Berawal dari liburan akhir
pekan di Jogjakarta, diajak teman lama untuk menghadari ceramah atau kajian
ustad Ja’far Umar Thalaib yang membedah buku beliau, “catatan Hitam Agama
Syi’ah”. Tanpa berpikir panjang –meskipun seharian beraktifitas cukup
melelahkan, saya langsung menyetujui untuk hadir. Disamping, selama ini saya
hanya tahu nama besar Ja’far Umar Thalib melalui diskusi-diskusi dan
laporan-laporan dari berbagai majalah khususnya yang berkaitan dengan jihad,
itu pun sangat terbatas. Sebagai pecinta kajian dunia Islam, ini adalah
kesempatan yang baik untuk tidak dilewatkan.
Tiba pada Jam 08.30, acara
sudah dimulai, sayup-sayup suara ustad Ja’far Umar Thalib terdengar memulai
muqaddimah ceramahnya. Terdengar suara tegas dan lugas yang semakin keras dan
jelas. Di sekitar mesjid at-Taqwa
Suronatan, telah ramai anak-anak muda berkalungkan surban begitu pula
wajah-wajah berjanggut dengan jubah putih dan surban memelilit kepala. Suasana cukup
tegang untuk ukuran mengikuti “pengajian”, apalagi saat ini dunia Islam sedang
ramai, yang paling teranyar pemblokiran situs-situs islam dan serang ke Yaman,
Syi’ah Khauthi.
Masjid sudah ramai dan cukup
padat bagian depan, dengan jama’ah dengan busana khas salafy, mengantarkanku memasuki
masjid dari belakang yang masih menyisakan shaf yang kosong. Karena duduk di
shaf belakang, mengharuskanku merelakan diri untuk tidak bisa melihat langsung
wajah Ustad Ja’far berceramah. Suasa cukup hikmat dengan jumlah ratusan jama’ah
yang memenuhi masjid, tanpa ada suara-suara gaduh.
Suasana berjalan normal di
awal-awal beliau menyampaikan dan membedah bukunya tentang syiah. Beberapa
menit kemudian, volume suara Ja’far Umar Thalib mulai meninggi, suara khasnya
menggelegar memenuhi ruang masjid. Suasana bertambah tegang saat beliau
memberikan penekanan-penekanan dan kritik-kritik yang pedas kepada penguasa dan
orang-orang yang menyimpang dari ajaran Islam (syi’ah). Yang kemudian di sambut
pekikakan takbir, “Allah Akbar, Allah Akbar”.
Syi’ah secara bahasa adalah
pengikut, penganut agama ini menamakan diri dengan syi’ah karena mereka mengaku
sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib dan pengikut ahlul bait. Akan tetapi jauh
panggang dari api, pengakuan mereka dari sebagai pengikut Ali bin Abi Thalib
dan Ahlul Bait adalah dusta. Hanyalah tipu daya dalam rangka merusak islam dan
muslimin. Bila ditelisik lebih jauh, agama Syi’ah terbentuk dari intrik-intrik
dendam Yahudi dan Majusi Persia terhadap Islam. Yahudi menyimpan dendam karena kehilangan
supremasinya di masyarakat Arab, sedangkan Persia menyimpan dendam karena
kerajaannya dihancurkan oleh kaum Muslimin.
Maka dengan latar belakang
sejarah yang seperti itu, dibangunlah agama dendam dengan mendramatisir
cerita-cerita kepiluan seputar Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Bait. Mengalirlah dari
pena-pena mereka cerita ratapan tangis berbagai peristiwa perang Shiffin, perang
Jamal dan perang Karbala (Ja’far Umar Thalib, 13: 2015). Syi’ah kemudian
membuat cerita-cerita kebencian terhadap
para sahabat.
“Hadirin kaum Muslimin dan
Muslimat yang saya cintai dan hormati, menangis saya saat menulis bagaimana sesungguhnya
Syi’ah di awal sangat mencintai Rasul dan para sahabat yang lain, tetapi dirusak
oleh generasi selanjutnya.” Penegasan beliau bahwa Syi’ah saat ini telah sesat.
Beliau juga mengkritik pedas
kepada Mass Media, “satu lagi kejahatan kemanusia yang paling kejam, yaitu Mass
Media,” “membolak balikkan fakta, yang berjuangan membela agama dan bangsa
diberitakan sebagai penjahat, sementara yang berpura-pura digambarkan sebagai
tokoh panutan. Coba lihat! Ketika Brunei Darussalam mendeklarasikan diri
sebagai negara Islam, tak satu pun berita melipunya, bahkan di ranning tesk pun
tidak. Masyaallah.” “Malah, Tessi.... Tessi... yang mendapat berita yang besar,
fenomenal yang kemudian diundanglah Doktor, Doktor untuk menganalisis dan membedah
tentang Tessi...” Suara Ja’far Umar Thalib meninggi, yang diikuti teriakan
Takbir.
Beliau juga menyindir umat Islam
yang lebih mewajibkan dirinya membaca koran daripada Al-Qur’an. Padahal Koran
adalah berinta sampah, pemutar balik fakta. Beliau menanyakan mengapa Iran
terkesan hebat, anti Amerika, negara maju dan pemberani? Begitu pula
ulama-ulama ahlussunnah mandul, dan tidak berkutik. Semuanya kita dapatkan dari
mass media. Beliau juga sempat menyinggung tentang jihad, agar umat Islam tidak
alergi dengan kata jihat yang bermakna perang. Lalu beliu menyunting hadis
bahwasanya Nabi diperintahkan untuk menghunus pedang (perang) kepada empat
golongan, yaitu kaum musyrikin, kaum kafirin, kaum munafikin dan Bughat
(pemberontak dalam negara Islam).
Jika sebahagian orang
menganggap Ja’far Umar Thalib keras dalam berdakwah, memang susah untuk
diingkari. Sikap berani beliau, untuk saat ini dalam memerangi kemunkaran sudah
sangat jarang kita jumpai ada pada dai-dai/ustad-ustad di Indonesia. Terakhir beliau
juga mengancam negara Iran untuk tidak macam-macam di Indonesia, “...karena
kami tidak takut dan kami berani berperang dan membunuh kalian kalian para Syi’ah
di Indonesia.” Disambut pekikan Allah Akbar.
Setelah beliau menutup ceramah
dengan doa, saya mencoba maju ke shaf terdepan –menghilangkan rasa penasara-
untuk bisa melihat langsung ustad Ja’far, karena selama ceramah, saya hanya
bisa mendengar suara tanpa wajah karena duduk di shaf paling belakan. Dari jarak
beberapa meter beliau sedang berbincang-bincang denga beberapa orang, terkadang
diselingi senyuman. Dengan surban putih dan jubah putih dengan janggut tebal
panjang mengurai kebawah yang juga hampir seleuruhnya putih menunjukkan sosok
seorang kakek yang penuh wibawa, jauh dari kesan kerasa dan arogan. Wallahu ‘alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar