Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Minggu, 05 Juli 2015

Keluarga Cinta Sampah

Syahrul*
Suatu sore istri saya heboh menceritakan bersihnya masjid yang mereka singgahi sepulang dari study tour sekolah. Halaman yang asri, MCK yang bersih, karpet yang harum, dan furnitur yang modern. Kekaguman yang sama juga pernah saya dengar dari beberapa rekan guru, sepulang meraka dari tugas sekolah. Kekaguman akan sebuah tempat yang bersih. Setiap mendengar kisah-kisah seperti ini, selalu saja hati ini geram sekaligus miris. Bagaimana tidak, negara yang jumlah muslimnya mayoritas dan terbesar sedunia ini begitu asing dengan tempat yang bersih? Seolah-olah “tempat bersih” adalah tempat langka di negeri ini?. Dan kita ada di negeri ini, belum bisa berbuat banyak.



Cerita-cerita dari negeri seberang selalu saja mengagumkan dan menambah tumpukan mimpi akan sebuah negeri yang bersih. Sebut saja Singapura, negara kecil dengan keindahan dan kebersihan lingkungan yang mengagumkan dunia. China, Jepang dan sejumlah negara-negara Eropa lainnya pun ceritanya tidak jauh berbeda. Mengagumkan. Yang notabenenya bukan negara Islam, negara sekuler, komunis dan penyembah matahari.

Padahal Islam adalah agama yang memiliki doktrin hidup bersih yang kuat. Bahkan keimanan seseorang dikaitkan dengan komitmen mereka terhadap kebersihan. Sejak kecil anak-anak diajarkan di taman-taman pendidikan al-Qur’an bahwa kebersihan sebagian dari iman seseorang. An-Nadzafatu min-al-iman. Bahkan Islam mewajibkan kepada kaum muslimin bersuci terlebih dahulu dari hadas dan najis sebelum menghadap Tuhan. Belum lagi, banyak kitab-kitab fiqih ulama yang mengawali pembahasannya kitabnya pada bab thaharah (bersuci). Lalu mengapa kita masih susah menjumpai keindahan ini?

Dalam beberapa kesempatan saya dengan sengaja mengawasi dan memperhatikan anak-anak sekolah saat mereka jajan. Sambil makan dan bercanda dengan teman mereka, tiba-tiba, plung, plung, plung. Sisa-sisa jajanan dan bungkusnya dibuang seenaknya saja. Tanpa ada sedikit pun rasa bersalah, dan rasa canggung bekas-bekas sampah jajanan yang berserakan di sekitar mereka ditinggalkan. Mengelus dada. Ini bukan hanya satu tempat dan satu kasus, bahkan hampir terjadi setiap hari, dan ironisnya lagi, pelakunya pun pelajar bahkan mahasiswa. Pendidikan kita belum berhasil menyatukan antara nilai dan perbuatan karena minim contoh.

Suatu hari sepulang dari kuliah, seperti biasa, jalan Jogja-Magelang di akhir pekan terlihat sedikit macet, kendaraan ke luar kota lancar merayap. Tiba-tiba jendela kaca mobil mewah yang ada di sampin motor saya terbuka, lalu muncul kepala seorang ibu dan plung.... empat kotak bekas minuman meluncur jatuh di atas aspal hitam. Astaghfirullah. Beberapa detik saya tertegun, entah mau berbuat apa, sambil tetap menatap dengan tajam kaca jendela mobil tempat keluarnya sampah tersebut. Seandainya buka karena bunyi klakson kendaraan belakan yang mulai menyalak, ingin rasanya saya ambil sampah itu lalu saya kembalikan ke mobil mewah tersebut. Ironis.

 ***
Setiap tahun kita selalu saja berhadapan dengan musibah dan bencana alam yang hampir selalu disebabkan oleh air, sungai dan sampah. Padahal air adalah sumber kehidupan, sungai adalah salah satu kenikmatan surga yang disebutkan Allah dalam al-Qur’an. Sungai-sungai kita jadikan tumpahan segala kekotoran dan sumpah serapah. Maka air dan sungai kemudian membalas dengan banjir bandang yang menghancurkan setiap tempat yang dilaluinya. Hubungan macam apa yang sedang kita bangun dengan alam ini. Sementara negara-negara maju sedang membangun peradaban sungai dalam tata ruang kota mereka.

Masih ingat dengan cerita dari guru saya, bahwa sesungguhnya gambaran surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai itu ditangkap dan diterapkan di beberapa negara maju. Mereka ketika membangun rumah atau hotel selalu menghadap ke sungai, mereka ingin mengambil manfaat dari sungai, dengan menikmati keindahan sungai, gemericik airnya. Maka sungai-sungai itu mereka jaga kebersihanya dan kejernihannya secara bersama-sama. Peradaban sungai. Sementara kita selalu membelakangi sungai, sungai adalah tempat pembuangan kotoran dan limbah. Maka sungai menjadi kotor, bau dan tempat tumpukan sampah yang menggunung.

Siapa yang salah? Apakah pendidikan kita, yang lebih mementingkan kecerdasan inteletual semata, ataukah salah masyarakat yang acuh, atau keluarga yang abai dengan pendidikan anaknya? Tidak akan selesai jika mencari kambing hitam atas masalah ini. Yang paling utama adalah setiap kita hendaknya menjadi bagian dari solusi. Jika kita tidak mampu mendidik masyarakat, atau anak-anak mereka, maka mari kita mulai dari hal yang paling dekat dengan kita, yakni keluarga dan anak-anak kita sendiri. karena kekuatan perubahan berangkat dari rumah ke rumah. Indonesia strong from home, kata Ayah Edy.

Namun, sayangnya sekularisasi pendidikan kepada anak-anak kita terkadang tidak hanya terjadi di sekolah bahkan di rumah atau orangtua pun mengajarkan agama tidak secara holistik. Sehingga anak-anak kita tumbuh dengan pikiran bahwa mengamalkan agama atau menjadi anak yang shaleh itu jika kita rajin shalat, puasa, ngaji dan seabrek doktrin keagamaan yang lain. kita jarang memasukkan nilai cinta binatang, menjaga lingkungan, membuang sampah pada tempatnya juga merupakan bagian dari agama ini yang akan mendapatkan pahala dan ganjaran dari Allah sama dengan ibadah-ibadah mahdha lainnya. Di masjid adalah urusan agama, selain itu urusan dunia. Urusan agama jangan dibawa-bawa ke urusan dunia. Selesai. Ini tentunya sangat berbahaya.

 ***
Perubahan harus dari rumah kita sendiri, maka sejak anak pertama kami lahir, selain mengajarkan praktik-praktik ibadah yang wajib juga saya tanamkan secara kuat bahwa mencintai tanaman, tidak buang sampah sembarangan adalah bagian dari agama, yang Allah juga cinta terhadap pelakunya. Pada kesempatan tertentu anak-anak saya ajak melihat sungai yang bersih dan jernih, di waktu yang lain melihat kondisi sungai yang kotor dan bau dengan tumpukan sampah. Saya memancing dengan pertayaan perbandingan, “Enak nggak sungai yang bersih?,” “Mengapa ada sungai yang kotor?,” “Kalau sungai bersih apa yang mbak Raisa bisa manfaatkan?,” “Kalau sungai kotor, buang sampah di sungai apa yang akan terjadi?”, dan berbagai pertayaan yang memancing sikap kritis anak terhadap keadaan yang terjadi. Sampailah pada titik nasihat ajakan, “Mau nggak mbak Raisa menjaga sungai?.” “Siap abi...” jawabnya mantab

Seperti biasa selepas upacara bendera 17 an, kondisi lapangan akan terlihat semrawut dengan jutaan sampah bersleweran memenuhi lapangan. “Mbak, bagus ngga lapangannya?.” “Ehm, nggak abi.” “Kenapa?.” “banyak sampahnya.” Dan setiap melihat kondisi yang kotor maka akan selalu saya pancing anak-anak untuk mengomentarinya agar tumbuh sanse of belonging dan sebagai bentuk protes atas prilaku membuang sampah sembarangan.

Anak-anak juga saya latih untuk membuang sampah pada tempatnya. Saat menguyah permen di kendaraan motor, selalu saya berpesan untuk tidak membuang kulitnya sampai kami menemukan tempat sampah. Setelah melihat tempat sampah dari kejauhan, baru kemudian Raisa saya suruh berjalan dan membuang bungkusnya di tempat yang telah disediakan, meskipun banyak sampah berserakan di sepanjang jalan menuju tempat sampah. Pembiasaan seperti ini ternyata cukup memuaskan, lama-kelamaan anak-anak terbiasa dan jika tidak menemukan tempat sampah maka kantong baju akan menjadi tempat alternatif pembuangan sementara.

Bukan hanya membiasakan, tetapi kami juga harus siap menjadi contoh. Komitmen untuk tidak membuang sampah sembarangan, menjaga kebersihan lingkungan dan rajin bersih-bersih lingkungan selala kami jaga. Pernah suatu sore Raisa dan adiknya yang berumur 1,5 tahun saya ajak ke halaman rumah sambil membawa sapu. Sambil menyapu halaman saya mengajak Raisa mengambil serok kemudian menyerok sampah yang sudah terkumpul lalu dibuang pada tempatnya. Momen bersih-bersih bersama dengan suasana gembira selalu menjadi ajang untuk menanamkan pada anak-anak nilai-nilai peduli pada lingkungan. Kalau bukan kita siapa lagi.
 “Mbak Raisa, tahu nggak kalau Allah sayang lo sama orang-orang yang menjaga lingkungan? pungut sampah juga dapat pahala dari Allah loh,” seruku memancing.
 “oo, Berarti adik tidak disayang Allah donk bi? Celetuk Raisa.
 “kenapa?.”
“kan nggak ikut bersih-bersih.” Jawabnya polos.
 “Oo, ya nggak, kan adik masih kecil” jawabku sambil tersenyum.
“Iya bi, Raisa mau disayang Allah, jadi Raisa rajin bersih-bersih.” “Hebat deh!” dua jempol mengarah ke Raisa.

Subhanallah, percakapn yang sungguh mengasyikkan disenja itu. Dan sangat luar biasa Putri kami yang baru berusia 4 tahun, sepanjang pengamatan saya belum pernah membuang sampah sembarangan. Bahkan terkadang mampu mengingatkan adiknya. Tetapi, masih tersisa beberapa hal dari pelajaran mencintai kebersihan ini, diantaranya Sense untuk memungut sampah yang berserekan masih belum muncul secara refleksi, meskipun jika diingatkan akan dilakukan. Dan cara mengelola sampah yang baik dan benar agar berdaya guna. Semoga dengan berjalannya waktu akan lahir generasi-generasi yang tidak hanya bersih hatinya tapi juga bersih tubuh dan lingkungannya. Ya, dari rumah-rumah kita. Keluarga-keluarga “cinta sampah.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar