Oleh Syahrul*
PARENTING. Ada kisah yang menarik yang selalu disampaikan oleh
ustad Yusuf Mansur, baik melalui ceramah maupun tulisan-tulisan beliau yang
sangat menggugah, khususnya bagi orangtua maupun calon orangtua. Tidak ada
salahnya untuk mencoba, selama itu baik dan memungkinkan. Bagi penulis yang
sudah dianugrahi dua anak, sudah mencoba dan berusaha tetap istiqamah
mengamalkannya, dan subhanallah lambat namun pasti keajaiban-keajaiban
itu muncul semakin lama semakin jelas.
Biasanya Ustad muda ini selalu bertanya kepada pembaca dan
jama’ahnya dengan cara khas beliau, memancing antusiasme mereka tentang rahasia
kesuksesan yang telah dicapainya. Setiap kita mungkin akan kagum dengan ustad
sedekah ini. Berangkat dari masa lalu yang suram dari titik nol, menuju
kesuksesan materi maupun spritual yang
menakjubkan. Dunia-akhirat in Sha Allah sudah dalam genggaman. Dengan
bisnis patungannya bermimpi membangun hotel pemondokan yang megah di Arab Saudi
serta berencana membeli pesawat sendiri khusus jama’ah haji. Mimpi yang tidak
semua orang berani, tentunya beliau berani dengan perhitungan yang jeli dan
keyakinan yang mantap kepada Allah, karena memang tidak mudah. Meski sempat
bermasalah dengan hukum tapi, kita patut bersyukur memiliki sosok seperti
beliau.
Ternyata kesuksesan beliau tidak tidak pernah lepas dari peran
orangtua yang begitu besar dalam mendidik Yusuf Mansur kecil. Bibir sang ibu
tidak pernah kering bershalawat kepada nabi saat memandikan, menyuapi dan
melayani segala kebutuhan-kebutusan sang bayi. Pun lantunan doa-doa kebaikan
kepada anaknya agar kelak sukses menghampirinya, doa agar sang anak bisa berangkat
ke Mekkah melaksanakan haji dan umrah semudah melangkahkan kaki ke masjid.
Sekali lagi, Subhanallah, pembaca bisa menyaksikan beliau hari ini lebih
dari itu. Sungguh benar bahwa keridhaan Allah sangat bergantung dari keridhaan
orangtua.
Nah, bagi kita
para calon orangtua dan yang telah menjadi orangtua, apa yang bisa kita tiru
dan ambil dari kisah ini. Bagi saya, kerjasama ayah dan ibu sangat dan teramat
penting untuk disinergikan. Hari ini pola pengasuhan orangtua yang baik
diricuhi dan diganggu oleh berbagai macam media hiburan. Menyuapin anak disambi
nonton TV, memandikan anak disambi dengerin musik, bahkan sampai
menyusui anak pun masih disibukkan dengan gedget di tangan. Mana sempat
hati dan lidah ini mengingat dan berdoa kepada Allah?. Sehingga energi yang
kita pancarkan adalah energi yang biasa-biasa saja bahkan cenderung negatif. Kita
lah yang mengajari mereka sejak kecil tanpa sengaja asyik dengan dunianya
sendiri dan acuh tak acuh terhadap lingkungannya.
Biasanya ketika melihat istri “bermain” HP saat menyusui, dengan
nada yang tidak menyinggung saya selalu mengajak istri untuk berkomitmen
kembali mendidik anak dengan cahaya ilahi. “Ummi, alangkah baiknya saat
menyusui, ummi dalam kondisi hati dan pikirannya kepada Allah. Berdzikirkah,
bershalawatkah, atau berdoakah. Meskipun air susu yang diminum anak-anak secara
dhahirnya sama dengan air susu yang diminum oleh anak-anak lainnya tapi,
kualitasnya beda. Dalam air susu ini mengalir doa, mengalir kalimat-kalimat
ilahiah, mengalir shalawat kepada nabi dan semuanya adalah energi positif. Akankah sama hasilnya?, biasanya dengan
senyum masygul istri langsung menyimpan HP dan sedikit menggoda. “Ahh,
Jenengan kok pinter?”, mencoba menggoda. Sambil senyum-senyum sendiri dalam
hati, “Ummi, kita melayani secara prima anak-anak ini tidaklah lama, mungkin
cuman dua tahun atau lebih sedikit, apakah akan kita lewatkan dengan sia-sia?”
kalimat pemungkas yang mengakhiri setiap perbincangan komitmen mendidik
anak-anak.
Begitu pula sebaliknya, saya juga terbuka atas segala kritik dan
masukan dari istri. Saat asyik menonton berita kesukaan, sementara anak-anak
minta ditemani belajar, biasanya istri akan mengingatkan, “Ayo, ayo, pilih
mana anak atau TV?” biasanya langsung saya matikan TV dan menemani anak
belajar, meskipun agak berat namun, komitmen harus dimenangkan. Sama halnya
saat lagi asyik masyuk dengan HP yang sampai mengabaikan perhatian dengan anak.
Saling mengingatkan adalah kamotmen yang terus dibangun.
Dalam keluarga kecil yang kami bangun bersama terkadang ada
pembagian tugas yang tidak tertulis tapi harus dilaksanakan. Saat istri sibuk
mengurus sarapan dan kebersihan rumah maka saya lah yang bertugas memandikan
anak-anak. Rutinitas ini ternyata lama-kelamaan menjadi kewajiban. Tugas
memandikan anak-anak menjadi rutinitas yang sangat saya nikmati dan menjadi
sangat mengasikkan. Meskipun pada awal-awalnya sempat protes dengan istri,
mengapa harus saya? Pasalnya tidak lepas dari sebuah motivasi bahwa ketika
pekerjaan dinikmati maka yang ada hanyalah happy dan happy.
Kesempatan emas tidak saya biarkan berlalu dengan sia-sia. Setiap
guyuran air, usapan sabun dan shampoo, lapan handuk, serta pijitan tangan
terselip doa dan harapan kepada Allah untuk malaikat-malaikat kecil ini. Saya
membayangkan sedang melayani para calon professor dunia, yang dengan ilmunya,
ia ditunggu kehadirannya di seminar-seminar ilmiah dunia, dengan lisannya,
nasihatnya selalu dinanti, dengan akhlaknya, ia selalu dicontoh dan dirindu, dengan
hartanya, ia menjadi tempat berbagi dan dengan imannya, ia dicintai Tuhannya.
Seorang manusia yang jernih pikirannya, bersih hatinya, dan gagah fisiknya.
Ketika siang menyapa, ia berani layaknya prajurit perang di medan pertempuran
namun, saat malam datang ia layaknya seperti para rahib-rahib yang khusuk
bermunajat kepada Rabbnya.
Setiap hari, ya setiap hari harapan dan doa ini lah yang
menggantung di langit dan mengetuk pintu Arsy-Nya. Ya, harapan itu sudah
dimulai dalam setiap dialog kami dalam aktivitas “pelayanan”, saat si kecil
menangis kepedasan karena minyak kayu putih dengan serta merta terucap, “Maaf,
prof. nggak sengaja.” Atau saat si sulung minta diambilin sesuatu, “Apa
Prof.?” “Baju!,” “Oke! Prof.” Ah, begitulah sungguh
nyaman rasanya.
****
“Ehemm, jam sudah menunjukkan pukul enam pagi, saatnya
memandikan para professor.” (CAP.
06/06/15)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar