oleh
Syahrul, M.S.I*
Malu
atau al-haya dalam agama Islam merupakan sebagian dari iman seseorang. Al-hayau
minal iman. Sesungguhnya orang yang malu, rasa malunya mampu mencegahnya
berbuat dosa atau maksiat, begitu pula iman mampu mencegah dari perbuatan dosa.
Malu juga merupakan tabiat dalam menaati syariat agama yang tentunya memerlukan
usaha, ilmu dan niat yang kuat, oleh karena itu malu merupakan bagian dari iman
(minal iman). Berasal dari kata ha-yi-ya-yah-ya hayatan wa hayaun
yang berarti hidup atau merasa malu. imam as-Shan’ani menjelaskan definisi malu
secara syara’ sebagai sesuatu yang mendorong seseorang menghindari perbuatan
buruk dan mencegahnya dari mengurangi atau menyembunyikan kebenaran dari
Pemiliki Kebenaran (Dzil haq) yaitu Allah.
Sesungguhnya
malu hanya boleh dilakukan dalam konteks menghindari larangan Allah atau
sesuatu yang buruk, selain itu jangan malu. tidak boleh malu menyampaikan
kebenaran dan kebaikan. Malulah saat bergelimang dosa, malulah saat jauh
dariNya, dan malulah saat belum bertaubat. Sehingga orang yang memiliki rasa
malu dalam konteks ketaatan kepada Allah akan mengantarkan kepada manusia yang
terkendali pikiran, hati dan prilakunya. Dalam hadis ditegaskan bahwa rasa malu
seluruhnya baik dan hanya mendatangkan kebaikan pula.
Malu
bisa diibaratkan sebagai kontrol atau rem bagi seorang muslim. Maka hadis
Bukhari menantang kita semua untuk berpikir, “idza lam tastahi fasna’ ma
syi’ta,” sekiranya kamu sudah tidak malu, maka lakukanlah apa pun sesukamu.
As-Shu’ani menjelaskan kalimat “fasna’
ma syi’ta” bahwa kerjakan lah apa pun sesukamu bermakna jika kamu tidak
malu kerjalan!, namun jika kamu malu tinggalkan! lalu abaikan semua komentar
manusia.
Pemahaman
konsep malu yang keliru dalam kehidupan sehari-hari, banyak menimbulkan sikap
malu yang keliru. Sekedar contoh seorang pemuda malu untuk menikah karena belum
mampu untuk mengadakan resepsi yang mewah. Seorang gadis malu menerima lamaran
dari pria yang belum mapan, tidak good looking dan sejuta alasan yang
berbau materi. Malu saat cerawat kecil nonggol, lalu mati-matian ditutupi, namun tidak malu seluruh tubuhnya terbuka. Memang sangat diperlukan pendidikan dan
pengajaran kepada anak-anak sejak usia dini konsep malu yang benar. Jika tidak
akan malu-maluin dan sangat berbahaya. Berdasarkan pengamatan penulis yang
berkecimpung di dunia pendidikan menemukan kasus pelajar salahdalam menempatkan malu. Ukuran malu selalu disandarkan
pada komentar dan sudut pandang manusia.
Dalam
kasus peer group yang berbentuk geng atau komunitas tertentu, baik laki-laki
maupun perempuan. Pembicaraan yang dominan, ya, tidak jauh-jauh dari hubungan
laki-laki dengan perempuan, dalam istilah remaja adalah pacar/pacaran. Maka
bagi yang tidak memiliki pasangan/pacar merasa malu, dan menjadi bahan
olok-olokan. Tidak laku. Jomblo is sadness.
Dalam
kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti biasanya setiap siswa diwajibkan berbusana
islami. Busana putra meliputi berbaju koko atau gamis, bercelana kain tau
bersarung, berpeci dan membawa al-Qur’an. Sedangkan bagi siswi putri,
berpakaian tidak transparan, longgor, berjilbab dan tidak bercelana ketat.
Namun, yang terjadi kemudian hampir 30 persen kemudian berbusana tidak sesuai
instruksi dan yang paling mengenaskan adalah alasan merekan tidak berbusana
islami adalah malu, sebagian yang lain tidak punya.
Sebagaian
kasus anak-anak menolak tampil ceramah adalah mereka malu, sebagian lagi malu
saat memungut sampah yang berserakan, sebagaian yang lain malu ber-HP jadul
lalu merengek-rengek meminta dibelikan orangtua, sebagian lagi malu ke sekolah naik
angkot, mereka lebih memilih mengancam orangtua untuk dibelikan motor. Sebagian
lagi malu jika motornya jelek dan memilih memaksa orangtua untuk mengganti yang
baru.
Mereka
lebih bangga dengan busana yang terbaru meskipun jauh dari kata menutup aurat,
bangga dengan model-model rambut punk, bangga jika sudah memiliki pacar,
apalagi bisa gonta-ganti, lebih bangga dengan HP dan Motor keluaran baru
meskipun hasil “membegal” orangtua. Sementara di sisi lain mereka tidak malu jika nilai mereka jelek, akhlak mereka
buru, merokok sana-sini, dan kebut-kebutan. Ironis.
Sebuah
anomali kehidupan yang memprihatinkan. Pergeseran nilai-nilai luhur ini tidak
secara ujug-ujug terjadi. Peleburan nilai yang terus berjalan dengan perlahan
namun pasti sedang terjadi, dan orangtua yang seharusnya menjadi benteng
pertahanan pertama pun terlena dan tidak sadar. Ujug-ujug anak mereka sudah
berubah, ada apa dengan anak-anakku, sambil terus mengelus dada dan terus
menuruti kemauan anak-anaknya.
Media
TV adalah salah satu alat yang paling efektif untuk menyebarkan nilai-nilai
yang bebas. Begitu pula prilaku-prilaku yang sudah meninggalkan landasan budi
pekerti dan agama semuanya bisa didapatkan dari TV. Sebagian menamakannya si Dajjal.
Ya, dengan mata satunya seringkali menawarkan kehidupan yang mewah, indah dan
mengasyikkan namun hakikatnya adalah bencana dan neraka. Begitu pula
kemiskinan, kesusahan, perjuangan dan penderitaan yang disampaikan hakikatnya
adalah kebahagiaan yang hakiki, perjuangan menuju Allah dan surgaNya.
Menyedihkannya Dajjal ini sudah masuk rumah, dari mereka yang hidup di gedongan
sampai yang tinggal di gubuk-gubuk pinggiran sungai, dari yang berduit sampai
yang berutang karena kemiskinan. Dari kantor-koantor mewah sampai pos-pos
ronda.
Coba
sejanak melihat dan kemudian menilai secara kritis dengan nilai-nilai agama,
apa yang ditawarkan oleh sinetron-sinetron TV? Adakah sinetron-sinetron
menyajikan semangat dan ketekunan remaja-remaja belajar, meneliti dan
berkreasi. Begaimana mereka menghormati guru-guru dan memuliakan kedua
orangtua? Sangat jarang bahkan mungkin tidak ada, yang akan anda dapatkan
selain caci-maki, permusuhan, dendam rebutan gebetan/pacar adalah pelecehan
mereka terhadap guru dan institusi sekolah. Kehidupan hedonis dengan rumah dan
kendaraan mewah menghiasi kehidupan remaja-remaja sinetron. Lalu nilai apa yang
akan diperaktekkan remaj-remaja yang menonton tanpa ada filter memilah dan meilih
yang memadai?.
Jangan
heran fenomena yang penulis jumpai, seorang pelajar menengah berangkat ke
sekolah dengan motor mewah dengan harga puluhan juta, pulangnya dengan pacar di
belakang nangkring, jika tidak ya ke arena balapan liar. Ironisnya adalah sang
ibu hanyanyalah seorang buruh kasar begitu pula ayahnya denga penghasilan yang
tidak seberapa. Lalu dari mana semuanya?
Maka
jawaban saya setiap alasan malu adalah Jangan Malu! mengapa harus malu
jika itu baik? Apa salahnya atau salah apa dengan memungut sampah? Apakah harga
diri kita akan menurun? Atau tangan kita akan lecet? Salah apa dengan hidup
sederhana?, sanggahan yang bertubi-tubi yang tidak bisa dijawab, karena memang
ini soal gengsi dan nilai. Setelah itu maka nasihat pemungkas mengahirinya,
malu itu jika nilai jelek, prilaku buruk, mengecewakan orangtua. Malu itu untuk
hal-hal yang buruk. Jangan memahami malu keliru karena bukan kebaikan yang kamu
dapat melainkan kesengsaraan.
#catatan
akhir pekan
*Syahrul adalah nama pemberian
orangtua 28 tahun yang silam, entah apa maksudnya namun dari artinya semoga
nama ini bisa menjadi bulan di kegelapan malam. Menjadikan malam yang
menakutkan menjadi indah dan penuh romansa bagi para pecinta.
Menjadi guru adalah panggilan jiwa,
meski belum mendapatkan sertifikasi guru profesional namun semangat tetap
profesional. Dengan satu istri dan dua anak yang lucu-lucu penululis merasa
sangat bersyukur. Di bawah lerengan merapi penulis terus mengasah kemampuannya
untuk tidak pernah berhenti menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar