Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Minggu, 26 Juli 2015

Balada Taman Bermain



Oleh Syahrul*
PARENTING. Sore, di hari yang ke-28 Ramadhan, saya, istri dan anak-anak sengaja ngabuburit di luar sekaligus belanja pakain lebaran. Ini yang kedua kalinya selama ramadhan mengunjungi pusat perbelanjaan. Tahun ini memang saya mencoba untuk lebih fokus beribadah dan sedikit acuh dengan urusan belanja dan asesoris lebaran lainnya.  Memasuki area perbelanjan, suasana sangat ramai dan berdesak-desakan. Semua khusuk membolak-balik, memilah-milih, dan keluar masuk ruang pas. Sempat berseloroh dengan istri, “Jika Mesjid sudah sepi, sementara Mall dan pasar sudah ramai, itu tanda-tanda Syawal sebentar lagi tiba.” Cukup lama kami mencari yang “cocok”. Cocok dengan selera tubuh dan selera kantong.


Anak-anak sudah merengek kelelahan, dan akhirnya kami ajak ke tempat bermain, mandi bola. Si bungsu yang memang “pecinta berat” mobil, sejak awal sampai selesai tidak beranjak dari mobil mainan pilihannya. Semua mainan tidak menarik lagi baginya. Sementara si sulung, dengan kelincahanya mencoba semua mainan yang tersedia. Habis mandi bola, plosotan, naik kuda-kudaan, masukin bola dalam keranjang, ayunan, dan lain-lain tanpa lelah ke sana kemari dengan riang. Saya yang mengawasi hanya terus memberi semangat, “ayo, coba semua!”.

Breeaak”, suara pintu rumah-rumahan plastik terbanting dengan keras dari belakang, cukup mengagetkan saya. Seorang bocah laki-laki dengan kasar membuka lalu menutup gagang pintu plastik berkali-kali. Astaghfirullah. Setelah puas, ia kemudian mendatangi ayunan yang baru saja dinaiki si sulung. Dengan agak memaksa ia meminta ayunan tersebut dan menaikinya. Saya mencoba melerai, “Eh, mas yang sabar ya. Gantian ya!” ucupku dengan senyum. Namun, seolah tidak peduli terus saja ia memaksa. “Ya, sudah mbak Raisa yang ngalah ya. Itu masih ada mainan yang kosong, sana!”, mencoba membujuk si sulung.

Saya sangat yakin bahwa setiap anak saat dilahirkan ke dunia ini tidak ada sedikitpun di dalam pikirannya berniat akan kasar, egois, kebut-kebutan, merokok, dan pemarah saat besar nanti. Sedikit pun. Mereka adalah pencontoh yang ulung. Apa yang mereka lihat dan rasakan dalam keluarga, pada prilaku kedua orangtua dan saudara-saudaranya menjadi refrensi untuk melakukan hal yang sama. Apakah yang dilakukan si bocah tadi adalah gambaran dari kondisi dalam keluarganya?, kemungkinan besar iya. Mungkin itulah yang disaksikan sehari-hari. Anak-anak adalah cermin dari keluarga.

Masih ada satu anak laki-laki berpenampilan cukup nyentrik. Dengan potongan rambut pendek bagian atas dan samping kiri kanan, namun, membiarkan panjang di bagian belakang. Cukup agresif cara bermainnya, dengan menabrak-nabrakkan permainan  yang ia tumpangi kepada anak-anak yang lain. sesekali mendorong dan merampas. Seorang ibu muda dengan dandanan dan pakaian cukup mencolok mengeleng-gelengkan kepalanya, saat mencoba menasihati si bocah. Bukannya berhenti malah menjadi. Setelah anak-anak merasa puas, dengan menggendong si bungsu dan menuntun si sulung kami meninggalkan arena bermain, berkecamuk dalam pikiran saya, anak macam apa yang mereka inginkan dengan model dan gaya seperti ini?, entahlah.
*** 
Saat berkenalan dengan Ayah Edy melalui Medsos dan buku-bukunya, keyakinan saya semakin besar bahwa sesungguhnya anak-anak kita adalah produk dari rumah kita. Indonesia strong from home adalah benar adanya. Sebagai seorang guru, saya banyak menjumpai dan menangani anak-anak yang bermasalah di sekolah berawal dari rumah, dengan seribu satu macam problematika rumah tangga di dalamnya. Hampir pasti. Sementara mereka yang berprestasi, berakhlak mulia, dan taat tata tertib sekolah rata-rata berasal dari keluarga-keluarga yang harmonis, cukup mendapatkan limpahan kehangatan cinta orangtua.

Seorang remaja putri dengan wajah yang cukup cantik dan pintar di kelas, selalu mengalami “gangguan jiwa” saat di sekolah. Dengan tiba-tiba meraung-raung dan meronta-ronta dengan mata yang melotot mengdaduhkan suasan kelas. Seperti penyakit ayan. Beberapa siswa menangis, ketakutan dan sebagian merasa was-was. Setelah diusut, menunjukkan ketertekanan anak ini atas ketidakharmonisan kedua orangtua. Keduanya sibuk dengan urusan masing-masing dan lupa akan kewajiban terhadap kasih sayang anak. Saat terlambat sekolah, saya menanyakan mengapa ketiduran? Mengapa begadang, main game dan apakah orang tidak melarang dan membangunkan? “saya tidur sendiri kok, bapak ibu mana peduli saya main game, mau tidur, begadang, terserah saya.” Jawaban yang membuat saya sedikit masygul. Jawaban yang cuek, namun lambat-lambat matanya mulai sembab. Merasa tidak mendapatkan perhatian orangtua.

Saya juga menjumpai di tempat mengajar. Remaja putra, Berbadan kurus, tidak pernah paham hampir semua mata pelajaran, rambut sering dipotong punk dan dibatik-batik di sisi kira-kanannya. Ada kebiasaan unik saat mengikuti pelajaran; jari-jarinya tidak pernah lepas dari polpen seperti mengapit rokok, lalu berimajinasi seperti layaknya perokok, mengisap dan mengepulkan asapnya. Dilakukan dengan santai di kelas. setelah bicara empat mata, dari hati ke hati, sang anak mencoba terbuka tentang kondisi keluarganya. Tidak begitu tahu dimana ayahnya sekarang. Tidak jelas berapa bersaudara, seolah-olah bingung ada berapa anggota keluarganya. Lingkungan pergaulan yang bebas, bergaul dengan remaja yang lebih dewasa. Terbiasa merokok dan sesekali menegak minuman keras. Meskipun sudah berhenti mabuk saat ini. Salah siapa? Entalah.

Kisah lainnya, remaja putri dengan perubahan fisik yang lebih cepat dari teman sekelas dan kelas yang didudukinya menunjukkan keterlambatannya sekolah. Baru seminggu di sekolah yang baru, namun telah menjadi trending topik. Pasalnya, selain tidak bisa mengikuti pelajaran, juga dari sisi akhlak, pergaulan, kesopanan, dan religiusitasnya pun raport merah. Puncaknya saat saya mengecek konten handphone miliknya yang dititipkan, terpapar dengan jelas di inbox sms, dialog adengan seks dengan teman laki-lakinya. Semunya tertulis dengan vulgar, tanpa ada rasa risih. Akhirnya, pihak sekolah melayangkan Undangan orangtua, namun yang datang adalah orang lain. orang yang selama ini mengadopsinya, pun dari adopsi orang lain. Entah dimana orangtua aslinya, bagaimana kabarnya, apa pekerjaannya, dan semua pertayaan tentang identitas dirinya, semunya tidak ada yang jelas. Suram. Sesuram masa depan yang akan dilaluinya.
Ya, keluarga. Semuanya berawal dari keluarga. Keluarga pun tidak terbentuk secara tiba-tiba, keluarga yang buruk lahir dari keluarga yang buruk pula. Dan kita selalu saja berputar-putar di mata rantai syaitan ini. Harus ada yang memutus mata rantai ini. Siapa pun kita. Sebagai bentuk usaha kepedulian kita akan nasib mereka yang jadi korban, insyaallah saya sedang menyiapkan naskah buku, “Mereka yang terbuang dan yang dibuang”. Agar kesadaran kita pulih kembali dan melihat realitas yang sebenarnya yang tersembunyi di bawah puncak gunung es. Lalu kita memulai dari keluarga-keluarga kecil kita.     




      

Tidak ada komentar:

Posting Komentar