Oleh Syahrul*
Memiliki anak seorang penghafal al-Qur’an
mungkin menjadi keinginan semua kita, tidak terkecuali saya pribadi. Meskipun
saya dan istri tidak terlahir dari keluarga penghafal, namun keinginan akan
anak-anak yang menjaga al-Qur’an dalam hati dan pikirannya terpatrit dalam
setiap komitmen kami. Saya sendiri, meskipun sempat pernah mencicipi menghafal
al-Qur’an namun, mentok berhenti di Juz delapan. Setelah itu berlahan namun
pasti hafalannya satu persatu rontok dan menghilang ditelan usia dan kesibukan bekerja, hingga tersisa
satu dua juz. Sementara istri sendiri berasal dari sekolah umum yang tentunya
tidak ada tuntutan menghafal al-Qur’an.
Dalam banyak hadis, Banyak keutamaan yang akan
diperoleh para penghafal al-Qur’an. Hafidz atau penghafal al-Qur’an tidak hanya
akan menyelamatkan dirinya di akhirat namun, orangtua pun akan mendapatkan
pertolongan. Dalam hadis disebutkan, dari Buraidah Al Aslami ra, ia berkata bahwa ia mendengar
Rasulullah Saw. bersabda “Siapa yang membaca al-Quran, mempelajarinya dan
mengamalkannya, maka dipakaikan mahkota dari cahaya pada hari kiamat, cahayanya
seperti cahaya matahari, kedua orang tuanya dipakaikan dua jubah (kemuliaan),
yang tidak pernah didapatkan di dunia, keduanya bertanya: mengapa kami
dipakaikan jubah ini? Dijawab “Karena kalian berdua memerintahkan anak kalian
untuk mempelajari al-Quran”. (HR. Al
Hakim).
Sebagai orangtua, siapa yang tidak ingin jubah
kemulian dari Allah?. Sempat berkali-kali merenung tentang hakikat memiliki
anak. Apa sih sebenarnya yang kita inginkan dari seorang anak? apa
manfaatnya bagi kita?, sehingga kita rela mempertaruhkan hidup dan mati,
membunuh rasa lelah dalam melayani mereka, dan rela banting tulang peras
keringat mencarika rezeki buat mereka. Hartanya kah? Hem, untuk apa
harta di masa tua kita?. Pujian orang atas kehebatan anak kita kah?, hem,
apalah arti pujian saat kita sudah mati kelak. Atau kah kedudukan dan jabatan
yang tinggi?, hem, kedudukan kadang hanya jadi fitnah.
Satu-satunya yang pantas dan layak kita
harapkan dari anak-anak kita kelak sesungguhnya adalah bakti dan ketaatan
mereka dikala usia senja, doa-doa meraka saat kita sudah di alam barzakh, dan
mahkota kemulian atas penjagaannya terhadap al-Qur’an di akhirat kelak. Bagi
saya itu lebih dari cukup. Sementara harta kekayaan, profesi yang wah, dan jabatan
yang tinggi biarlah mereka nikmati. Cukup, cukup, cukup lah, kesholehan mereka yang mengantarkan keridhaan
Allah kepada kedua orangtuanya.
Memiliki anak-anak penghafal al-Qur’an tidak
semudah membalik telapak tangan. Ada usaha dan strategi yang cantik yang harus
dimiliki orang tua, di samaping yang tidak kalah pentingnya adalah contoh
teladan. Semenjak putri kami berusia tiga tahun dan sudah bisa diajak untuk berdialog
dan bermusyawarah, kami ajukan tawaran apakah sudah siap atau mau untuk diajari
baca al-Qur’an. Setelah menyatakan kesedian mulailah kami mengajarkan membaca
al-Qur’an.
Satu persatu kami mengenalkan huruf-huruf
hijaiyah dengan disiplin. Kami melakukannya dengan kompak, jika istri tidak
bisa karena pekerjaan lain, maka saya siap menggantikan. Sehingga jadwal yang
sudah disepakati berjalan dengan konsisten, habis Maghriban dan Subuhan. Kami
sadar dunia anak adalah dunia bermain dan secara psikologi tidak boleh ada
unsur pemaksaan dalam belajar, maka kami selalu menciptakan suasana bermain
sambil belajar.
*****
Putri kami yang pertama memiliki kelebihan
dibandingkan anak-anak seusianya. Kemampuan berjalan dan berbicara lebih cepat,
dan sedikit lebih aktif bergerak. Sehingga tidak bisa begitu fokus saat harus
duduk berlama-lama saat membaca iqra. Satu dua baris, sudah ingin bergerak ke
sana kemari. “Fakus to!. Mainnya sebentar lagi!” terkadang
umminya menimpali. Hal ini sebenarnya wajar bagi seorang anak berusia tiga
tahun. Yang harus dilakukan adalah mencari solusi agar pembelajaran menjadi
menyenangkan.
Ada sebuah artikel yang cukup menarik, di situ
dijelaskan seorang anak yang memiliki kecerdasan kinestetik, suka renang. Anak
tersebut diberikan soal matematika kemudian diperintahkan berenang ke ujung
kolam kemudian kembali dengan jawaban telah selesai. Berhasil. Hem,
menarik. Malam itu saya mencoba mempraktikkan dengan menyuruh umminya duduk di
ujung masjid, sementara saya di ujung yang berlawanan. Setelah putri kami
menyelesaikan satu dua baris, ia akan berlari ke saya untuk tos-tosan
tangan lalu kembali ke umminya melanjutkan. Alhamdulillah, sukses.
Pada usia empat tahun, putri kami sudah mempu
menyelesaikan iqra’ enam dan sekarang sedang menyelesaikan juz tiga.
Bertambahnya usia, menambah kefokusan putri kami, sehingga lama-kelamaan,
metode lari-lari sudah tidak kami terapkan lagi. Meskipun terkadang masih
muncul, namun motivasi dan apresiasi terus kami lakukan. Kami membelikan sepeda
saat Raisa menyelesaikan iqra enam, karena itu janji kami sebelumnya. Begitu
pula janji-janji yang lain selalu kami tepati.
****
Bagaimana proses menghafalnya?. Pada prinsipnya
sama, tidak ada paksaan dan harus dalam kondisi nyaman atau bermain. Metode
“Hafidz On The Street” lah yang kami pilih atau metode HOTS. Menghafal saat di
jalan. Entah dari mana metode ini muncul, saya juga tidak begitu tahu. Maka
setiap kali Raisa berangkat ke Play Group, sepanjang perjalanan umminya akan
memandu hafalan Raisa.
“A’uzdubillahi mina-syaithanirrajim”,
umminya memulai.
“Bismillahirrahmanirrahiim”, Raisa
langsung nyambung.
“Alam tara kaifa....?”
“Fa’ala rabbuki bi ash-habil fiil. Alam
yaj’al kaidahum fi., fi.., ”, diam karena lupa.
“fi tadhlil”, umminya menimpali.
Begit terus, secara bergantian kami konsisten
melakukannya. Bahkan bukan hanya saat ke sekolah saja, namun disetiap
kesempatan naik motor kami selalu mengisinya dengan hafalan. Baik yang baru
atau pun sekedar cek dan menguatkan hafalan yang lama. Pada awalnya kami yang
memancing, lama-kelamaan, kami yang diingatkan oleh Raisa, “Bi... Raisa mau
hafalan”, ucapnya saat kami di atas motor hendak ke Jogja. Subhanallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar