Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Minggu, 14 Juni 2015

Matilah dengan Tenang!

oleh Syahrul*

Ngomongin mati atau kematian kebanyakan orang berusaha menghindari tema ini. Mati seolah-olah peristiwa yang menakutkan dan sebaiknya nggak usah sering-sering diingat dan disebut. Alasan klasiknya adalah belum siap. Aneh sih, seolah-olah kematian datang pake permisi dan nunggu sampai siap dulu. Padahal sebaliknya, siap atau tidak, muda atau tua, dalam kebaikan atau keburukan dan dalam kondisi apa pun jika waktunya telah tiba, tidak ada yang bisa menolak. lâ yastakhirûna sâa’tan walâ yastaqdimûna.


Banyak alasan untuk tidak mengatakan "tidak siap", teman saya yang di waktu sore masih segar bugar bermain bola, tanpa permisi terlebih dahulu meninggalkan dunia ini untuk selamanya jam 02.00 dini hari di usia yang relatif masih muda. Tetangga yang sore hari masih terlibat ngobrol pun tanpa permisi mengahadap Tuhannya dalam hitungan jam. Bisa jadi saat ini masih segar bugar namun, hitungan jam kemudian bisa jadi jasad kita sudah kaku dinging tanpa ruh. Innâlillâh.

Dalam keadaan sendiri atau setelah mengantarkan jenazah seseorang terkadang muncul kegelisahan dan kegundahan dalam diri. Sudah siapkah saya untuk menghadapNya saat ini. “Belum ya Allah.” “Lalu kapan siapnya?” “ehm... nantilah, kalau sudah banyak amal,” “kapan mau beramalnya?” gejolak batin yang tidak berhenti mengiang-ngiang dalam benak sembari membayangkan saat-saat jenazah diturunkan dari arah kaki menuju liang lahat. Perlahan tubuh kita dimiringkan dengan bongkahan tanah menghadap kiblat, lalu satu persatu tali kafan dilepas dan dilonggarkan dan bagian wajah kita dibuka. Liang lahat kemudian ditutupi dengan papan atau sejenisnya lalu guyuran tanah terdengar semakin lama semakin banyak membentukan gundukan tanah. Gelap.

Astaghfirullah. Terkadang ngeri untuk membayangkannya, namun pasti. Berapa lama kah lagi?, usia umat nabi berkisar 60 sampai 70 tahun, dan sangat jarang yang lebih dari itu, dan usia nabi 63 tahun. Anggaplah usia kita seusia nabi, sisanya sebagai bonus, maka mari kita menghitung usia kita saat ini. Jika sudah berumur 30 tahun maka sisa usian kita adalah 33 tahun lagi dalam keadaan normal, namun sangat mungkin kurang karena hari ini banyak penyakit-penyakit canggih bermunculan disebabkan gaya hidup tidak sehat yang menggrogoti jatah usia kita. Duh, sebentar lagi.

Apa yang sudah kita persiapkan untuk kiamat kecil ini, yang siap menjemput kapan pun tanpa permisi. Terbayang deh ibadah shalat yang jarang khusunya, ibadah puasa yang tak berbekas dalam kehidupan sehari-hari, belum zakat karena tak berharta, haji yang entah kapan, sedekah yang itung-itungan, perbuatan baik lainya yang terkadang masih mengharapkan pujian manusia. Sementara dosa dan kemaksiatan saban hari tidak pernah absen menghiasi hadup kita. Lidah yang lancar membicarakan orang lain, dan terkadang mudah saja melukai hati orang namun, kelu dan jarang digunakan untuk berdzikir. Mata yang selalu nanar melihat yang haram, pikiran yang jarang jernih membuat keputusan yang merugikan diri dan orang banyak
Dengan situasi seperti ini pantas untuk kuatir dan gawat darurat. Mengandalkan amal kebaikan kayak-kayaknya belum bisa menjamin, harus ada terobosan pahala yang mengalir terus  menerus dan berkembang semakin membesar. Investasi, ya investasi akhirat. Dalam hadis yang mulia Rasulullah membuka peluang kepada kita berinvestasi. Seperti dalam salah satu hadis Nabi bahwa, “Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara yaitu: sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau do’a anak yang sholeh” (HR. Muslim no. 1631).
Mari kita bedah satu-satu, pertama sedekah jariyah. Dalam kamus al-Munawwir kata Jariyah adalah masdar dari kata jarâ berarti berlari, berjalan dan mengalir. Sehingga sedekah jariyah adalah suatu pemberian yang kebaikannya terus mengalir selama pemberian itu masih terus bermanfaat. Berinvestasi pada proyek-proyek kebaikan tahan lama bisa dilakukan dalam kondisi apa pun dan dalam jumlah berapa pun. Bagi Allah bukanlah banyaknya materi yang kita beri, karena Dia pemilik langit dan bumi ini. Niat yang tulus serta semangat (azzam) yang besar kita mendukung agamaNyalah yang dinilai, meskipun banyak lebih baik dari sedikit, kuat lebih baik dari lemah.
Proyek-proyek akhirat jangka panjang seperti ini tentunya banyak bahkan sangat banyak menunggu uluran tangan kita. Satu batu bata yang menempel pada dinding masjid  yang digunakan puluhan manusia setiap harinya menghadap Tuhannya, lalu membaca kitabNya, serta kebaikan-kebaikan lainnya adalah sedekah kita. Subhanallah, silahkan dibayangkan!. Begitu lah mungkin yang dirasakan oleh para sahabat Abu Bakar as-Shidiq, Umar bin Khattab, maupun Abdurrahman bin Auf yang tidak pernah ragu sedikitpun demi kebaikan dan agamaNya.
Kedua adalah ilmu yang bermanfaat, dan kabar gembiranya adalah kita tidak mesti harus berilmu tinggi terlebih dahulu. hal ini ditegaskan dalam dalam hadis nabi, “Sampaikanlah dariku walau satu ayat.” (HR. Bukhari). Seseorang yang berubah menjadi lebih baik karena melalui perantaraan ilmu yang kita ajarkan dan sampaikan sesungguhnya adalah investsi akhirat yang akan terus mengalir layaknya MLM. Maka pantas Allah sangat membenci orang-orang yang suka menyembunyikan (kitman) dan enggan berbagi ilmu kepada orang lain hanya karena takut tersaingi. Berbagi lah sebelum semuanya berakhir.
Saya teringat pada guru ngaji yang mengajari saya mulai dari nol, dari huruf alif, kemudian mengeja dan menyambung huruf demi huruf sampai sang murid mampu membaca al-Qur’an dengan baik. Tidak bermaksud untuk pamer (riya), kini muridnya telah mengajarkan ilmu ngajinya kepada puluhan bahkan ratusan siswa-siswanya dan dengan bekal ilmu al-Qur’an ini pula sang murud telah menyelesaikan Megister Studi Islamnya di Yogyakarta.  Subhanallah, sungguh balasan yang luar biasa, pahala kebaikan ini akan terus mengalir dan membesar sepanjang hayat, bahkan meskipun jasad sang guru sudah menjadi tanah. Itu baru satu murid, bagaimana jika dua atau tiga?
Ketiga adalah anak sholeh yang mendoakan. Tidak sembarang anak, hanya mereka yang mampu melahirkan dan mendidik anak-anak mereka menjadi manusia-manusia yang shaleh lah yang berhak mendapatkan kiriman kebaikan yang mengalir terus menerus. Sekali lagi kabar gembiranya anak sholeh/sholehah tidak dilahirkan tapi dibentuk dan dididik. Sehingga tidak serta merta anak sang kyai atau ustad ada jaminan menjadi anak yang  sholeh, bahkan anak nabi sekali pun tidak, begitu pila sebaliknya.
Namun, melahirkan dan mendidik anak menjadi anak-anak yang sholeh dan sholehah tidaklah semudah membalik telapak tangan. Kerja yang melibatkan pikiran, hati dan tenaga, apalagi tantangan zaman yang semakin tidak bersahabat dengan anak dan orang tua yang semakin disibukkan dengan dunia dan seisinya. Jika sebagai orangtua tidak hati-hati, bukan doa yang didapat tapi laknat (fitnah) dunia akhirat. Maka kebahagian yang paling bahagia bagi seorang ibu atau ayah adalah melihat anak-anaknya tumbuh dalam naungan Islam. Bibir-bibir mungil mereka melafadzkan ayat-ayat Allah, lirih-lirih suara doa rabbighfirlî waliwâlidayya warhamhumâ kamâ rabbayanî shaghirâ selepas shalat, terasa sejuk dan indah.
Saat ketiganya sudah kita siapkan dengan baik, sudah saatnya kematian bukan hal yang menakutkan lagi, matilah dengan tenang wahai jiwa yang tenang. Jika belum, maka anda wajib untuk takut. Banyak mengingat mati lalu mempersiapkan diri menghadapinya termasuk ciri orang yang cerdas menurut Rasulullah saw. Wallahu a’lam bisawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar