(Catatan Sang Pengagum)
Kenal Dahlan Iskan? Pasti donk.
Kenal Syahrul? Hem, kenal lah. Masak baca tulisan ini nggak kenal yang nulis.
Terlalu! Tulisan ini bukan bermaksud membandingkan antara bumi dengan langit.
Antara pangeran William dengan peronda Wiliyono. Antara pemilik kekayaan yang
tidak habis oleh tujuh turunan dengan pemilik gaji tujuh koma, setiap tanggal
tujuh sudah koma. Antar penulis bestseller dengan penulis dieler-eler. Antara
mantan Menteri dengan mantan penjual ikan teri. Antara pemilik Jawa Pos dengan pemilik
istri orang Jawa Wo-Pos-obo (Wonosobo. wkwk, maaf istriku). Antara orang yang
bosen kaya dengan yang bosen miskin. Antara setiap yang disentuh menjadi emas
dengan setiap emas yang disentuh menjadi beras. Ya, antara Syahrul dengan
Dahlan Iskan. Begitulah. Ngenes!
Tulisan ini hanya hiburan saja
kawan, disaat saya berada di titik nadir kehidupan dengan beliau yang berada
dipuncak popularitas. Anda baca tulisan ini karena nama Dahlan Iskan, bukan?
bukan karena Syarul yang nulis kan? Kalau begitu besok-besok saya buat tulisan,
“Saya dan Nikita Mirzani.” Pasti rame nih blog. Bisa masuk trendingtopic
ngalahin si Kambing Jantan, eh, si Manusia Setengah Salmon, eh, maaf Bang
Raditya Dika. Lo memang lucu, nggak kaya gue lucunya pas malam jum’at aja.
hihihi. Nulis ini juga pas malam Jum’at loh.
Eh, kembali ke Pak Dahlan,
dengan segala hormat, saya salut sama bapak. Angkat topi deh. Banyak
inspirasinya, salah satunya joget gamnam stylenya lucu abis. Nggak takut
keropos pak tulangnya?. Eeaa, kayak lo aja, dokter pribadi mah sudah
stand by 24 jam. Dari banyak perbedaan antara saya dengan Dahlan Iskan,
ternyata kami ada banyak persamaannya lo. Sama-sama punya hidung, kaki, mata?
Bukan! apa ya?
Pertama,
sama-sama berangkat dari keluarga miskin. Nggak punya. Yang pantas dapat raskin
dan gaskin (gas miskin). Bedanya saya masih miskin. Dan Kalau bapak dulu sampai
jual lemari, saya mah nggak sampai segitunya sampai jual lemari. Lah, punya
lemari aja kagak. Jual lemari tetangga? Saya sangat menikmati setiap kata yang
keluar dari mulut bapak setiap kali menceritakan kesusahan dan penderitaan
bapak dulu di layar kaca. Saya sedih pak. sedih mau pulang kampung ngelihat ibu
sakit saja mikir biaya. Mau nelpon ibu saja mikir pulsa. Ups, udah menyimpang
dari topik nih. Kok jadi curcol. Kembali ke Dahlia Iskandar, eh, Dahlan Iskan.
Kedua,
sama-sama TTLnya ngarang. Bapak ngarang to lahir tanggal 17 Agustus 1951? Bisa
masuk Bak Es Krim, eh, Bareskrim pasal pemalsuan identias kayak ketua KPK
Abraham Samad lo. Tapi, saran saya kalau mau selamat jangan jadi ketua KPK deh.
Nanti, dikriminalisasi. Saya juga ngarang kalau lahir tanggal 10 Maret 1986.
Hehehe. Kalau bapak gara-gara lemari dijual, kalau saya gara-gara nggak punya
lemari buat nulis tanggal lahir.
Ngini nih ceritanya, waktu mau
Ujian Nasional sekolah SD dulu. Kepala sekolah sudah sangat mangkel seperti
mangkelnya saya ke ortu. Setiap ditanya tanggal lahir bilangnya, Sekitar
lahirannya si anulah, saat acara sunatan si anulah, waktu matinya si anulah. Semuanya
berakhir –end- Malam itu saat Mama teriak dari dapur rumah, “Dikarang saja!”
Gaya, Teriak segala, wong dapur dengan kamar cuman dipisah gedek.
Esoknya, sepanjang jalan
jari-jemari tangan bergerak, alis turun naik, memikirkan tanggal dan bulan berapa
tepatnya saya lahir. Ah peduli amat, kayaknya tanggal 10 lebih bagus deh,
itung-itung biar nilainya dapat 10 terus. Hem, kalau untuk bulan kayak angka 3
lebih romantis. Minimal punya istri, 3 (Is-3). Jangan salah tafsir! Sesampai ke
sekolah, di ruang kepsek, “Pak tanggal 10 dan bulanya bulan Maret tahun 1986.”
Jawabku mantep, sebelum diminta. Di ruangan kepala sekolah ternyata telah duduk
teman perempuan sekalasku yang juga memiliki masalah yang sama. Kagetnya
kemudian ternyata ia juga memiliki TTL yang sama, 10 Maret 1986. Jleb. Mata
Kepsek bergerak teratur menatap saya dan si Ayu tanpa mengerakkan kepala sama
sekali. “Loh kok sama?” si Ayu nampak gugup, tidak ingin didahului, “karena
ini, itu, bla bla... pak” jawabku mantap. (padahal ngarang.com). “Nah, kamu Ayu
ganti! Cari yang lain.” Jawab kepala sekolah mengakhiri interogasi ala Densus
88.
Nyesel rasanya. Setelah Ayu
cerita panjang lebar di luar kelas tentang tanggal lahirnya. Itu valid melihat
perjuangan ortunya bongkar-bongkar rumah mencari selembar akte. TTL Ayu yang
benar harus diganti sementara saya yang Ngawur diterima. Maafkan! Setelah saya
tanya-tanya tetangga ibu, yang dulu juga melahirkan berbarangan dengan saya,
ternyata tahun lahirnya pun salah, harusnya 1985, eh ternyata ditulis lebih
muda setahun. Heheh, lumayan buat daftar PNS belum ketuaan. Wkwkw. Sama kan
pak?
Ketiga, kita
sama-sama memiliki dendam. Ya, dendam. Bapak pernah dendam sama Bank Karman
kan? Lalu bapak ingin balas dendam. Saat orang heran kalau ada koran yang
bernama Jawa Pos lalu bertanya, “Memang lokasi Jawa Pos itu dimana ya? Lalu,
bapak jawab “Itu diseberangnya Bank Karman” bayangkan Bank Karman saja yang
tidak terkenal lebih dikenal daripada Jawa Pos. Uh, nyesek pak. Sakitnya tuh di
dada. Sambil ngelus dada istri tetangga sendiri. Lalu bapak membatin, “Paling
tidak nantinya Jawa Pos harus bisa lebih terkenal dari Bank Karman dan nantinya
jika ada orang yang bertanya ‘Dimana lokasi Bank Karman?’ orang akan menjawab ‘Itu
yang diseberang Jawa Pos’” (Dikutip dari Mata Najwa).
Kita sama pak. Bedanya, saya
dendam karena setiap gadis yang saya taksir selalu saja diambil sahabat saya. Selalu.
Itu lebih sakit pak. Setiap jurus-jurus sakti sudah mulai mengarah sasaran,
hilang dan lenyap seketika oleh senyum manisnya Aliando Syaraf sahabatku.
Sampai SMA saya harus ngejomblo pak, bahkan sampai kulyah semester akhir. Hik
hik, kok jadi curhat nih.
Saat itu saya mengacungkan
tangan kelangit, ketika langit gelap gulita, dan bumi di guyur hujan deras
tanpa henti. Air mulai menaiki mata kaki, lalu betis. Pakaian dan tubuh yang
basah kuyup sudah tidak terasa. Disumbut dengan gelegar petir, “Tuhan
dengarkan! Hari ini aku bersumpah mereka akan menyesal, MENYESAL, melihatku
kelak.” Teriakku seperti teriakan Fandy (Andre Taulany)
dalam film Kiamat Sudah Dekat. Wuih keren, sambil ngelus kantong ala
Mario Teguh.
Hari ini, bapak sudah berhasil
melunasi dendamnya. Bukan saya mengalahkan bank Karman, bahkan membunuh banknya
sekaligus pak Karmannya. Hihihi. Saya? Wuih, mereka ngeliat hidup saya saja prihatin.
Mungkin mereka juga nyesel ya, kasihan melihat penderitaanku.
Keempat, agak berat
ngomongnya. Sensistif masalahnya, kita sama-sama tidak ganteng. Wajah pas-pas-an.
Bedanya, 0,00001 % saya lebih ganteng sedikit dari bapak. Wkwkw. Masak dari 1
sampai 3 saya kalah terus. Meski tidak ganteng, kita sama-sama cowok
berkarakter. Eeaaa. Kata orang sih, kata anak perempuan dari cucu dari istri
anak istri bapak saya (ayo pada bingung), wajahmu akan dimaafkan oleh ketebalan
isi dompetmu. Nah, kan kalah lagi saya. Hik hik. Alhamdulillh, ya pak
kita tidak ganteng. Coba seandainya bapak dan saya ganteng. Paling bapak akan
jadi boyband dan saya jadi girlband. Heheh.
Terakhir pak, ini yang selalu
saya pikirkan. Seandainya saya suatu hari nanti seperti bapak, -berdasarkan
ramalan 2016 dengan kecocokan-kecocokan kita- apakah saya masih bisa sebaik
bapak atau minimal sebaik sekarang (merasa diri lumayan baik)?. Ya sudahla,
nanti kita lihat. Selamat Ultah Bapak Dahlan Iskan. Loh? Kan bapak nggak tahu
tanggal lahirnya, bisa jadi hari ini, atau besok. Betul kan? Setiap hari bapak
ultah. Sama dengan saya.
Tulisan Akhir Pekan.
Salam dari saya
Syahrul Kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar