Bulan Ramadhan selain bulan yang penuh keberkahan juga merupakan
bulan yang penuh kesan bagi semua orang. Bagi saya berpuasa semasa kecil tidak
pernah lepas dari kenangan shalat tarawih bersama-sama dalam suasana kampung di
sudut kota kecil Pinrang, Sulawesi Selatan. Selepas berbuka dan maghriban, akan
terlihat rombongan penduduk desa yang akan shalat tarawih menyusuri jalan desa
dengan lampu obor berayun-ayun membentuk panorama malam yang indah. Semakin mendekati
Masjid, jama’ah yang ikut semakin bertambah. Jarak antara satu rumah dengan
rumah penduduk lainnya cukup jauh sehingga jarak terjauh rumah penduduk dengan
masjid bisa mencapai 7 km, yang ditempuh dengan berjalan bersama-sama.
Selepas Sekolah Dasar, saatnya melanjutkan tradisi keluarga yaitu
mondok di sebuah pesantren di kota yang lumayan jauh dari rumah. Tradisi Ramadhan
di pondok kembali memberikan warna kenangan yang berbeda. Berbeda saat masih di
kampung. Semua santri diwajibkan mengikuti kegiatan Ramadhan di asrama, sehingga
kerinduan akan berpuasa dan berlebaran bersama keluarga hanya menjadi kenangan
manis. Berlomba-lomba menghatamkan al-Qur’an, latihan menjadi imam tarawih dan
ceramah tarawih serta subuh menghiasi suasana Ramadhan di asrama. Diakhiri
dengan i’tikaf dan shalat I’ed, tibalah saatnya perpulangan. Berkumpul dengan
keluarga menjadi momen yang membahagiakan bagi setiap penghuni asrama. Welcome
home!
Ramadhan di Rantau 1
Di pertengahan tahun 2005 adalah momen yang sangat luar biasa bagi saya,
merantau di negeri orang. From Makassar to Jogja. Ini juga menjadi awal
merasakan Ramadhan di rantau. Beasiswa menimba ilmu di kota budaya ini,
mengharuskanku terlibat mengikuti program Muballigh Hijrah (MH). Program
pengiriman muballigh-muballigh ke daerah-daerah terpencil atau yang membutuhkan
di seluruh wilayah jogjakarta. Setelah proses pengacakan, akhirnya desa Jombor,
Mlati, kab. Sleman menjadi tempatku bertugas tahun pertamaku. Tinngal di kantor
PDM, dengan aktifitas mengurus masjid, mulai dari kebersihannya sampai mengisi
kultum bakda shalat Ashar dan menggatikan penceramah yang tidak hadir. Setiap
sore menghidupkan TPA dan mengajar anak-anak membaca al-Qur’an serta menyiapkan
buka puasa bagi jama’ah.
Sungguh menjalankan Ramadhan di negeri orang sangat lah berat.
Selalu terbayang masa-masa Ramadhan di kampung halaman, yang terkadang
membuatku meneteskan air mata. setiap hari bersama orang-orang yang baru aku
kenal, dengan budaya yang berbeda dan bahasa yang tidak begitu aku pahami.
Tinggal di kamar sendirian, makan sahur sendirian, tanpa teman, tanpa hiburan
(saat itu belum memiliki HP) dan jauh dari keluarga. Hanya al-Qur’an dan
buku-buku yang menjadi teman setia yang terkadang selalu menghayutkanku untuk
meneteskan air mata.
Ramadhan Rantau 2
Tahun 2006 menjadi tahun ke-2 di rantau, dengan program yang sama
mengantarkanku ke suatu daerah pinggir kota Kulonprogo, tepatnya di desa
Kaliwiru, Sentolo. Beruntung tidak sendirian seperti tahun pertama, berdua
dengan teman kampus dari asal yang sama, Makassar. Kami ditempatkan sementara
di rumah takmir masjid di mana kami akan bertugas mengisi kegiatan Ramadhan.
Kegiatan kami cukup padat, semua kegiatan keagamaan hampir semua kami handle
secara bergantian. Karena budaya dan bahasa yang berbeda kita harus kembali
menyesuaikan diri. Masyarakat pedesaan yang masih sangat kental bahasa jawa
yang halusnya (kromo), apalagi kami setiap harinya harus berinteraksi dengan
jama’aah yang rata-rata usianya sudah lanjut, dimana mereka nggak begitu paham
bahasa Indonesia dan kami pun tidak begitu paham bahasa jawa.
Terkadang kelucuan sering timbul, karena bahasa tubuhlah yang lebih
dominan. Apresiasi dan pujian mereka hanya bisa kami rasakan dari tatapan mata
dan gestur tubuh. Penyesuaian lidah menjadi masalah tersendiri. Kami yang
berlidah Makassar tidak terbiasa dengan makanan yang manis-manis, tapi Subhanallah
hampir tiap hari kami harus menyantap makanan yang serba manis, mulai dari
macam-macam lauk, sayur serta minuman pembuka dan penutup.
Di penghujung tugas, tanpa terasa telah banyak kenangan yang
terukir dalam sejarah hidup kami. Kami menemukan orangtua-orangtua,
saudara-saudara dan teman-teman baru. Serasa berat untuk berpisah. Semua
kenangan semakin indah tatkala kerinduan dan kegembiraan yang membuncah di dada
akan segera tiba, berdiri di anjuan kapal menatap tulisan besar “Welcome to Celebes”
saatnya bergabung dengan keluarga setelah setahun tak berjumpa.
Ramadhan R. 3
Tahun ke-3 di Jogja juga menjadi Ramadhan yang ke-3 di rantau.
Allah masih memberikan kesempatan kepada saya untuk merasakan rupa-rupa
kehidupan di Jogja. Di tahun ini, Gunungkidul menjadi tempat baruku
melaksanakan ibadah puasa. Sesuatu yang harus saya syukuri karena tidak semua
peserta MH mendapatkan tempat yang berbeda setiap tahunnya. Alhamdulillah,
tiga tahun menjadi perjalanan spiritualku mengelilingi Jogja, Sleman, Kulon
Progo dan Gunungkidul. Banyak teman-teman yang mencoba menghindari daerah ini,
karena memang medannya cukup tandus dan yang terpenting adalah air, menjadi
masalah utamanya. Kekeringan.
Tepatnya di desa Karangmojo, meskipun tanahnya cukup tandus dan
udara siang hari cukup panas namun, air cukup melimpah. Bahkan banyak mata air
yang muncul dari celah bebatuan yang kering dan tandus. Masalah makanan dan
bahasa tidak lagi menjadi masalah yang berarti. Lindah sudah terbiasa dengan
yang manis-manis, sementara pendengaran juga sudah tidak begitu asing lagi
dengan bahasa Jawa, meskipun kemampuan bahasa jawaku jauh dari memadai.
Pertemuan dialek Makassar dan Jawa memunculkan intonasi yang aneh dan
mengundang gelek tawa jama’ah.
Karena cuaca cukup panas dan kering serta medan yang terpencil,
sangat menguras energi. Sepuluh hari berpuasa cukup membuatku merasa kelelahan.
Di pertengahan Ramadhan, tubuhku menggigil kedingan dengan suhu tubuh yang
meninggi. Sangat panik tuan rumah melihat kondisiku saat itu, dan dengan segera
memanggil beberapa warga, saya kemudian diantar ke puskesmas terdekat. Positif
DB dan harus diopname di Jogjakarta. Sore itu juga dengan mobil sewaan dan
diantar beberapa warga saya dengan penuh kepayahan menembus jalan Wonosari yang
berliku-liku.
Selama tujuh hari dirawat inap di PKU Muhammadiyah banyak warga
yang suka rela menunggu dan memberikan support. Teman-teman silih berganti
menjenguk dan mengurus berbagai keperluan sampai hal-hal yang berkaitan dengan
administrasi. Setelah merasa cukup sehat, saya memutuskan untuk kembali ke Karangmojo
menyelesaikan tugas akhir dan berterimakasih. Maski pun masih cukup lemah,
namun sambutan warga yang empati selalu mampu menguatkanku menyelesaikan sisa-sisa
masa tugas.
Ramadhan R. 4
Sungguh Negeri rantau ini memberiku sejuta rupa dan warna-warna
kehidupan. Serasa bagai mimpi, namun itulah yang berlaku. Tibalah di tahun
keempat sekaligus tahun terakhir studi dan menerima beasiswa. Ada keinginan
untuk menikmati Ramadhan yang terakhir di Bantul, setelah puas dengan tiga
daerah sebelumnya. Namun, takdir mengantarkanku untuk menghabiskan Ramadhan dan
ibadah puasa tahun ini di Gunung Kidul, tapi yang membuatku senang adalah
tempatnya sangat eksotik yaitu pesisir pantai Baron (BKK). Hem... masyarakat
pantai, nelayan dan pegunungan akan menjadi warga binaanku.
Tahun ini pun cukup berbeda, semua kenikmatan sepertinya sengaja
sediakan Allah. Tinggal di alam sangat indah dengan masyarakat yang care
dan tidak kalah istimewanya dengan tuan rumah yang mampu secara ekonomi,
sehingga rupa-rupa hidangan makanan tersaji dengan lengkap. Empat sehat lima
sempurna menjadi santapan tiap harinya. Dua pulut tujuh hari berlalu begitu
singkat, waktu tidak dapat ditahan, perjumpaan harus diakhiri dengan perpisahan
dan saatnya untuk meninggalkan Baron lalu bergegas menjemput warna-warni
kehidupan yang lebih menantang.
*Syahrul adalah nama pemberian orangtua, singkat padat dan tidak
bertele-tele. Lahir di desa terpencil La Cinde, Sulawesi Selatan, tahun 1986
dan beruntung bisa menginjakkan kaki di tanah Jawa. Bercita-cita menjadi
penulis handal, masih terus berproses memantaskan diri dalam latihan-latihan
kehidupan. Menjadi guru adalah panggilan jiwa dan jalan hidupku, meskipun tidak
menjanjikan gelamor uang dan popularitas. Istri satu dan dua anak, tinggal di
bawah lereng Gunung Merapai dan mengajar di SMP Muh. 2 Sawangan, Magelang, Jateng.
Kalau yg di Bandung, ramadhan ke berapa ya, Raisa masih kecil banget waktu itu :)
BalasHapushehehehe
hehehe makasih udah mampir Bude,,, itu sudah ramadan ke 6, jd ramdannya sudah tidak bujang lagi
BalasHapus