Syahrul, M.S.I*
Suatu
waktu sebuah perusahan yang bergerak dalam pelayanan jasa dilingkupi rasa takut
dan gelisah. Pasalnya, beredar berita bahwa perusahan tahun ini mengalami
penurunan peminat. Banyak efek domino yang akan ditimbulkan, maka muncul
bayang-bayang yang menakutkan, mulai dari nama baik perusahaan yang merosot,
pengurangan gaji karyawan, pemecatan atau PHK, sampai pada penutupan. Siapa
yang tidak kuatir ketika bayang-bayang kesusahan sudah menggulung-gulung di
atas langit siap untuk menghujani denga apa saja yang berada di bawahnya.
Jadi
pengangguran lagi, gaji yang sebelumnya saja tidak mencukupi lalu bagaimana
jika dipotong, siapa yang akan membayari cicilan kendaraan, bagaimana sekolah
anak-anak, dan sejuta gundah gulana menghantui para karyawan. Kuatir dan cemas
adalah sifat yang dimiliki semua manusia. Itu wajar saja. Bagaimana halnya
kekuatiran Rasulullah saw saat akan menghadapi musuh pada perang Badar. Dalam
kondisi peperangan yang tak seimbang. Namun, bedanya, kita dalam urusan perut
dan dunia yang fana ini, sedangkan kecemasan Rasulullah berkaitan dengan agama
ini.
Kemunduran
perusahaan tidak lepas dari persaingan yang semakin kompetitif. Banyak
terobosan-terobosan baru yang dilakukan perusahaan-perusahaan kecil dalam
mengait komsumennya, yang selama ini tidak ada di perusahaan besar lainnya. Di
dunia usaha yang semakin menjamur, mengantarkan konsumen pada banyak pilihan.
Bahkan sarana beribadah menyembah kepada Tuhan pun bisa milih. Sehingga
perubahan dan terobosan baru menjadi niscaya, jika tidak, maka bersiaplah untuk
ditinggalkan.
Tanpa
bisa dipungkiri, kekuatiran kita hanya berkisar tentang kehidupan dunia ini,
takut miskin, tidak punya pekerjaan, tidak punya jodoh, dan seabrek urusan
dunia lainnya. Dan amat jarang kita jumpai orang-orang yang mati-matian
mengejar akhirat karena kuatir akan celaka di sana. Hal ini sudah disampaikan
oleh Allah dalam surat al-Baqarah ayat 155. “Dan sungguh
akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Mengapa
muncul rasa kuatir? Karena kita salah memilih sandaran hidup. Apa yang terjadi
jika seseorang menyandarkan nasibnya pada manusia, menggantungkan rezekinya
kepada pekerjaannya, dan memasrahkan kebahagian dan jodohnya pada lembaran
uang?. Maka hidupnya akan selalu kuatir. Kehilangan pekerjaan, uang dan
kedudukan bagaikan kiamat dalam hidupnya.
Bagi
seorang muslim, ketika segala sesuatu disandarkan pada Allah, maka tidak layak lagi
baginya menyisakan rasa kuatir tentang hidup ini. Kehilangan pekerjaan,
penghasilan dan harta bukanlah akhir, selama tidak kehilangan iman dan
keyakinan kepadaNya. “Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi
melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (Q.S. Hud: 6). Semua telah
Allah tetapkan rezekinya termasuk manusia seperti dalam tafsir as-Saadi.
Yang
perlu dikuatirkan adalah hilangnya baik sangka atas ketetapanNya dan pesimis
atas rahmatNya. Kurang semangat dalam bekerja, kurang jujur dan amanah, dan
tidak mengubah dirinya untuk lebih baik lagi. Mensinergikan antara doa dan
usaha, setelah itu pasrahkan kepadaNya. Dan sungguh terasa tenang hati ini
ketika hasil dari sebuah usaha keras diserahkan kepada kehendakNya, sehingga
apa pun hasilnya akan diterima sebagai suatu kebaikan. “apabila
kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” (Q.S. Ali
Imran: 159).
Jika
usaha sudah maksimal maka bertawakkallah kepada Allah. Karena segala yang
menjadi ketetapan Allah itu lah yang terbaik bagi manusia, meskipun itu sesuatu
yang menyakitkan. Karena bisa jadi pada yang menyakitkan itu terdapat pelajaran
dan hikmah yang banyak. Masih teringat pesan salah satu ustad, bahwa bukanlah
dikatakan suatu itu musibah jika ia mengantarkan kepada kebaikan, dan tidak
pula dikatakan sesuatu itu sebagi kenikmatan jika mengantarkannya semakin jauh
dariNya. Gagal dan jatuh miskin mampu menjadikan kita semakin dekat kepadaNya
pada hakikatnya adalah kenikmatan. Sukses dan kaya raya lalu menjadikan kita sombong, anggkuh dan semakin jauh
dariNya, pada hakekatnya itu lah bencana dan musibah.
Subhanallah, selain ketenangan hati yang kita peroleh dari buah kepasrahan
kepadaNy, Allah juga akan mencintai orang-orang yang bertawakkal. Maka siapakah
yang bisa menyakiti dan mengalahkan kekasih Allah?, sementara milik Allah lah
segala yang di langit dan di bumi ini. Mungkin ini lah yang dirasakan oleh nabi
Musa ketika diperintahkan untuk mendakwahi Fir’aun, bapak angkatnya sendiri. Setelah
meminta dimudahkan hati dan lisannya, Tanpa kuatir sedikit pun, Musa as
berangkat. Begitu pula saat nabi Ibrahim akan dilemparkan ke dalam api yang
bergejolak, tidak sedikit pun Ibrahim as gentar. Atas iziNya api menjadi
dingin, “Wahai api, Dinginlah!”.
Ketika
sahabat Abu Bakar dilingkupi perasaan takut dan kuatir akan ketahuan
bersembunyi dalam goa bersama nabi, Rasulullah denga tenang dan mantab
menguatkan sahabatnya, “Sesungguhnya Allah bersama kita.” Ketika Allah
sudah berpihak kepada kita lalu apa lagi yang perlu dikuatirkan?. Kalau kita
mau jujur, tidak ada kekuatiran yang kita alami melebihi kondisi-kondisi yang
dialami oleh Musa as, Ibrahim as, Muhammad saw dan para kekasihNya.
Kalau
kita kembali membuka pelajaran waktu sekolah dulu, terlalu banyak sekali
kisah-kisah teladan manusia-manusia yang hilang rasa takutnya karena Allah.
Namun, sayang pelajaran itu hanya tinggal hafalan tanpa bisa kita rasakan dalam
kehidupan. Maka, tidak ada kata terlambat untuk kembali mempertebal keyakinan
dan keimanan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar