Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Kamis, 02 Juli 2015

The Power of Voice


Syahrul*
Kenapa nggak ngerjain PR?, “Lupa bu...”, “Makanya malam itu belajar, jangan banyak nonton, main Hp,... bla bla bla #*#$$*.” Sergap sang guru tanpa bisa distop, “Iya bu.” Jawab siswa yang hari itu tidak tidak mengumpulkan tugas. Minggu selanjutnya, tugas belum selesai. Kembali sang guru menasihati panjang lebar kali tinggi dibarengi sedikit omelan sindirin. “Budi, buuud, buuud, shalat!” “Ratnaa, Ratnaaaa belajar sana! Jangan cuman di TV terus.” Teriak sang ibu menyuruh anaknya meninggalkan pekerjaanya. “heem, ya.” Diam. “Bentar lagi bu.”Sang anak tetap tidak bergeming. Ini adalah sekelumit kasus yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Diabaikan.


Mengapa ucapan, nasihat atau suara kita seolah-oleh tidak memiliki kekuatan apa pun untuk mengubah keadaan. Suara yang keluar dari mulut kita hanya masuk ke telinga kira lalu keluar dengan lancar lewat telinga kanan bersamaan saat berhentinya lidah kita mengucap?. Hampa. Sebuah pertayaan cukup menggelitik untuk dijawab. Apalagi bagi kita yang lebih banyak menggunakan kata dalam bekerja seperti guru, motivator, penceramah, seles, dan profesi-profesi yang serupa. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah para orangtua yang akan selalu berhadapan dengan anak-anaknya selama 24 jam di rumah.

Sewaktu kecil dulu, saya pernah mendengar cerita tentang kehebatan sahabat nabi Umar bin Khattab. Bukan hanya karena beliau seorang pemberani dan ahli perang, tetapi juga beliau dikenal memiliki kekuatan pada ucapanya. Ya, the power of voice yang beliau miliki sangat dahsyat. Syaitah saja takut dan memilih menghindar bila berpapasan dengan Umar bin Khattab. Suatu ketika, Umar melihat seorang pemuda yang sedang mabuk sambil menenteng botol minuman khamrnya. “Apa yang kamu pegang itu wahai pemuda?” tanya Umar penuh selidik. Pemuda tersebut kaget dan sangat ketakutan karena sedang berhadapan dengan Umar, “Wahai Umar ini hanya air biasa.” dengan terbata-bata ia menjawab. Setelah mengambil dan menuang isi botol tersebut, Umar mendapati air yang keluar dari botol tersebut memang air biasa. Subhanallah, terbengong pemuda itu. Khamar saja takut dengan suara Umar bin Khattab.

Begitu pula sejarah mencatat dengan tinta emas bagaimana kekuatan suara yang dimilki oleh panglima perang Muhammad al-Fatih penakluk Konstantinopel yang mampu menggerakkan ribuan pasukan untuk berperang dan mati sebagai syuhada. Panglima perang salib Shalahuddin al-Ayyubi dan masih banyak yang lainnya. Sebagai bangsa Indonesia kita mengenal Bung Karno proklamator kemerdekaan, disetiap pidatonya mampu menggetarkan hati dan menggerakkan para pendengarnya. Bung Tomo dengan arek-arek Suroboyonya yang mampu mengusir serdadu penjajah Inggris. Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar. Merdeka!.

Kembali kepertayaan awal, kekuatan apa yang tersembunyi dalam suara mereka? Mengapa suara mereka begitu berbobot dan berkualitas. Saya mencoba kembali membuka lembaran sejarah kehidupan para pemilik suara hebat ini. Sungguh kita akan terkagum-kagum dengan jalan hidup yang mereka pilih. Pertama, kuncinya terletak pada adanya keselarasan antara kata dan perbuatan. Semua kata yang keluar dari mulut mereka adalah apa yang sudah mereka lakukan.

Begitu banyak nasihat dan perintah orangtua kepada anak yang tidak pernah orangtua lakukan. menuntut anak rajin belajar, orangtua sendiri malas baca buku, malas belajar. Melarang anak untuk tidak menonton TV, tidak sibuk dengan gadget, tidak merokok, tidak curang dan tidak-tidak lainnya. Tetapi, di saat yang sama kita sangat susah untuk tidak melakukan apa yang kita larang. Seorang guru menuntut siswa untuk mengerjakan PR, mengumpulkan tugas, meraih nilai tinggi namun, sang guru sendiri jarang menyelesaikan tugas ngoreksi, tugas menilai, kuliah nggak selesai-selesai, IPK rendah dan tugas-tugas lainnya yang tidak maksimal. Menuntut siswa berdisiplin, hormat kepada guru, berakhlak mulia, tetapi di saat yang sama sang guru masuk ke sekolah telat, masuk kelas telat, dan kadang tidak menghargai jerih payah siswa. Lalu, sangat wajar bila  nasihat kita tidak berbobot dan pantas untuk diabaikan.

Ketika Rasulullah mengabarkan tentang perjalan isra’ mi’rajnya, kaum kafir Quraisy tidak serta merta menolok. Mereka dilanda kegamangan. Bagaimana tidak, di satu sisi berita ini sungguh tidak masuk akal, di sisi yang lain meraka juga susah untuk menentang ucapan dari seseorang yang tidak pernah bohong. Muhammad adalah orang yang dikenal sebagai orang yang tidak pernah berbohong, al-amin, manusia yang dapat dipercaya. Jika seandainya bukan Muhammad saw. yang mengatakan, maka mereka tidak akan menyisakan sedikitpun keraguan untuk menentang.

Yang kedua adalah hanya lisan yang bersih dari menyakiti, menghina dan ngomongin orang lain yang memiliki kekuatan menggerakkan. Lisan yang terbiasa mengeluarkan umpatan dan sumpah serapah, hanya akan polusi suara. Mudah saja lidah ini menilai dan menghakimi orang lain hanya berdasarkan berita-berita yang tidak valid, berita burung. Hari ini ketika gosip dikomersialkan dan bernilai rupiah, lambat laun budaya ini seolah-olah menjadi hal yang biasa. Tidak puas gosip di TV, ditambah langganan tabloid, koran dan majalah, dan tidak sedikit informasi di internet pun berkisar pada gosip. Lihatlah setiap perkumpulan resmi atau sekedar kumpul-kumpul, tanpa terasa kita terjebak dalam amalan kanibal ini, memakan bangkai daging saudara sendiri dengan asyiknya.     

Ketiga, adalah the power voice hanya bisa terjadi jika lisan kita terbiasa dengan kata-kata yang baik, basah oleh dzikir kepada Allah, dan tidak pernah jauh dari bacaan al-Qur’an. Lisan yang terbiasa dengan kalimat subhanallah, alhamdulillah, allah akbar, astagfirullah dan shalawat nabi akan membawa ketenangan pada jiwa pemiliknya. Ketenangan jiwa akan memberikan kekuatan pada segenap ucapannya. Berdzikir kepada Allah tidaklah identik dengan masjid, bahkan kita bisa melakukannya dimana saja dan kapan saja. Bagi pedagang sambil menunggu pembeli tidak ada salahnya bibir dan hatinya mengingat Allah. Ibu rumah tangga saat memasak pun bisa berdzikir mengingat Allah. Setiap kita dalam profesi apa pun tetap bisa melakukannya.

Ayo shalat!”, “Mari belajar!”, “Allah Akbar!,” kalimat-kalimat ini hanyalah kalimat yang sangat bergantung pada siapa yang mengucapkannya. Ia akan memiliki kekuatan merubah dan menggerakkan saat keluar dari lisan-lisan yang terjaga. Ada nasihat yang begitu menyejukkan dan mendamaikan bahkan teringat sampai seumur hidup. Namun, tidak jarang nasihat baik menjadi menyakitkan dan hampa makna. Semoga kita memiliki kekuatan menjaga lisan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar