Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Rabu, 13 Mei 2015

JANGAN MALU


oleh 
Syahrul, M.S.I*

Malu atau al-haya dalam agama Islam merupakan sebagian dari iman seseorang. Al-hayau minal iman. Sesungguhnya orang yang malu, rasa malunya mampu mencegahnya berbuat dosa atau maksiat, begitu pula iman mampu mencegah dari perbuatan dosa. Malu juga merupakan tabiat dalam menaati syariat agama yang tentunya memerlukan usaha, ilmu dan niat yang kuat, oleh karena itu malu merupakan bagian dari iman (minal iman). Berasal dari kata ha-yi-ya-yah-ya hayatan wa hayaun yang berarti hidup atau merasa malu. imam as-Shan’ani menjelaskan definisi malu secara syara’ sebagai sesuatu yang mendorong seseorang menghindari perbuatan buruk dan mencegahnya dari mengurangi atau menyembunyikan kebenaran dari Pemiliki Kebenaran (Dzil haq) yaitu Allah.


Sesungguhnya malu hanya boleh dilakukan dalam konteks menghindari larangan Allah atau sesuatu yang buruk, selain itu jangan malu. tidak boleh malu menyampaikan kebenaran dan kebaikan. Malulah saat bergelimang dosa, malulah saat jauh dariNya, dan malulah saat belum bertaubat. Sehingga orang yang memiliki rasa malu dalam konteks ketaatan kepada Allah akan mengantarkan kepada manusia yang terkendali pikiran, hati dan prilakunya. Dalam hadis ditegaskan bahwa rasa malu seluruhnya baik dan hanya mendatangkan kebaikan pula.

Malu bisa diibaratkan sebagai kontrol atau rem bagi seorang muslim. Maka hadis Bukhari menantang kita semua untuk berpikir, “idza lam tastahi fasna’ ma syi’ta,” sekiranya kamu sudah tidak malu, maka lakukanlah apa pun sesukamu.  As-Shu’ani menjelaskan kalimat “fasna’ ma syi’ta” bahwa kerjakan lah apa pun sesukamu bermakna jika kamu tidak malu kerjalan!, namun jika kamu malu tinggalkan! lalu abaikan semua komentar manusia.

Pemahaman konsep malu yang keliru dalam kehidupan sehari-hari, banyak menimbulkan sikap malu yang keliru. Sekedar contoh seorang pemuda malu untuk menikah karena belum mampu untuk mengadakan resepsi yang mewah. Seorang gadis malu menerima lamaran dari pria yang belum mapan, tidak good looking dan sejuta alasan yang berbau materi. Malu saat cerawat kecil nonggol, lalu mati-matian ditutupi, namun tidak malu seluruh tubuhnya terbuka.  Memang sangat diperlukan pendidikan dan pengajaran kepada anak-anak sejak usia dini konsep malu yang benar. Jika tidak akan malu-maluin dan sangat berbahaya.  Berdasarkan pengamatan penulis yang berkecimpung di dunia pendidikan menemukan kasus pelajar salahdalam  menempatkan malu. Ukuran malu selalu disandarkan pada komentar dan sudut pandang manusia.

Dalam kasus peer group yang berbentuk geng atau komunitas tertentu, baik laki-laki maupun perempuan. Pembicaraan yang dominan, ya, tidak jauh-jauh dari hubungan laki-laki dengan perempuan, dalam istilah remaja adalah pacar/pacaran. Maka bagi yang tidak memiliki pasangan/pacar merasa malu, dan menjadi bahan olok-olokan. Tidak laku. Jomblo is sadness.

Dalam kegiatan-kegiatan keagamaan, seperti biasanya setiap siswa diwajibkan berbusana islami. Busana putra meliputi berbaju koko atau gamis, bercelana kain tau bersarung, berpeci dan membawa al-Qur’an. Sedangkan bagi siswi putri, berpakaian tidak transparan, longgor, berjilbab dan tidak bercelana ketat. Namun, yang terjadi kemudian hampir 30 persen kemudian berbusana tidak sesuai instruksi dan yang paling mengenaskan adalah alasan merekan tidak berbusana islami adalah malu, sebagian yang lain tidak punya.
Sebagaian kasus anak-anak menolak tampil ceramah adalah mereka malu, sebagian lagi malu saat memungut sampah yang berserakan, sebagaian yang lain malu ber-HP jadul lalu merengek-rengek meminta dibelikan orangtua, sebagian lagi malu ke sekolah naik angkot, mereka lebih memilih mengancam orangtua untuk dibelikan motor. Sebagian lagi malu jika motornya jelek dan memilih memaksa orangtua untuk mengganti yang baru.

Mereka lebih bangga dengan busana yang terbaru meskipun jauh dari kata menutup aurat, bangga dengan model-model rambut punk, bangga jika sudah memiliki pacar, apalagi bisa gonta-ganti, lebih bangga dengan HP dan Motor keluaran baru meskipun hasil “membegal” orangtua. Sementara di sisi lain mereka tidak  malu jika nilai mereka jelek, akhlak mereka buru, merokok sana-sini, dan kebut-kebutan. Ironis.
Sebuah anomali kehidupan yang memprihatinkan. Pergeseran nilai-nilai luhur ini tidak secara ujug-ujug terjadi. Peleburan nilai yang terus berjalan dengan perlahan namun pasti sedang terjadi, dan orangtua yang seharusnya menjadi benteng pertahanan pertama pun terlena dan tidak sadar. Ujug-ujug anak mereka sudah berubah, ada apa dengan anak-anakku, sambil terus mengelus dada dan terus menuruti kemauan anak-anaknya.

Media TV adalah salah satu alat yang paling efektif untuk menyebarkan nilai-nilai yang bebas. Begitu pula prilaku-prilaku yang sudah meninggalkan landasan budi pekerti dan agama semuanya bisa didapatkan dari TV. Sebagian menamakannya si Dajjal. Ya, dengan mata satunya seringkali menawarkan kehidupan yang mewah, indah dan mengasyikkan namun hakikatnya adalah bencana dan neraka. Begitu pula kemiskinan, kesusahan, perjuangan dan penderitaan yang disampaikan hakikatnya adalah kebahagiaan yang hakiki, perjuangan menuju Allah dan surgaNya. Menyedihkannya Dajjal ini sudah masuk rumah, dari mereka yang hidup di gedongan sampai yang tinggal di gubuk-gubuk pinggiran sungai, dari yang berduit sampai yang berutang karena kemiskinan. Dari kantor-koantor mewah sampai pos-pos ronda.  

Coba sejanak melihat dan kemudian menilai secara kritis dengan nilai-nilai agama, apa yang ditawarkan oleh sinetron-sinetron TV? Adakah sinetron-sinetron menyajikan semangat dan ketekunan remaja-remaja belajar, meneliti dan berkreasi. Begaimana mereka menghormati guru-guru dan memuliakan kedua orangtua? Sangat jarang bahkan mungkin tidak ada, yang akan anda dapatkan selain caci-maki, permusuhan, dendam rebutan gebetan/pacar adalah pelecehan mereka terhadap guru dan institusi sekolah. Kehidupan hedonis dengan rumah dan kendaraan mewah menghiasi kehidupan remaja-remaja sinetron. Lalu nilai apa yang akan diperaktekkan remaj-remaja yang menonton tanpa ada filter memilah dan meilih yang memadai?.
Jangan heran fenomena yang penulis jumpai, seorang pelajar menengah berangkat ke sekolah dengan motor mewah dengan harga puluhan juta, pulangnya dengan pacar di belakang nangkring, jika tidak ya ke arena balapan liar. Ironisnya adalah sang ibu hanyanyalah seorang buruh kasar begitu pula ayahnya denga penghasilan yang tidak seberapa. Lalu dari mana semuanya?

Maka jawaban saya setiap alasan malu adalah Jangan Malu! mengapa harus malu jika itu baik? Apa salahnya atau salah apa dengan memungut sampah? Apakah harga diri kita akan menurun? Atau tangan kita akan lecet? Salah apa dengan hidup sederhana?, sanggahan yang bertubi-tubi yang tidak bisa dijawab, karena memang ini soal gengsi dan nilai. Setelah itu maka nasihat pemungkas mengahirinya, malu itu jika nilai jelek, prilaku buruk, mengecewakan orangtua. Malu itu untuk hal-hal yang buruk. Jangan memahami malu keliru karena bukan kebaikan yang kamu dapat melainkan kesengsaraan.
#catatan akhir pekan

*Syahrul adalah nama pemberian orangtua 28 tahun yang silam, entah apa maksudnya namun dari artinya semoga nama ini bisa menjadi bulan di kegelapan malam. Menjadikan malam yang menakutkan menjadi indah dan penuh romansa bagi para pecinta.
Menjadi guru adalah panggilan jiwa, meski belum mendapatkan sertifikasi guru profesional namun semangat tetap profesional. Dengan satu istri dan dua anak yang lucu-lucu penululis merasa sangat bersyukur. Di bawah lerengan merapi penulis terus mengasah kemampuannya untuk tidak pernah berhenti menulis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar