Oleh Syahrul*
Setelah sebulan penuh berpuasa, tibalah pada hari kemenangan,
kembali fitrah, suci dengan segala ampunan dan maghfirah Allah swt.
Berkumpul dengan keluarga besar setelah sekian lama tidak berjumpa merupakan
hari yang khas yang membedakan Idul fitri dengan hari-hari lainnya, disamping
rupa-rupa makanan yang tentunya sangat memanjakan lidah.
Ayah saya termasuk seorang perantau tulen, yang tidak pernah menetap
di suatu tempat cukup lama. Sehingga saya harus berpindah-pindah SD sebanyak
tiga kali. Polejiwa adalah sebuah desa kecil terletak di daerah perbukitan di
pinggir kota Pinrang berbatasan dengan kota Sidrap provinsi Sulawesi Selatan.
Di sanalah saya sempat merasakan menetap cukup lama sampai menamatkan sekolah dasar.
Rumah penduduk tersebar dengan tidak merata, kadang di satu tempat terdapat
beberapa rumah, beberapa kilometer kemudian berdiri kembali beberapa rumah
dengan jumlah yang tidak terlalu banyak.
Sebagian besar masyarakat selain bertani adalah beternak sapi.
beternak sapi dengan jumlah yang cukup besar. karena padang rumput yang luas
serta pegunungan yang sebagian besar padang rumput membuat peternakan di sana
menjadi leluasa. Ternak hanya dikeluarkan dari kandang pagi hari dan sore
harinya digiring kembali ke kandang dalam keadaan telah kenyang.
Di desa kecil ini lah kenangan ber-‘idul fitri cukup berkesan. Budaya
“membacai doa” hidangan lebaran adalah tradisi yang unik. Ada keyakinan bahwa
makanan atau hidangan idul fitri belum sah disajikan sebelum didoain oleh
Katte’ (panggilan bagi takmir atau imam masjid). Maka selepas shalat pak Katte’
dan “pasukannya” yang dominasi remaja-remaja desa akan setia mengikuti Katte’
keliling kampung. Perjalanan dimulai dari yang paling dekat dengan masjid,
kemudian memutar dan melingkar sampai semua rumah disinggahi. Tuan rumah
biasanya sudah bersiap-siap dengan segenap hidangan lebaran yang tersusun rapi,
mulai dari makanan ringan sampai kelas “berat”.
Dimulai dengan salam dan sedikit basa-basi, pak Katte’ memulai
dengan menyalakan dupa, membakar dupa merupakan rangkaian dari ritual yang
mengiringi afdolnya doa. Doa dilantunkan dengan khusuk dan diamini
secara bersama-sama, lalu selembar amplop terselip di kantong Katte’ setelah
semua ritual doa selesai. Hemm, saatnya aksi. Begitulah kira-kira
pikiran kami saat itu. Tidak perlu menunggu dipersilahkan untuk kedua kalinya,
“Pasukan Katte’,” sudah menyapu bersih aneka hidangan yang lezat yang
jarang kami komsumsi selain di hari raya idul fitri. Semakin mendekati ujung desa,
satu persatu pasukan Katte’ akan berguguran, karena kekenyangan.
Setidaknya itu merupakan kenangan masa kecil di kampung halaman
yang paling berkesan di antara sejuta kenangan lain saat merayakan hari nan
fitri. selepas sekolah menengah atas, atas izin Allah saya mendapatkan
kesempatan belajar di luar daerah, ke Jogjakarta. Saya merasakan ada nuansa
berbeda menjalani ramadhan dan idul fitri di pulau Jawa. Meskipun dalam
beberapa hal sama, seperti kebersamaan dan makan ketupat dicampur opor ayam.
Tradisi sungkem (ciri khas masyarakat jawa) merupakan ritual
beridul fitri yang baru saya rasakan. Selama ini meminta maaf kepada keluarga
atau kedua orangtua atau sesepuh-sesepuh desa tidaklah serumit itu. Cukup cium
tangan, pipi kiri dan kanan sembari mengucapkan permintaan maaf. Minal
aidzin wal faidzin. Sungkem dalam kamus bahasa Indonesia sendiri bermakna
sujud atau bersimpuh karena berbakti kepada orangtua sembari mencium tangan.
Biasanya dilakukan pada momen-momen tertentu seperti sebelum nikah dan lazim
dijumpai pada idul fitri.
Beberapa kali saya sempat merasakan beridul fitri di pulau Jawa
khususnya daerah Wonosobo yang merupakan asal istri saya. Selepas shalat idul
fitri seluruh jama’ah dari shaf terdepan melingkar menyalami sang imam kemudian
berdiri di sampingnya diikuti yang dibelakangnya dan seterusnya sampai jama’ah
terakhir sambil membaca shalawat bersama-sama. Dengan jumlah yang cukup banyak
memerlukan waktu yang tidak sebentar.
Selepas itu para sesepuh dan orang tua yang dituakan di desa itu
sudah siap-siap di rumah masing-masing untuk menyambut puluhan warga yang akan
sungkem. Perjalanan panjang dimulai. Meskipun anak rantau, karena telah memperistri
putri Wonosobo maka saya harus mengikuti tradisi sungkeman ini. Awalnya agak
sedikit sungkan, apalagi kemampuan bahasa jawa kromo (halus) saya masih kacau
balau.
Dengan berdiri ngantri sambil terus mengamati apa yang
diucapkan para pesungkem, dengan sedikit berbisik ternyata memakan waktu cukup
lama. Intinya adalah permintaam maaf dan doa yang dibalas dengan rupa-rupa doa
dan nasihat yang setimpal. “Mohon maaf lahir batin mbah,” hanya kalimat ini
yang keluar dari bibir saya sambil menyalami dan agak membungkukkan badan lalu
menunggu doa dan nasihat apa yang akan saya terima. Hanya nggih dan nggih
yang bisa saya ucapkan untuk merespon kalimat-kalimat yang keluar dari bibir
sesepuh dengan lancar dan tersusun rapi, kayaknya semua yang sungkem
mendapatkan kalimat-kalimat yang serupa.
Karena waktu sungkeman yang sama ditambah jumlah pesungkem yang
banyak terkadang harus antri cukup panjang sampai keluar rumah. Menjelang
Dhuhur biasanya acara sungkumen baru selesai, meskipun menempuh jarak yang
tidak dekat, capek dan pegal-pegal tidak terasa sama sekali.
Tradisi kedua selain sungkem adalah halal bihalal dengan bani atau
trah. Anak-anak dan cucu-cucu yang telah berkeluarga dan hidup terpisah-pisah kemudian
menginisiasi agar hubungan kekeluargaan tetap menjalin maka dibuatlah semacam
perkumpulan keluarga. Nama perkumpulan biasanya diambil dari nama orantua atau
kakek mereka seperti Bani Kholil yang artinya anak turunan dari Kholil. Setiap
tahunnya jumlah keluarga akan bertambah sejalan dengan bertambahnya jumlah
kelahiran dan jumlah keluarga-keluarga baru. Pernikahanku membawaku menjadi
salah satu anggota baru dari Bani istri saya.
Perkumpulan keluarga ini merupakan ajang menguatkan hubungan
kekeluargaan, saling mengenalkan anak-cucu serta keluarga baru yang bergabung.
Ajang ini juga sebagai sarana penguatan ekonomi bagi anggota keluarga yang
tidak beruntung. Bagi keluarga yang berkecimpung dalam dunia politik juga
menjadikan perkumpulan ini sebagai basis suara. Isi kegiatan setelah sambutan
dari tuan rumah penyelenggara yang ditunjukk adalah acara tausiyah yang juga
disampaikan dari anggota keluarga. Kemudian ditutup dengan acara ramah tamah
dan keakraban.
Sebuah tradisi yang baik sekaligus unik yang belum pernah saya
jumpai dalam tradisi keluarga di tempat asal saya. Bahkan terjadi kerenggangan
antara satu dengan yang lain karena tidak atau jarang dipertemukan dan
diperkenalkan oleh orangtua masing-masing. Bahkan nama kakek dan nenek saya pun
hanya sekedar kenal nama panggilan tanpa tahu nama asli sebenarnya. Mengenal satu
dua saja terkadang sangat sulit apalagi mengenal seluruh anak-anak dari paman dan
bibi saya. Idul fitri di rantau membawa ku menjadi individu yang baru, lebih
bersahabat dan akrab dengan keluarga yang selama ini mungkin sedikit kaku dalam
tradisi dan budaya yang berbeda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar