Syahrul*
“Kenapa nggak ngerjain PR?, “Lupa bu...”, “Makanya
malam itu belajar, jangan banyak nonton, main Hp,... bla bla bla #*#$$*.”
Sergap sang guru tanpa bisa distop, “Iya bu.” Jawab siswa yang hari itu
tidak tidak mengumpulkan tugas. Minggu selanjutnya, tugas belum selesai.
Kembali sang guru menasihati panjang lebar kali tinggi dibarengi sedikit omelan
sindirin. “Budi, buuud, buuud, shalat!” “Ratnaa, Ratnaaaa belajar sana!
Jangan cuman di TV terus.” Teriak sang ibu menyuruh anaknya meninggalkan
pekerjaanya. “heem, ya.” Diam. “Bentar lagi bu.”Sang anak tetap
tidak bergeming. Ini adalah sekelumit kasus yang sering kita jumpai dalam
kehidupan sehari-hari. Diabaikan.
Mengapa ucapan, nasihat atau suara kita seolah-oleh tidak memiliki kekuatan
apa pun untuk mengubah keadaan. Suara yang keluar dari mulut kita hanya masuk
ke telinga kira lalu keluar dengan lancar lewat telinga kanan bersamaan saat
berhentinya lidah kita mengucap?. Hampa. Sebuah pertayaan cukup menggelitik
untuk dijawab. Apalagi bagi kita yang lebih banyak menggunakan kata dalam
bekerja seperti guru, motivator, penceramah, seles, dan profesi-profesi yang
serupa. Dan yang tidak kalah pentingnya adalah para orangtua yang akan selalu
berhadapan dengan anak-anaknya selama 24 jam di rumah.
Sewaktu kecil dulu, saya pernah mendengar cerita tentang kehebatan
sahabat nabi Umar bin Khattab. Bukan hanya karena beliau seorang pemberani dan
ahli perang, tetapi juga beliau dikenal memiliki kekuatan pada ucapanya. Ya,
the power of voice yang beliau miliki sangat dahsyat. Syaitah saja takut dan
memilih menghindar bila berpapasan dengan Umar bin Khattab. Suatu ketika, Umar
melihat seorang pemuda yang sedang mabuk sambil menenteng botol minuman
khamrnya. “Apa yang kamu pegang itu wahai pemuda?” tanya Umar penuh selidik.
Pemuda tersebut kaget dan sangat ketakutan karena sedang berhadapan dengan
Umar, “Wahai Umar ini hanya air biasa.” dengan terbata-bata ia menjawab.
Setelah mengambil dan menuang isi botol tersebut, Umar mendapati air yang keluar
dari botol tersebut memang air biasa. Subhanallah, terbengong pemuda itu.
Khamar saja takut dengan suara Umar bin Khattab.
Begitu pula sejarah mencatat dengan tinta emas bagaimana kekuatan
suara yang dimilki oleh panglima perang Muhammad al-Fatih penakluk
Konstantinopel yang mampu menggerakkan ribuan pasukan untuk berperang dan mati
sebagai syuhada. Panglima perang salib Shalahuddin al-Ayyubi dan masih banyak
yang lainnya. Sebagai bangsa Indonesia kita mengenal Bung Karno proklamator
kemerdekaan, disetiap pidatonya mampu menggetarkan hati dan menggerakkan para
pendengarnya. Bung Tomo dengan arek-arek Suroboyonya yang mampu mengusir
serdadu penjajah Inggris. Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar. Merdeka!.
Kembali kepertayaan awal, kekuatan apa yang tersembunyi dalam suara
mereka? Mengapa suara mereka begitu berbobot dan berkualitas. Saya mencoba
kembali membuka lembaran sejarah kehidupan para pemilik suara hebat ini.
Sungguh kita akan terkagum-kagum dengan jalan hidup yang mereka pilih. Pertama,
kuncinya terletak pada adanya keselarasan antara kata dan perbuatan. Semua kata
yang keluar dari mulut mereka adalah apa yang sudah mereka lakukan.
Begitu banyak nasihat dan perintah orangtua kepada anak yang tidak
pernah orangtua lakukan. menuntut anak rajin belajar, orangtua sendiri malas
baca buku, malas belajar. Melarang anak untuk tidak menonton TV, tidak sibuk
dengan gadget, tidak merokok, tidak curang dan tidak-tidak lainnya. Tetapi, di
saat yang sama kita sangat susah untuk tidak melakukan apa yang kita larang.
Seorang guru menuntut siswa untuk mengerjakan PR, mengumpulkan tugas, meraih
nilai tinggi namun, sang guru sendiri jarang menyelesaikan tugas ngoreksi,
tugas menilai, kuliah nggak selesai-selesai, IPK rendah dan tugas-tugas lainnya
yang tidak maksimal. Menuntut siswa berdisiplin, hormat kepada guru, berakhlak
mulia, tetapi di saat yang sama sang guru masuk ke sekolah telat, masuk kelas
telat, dan kadang tidak menghargai jerih payah siswa. Lalu, sangat wajar bila nasihat kita tidak berbobot dan pantas untuk
diabaikan.
Ketika Rasulullah mengabarkan tentang perjalan isra’ mi’rajnya,
kaum kafir Quraisy tidak serta merta menolok. Mereka dilanda kegamangan.
Bagaimana tidak, di satu sisi berita ini sungguh tidak masuk akal, di sisi yang
lain meraka juga susah untuk menentang ucapan dari seseorang yang tidak pernah
bohong. Muhammad adalah orang yang dikenal sebagai orang yang tidak pernah
berbohong, al-amin, manusia yang dapat dipercaya. Jika seandainya bukan Muhammad
saw. yang mengatakan, maka mereka tidak akan menyisakan sedikitpun keraguan
untuk menentang.
Yang kedua adalah hanya lisan yang bersih dari menyakiti, menghina
dan ngomongin orang lain yang memiliki kekuatan menggerakkan. Lisan yang
terbiasa mengeluarkan umpatan dan sumpah serapah, hanya akan polusi suara.
Mudah saja lidah ini menilai dan menghakimi orang lain hanya berdasarkan
berita-berita yang tidak valid, berita burung. Hari ini ketika gosip
dikomersialkan dan bernilai rupiah, lambat laun budaya ini seolah-olah menjadi
hal yang biasa. Tidak puas gosip di TV, ditambah langganan tabloid, koran dan
majalah, dan tidak sedikit informasi di internet pun berkisar pada gosip. Lihatlah
setiap perkumpulan resmi atau sekedar kumpul-kumpul, tanpa terasa kita terjebak
dalam amalan kanibal ini, memakan bangkai daging saudara sendiri dengan
asyiknya.
Ketiga, adalah the power voice hanya bisa terjadi jika lisan kita
terbiasa dengan kata-kata yang baik, basah oleh dzikir kepada Allah, dan tidak
pernah jauh dari bacaan al-Qur’an. Lisan yang terbiasa dengan kalimat subhanallah,
alhamdulillah, allah akbar, astagfirullah dan shalawat nabi akan membawa
ketenangan pada jiwa pemiliknya. Ketenangan jiwa akan memberikan kekuatan pada
segenap ucapannya. Berdzikir kepada Allah tidaklah identik dengan masjid,
bahkan kita bisa melakukannya dimana saja dan kapan saja. Bagi pedagang sambil
menunggu pembeli tidak ada salahnya bibir dan hatinya mengingat Allah. Ibu rumah
tangga saat memasak pun bisa berdzikir mengingat Allah. Setiap kita dalam
profesi apa pun tetap bisa melakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar