Selesai dengan shalat malam dan doa-doa, ku melihat jam dinding di Masjid Asrama masih menunjukkan pukul 03.00 WIT. Ku rebahkan tubuhku di atas sujadah, dengan hati yang masih penuh harap. Teringat dua bulan yang lalu, selepas Ujian Nasional, datang sebuah tawaran beasiswa belajar di Jogjakarta. Tanpa berpikir panjang saya persiapkan segalanya. Dua minggu yang lalu tes telah dilakukan di kota Makassar. Masih terbayang tatapan mataku melihat butir-butir soal satu persatu dengan kepala menggeleng-geleng.
Sungguh tidak ada satu pun yang bisa saya jawab dengan yakin. Antara harapan yang membuncah dan ketidakberdayaan bersatu, membuatku menunduk dan meneteskan air mata. Masih terbayang ucapan bapak saat saya dinyatakan lulus, “Nak, bapak tidak memiliki biaya buat menguliahkanmu, jadi bapak hanya bisa mendoakanmu, pilih jalanmu sendiri!” ucap orantua yang berwajah kusam dengan kulit menghitam karena sengatan matahari. Pekerja keras yang selalu aku banggakan.
“kak, kak, kak Arul bangun kak! Subuh akan segera di mulai”
agak sedikit tersentak, perlahan ku lihat Askar, adik kelas. “oh, ya, Adzan sana!”
selepas shalat subuh masih ku sempatkan berdoa lalu bergegas mandi. Hari ini adalah pengumumannya, dan harus saya lihat sendiri di kota Makassar. Perjalanan dengan angkot dari asrama akan menghabiskan sekitar 2.5 jam.
“Semoga Sukses ya kak” beberapa adik kelas menyapaku saat ku menuju jalan raya. “amin, amin lah, thank u ya” Sepanjang jalan, tak sedikit pun berhenti hatiku mengetuk pintu arsynya Allah. Beberapa penumpang mungkin melihatku agak aneh yang hanya menunduk sepanjang perjalan.
“Kiri pak...! seruku setelah papan nama PUSDAK MUHAMMADIYAH terlihat jelas di kiri jalan. Perlahan-lahan kuayunkan kaki yang terasa berat dan menolak untuk maju ke depan. Kutatap dalam-dalam bangunan yang berdiri gagah dengan model rumah gadang, dengan ujung-ujung atap yang runcing. Ada romantisme sejarah antara Padang dengan Makassar rupanya.
“Maaf pak,... pengumuman beasiswa di mana ya?” ku coba memberanikan diri bertanya kepada petugas piket.
“Oh ya, Beasiswa ke Jogja kan?, nah itu sana di papan pengumuan, coba kamu cek sendiri ya.” Tanpa komando dengan penuh keberanian bergegas ku hampiri papan pengumunan. Setelah agak dekat, “kok cuman sedikit” gumanku. Ku tatap lekat-lekat nomor dua, 2. Sharu al-Hadi. “Allah Akbar” pekikku langsung tersungkur di lantai bersujud, tanpa melihat lagi orang-orang yang memperhatikan dan kondisi lantai yang kotor. “Terimakasih ya Allah, terima kasih ya Allah” berulang-ulang dengan lirih ku ucapkan dalam sujudku. Setelah puas, ku lanjutkan membaca note yang ada di bawahnya. Bagi peserta yang dinyatakan lulus akan dites yang ke-2 di Jogja dan waktunya minggu depan. Biaya transportasi akan ditanggung, peserta hanya mempersiapkan biaya makan selama tiga hari. “Welcome Jogja, I’m coming”
****
Di pertengahan tahun 2005 adalah momen yang sangat luar biasa bagi saya, merantau di negeri orang. From Makassar to Jogja. Ini juga menjadi awal merasakan Ramadhan di rantau. Beasiswa menimba ilmu di kota budaya ini, mengharuskanku terlibat mengikuti program Muballigh Hijrah (MH). Program pengiriman muballigh-muballigh ke daerah-daerah terpencil atau yang membutuhkan di seluruh wilayah jogjakarta.Setelah proses test and proper test, akhirnya di Jombor, Mlati, Kab. Sleman menjadi tempatku bertugas tahun pertamaku. Tinggal di kantor PDM setempat, dengan aktifitas mengurus masjid, mulai dari kebersihannya sampai mengisi kultum bakda shalat Ashar dan menggatikan penceramah yang tidak hadir. Setiap sore menghidupkan TPA dan mengajari anak-anak membaca al-Qur’an serta menyiapkan buka puasa bagi jama’ah.
Sungguh menjalankan Ramadhan di negeri orang sangat lah berat. Selalu terbayang masa-masa Ramadhan di kampung halaman, yang terkadang membuatku meneteskan air mata. setiap hari bersama orang-orang yang baru aku kenal, dengan budaya yang berbeda dan bahasa yang tidak begitu aku pahami. Tinggal di kamar sendirian, makan sahur sendirian, tanpa teman, tanpa hiburan, dan jauh dari keluarga. Hanya al-Qur’an dan buku-buku yang menjadi teman setia yang terkadang selalu menghayutkanku untuk meneteskan air mata.
Takmir tinggal bersebelahan dengan masjid, suami istri yang sudah berusia lanjut, tanpa ada anak. Orang-orang memanggilnya Mbah Warso. Setiap hari saya harus ke rumah simbah untuk keperluan makan dan sahur. Biasanya sebelum jam 03.00 dini hari makan sahur plus segelas teh sudah tersedia di atas meja ruang tamu. Tentunya dengan cita-rasa orang Jogja (manis/gudek). “Assalamu’alaikum Mbah, saya Arul...” sapaku sambil mengetuk pintu di hari pertamaku makan sahur. “Waalaikum salam... masuk!” “Iya Mbah, matur nuwun” Ucapan trimakasih yang baru kemarin saya pelajari. Saat makan beliau hanya menemani, katanya sudah makan dengan istri di dalam. Awal-awal ramadhana beliau masih menemani, namun selanjutnya saya harus makan sendirian. Salam, masuk, makan dan keluar. Semuanya sudah disiapkan seperti itu.
Ada sesuatu yang menarik di ruang tamu mbah Warso, terpampang sebuah lukisan cukup besar dan hanya satu-satunya hiasan di ruangan tersebut. “GKR Hemas” bacaku pelan-pelan. “Siapa ya?” ku tatap secara perlahan, wajahnya memancarkan aura khas keibuan. “Wajahnya teduh dan jika tersenyum pasti mas”, batinku menduga-duga. "Gimana mas? Enak tho di sini?” tanya mas Masruil –orang Sunda yang jualan asongan di terminal Jombor - suatu sore menjelang buka puasa. Ku jawab dengan anggukan dan senyum. “eh, ya bagaiman pelayanan mbah Warso? Belum sempat ku jawab ia sudah menimpali kembali,
“Oya beliau itu orang kraton, tiap hari tertenti mbah warso berbusan kraton.” Degh.
Apakah ada kaitannya dengan foto di ruang tamunya. Suara sirine mengalihkan kami untuk segera berbuka puasa. Alhamdulillah, ini hari yang ke-25 yang artinya tinggal 3 hari lagi saya akan menyelesaikan tugas di sini. Sahur kali ini simbah telat menyiapkan makan sahur, sehingga cukup lama saya harus menunggu.
Heemm, lukisan ini lagi. Kembali saya amati, teringat sebuah film waktu masih SMP dulu di Makassar, film tentang penjaga pantai selatan. “ah nggak mungkin,” pikirku. Tapi busananya sungguh mirip, khas jogja dengan kemben batik dan sanggul. Malam ke-27 adalah makan sahur terakhir di Mbah Warso, beliau ikut menemani begitu pula istrinya sambil ngobrol santai. Ucapan terimakasih dan permintaan maaf mengakhari perjumpaan kami.
Ada satu hal yang masih mengganjal, namun malu untuk saya tanyakan, “Siapa itu GKR. Hemas?” yang jelas lukisan itu telah menemaniku makan sahur selama 27 hari.
****
“Hadirilah Perayaan Sekatenan”
“Dihadiri oleh GKR. Hemas”
Syahrul adalah nama pemberian orangtua, singkat padat dan tidak bertele-tele. Lahir di desa terpencil La Cinde, Sulawesi Selatan, tahun 1986 dan beruntung bisa menginjakkan kaki di tanah Jawa. Bercita-cita menjadi penulis handal, masih terus berproses memantaskan diri dalam latihan-latihan kehidupan. Menjadi guru adalah panggilan jiwa dan jalan hidupku, meskipun tidak menjanjikan gelamor uang dan popularitas. Istri satu dan dua anak, tinggal di bawah lereng Gunung Merapai dan mengajar di SMP Muh. 2 Sawangan, Magelang, Jateng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar