Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Minggu, 07 Juni 2015

Memandikan Professor


Oleh Syahrul*
PARENTING. Ada kisah yang menarik yang selalu disampaikan oleh ustad Yusuf Mansur, baik melalui ceramah maupun tulisan-tulisan beliau yang sangat menggugah, khususnya bagi orangtua maupun calon orangtua. Tidak ada salahnya untuk mencoba, selama itu baik dan memungkinkan. Bagi penulis yang sudah dianugrahi dua anak, sudah mencoba dan berusaha tetap istiqamah mengamalkannya, dan subhanallah lambat namun pasti keajaiban-keajaiban itu muncul semakin lama semakin jelas.


Biasanya Ustad muda ini selalu bertanya kepada pembaca dan jama’ahnya dengan cara khas beliau, memancing antusiasme mereka tentang rahasia kesuksesan yang telah dicapainya. Setiap kita mungkin akan kagum dengan ustad sedekah ini. Berangkat dari masa lalu yang suram dari titik nol, menuju kesuksesan materi maupun  spritual yang menakjubkan. Dunia-akhirat in Sha Allah sudah dalam genggaman. Dengan bisnis patungannya bermimpi membangun hotel pemondokan yang megah di Arab Saudi serta berencana membeli pesawat sendiri khusus jama’ah haji. Mimpi yang tidak semua orang berani, tentunya beliau berani dengan perhitungan yang jeli dan keyakinan yang mantap kepada Allah, karena memang tidak mudah. Meski sempat bermasalah dengan hukum tapi, kita patut bersyukur memiliki sosok seperti beliau.

Ternyata kesuksesan beliau tidak tidak pernah lepas dari peran orangtua yang begitu besar dalam mendidik Yusuf Mansur kecil. Bibir sang ibu tidak pernah kering bershalawat kepada nabi saat memandikan, menyuapi dan melayani segala kebutuhan-kebutusan sang bayi. Pun lantunan doa-doa kebaikan kepada anaknya agar kelak sukses menghampirinya, doa agar sang anak bisa berangkat ke Mekkah melaksanakan haji dan umrah semudah melangkahkan kaki ke masjid. Sekali lagi, Subhanallah, pembaca bisa menyaksikan beliau hari ini lebih dari itu. Sungguh benar bahwa keridhaan Allah sangat bergantung dari keridhaan orangtua.

Nah, bagi kita para calon orangtua dan yang telah menjadi orangtua, apa yang bisa kita tiru dan ambil dari kisah ini. Bagi saya, kerjasama ayah dan ibu sangat dan teramat penting untuk disinergikan. Hari ini pola pengasuhan orangtua yang baik diricuhi dan diganggu oleh berbagai macam media hiburan. Menyuapin anak disambi nonton TV, memandikan anak disambi dengerin musik, bahkan sampai menyusui anak pun masih disibukkan dengan gedget di tangan. Mana sempat hati dan lidah ini mengingat dan berdoa kepada Allah?. Sehingga energi yang kita pancarkan adalah energi yang biasa-biasa saja bahkan cenderung negatif. Kita lah yang mengajari mereka sejak kecil tanpa sengaja asyik dengan dunianya sendiri dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.

Biasanya ketika melihat istri “bermain” HP saat menyusui, dengan nada yang tidak menyinggung saya selalu mengajak istri untuk berkomitmen kembali mendidik anak dengan cahaya ilahi. “Ummi, alangkah baiknya saat menyusui, ummi dalam kondisi hati dan pikirannya kepada Allah. Berdzikirkah, bershalawatkah, atau berdoakah. Meskipun air susu yang diminum anak-anak secara dhahirnya sama dengan air susu yang diminum oleh anak-anak lainnya tapi, kualitasnya beda. Dalam air susu ini mengalir doa, mengalir kalimat-kalimat ilahiah, mengalir shalawat kepada nabi dan semuanya adalah energi positif.  Akankah sama hasilnya?, biasanya dengan senyum masygul istri langsung menyimpan HP dan sedikit menggoda. “Ahh, Jenengan kok pinter?”, mencoba menggoda. Sambil senyum-senyum sendiri dalam hati, “Ummi, kita melayani secara prima anak-anak ini tidaklah lama, mungkin cuman dua tahun atau lebih sedikit, apakah akan kita lewatkan dengan sia-sia?” kalimat pemungkas yang mengakhiri setiap perbincangan komitmen mendidik anak-anak.

Begitu pula sebaliknya, saya juga terbuka atas segala kritik dan masukan dari istri. Saat asyik menonton berita kesukaan, sementara anak-anak minta ditemani belajar, biasanya istri akan mengingatkan, “Ayo, ayo, pilih mana anak atau TV?” biasanya langsung saya matikan TV dan menemani anak belajar, meskipun agak berat namun, komitmen harus dimenangkan. Sama halnya saat lagi asyik masyuk dengan HP yang sampai mengabaikan perhatian dengan anak. Saling mengingatkan adalah kamotmen yang terus dibangun.  
Dalam keluarga kecil yang kami bangun bersama terkadang ada pembagian tugas yang tidak tertulis tapi harus dilaksanakan. Saat istri sibuk mengurus sarapan dan kebersihan rumah maka saya lah yang bertugas memandikan anak-anak. Rutinitas ini ternyata lama-kelamaan menjadi kewajiban. Tugas memandikan anak-anak menjadi rutinitas yang sangat saya nikmati dan menjadi sangat mengasikkan. Meskipun pada awal-awalnya sempat protes dengan istri, mengapa harus saya? Pasalnya tidak lepas dari sebuah motivasi bahwa ketika pekerjaan dinikmati maka yang ada hanyalah happy dan happy.

Kesempatan emas tidak saya biarkan berlalu dengan sia-sia. Setiap guyuran air, usapan sabun dan shampoo, lapan handuk, serta pijitan tangan terselip doa dan harapan kepada Allah untuk malaikat-malaikat kecil ini. Saya membayangkan sedang melayani para calon professor dunia, yang dengan ilmunya, ia ditunggu kehadirannya di seminar-seminar ilmiah dunia, dengan lisannya, nasihatnya selalu dinanti, dengan akhlaknya, ia selalu dicontoh dan dirindu, dengan hartanya, ia menjadi tempat berbagi dan dengan imannya, ia dicintai Tuhannya. Seorang manusia yang jernih pikirannya, bersih hatinya, dan gagah fisiknya. Ketika siang menyapa, ia berani layaknya prajurit perang di medan pertempuran namun, saat malam datang ia layaknya seperti para rahib-rahib yang khusuk bermunajat kepada Rabbnya.

Setiap hari, ya setiap hari harapan dan doa ini lah yang menggantung di langit dan mengetuk pintu Arsy-Nya. Ya, harapan itu sudah dimulai dalam setiap dialog kami dalam aktivitas “pelayanan”, saat si kecil menangis kepedasan karena minyak kayu putih dengan serta merta terucap, “Maaf, prof. nggak sengaja.” Atau saat si sulung minta diambilin sesuatu, “Apa Prof.?” “Baju!,” “Oke! Prof.” Ah, begitulah sungguh nyaman rasanya.
****
Ehemm, jam sudah menunjukkan pukul enam pagi, saatnya memandikan para professor.”   (CAP. 06/06/15)


*Syahrul adalah seorang musafir yang terus berusaha untuk tetap istiqamah di perjalanan menuju tempat keamadian di akhirat kelak. karena surga adalah kampung halaman kita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar