Oleh Syahrul, M.S.I
Sebagai makhluk sosial tentunya sangat rentan terjadi gesekan, perbedaan pandangan, buruk sangka, curiga, ghibah, dan ketidakharmonisan lainnya. Dan itu hampir pasti terjadi tidak dalam hitungan bulan atau tahun, namun terjadi dalam hitungan jam bahkan menit. Sehingga seharusnya meminta maaf dan memberi maaf pun tidak menunggu memon-momen tertentu yang terkadang terlalu lama. Sementara kita tidak tahu kapan menghadapNya. Urusannya akan ribet dan panjang sampai akhirat jika di dunia ini belum selesai.
Dalam hubungan dengan Allah (hablunminallah) kesalahan yang kita lakukan akan segera diampuni oleh Allah dengan cara bertaubat atau dengan melakukan berbagai kebajikan seperti berpuasa sunah. Sementara hubungan dengan manusia lainnya (hablunminanas) tidak serta merta selesai hanya dengan memohon ampunanNya, namun harus terlebih dahulu meminta keridhaan orang yang kita salahi atau dimaafkan. Karena relasi yang intens yang rawan terjadi kesalahan-kesalahan yang tanpa sengaja, maka Islam sesungguhnya mengajarkan kebesaran jiwa kepada pemeluknya dengan konsep memberi maaf. Memaafkan kesalahan orang tanpa harus dimintai maaf terlebih dahalu menunjukkan kualitas jiwa yang besar yang tidak semua orang bisa melakukannya. Oleh karena itu sifat ini hanya dimiliki oleh orang-orang yang bertaqwa sekaligus menjadi sifat penduduk surga.
Sebagaimana Allah pertegas dalam al-Qur’an, “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Ali Imran : 134). Dalam tafsir Ibnu Katsir sebutkan sebuah hadis bahwa nabi bersumpah kepada tiga hal, bahwa tidak akan berkurang suatu harta dengan sedekekah, kemulian akan bertambah bagi para pemaaf, dan derajat orang-orang yang tawadhu’ akan diangkat oleh Allah. Tidak akan menjadi rendah atau hina manusia yang gampang memaafkan hanya kemuliaan demi kemulian yang akan diperolehnya.
Subhanallah, bukan hanya di dunia ini namun di akhirat kelak para pemaaf diseru dengan panggilan penuh kemulian di hadapan seluruh manusia, diajak mendengkat kepada Tuhannya lalu dipersilahkan mengambil pahala kebaikannya, kemudian Surga yang penuh kenikmatan sudah menanti kedatangannya. Sungguh balasan yang setimpal, lalu apa lagi yang menghalagi kita untuk menunda. Berbuat baik kepada sahabat yang baik kepada kita itu biasa dan seharusnya seperti itu, semua orang pun bisa melakukannya. Namun, jika kondisinya dibalik, memaafkan orang yang selalu menyakiti dan membenci kita tanpa diminta? Sulit. Secara teoritis kelihatannya gampang, namun realitas kehidupan kadang harus bertarung dengan gengsi. Oleh karena itu maka pantas lah jika Allah memuliakan manusia-manusia seperti ini.
Saya pernah menjumpai di tempat kerja terjadi persinggungan antara satu karyawan denga karyawan yang lain yang kemudian memicu kebencian. Dan ternyata kebencian ini tetap dipelihara sampai bertahun-tahun, bahkan tidak saling mengundang dan mendatangi dalam acara-acara penting mereka. Dengan pendidikan yang tinggi dan status sosial yang terhormat ternyata tidak menjamin seseorang menjadi pemaaf.
Islam sangat memahami kondisi hati dan kebatinan yang tergores oleh prilaku orang lain, sungguh tidak mudah untuk memulihkannya. Oleh karena itu ada baiknya kita merenungkan hadis nabi yang terdapat dalam kitab Subulussalam yang diriwayatkan secara muttafaq alaihi, yang artinya “Tidak halal bagi seorang muslim meninggalkan (menyelisihi) saudaranya melebihi tiga hari, berpaling satu dengan yang lainnya saat bertemu, yang paling baik adalah yang memulai dengan salam.” Hadis ini menunjukkan batas kebolehan berselisih hanya tiga hari, setelahnya menjadi haram.
Shan’ani mejelaskan bahwa hikmah dibolehkannya berselisih selama tiga hari adalah agar seseorang mempersiapkan diri. Sangat manusiawi tentunya jika kita membutuhkan waktu untuk memulihkan hati yang terluka. Hari pertama untuk meredam kemarahan, hari kedua mendamaikan jiwa dan hari ketiga adalah saatnya memaafkan dan kembali bermuamalah seperti biasa.
Ada contoh yang sangat menarik yang diberikan oleh anak-anak kita. Saya pernah didatangi seorang kawan lama dengan membawa dua anak laki-laki, sementara saya sendiri ada dua. Dahsyat. Rumah jadi ramai, muncul konflik rebutan mainan sampai nangis-nangis. Namun, tidak lama berselang meraka akur kembali dan bermain bersama seolah-olah tidak pernah terjadi pertengkaran sebelumnya. Subhanallah, begitu cepat mereka melupakan semuanya. Mungkin ini lah yang menyebabkan Rasulullah sangat menyukai anak-anak.
Lalu mengapa kita tidak bisa? Sungguh jawabanya ada dalam hati kita masing-masing, mintalah fatwanya. Tidak ada perubahan tanpa latihan dan kerja keras. Ingin menjadi ahli sedekah, maka sedekah, sedekah, dan sedekah!. Ingin jadi ahli pemaaf, maka maafkan, maafkan dan maafkan meskipun awalnya sakit dan kepayahan, namun pada saatnya akan terbiasa. Meminta maaf adalah baik, memberi maaf jauh lebih baik. Meminta dan memberi maaf pada momen tertentu baik, tapi akan jauh lebih baik jika itu dilakukan setiap hari. Maaf, aku sudah memaafkanmu. Semoga Allah selalu membimbing kita. #Catatan Bulan Ramadhan (CBR/18/06/15)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar