Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Rabu, 27 Mei 2015

Berlebaran di Rantau


Oleh Syahrul*
Setelah sebulan penuh berpuasa, tibalah pada hari kemenangan, kembali fitrah, suci dengan segala ampunan dan maghfirah Allah swt. Berkumpul dengan keluarga besar setelah sekian lama tidak berjumpa merupakan hari yang khas yang membedakan Idul fitri dengan hari-hari lainnya, disamping rupa-rupa makanan yang tentunya sangat memanjakan lidah.


Ayah saya termasuk seorang perantau tulen, yang tidak pernah menetap di suatu tempat cukup lama. Sehingga saya harus berpindah-pindah SD sebanyak tiga kali. Polejiwa adalah sebuah desa kecil terletak di daerah perbukitan di pinggir kota Pinrang berbatasan dengan kota Sidrap provinsi Sulawesi Selatan. Di sanalah saya sempat merasakan menetap cukup lama sampai menamatkan sekolah dasar. Rumah penduduk tersebar dengan tidak merata, kadang di satu tempat terdapat beberapa rumah, beberapa kilometer kemudian berdiri kembali beberapa rumah dengan jumlah yang tidak terlalu banyak.
Sebagian besar masyarakat selain bertani adalah beternak sapi. beternak sapi dengan jumlah yang cukup besar. karena padang rumput yang luas serta pegunungan yang sebagian besar padang rumput membuat peternakan di sana menjadi leluasa. Ternak hanya dikeluarkan dari kandang pagi hari dan sore harinya digiring kembali ke kandang dalam keadaan telah kenyang.

Di desa kecil ini lah kenangan ber-‘idul fitri cukup berkesan. Budaya “membacai doa” hidangan lebaran adalah tradisi yang unik. Ada keyakinan bahwa makanan atau hidangan idul fitri belum sah disajikan sebelum didoain oleh Katte’ (panggilan bagi takmir atau imam masjid). Maka selepas shalat pak Katte’ dan “pasukannya” yang dominasi remaja-remaja desa akan setia mengikuti Katte’ keliling kampung. Perjalanan dimulai dari yang paling dekat dengan masjid, kemudian memutar dan melingkar sampai semua rumah disinggahi. Tuan rumah biasanya sudah bersiap-siap dengan segenap hidangan lebaran yang tersusun rapi, mulai dari makanan ringan sampai kelas “berat”.

Dimulai dengan salam dan sedikit basa-basi, pak Katte’ memulai dengan menyalakan dupa, membakar dupa merupakan rangkaian dari ritual yang mengiringi afdolnya doa. Doa dilantunkan dengan khusuk dan diamini secara bersama-sama, lalu selembar amplop terselip di kantong Katte’ setelah semua ritual doa selesai. Hemm, saatnya aksi. Begitulah kira-kira pikiran kami saat itu. Tidak perlu menunggu dipersilahkan untuk kedua kalinya, “Pasukan Katte’,” sudah menyapu bersih aneka hidangan yang lezat yang jarang kami komsumsi selain di hari raya idul fitri. Semakin mendekati ujung desa, satu persatu pasukan Katte’ akan berguguran, karena kekenyangan.

Setidaknya itu merupakan kenangan masa kecil di kampung halaman yang paling berkesan di antara sejuta kenangan lain saat merayakan hari nan fitri. selepas sekolah menengah atas, atas izin Allah saya mendapatkan kesempatan belajar di luar daerah, ke Jogjakarta. Saya merasakan ada nuansa berbeda menjalani ramadhan dan idul fitri di pulau Jawa. Meskipun dalam beberapa hal sama, seperti kebersamaan dan makan ketupat dicampur opor ayam.

Tradisi sungkem (ciri khas masyarakat jawa) merupakan ritual beridul fitri yang baru saya rasakan. Selama ini meminta maaf kepada keluarga atau kedua orangtua atau sesepuh-sesepuh desa tidaklah serumit itu. Cukup cium tangan, pipi kiri dan kanan sembari mengucapkan permintaan maaf. Minal aidzin wal faidzin. Sungkem dalam kamus bahasa Indonesia sendiri bermakna sujud atau bersimpuh karena berbakti kepada orangtua sembari mencium tangan. Biasanya dilakukan pada momen-momen tertentu seperti sebelum nikah dan lazim dijumpai pada idul fitri.

Beberapa kali saya sempat merasakan beridul fitri di pulau Jawa khususnya daerah Wonosobo yang merupakan asal istri saya. Selepas shalat idul fitri seluruh jama’ah dari shaf terdepan melingkar menyalami sang imam kemudian berdiri di sampingnya diikuti yang dibelakangnya dan seterusnya sampai jama’ah terakhir sambil membaca shalawat bersama-sama. Dengan jumlah yang cukup banyak memerlukan waktu yang tidak sebentar.

Selepas itu para sesepuh dan orang tua yang dituakan di desa itu sudah siap-siap di rumah masing-masing untuk menyambut puluhan warga yang akan sungkem. Perjalanan panjang dimulai. Meskipun anak rantau, karena telah memperistri putri Wonosobo maka saya harus mengikuti tradisi sungkeman ini. Awalnya agak sedikit sungkan, apalagi kemampuan bahasa jawa kromo (halus) saya masih kacau balau.

Dengan berdiri ngantri sambil terus mengamati apa yang diucapkan para pesungkem, dengan sedikit berbisik ternyata memakan waktu cukup lama. Intinya adalah permintaam maaf dan doa yang dibalas dengan rupa-rupa doa dan nasihat yang setimpal. “Mohon maaf lahir batin mbah,” hanya kalimat ini yang keluar dari bibir saya sambil menyalami dan agak membungkukkan badan lalu menunggu doa dan nasihat apa yang akan saya terima. Hanya nggih dan nggih yang bisa saya ucapkan untuk merespon kalimat-kalimat yang keluar dari bibir sesepuh dengan lancar dan tersusun rapi, kayaknya semua yang sungkem mendapatkan kalimat-kalimat yang serupa.

Karena waktu sungkeman yang sama ditambah jumlah pesungkem yang banyak terkadang harus antri cukup panjang sampai keluar rumah. Menjelang Dhuhur biasanya acara sungkumen baru selesai, meskipun menempuh jarak yang tidak dekat, capek dan pegal-pegal tidak terasa sama sekali.

Tradisi kedua selain sungkem adalah halal bihalal dengan bani atau trah. Anak-anak dan cucu-cucu yang telah berkeluarga dan hidup terpisah-pisah kemudian menginisiasi agar hubungan kekeluargaan tetap menjalin maka dibuatlah semacam perkumpulan keluarga. Nama perkumpulan biasanya diambil dari nama orantua atau kakek mereka seperti Bani Kholil yang artinya anak turunan dari Kholil. Setiap tahunnya jumlah keluarga akan bertambah sejalan dengan bertambahnya jumlah kelahiran dan jumlah keluarga-keluarga baru. Pernikahanku membawaku menjadi salah satu anggota baru dari Bani istri saya.

Perkumpulan keluarga ini merupakan ajang menguatkan hubungan kekeluargaan, saling mengenalkan anak-cucu serta keluarga baru yang bergabung. Ajang ini juga sebagai sarana penguatan ekonomi bagi anggota keluarga yang tidak beruntung. Bagi keluarga yang berkecimpung dalam dunia politik juga menjadikan perkumpulan ini sebagai basis suara. Isi kegiatan setelah sambutan dari tuan rumah penyelenggara yang ditunjukk adalah acara tausiyah yang juga disampaikan dari anggota keluarga. Kemudian ditutup dengan acara ramah tamah dan keakraban.

Sebuah tradisi yang baik sekaligus unik yang belum pernah saya jumpai dalam tradisi keluarga di tempat asal saya. Bahkan terjadi kerenggangan antara satu dengan yang lain karena tidak atau jarang dipertemukan dan diperkenalkan oleh orangtua masing-masing. Bahkan nama kakek dan nenek saya pun hanya sekedar kenal nama panggilan tanpa tahu nama asli sebenarnya. Mengenal satu dua saja terkadang sangat sulit apalagi mengenal seluruh anak-anak dari paman dan bibi saya. Idul fitri di rantau membawa ku menjadi individu yang baru, lebih bersahabat dan akrab dengan keluarga yang selama ini mungkin sedikit kaku dalam tradisi dan budaya yang berbeda.    

*Syahrul adalah nama pemberian orangtua, singkat padat dan tidak bertele-tele. Lahir di desa terpencil La Cinde, Sulawesi Selatan, tahun 1986 dan beruntung bisa menginjakkan kaki di tanah Jawa. Bercita-cita menjadi penulis handal, dan masih terus berproses memantaskan diri dalam latihan-latihan kehidupan. Menjadi guru adalah panggilan jiwa dan jalan hidupnya, meskipun tidak menjanjikan gelamor uang dan popularitas. Istri satu dan dua anak, tinggal di bawah lereng Gunung Merapai dan mengajar di SMP Muh. 2 Sawangan, Magelang, Jateng.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar