Ngomongin mati atau kematian kebanyakan orang berusaha menghindari
tema ini. Mati seolah-olah peristiwa yang menakutkan dan sebaiknya nggak usah
sering-sering diingat dan disebut. Alasan klasiknya adalah belum siap. Aneh sih,
seolah-olah kematian datang pake permisi dan nunggu sampai siap dulu. Padahal
sebaliknya, siap atau tidak, muda atau tua, dalam kebaikan atau keburukan dan
dalam kondisi apa pun jika waktunya telah tiba, tidak ada yang bisa menolak. lâ
yastakhirûna sâa’tan walâ yastaqdimûna.
Banyak
alasan untuk tidak mengatakan "tidak siap", teman saya yang di waktu sore
masih segar bugar bermain bola, tanpa permisi terlebih dahulu meninggalkan dunia ini untuk
selamanya jam 02.00 dini hari di usia yang relatif masih muda. Tetangga yang
sore hari masih terlibat ngobrol pun tanpa permisi mengahadap Tuhannya dalam
hitungan jam. Bisa jadi saat ini masih segar bugar namun, hitungan jam kemudian bisa
jadi jasad kita sudah kaku dinging tanpa ruh. Innâlillâh.
Dalam
keadaan sendiri atau setelah mengantarkan jenazah seseorang terkadang muncul
kegelisahan dan kegundahan dalam diri. Sudah siapkah saya untuk menghadapNya
saat ini. “Belum ya Allah.” “Lalu kapan siapnya?” “ehm...
nantilah, kalau sudah banyak amal,” “kapan mau beramalnya?” gejolak batin
yang tidak berhenti mengiang-ngiang dalam benak sembari membayangkan
saat-saat jenazah diturunkan dari arah kaki menuju liang lahat. Perlahan tubuh
kita dimiringkan dengan bongkahan tanah menghadap kiblat, lalu satu persatu
tali kafan dilepas dan dilonggarkan dan bagian wajah kita dibuka. Liang lahat
kemudian ditutupi dengan papan atau sejenisnya lalu guyuran tanah terdengar semakin lama
semakin banyak membentukan gundukan tanah. Gelap.
Astaghfirullah. Terkadang ngeri untuk membayangkannya, namun pasti. Berapa lama
kah lagi?, usia umat nabi berkisar 60 sampai 70 tahun, dan sangat jarang yang lebih dari itu, dan usia nabi 63 tahun.
Anggaplah usia kita seusia nabi, sisanya sebagai bonus, maka mari kita
menghitung usia kita saat ini. Jika sudah berumur 30 tahun maka sisa usian kita
adalah 33 tahun lagi dalam keadaan normal, namun sangat mungkin kurang karena hari ini banyak penyakit-penyakit canggih bermunculan disebabkan gaya hidup tidak sehat yang menggrogoti jatah usia
kita. Duh, sebentar lagi.
Apa
yang sudah kita persiapkan untuk kiamat kecil ini, yang siap menjemput kapan pun
tanpa permisi. Terbayang deh ibadah shalat yang jarang khusunya,
ibadah puasa yang tak berbekas dalam kehidupan sehari-hari, belum zakat karena
tak berharta, haji yang entah kapan, sedekah yang itung-itungan,
perbuatan baik lainya yang terkadang masih mengharapkan pujian manusia.
Sementara dosa dan kemaksiatan saban hari tidak pernah absen menghiasi hadup
kita. Lidah yang lancar membicarakan orang lain, dan terkadang mudah saja
melukai hati orang namun, kelu dan jarang digunakan untuk berdzikir. Mata
yang selalu nanar melihat yang haram, pikiran yang jarang jernih membuat
keputusan yang merugikan diri dan orang banyak
Dengan
situasi seperti ini pantas untuk kuatir dan gawat darurat. Mengandalkan amal kebaikan
kayak-kayaknya belum bisa menjamin, harus ada terobosan pahala yang mengalir
terus menerus dan berkembang semakin
membesar. Investasi, ya investasi akhirat. Dalam hadis yang mulia Rasulullah membuka
peluang kepada kita berinvestasi. Seperti dalam salah satu hadis Nabi bahwa, “Jika
seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara
yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh”
(HR. Muslim no. 1631).
Mari
kita bedah satu-satu, pertama sedekah jariyah. Dalam kamus al-Munawwir
kata Jariyah adalah masdar dari kata jarâ berarti berlari,
berjalan dan mengalir. Sehingga sedekah jariyah adalah suatu pemberian yang kebaikannya
terus mengalir selama pemberian itu masih terus bermanfaat. Berinvestasi pada
proyek-proyek kebaikan tahan lama bisa dilakukan dalam kondisi apa pun dan
dalam jumlah berapa pun. Bagi Allah bukanlah banyaknya materi yang kita beri,
karena Dia pemilik langit dan bumi ini. Niat yang tulus serta semangat (azzam) yang
besar kita mendukung agamaNyalah yang dinilai, meskipun banyak lebih baik dari
sedikit, kuat lebih baik dari lemah.
Proyek-proyek
akhirat jangka panjang seperti ini tentunya banyak bahkan sangat banyak
menunggu uluran tangan kita. Satu batu bata yang menempel pada dinding
masjid yang digunakan puluhan manusia setiap
harinya menghadap Tuhannya, lalu membaca kitabNya, serta kebaikan-kebaikan
lainnya adalah sedekah kita. Subhanallah, silahkan dibayangkan!. Begitu lah
mungkin yang dirasakan oleh para sahabat Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khattab,
maupun Abdurrahman bin Auf yang tidak pernah ragu sedikitpun demi kebaikan dan
agamaNya.
Kedua
adalah ilmu yang bermanfaat, dan kabar gembiranya adalah kita tidak mesti harus
berilmu tinggi terlebih dahulu. hal ini ditegaskan dalam dalam hadis nabi, “Sampaikanlah
dariku walau satu ayat.” (HR. Bukhari). Seseorang yang berubah menjadi
lebih baik karena melalui perantaraan ilmu yang kita ajarkan dan sampaikan
sesungguhnya adalah investsi akhirat yang akan terus mengalir layaknya MLM. Maka
pantas Allah sangat membenci orang-orang yang suka menyembunyikan (kitman)
dan enggan berbagi ilmu kepada orang lain hanya karena takut tersaingi. Berbagi
lah sebelum semuanya berakhir.
Saya
teringat pada guru ngaji yang mengajari saya mulai dari nol, dari huruf alif,
kemudian mengeja dan menyambung huruf demi huruf sampai sang murid mampu
membaca al-Qur’an dengan baik. Tidak bermaksud untuk pamer (riya), kini
muridnya telah mengajarkan ilmu ngajinya kepada puluhan bahkan ratusan
siswa-siswanya dan dengan bekal ilmu al-Qur’an ini pula sang murud telah
menyelesaikan Megister Studi Islamnya di Yogyakarta. Subhanallah, sungguh balasan yang luar
biasa, pahala kebaikan ini akan terus mengalir dan membesar sepanjang hayat,
bahkan meskipun jasad sang guru sudah menjadi tanah. Itu baru satu murid,
bagaimana jika dua atau tiga?
Ketiga
adalah anak sholeh yang mendoakan. Tidak sembarang anak, hanya mereka yang mampu
melahirkan dan mendidik anak-anak mereka menjadi manusia-manusia yang shaleh lah
yang berhak mendapatkan kiriman kebaikan yang mengalir terus menerus. Sekali lagi
kabar gembiranya anak sholeh/sholehah tidak dilahirkan tapi dibentuk dan
dididik. Sehingga tidak serta merta anak sang kyai atau ustad ada jaminan menjadi
anak yang sholeh, bahkan anak nabi
sekali pun tidak, begitu pila sebaliknya.
Namun,
melahirkan dan mendidik anak menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah tidaklah
semudah membalik telapak tangan. Kerja yang melibatkan pikiran, hati dan
tenaga, apalagi tantangan zaman yang semakin tidak bersahabat dengan anak dan orang
tua yang semakin disibukkan dengan dunia dan seisinya. Jika sebagai orangtua
tidak hati-hati, bukan doa yang didapat tapi laknat (fitnah) dunia akhirat. Maka
kebahagian yang paling bahagia bagi seorang ibu atau ayah adalah melihat anak-anaknya
tumbuh dalam naungan Islam. Bibir-bibir mungil mereka melafadzkan ayat-ayat
Allah, lirih-lirih suara doa rabbighfirlî waliwâlidayya warhamhumâ kamâ
rabbayanî shaghirâ selepas shalat, terasa sejuk dan indah.
Saat ketiganya
sudah kita siapkan dengan baik, sudah saatnya kematian bukan hal yang
menakutkan lagi, matilah dengan tenang wahai jiwa yang tenang. Jika belum, maka
anda wajib untuk takut. Banyak mengingat mati lalu mempersiapkan diri
menghadapinya termasuk ciri orang yang cerdas menurut Rasulullah saw. Wallahu
a’lam bisawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar