka semata-mata ia mendapatkan petunjuk untuk kebaikan dirinya sendiri. Karena itu ia akan hidup tenang di dunia maupun di akhirat. Barang siapa yang sesat sehingga mengingkari kebenaran al-Qur’an dan kenabian Muhammad, maka semata-mata dia menyesatkan/mencelakakan dirinya sendiri. Dan Nabi mempertegas bahwa dirinya bukanlah pemelihara, tuganya adalah hanya sekedar menyampaikan.[11]

Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum, niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek. (QS. Al-Kahf: 29)

Tafsirnya: Ayat ini berbicara tentang penolakan nabi atas usulan kaum musyrikin untuk mengusir kaum miskin dan lemah dari mejelis beliau, nabi menegaskan kesemua pihak termasuk kaum musyrikin yang angkuh bahwa; “dan katakanlah wahai Nabi Muhammad Bahwa: kebenaran yakni wahyu ilahi yang aku sampaikan ini datangnya dari Tuhanmu pemelihara kamu dalam segala hal; maka barang siapa diantaramu, atau selain kamu yang ingin beriman tentang apa yang kusampaikan ini maka hendaklah ia beriman dengan apa yang disampaikan Nabi dan keuntungan akan kembali padanya. Begitu pula sebaliknya yang kufur, dan Allah sama sekali tidak pernah rugi atau dirugikan dengan kekafiran meraka. Selanjutnya Allah menyiapkan balasan atas kedhaliminan meraka denga Neraka dengan segala macam siksaannya.[12]

Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya. (QS. Fussilat: 46)

Tafsirnya: Ayat  ini berkaitan denga ayat sebelumnya yang berkaitan dengan Musa yang diberikan kitab Taurat lalu diperselisihkan. Mereka orang-orang kafir dalam keragu-raguan yang besar terhadap hari kiamat, sehingga mereka dibiarkan dalam keragu-raguannya. Tetapi hendaknya semua sadar bahwa barang siapa yang mengerjakan amal kebaikan maka manfaat dan pahalanya untuk diri mereka sendiri. Begitu pula sebaliknya. Dan Allah tidak pernah dhalim terhadap hamba-hambanya.[13]

Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang Telah diperbuatnya,.. (QS. Al-Muddassir: 38) 

Tafsirnya: Ayat di atas merupakan pernyataan kepada manusia seluruhnya dalam kaitannya dengan kebebasan memilih yang telah ditegskan pada ayat-ayat yang lalu. Seakan-akan Allah menyatakan: “Hai manusia, kamu sekalian bebas untuk memilih jalan, maju atau mundur, arah kanan atau kiri. Tetapi hendaknya diketahui bahwa keadaan kamu kelak, di hari kemudian, akan ditentukan oleh pilihanmu masing-masing karena kamu semua bahkan tiap-tiap diri lelaki atau perempuan menyangkut apa yang telah dilakukannya semuanya tergadai. Dan karena tergadai boleh jadi berhasil ditebus dan ada yang gagal, maka ayat menunjukkan kecuali golongan kanan. Merekalah yang berhasil menebus dirinya dengan amal-amal saleh.
Kata kasabat demikian pula iktasabat terambil dari kata kasaba yang maksudnya adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan manfaat atau menolak mudarat. Pada mulanya kata ini hanya digunakan apabila perbuatan yang dimaksud dilakukan oleh anggota badan manusia, khususnya tangannya, tetapi al-Qur’an menggunakannya juga bagi perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh hati manusia. [14]

2.      Kelompok ayat yang menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan pada mereka. Diantaranya;

Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (QS. Al-Baqarah: 6)
Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup. dan bagi mereka siksa yang amat berat. (QS. Al-Baqarah: 7)

Tafsirnya: Ayat ini, bukan berbicara tentang semua orang kafir, tetapi orang kafir yang kekufurannya telah mendarah daging dalam jiwa mereka sehingga tidak lagi mungkin untuk berubah. Ayat ini menunjuk kepada mereka yang keadaannya telah diketahui Allah sebelum, pada saat, dan susudah datangnya ajakan beriman kepada mereka. Pengetahuan Allah tentang tentang kepastian tidak bergunanya peringatan buat mereka bukanlah sebab yang menjadikan mereka tidak beriman. Bukankah seorang guru dapat mengetahui bahwa siswa yang malas dan bodoh pasti tidak akan lulus? Pengetahuan tersebut bukan penyebab ketidaklulusan, tetapi penyebabnya, adalah kebodohan dan kemalasan siswa. Nah, untuk orang-orang kafir yang dimaksud oleh ayat ini, penyebabnya adalah  keenganan mereka menerima iman sehingga Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka, yakni Allah membiarkan mereka larut dalam kesesatan sesuai dengan keinginan hati mereka sendiri sehingga akhirnya hati mereka terkunci mati dan telinga mereka tidak dapat mendengar bimbingan.
Ayat ini tidak dapat dijadikan alasan bagi kita dewasa ini untuk menghentikan peringatan dan ajakan beriman karena kita tidak mengetahui apakah yang dituju oleh sasaran dakwah adalah mereka yang serupa dengan yang dimaksud oleh ayat ini atau bukan. Ini sama dengan firman-Nya: “berilah peringatan bila peringatan itu bermanfaat” (QS. Al-A’la: 9). Ayat ini tidak dapat dijadikan alasan untuk menghentikan dakwah karena kita tidak mengetahui kapan dakwah itu bermanfaat dan kapan pula sia-sia.[15]

Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, Maka merekalah orang-orang yang merugi. (QS. al-A’raf: 178)[16]

Tafsirnya: Petunjuk ada yang bersifat umum yang berfungsi menunjuki dan membimbing manusia menuju kebahagian duniawi dan ukhrawi, dan ada juga bersifat khusu, yaitu petunjuk yang disertai kemampuan untuk melaksanakan isi petunjuk. Ini tidak dapat dilakukan kecuali oleh Allah swt., karena itu ditegaskannya bahwa: “Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS. Al-Qashas: 56)
Allah swt. Hanya akan member hidayat dalam pengertian khusus di atas, kepada siapa yang berjuang untuk meraihnya. Ini berdasarkan sekian banyak ayat seperti firman-Nya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Ankabut: 69). Di sisi lain Allah hanya menyesatkan siapa memilih kesesatan, “Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, Mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu?" Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS. Ash-Shaff: 5)

Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang Telah ditetapkan Allah untuk kami…" (QS. At-Taubah: 51)[17]

Tafsirnya: Ayat berkaitan denga ayat sebelumnya yang membicarakan perasaan batin orang-orang munafik yang tidak ikut perang Uhud dengan berbagai alasan. Hati kecil mereka tidak senang jika Nabi Muhammad saw. Menang dalam peperangan. Jika suatu bencana menimpa nabi walau pun kecil seperti pada perang Uhud, meraka banyak mengeuarkan argument pembenaran atas ketidakikutan mereka. Di sini Nabi diperintahkan untuk mengatakan bahwa kami tidak akan berucap seperti ucapan kalian karena kami yakin bahwa siapa pun tidak mampu mendatangkan manfaat atau menampik kemudlaratan kecuali atas izin dan restu Allah swt., tetapi kami akan berucap bahwa sekali-kali tidak aka nada yang menimpa kami, positif atau negative pada lahirnya melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Karena seorang mukmin sadar bahwa apa pun ketetapan Allah pasti baik buat dirinya- kalau baik ia bersyukur kalau sebaliknya ia bersabar.

Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya. sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka… (QS. Al-Qasas: 68)

Tafsirnya: Ibnu Asyur menukil dari al-Wahidi yang menyatakan bahwa ayat ini turun sebagai jawaban atas ucapan sementara kaum musyrikin yang menyatakan  “Mengapa al-Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar salah satu dari dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?. Yang dimaksud adalah al-Walid Ibnu al-Mughirah dan ‘Urwah Ibn Mas’ud ats-Tsaqafi. Dengan demikian lanjutan ayat di atas bermakna: Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki dari makhluk-makhluk, baik manusia maupun selainnya dan dia memilih di antara mahkluk-makhluknya itu apa yang Dia kehendaki dan yang sesuai dengan tujuan pemilihan itu, antara lain siapa yang Dia kehendaki untuk tugas kerasulan. Ayat ini menurutnya, sejalan dengan firman-Nya: “Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan (QS. Al-An’am: 124)
Sayyid Qutub berkomentar tentang ayat ini, bahwa satu hakikat yang sering sekali dilupakan manusia, atau mereka lupakan sebagian sisinya. Allah menciptakan apa yang Dia kehendaki. Tidak satu pun yang dapat mengusulkan kepada-Nya  sesuatu, tidak juga menambah atau mengurangi sesuatu pun dari ciptaan-Nya, atau mengubah dan menggantinya. Dia-lah yang memilih dari makhluk ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki dan siap yang Dia kehendaki serta untuk apa Dia kehendaki dari pekerjaan, tugas serta kedudukan. Tidak satu pun yang berwenang mengusulkan kepada-Nya.
Jika manusia menyadari, manusia tidak akan marah atas apa yang menimpa mereka, tidak juga akan menyedihkan apa yang luput dari mereka, dan tidak juga akan menyedihkan apa yang luput dari mereka, karena bukan mereka yang memilihnya tetapi yang memilih adalah Allah swt. Tetapi ini bukan berarti bahwa manusia harus mengabaikan akal, kehendak dan aktivitas mereka. Tetapi maknanya adalah mereka hendaknya menerima apa yang terjadi –setelah mereka mencurahkan tenaga, pikiran, upaya dan pilihan mereka- dengan rela, hati yang lapang, penyerahan diri, karena memang mereka berkewajiban melakukan apa yang mampu mereka lakukan dan menyerahkan sisanya kepada Allah.   

"Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan Ini sebagai suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya… (QS. Al-Muddassir: 31)

Tafsirnya: Kata yadhillu terambil dari kata dhalla pada mulanya berarti kehilangan jejak. Jejak yang dimaksud dapat berbentuk fisik amupun non-fisik. Kehilangan jejak dalam hal menelusuri kebenaran atau ajaran agama dinamai juga dhalal. Maka inilah yang dimaksud dengan di sini. Firman-Nya: (yudhillu Allah man yasya’ wa yahdi man yasya’) Allah membiarkan sesat orang-orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dijadikan argumentasi oleh kelompok Jabariyah (fatalism) sebagai salah satu argumentasi tentang tidak adanya kebebasan manusia dalam menetapkan pilihannya. Mereka juga memahami sekian banyak ayat dalam pengertian serupa. Sebagiannya bahkan sangat ekstrim dengan mengatakan bahwa siksa dan ganjaran itu tidak perlu ada. Bagaimana siksa dan ganjaran itu dapat dibenarkan sedangkan yang berperan dalam terciptanya amal baik dan buruk adalah Allah swt., sendiri?
Ditengah-tengah emosi pergolakan muncullah ungkapan: “Tidak ada taqdir, manusia bebas melakukan segala yang dikehendakinya.” Pandangan yang merupakan reaksi atas paham terdahulu merupakan penyebab tersebar luasnya aliran yang kemudian dikenal dengan “Qadariyah” dan “Mu’tazilah” (free will and free act).[18]  Ditegaskan bahwa para sahabat besar dan utama Nabi Muhammad saw. – jika tidak ingin berkata seluruh sahabat beliau- tidak pernah memahami bahwa Allah swt. Memaksakan kehendak-Nya sehingga menjadikan manusia bagaikan daun kering terbang ke arah mana angin berhembus. Pada saat yang sama, para sahabat tersebut juga tidak beranggapan bahwa manusia sedemikian bebas, sehingga mampu mewujudkan kehendak mereka tanpa bantuan Allah.
Yang disesatkan-Nya adalah orang-orang yang pada dasarnya telah sesat, atau –dengan kata lain- yang dimaksud dengan “disesatkan” adalah membiarkan mereka tetap di dalam kesesatan. Seperti yang tertuang dalam surat ash-Shaff : 5, dengan gamblang menegaskan, “…Maka tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.”[19]

Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (QS. At-Takwir: 29)

Tafsirnya: Ayat terakhir surat ini menggambarkan dua kehendak. Kehendak manusia dan kehendak Allah. Ayat ini menetapkan bahwa manusia memiliki apa yang dinamai al-Qur’an kasb/usaha, tetapi usaha itu sama sekali tidak mengurangi kuasa dan kehendak Allah. Ayat ini hendak menekankan bahwa Allah adalah pelaku yang bebas atas alam raya dan penghuni-penghuninya, Dia pelaksana yang dapat memaksakan kehendak-Nya. Dia Maha Mengetahui hati manusia apakah mengarah kepada-Nya ataukah tidak. Namun itu bukan berarti bahwa Dia memaksa manusia atau manusia tidak memiliki keterlibatan dan upaya-upayanya. Harus diingat bahwa Allah menganugrahkan manusia kemampuan untuk mengetahui yang haq dan yang bathil. Pengetahuan itu ditanamkan Allah pada diri manusia berupa potensi untuk mengenal-Nya serta mengenal pengutusan para rasul, penurunan al-Qur’an dan lain lain. Allah menuntut diri manusia agar menghendaki apa yang dikehendakinya buat mereka. Jika kehendak itu diwujudkannya –maka Allah akan mengantarnya patuh dan taat, tetapi jika Yang Maha Mengetahui tidak menemukan dalam hati manusia kehendak itu, maka Allah tidak memudahkan jalannya – sehingga ia tidak memperoleh kemampuan untuk melakukan kebaikan. [20]
Sayyid Quthub mengomentari ayat di atas antara lain bahwa ayat ini menegaskan demikian, agar manusia tidak memahami bahwa kehendak mereka terpisah dari kehendak Allah, yang kepadanya kembali segala sesuatu. Penganugrahan kebebasan memilih, kemudahan memperoleh petunjuk, semua itu kembali padanya, yang meliputi segala sesuatu yang lalu dan kini serta yang akan dating.

IV. Kesimpulan
Berdasarkan tafsir al-Misbah yang melakukan intepretasi tentang ayat-ayat yang dijadikan pijakan oleh beberapa aliran teologi di dunia Islam. Penulis menyimpulkan bahwa pemikran tentang kebebasan manusia dapat disimpulkan menjadi beberapa poin, yaitu;
1.      Adanya kesamaan paham dengan teologi Asy’ariyah yang banyak dianut oleh islam sunni. Aliran Asyria’ah kemudian menjadi aliran yang popular dengan istilah ahl Sunna wa al-jama’ah (aswaja). Meskipun Quraish Shihab tidak menyebutkan faham ahl sunnah wa al-jama’ah secara eksplisit
2.      Manusia diberikan kebebasan, tetapi kebebasan yang tidak mutlak. Kebebasan berkehendak selalu diiringi dengan balasan yang akan diterima sesuai perbuatannya.
3.      Adanya sanggahan terhadap paham yang menyimpang, baik yang berfaham fatalistic seperti Jabariyah maupun berfaham liberal seperti Mu’tazilah.
4.      Allah hanya akan menyesatkan yakni membiarkan dalam kesesatan bagi mereka yang hatinya cenderung pada kesesatan.
5.      Jika ada ayat-ayat yang terkesan bahwa Allah berlaku otoriter terhadap manusia, maka ayat tersebut dijelaskan pada ayat yang lain. Seperti Allah menunjuki dan menyesatkan siap yang dikehendaki, tentunya di ayat yang lain Allah memberikan tips mendapat petunjuk dan tips menghindari kesesatan









[1] Ibrahim Madkour (terj. Yudian Wahyuni Asmin), Aliran dan Teori Filsafat Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2004, h. 138
[3] Machasin, Menyelami kebebasan Mnausia, Telaah Kritis terhadap konsep al-Qur’an, Yogyakarta, Pustaka Pelajar: 1996, h. 124
[4] Ibrahim Madkour (ter), h. 140
[5] Ibid, h. 48
[6] Ibid, h 162
[7] Ibid, h. 163
[8] Ibid, h. 180
[9] Ibid, h. 183
[10] Ibid, h. 184
[11] M. QUraish Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 6, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 172
[12] M. QUraish Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 8, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 52
[13] M. QUraish Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 12, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 430-431
[14] M. QUraish Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 14, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 605
[15] M. Quraish Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 116-117
[16] M. Quraish Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 5, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 298-299

[17]M. Quraish Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 5, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 584-
[18] M. QUraish Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 14, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 600
[19] Ibid., h. 600
[20] M. Quraish Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 15, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 97

Tidak ada komentar:

Posting Komentar