Oleh Syahrul*
PARENTING. Sore, di hari yang
ke-28 Ramadhan, saya, istri dan anak-anak sengaja ngabuburit di luar sekaligus
belanja pakain lebaran. Ini yang kedua kalinya selama ramadhan mengunjungi
pusat perbelanjaan. Tahun ini memang saya mencoba untuk lebih fokus beribadah
dan sedikit acuh dengan urusan belanja dan asesoris lebaran lainnya. Memasuki area perbelanjan, suasana sangat ramai
dan berdesak-desakan. Semua khusuk membolak-balik, memilah-milih, dan keluar
masuk ruang pas. Sempat berseloroh dengan istri, “Jika Mesjid sudah sepi,
sementara Mall dan pasar sudah ramai, itu tanda-tanda Syawal sebentar lagi
tiba.” Cukup lama kami mencari yang “cocok”. Cocok dengan selera tubuh dan
selera kantong.
Anak-anak sudah merengek
kelelahan, dan akhirnya kami ajak ke tempat bermain, mandi bola. Si bungsu yang
memang “pecinta berat” mobil, sejak awal sampai selesai tidak beranjak dari
mobil mainan pilihannya. Semua mainan tidak menarik lagi baginya. Sementara si
sulung, dengan kelincahanya mencoba semua mainan yang tersedia. Habis mandi
bola, plosotan, naik kuda-kudaan, masukin bola dalam keranjang, ayunan,
dan lain-lain tanpa lelah ke sana kemari dengan riang. Saya yang mengawasi
hanya terus memberi semangat, “ayo, coba semua!”.
“Breeaak”, suara pintu
rumah-rumahan plastik terbanting dengan keras dari belakang, cukup mengagetkan
saya. Seorang bocah laki-laki dengan kasar membuka lalu menutup gagang pintu
plastik berkali-kali. Astaghfirullah. Setelah puas, ia kemudian
mendatangi ayunan yang baru saja dinaiki si sulung. Dengan agak memaksa ia
meminta ayunan tersebut dan menaikinya. Saya mencoba melerai, “Eh, mas yang
sabar ya. Gantian ya!” ucupku dengan senyum. Namun, seolah tidak peduli
terus saja ia memaksa. “Ya, sudah mbak Raisa yang ngalah ya. Itu masih ada
mainan yang kosong, sana!”, mencoba membujuk si sulung.
Saya sangat yakin bahwa setiap
anak saat dilahirkan ke dunia ini tidak ada sedikitpun di dalam pikirannya berniat
akan kasar, egois, kebut-kebutan, merokok, dan pemarah saat besar nanti.
Sedikit pun. Mereka adalah pencontoh yang ulung. Apa yang mereka lihat dan
rasakan dalam keluarga, pada prilaku kedua orangtua dan saudara-saudaranya
menjadi refrensi untuk melakukan hal yang sama. Apakah yang dilakukan si bocah
tadi adalah gambaran dari kondisi dalam keluarganya?, kemungkinan besar iya. Mungkin
itulah yang disaksikan sehari-hari. Anak-anak adalah cermin dari keluarga.
Masih ada satu anak laki-laki
berpenampilan cukup nyentrik. Dengan potongan rambut pendek bagian atas dan
samping kiri kanan, namun, membiarkan panjang di bagian belakang. Cukup agresif
cara bermainnya, dengan menabrak-nabrakkan permainan yang ia tumpangi kepada anak-anak yang lain.
sesekali mendorong dan merampas. Seorang ibu muda dengan dandanan dan pakaian
cukup mencolok mengeleng-gelengkan kepalanya, saat mencoba menasihati si bocah.
Bukannya berhenti malah menjadi. Setelah anak-anak merasa puas, dengan
menggendong si bungsu dan menuntun si sulung kami meninggalkan arena bermain,
berkecamuk dalam pikiran saya, anak macam apa yang mereka inginkan dengan model
dan gaya seperti ini?, entahlah.
***
Saat berkenalan dengan Ayah Edy
melalui Medsos dan buku-bukunya, keyakinan saya semakin besar bahwa
sesungguhnya anak-anak kita adalah produk dari rumah kita. Indonesia strong
from home adalah benar adanya. Sebagai seorang guru, saya banyak menjumpai
dan menangani anak-anak yang bermasalah di sekolah berawal dari rumah, dengan
seribu satu macam problematika rumah tangga di dalamnya. Hampir pasti.
Sementara mereka yang berprestasi, berakhlak mulia, dan taat tata tertib sekolah
rata-rata berasal dari keluarga-keluarga yang harmonis, cukup mendapatkan
limpahan kehangatan cinta orangtua.
Seorang remaja putri dengan wajah
yang cukup cantik dan pintar di kelas, selalu mengalami “gangguan jiwa” saat di
sekolah. Dengan tiba-tiba meraung-raung dan meronta-ronta dengan mata yang
melotot mengdaduhkan suasan kelas. Seperti penyakit ayan. Beberapa siswa
menangis, ketakutan dan sebagian merasa was-was. Setelah diusut, menunjukkan
ketertekanan anak ini atas ketidakharmonisan kedua orangtua. Keduanya sibuk
dengan urusan masing-masing dan lupa akan kewajiban terhadap kasih sayang anak.
Saat terlambat sekolah, saya menanyakan mengapa ketiduran? Mengapa begadang, main
game dan apakah orang tidak melarang dan membangunkan? “saya tidur sendiri kok,
bapak ibu mana peduli saya main game, mau tidur, begadang, terserah saya.”
Jawaban yang membuat saya sedikit masygul. Jawaban yang cuek, namun lambat-lambat
matanya mulai sembab. Merasa tidak mendapatkan perhatian orangtua.
Saya juga menjumpai di tempat
mengajar. Remaja putra, Berbadan kurus, tidak pernah paham hampir semua mata
pelajaran, rambut sering dipotong punk dan dibatik-batik di sisi kira-kanannya.
Ada kebiasaan unik saat mengikuti pelajaran; jari-jarinya tidak pernah lepas
dari polpen seperti mengapit rokok, lalu berimajinasi seperti layaknya perokok,
mengisap dan mengepulkan asapnya. Dilakukan dengan santai di kelas. setelah
bicara empat mata, dari hati ke hati, sang anak mencoba terbuka tentang kondisi
keluarganya. Tidak begitu tahu dimana ayahnya sekarang. Tidak jelas berapa
bersaudara, seolah-olah bingung ada berapa anggota keluarganya. Lingkungan
pergaulan yang bebas, bergaul dengan remaja yang lebih dewasa. Terbiasa merokok
dan sesekali menegak minuman keras. Meskipun sudah berhenti mabuk saat ini.
Salah siapa? Entalah.
Kisah lainnya, remaja putri dengan
perubahan fisik yang lebih cepat dari teman sekelas dan kelas yang didudukinya
menunjukkan keterlambatannya sekolah. Baru seminggu di sekolah yang baru, namun
telah menjadi trending topik. Pasalnya, selain tidak bisa mengikuti pelajaran,
juga dari sisi akhlak, pergaulan, kesopanan, dan religiusitasnya pun raport
merah. Puncaknya saat saya mengecek konten handphone miliknya yang dititipkan,
terpapar dengan jelas di inbox sms, dialog adengan seks dengan teman laki-lakinya.
Semunya tertulis dengan vulgar, tanpa ada rasa risih. Akhirnya, pihak sekolah
melayangkan Undangan orangtua, namun yang datang adalah orang lain. orang yang
selama ini mengadopsinya, pun dari adopsi orang lain. Entah dimana orangtua
aslinya, bagaimana kabarnya, apa pekerjaannya, dan semua pertayaan tentang
identitas dirinya, semunya tidak ada yang jelas. Suram. Sesuram masa depan yang
akan dilaluinya.
Ya, keluarga. Semuanya berawal
dari keluarga. Keluarga pun tidak terbentuk secara tiba-tiba, keluarga yang
buruk lahir dari keluarga yang buruk pula. Dan kita selalu saja berputar-putar
di mata rantai syaitan ini. Harus ada yang memutus mata rantai ini. Siapa pun
kita. Sebagai bentuk usaha kepedulian kita akan nasib mereka yang jadi korban,
insyaallah saya sedang menyiapkan naskah buku, “Mereka yang terbuang dan yang
dibuang”. Agar kesadaran kita pulih kembali dan melihat realitas yang
sebenarnya yang tersembunyi di bawah puncak gunung es. Lalu kita memulai dari
keluarga-keluarga kecil kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar