A. Sebuah Kegalauan
Dari
beberapa penelitian yang terpublikasikan menunjukkan bangsa Indonesia yang kita
cintai ini menduduki peringkat cukup rendah budaya membacanya dibandingkan
negara-negara Asia lainnya. Budaya verbalistik masih dominan di negeri ini,
berdebat dan mengobrol terkadang mampu lakukan dalam durasi yang cukup panjang.
Rendah membaca berkorelasi positif dengan menulis. Dunia pendidikan yang sangat
dekat dengan aktivitas membaca dan menulis pun tidak mampu melahirkan
karya-karya tulis yang kreatif. Dalam hal penerbitan buku untuk setiap tahunnya
Indonesia tertinggal jauh oleh Malaysia.
Peradaban
Islam adalah peradaban ilmu yang mampu membawa kemajuan dan pencapaian yang
gemilang bagi manusia. Kejayaan Islam masih bisa kita saksikan dari apa yang
mereka tinggalkan. Ribuan karya ulama-ulama terdahulu masih bisa kita pelajari
dan baca hingga hari ini dan entah sampai kapan. Nama-nama seperti Ghazali,
Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, Imam Bukhari, Muslim dan masih banyak lagi, masih sangat
akrab di telinga kita, seolah-olah meraka masih hidup dan berdiskusi dengan
kita, padahal, meraka telah meninggal ratusan tahun yang silam, yang bisa jadi
jasad mereka sudah menyatu dengan tanah. Adagium mengatakan, jika mau panjang
umur maka menulislah. Fakta.
Rahasia
kesuksesan peradaban Islam tidak bisa dilepaskan dari ajaran Islam itu sendiri.
Lima belas abad yang silam, ketika Arab Jahiliyah masih berkecimpung dalam
perang saudara, ayat yang pertama kali turun adalah perintah untuk membaca
(al-‘Alaq 1-5).
Dakwah
merupakan perintah wajib agama Islam, seberapa pun yang diketahui wajib untuk
disampaikan. Balligh ‘anni walau ayah. Dakwah tidaklah identik dengan ceramah-ceramah
di mimbar-mimbar. Salah satu bentuk dakwah adalah dengan pena (bil qalam),
melalui tulisan. Untuk saat ini, saat manusia sibuk di berbagai rutinitas
pekerjaan sehingga kesempatan duduk mendengarkan pesan ilahiyah menjadi perkara
yang tidak mudah. Dakwah bil lisan juga memiliki keterbatasan waktu dan
ruang.
Sebagai
sarjana pendidikan agama Islam sekaligus seorang dai, saya selalu dihantui
perasaan untuk juga bisa menulis dan berdakwah lewat literasi. Sangat
disayangkan banyak dai-dai yang tidak meninggalkan tulisan sebelum mereka
meninggal dunia. Namu, setiap kali ingin menulis, perasaan takut, tidak mampu
dan minder selalu lebih dominan mengusai.
B. Memecah kebuntuan
Meskipun
saya termasuk orang yang sangat rajin membaca sejak sekolah dasar namun,
ketertarikan dalam dunia tulis menulis baru mulai tumbuh dan tertantang sejak
kuliyah di Jogjakarta. Mulailah kemudian saya membaca buku-buku kepenulisan,
latihan menulis, dan diskusi dengan teman namun, tak satu pun tulisan lahir.
Satu-dua tulisan memang sempat selesai namun hanya menjadi koleksi pribadi
dalam file, setelah itu malas.
Memulai
menulis adalah momok yang selalu hadir setiap akan memulai menggerakkan pena
atau menekan tuts-tuts keyboard komputer. Seperti ada berton-ton beban
bergelayutan di tangan. Ide-ide berkelebat dan bersiliweran liar, namun tak satu pun mampir dan menjadi kata pembuka.
Diam. Lalu, terdengar suara memanggil atau ribut-ribut yang membuyarkan dan mengakhiri
semuanya. Begitu dan seterusnya.
Selain
memulai, masalah kedua adalah kegelisahan bahasa. Setiap setelah menggoreskan
beberapa kalimat, kembali lagi melirik dan membaca, ups, kurang enak,
nggak pas, ah kurang mutu, pemborosan kata, kualitas SD dll.
berkelindangan dan menggerakkan tangan menekan tuts backpace. Maju
mundur sampai tak satupun alinea/paragraf tercipta. Akhirnya, hanya beberapa
paragraf tercipta dalam satu ide yang belum utuh dan menjadi file yang hanya
tersave di komputer, lalu? Tak terselesaikan dan terlupakan oleh kesibukan
rutinitas sehari-hari. End.
Menulislah
setiap hari secara konsisten merupakan nasihat yang tak terlewatkan dari para
penulis. Tetapi, konsistensi dan istiqamah meluangkan waktu untuk menulis
setiap harinya adalah problem yang tidak kalah sulitnya. Ada saja alasan dan
aktifitas yang datang menguji lalu mengalahkan niat untuk memulai menulis.
Terkadang inspirasi dan ide sudah ada dan kebetulan kesempatan menulis pun
tersedia, akan tetapi selalu saja ide-ide itu tidak pernah menjadi tulisan yang
untuh. Biasanya di tengah-tengah tulisan, kehilangan kata serta gagasan untuk
mengakhiri tulisan. Sehingga cukup banyak tulisan saya yang hanya ada judul
lalu ide awal dalam beberapa paragraf tanpa ada akhir.
Ketika
memiliki kesempatan untuk melanjutkan studi S2, dengan semangat yang tidak
memudar, saya mulai membenahi blog yang tak terurus. Semua hasil tulisan berupa
makalah dan tugas saya masukkan blog. Begitu pula tulisan-tulisan refleksi
selama perkuliyahan seperti, Beyond the Imagination, Satu Jam di Kelas
Profesor, dan dalam proses, Satu
Jam Bersama Busyro Muqaddas. Mulai pula saya mencoba menulis dan memasukkan
tulisan ke media lokal maupun nasional di kolam-kolom seputar pendidikan.
Seperti majalah Suara Muhammadiyah (SM), Suara Merdeka (SM), Republika dan
majalah Ummi. Menyoal pendidikan karakter, Pendidikan Karakter yang
Dikotomik, UN Vs Multiple Intelligence, 10 menit saja, adalah beberapa dari
tulisan yang saya kirimkan. Alhamdulillah
dari sekian tulisan yang saya posting semuanya tidak mendapat jawaban. Hem,
ujian bagi pemula.
C. Alhamdulillah tembus
juga
Di tengah
perkuliyahan, Kaprodi program pasca sarjana UMY kebetulan menunjuk saya sebagai
wakil MSI mengikuti konfrensi Internasional
bersama dosen dan mahasiswa Khon Kaen University (KKU) dari Thailand.
Sebagai pembicara diwajibkan untuk membuat paper hasil penelitian dalam bahasa
Inggris. Selama dua minggu, tanpa menggeser mata dari monitor, sebuah peper
terlahir dengan judul Character Education in Islamic Character Perspective
and Islamic Education Values in The Land of Five Tower’s Novel. Penelitian
saya membedah karya sastra karya A. Fuadi. Sebelum acara dimulai, saya
mendapatkan sebuah buku dengan cover The First Asian Postgraduate
Research Conference, Improving Human Life,
berisi semua paper dosen dan mahasiswa termasuk paper saya.
Alhamdulillah, sebuah kebanggaan melihat karya pertama saya berbentuk buku,
meskipun hanya kumpulan tulisan dan dicetak terbatas dan tidak diperjual
belikan. Sebuah awal yang baik.
Beberapa
bulan kemudian, saya kembali mencoba menulis di majalah Ummi pada kolom ayah.
Sebulan kemudian sebuah email menyunggingkan bibirku untuk terseyum penuh rasa.
“Alhamdulillah, akhirnya tembus juga,” gumamku yang kemudian saya
posting di FB. Ada sebuah kebanggaan dari sebuah pengakuan bahwa tulisanmu
sudah layak dimuat. Honor Rp. 300.000 menjadi yang pertama dari tulisan
pertamaku. Semangat menulis kembali menggebu saat ada SMS dari teman yang
tinggal di Papua, bahwa meraka telah membaca tulisanku dan terinspirasi.
Namun,
penyakit lama kambuh lagi. Kesibukan selalu menjadi alasan untuk tidak menulis
lagi. Setelah itu tidak ada lagi tulisanku yang keluar, sampai kemudian saya tanpa
sengaja di FB menemukan ajakan bergabung di sebuah komunitas/group kepenulisan yang
kembali menggairahkan keinginan menjadi penulis. SAHABAT PENA adalah
komunitasnya.
D. Masih berjuangan
Nasihat
Asma Nadia masih terus mengusik hidup saya sampai hari ini, menulis minimal
satu buku selama hidup. Misi hidup yang harus terwujud sebelum ajal menjemput
menjadi tekad dan resolusi setiap tahunnya. Terkadang saya merenung di depan
puluhan koleksi buku di perpustakaan pribadi, ada buku bertuliskan namaku
sebagai pengarangnya. Sebuah mimpi yang masih diperjuangkan.
Berdasarkan
pengalaman dan perenungan menjadi manusia pembelajar dalam dunia tulis menulis,
ada beberapa tips yang sangat membantu saya memecah kebuntuan menulis selama
ini.
1. Luruskan niat.
Kekuatan
niat sangat menentukan kesuksesan memulai dan mengakhiri sebuah tulisan. Niat
untuk tujuan yang mulia harus menjadi landasan dari sebuah tulisan, sementara
efek materi hanyalah konsekuensi logis.
2. Gila membaca.
Membaca
sangat membantu dalam menemukan ide dan gagasan. Membaca tulisan dari banyak
penulis dapat memberikan banyak referensi, seperti gaya bahasa, karakter
tulisan, yang cocok bisa kita contoh dan kreasi lagi.
3. Tulis saja, nanti
dikoreksi.
Memulai
menulis terkadang terkendala pada kaidah bahasa yang baik, dan ini momok yang
selalu menghalangi kita untuk memulai. Sebaiknya –seperti yang saya praktikkan-
lupakan EYD, tulis saja sampai selesai lalu biarkan sehari dua hari. Kemudian
buka dan mulailah mengedit. In shaa Allah ini akan lebih baik daripada anda
sibuk dengan tata bahasa sejak awal.
4. Membaca biografi.
Salah satu
hobi saya adalah membaca biografi penulis buku sebelum membaca bukunya. Riwayat
pendidikan, karya-karya dan kesuksen mereka selalu menjadi charger semangat
untuk menulis dan berkarya.
5. Menulis dari hal-hal
yang ringan.
Membaca
fenomena sosial, atau pun kejadian-kejadian yang unik disekitar kita terkadang
bisa menjadi ide sebuah tulisan. Perjuangan saya dalam membuat paper yang
kemudian dicetak menjadi buku melahirkan tulisan sederhana, “Beyond the
Imagination”, begitu pula suasana perkulihan bersama Prof. Suharsimi
Arikunto melahirkan tulisan, “Satu Jam di Kelas Profesor.” Saat mengikuti
seminar anti korupsi lahir tulisan, Satu Jam bersama Busyro Muqaddas”, dll.
6. Membuat blog.
Blog
adalah tempat melampiaskan semua tulisan yang saya buat, baik itu hasil makalah
dan tugas maupun refleksi dan pengalaman pribadi. Membuat blog dan fasilitas
blog-blog gratis untuk saat ini bukan sesuatu yang sulit.
7. Bergabung dengan
grup/komunitas penulis.
Dan hal
yang tidak kalah pentingnya adalah bergabung dengan komunitas-komunitas
kepenulisan. Melihat meraka yang telah melahirkan banyak karya tulis mampu
menjadi cambuk diri sendiri. Sangat benar sabda Nabi, agar kita mencari sahabat
penjual minyak wangi.
8. Memaksa diri.
Sesungguhnya
kesuksesan dan keberhasilan pada akhirnya akan kembali pada diri masing-masing
setiap individu. Man jadda wajada, hanya mereka yang bersungguh-sungguh yang
akan mencicipi nikmatnya kesuksesan.
Demikian tulisan sederhana semoga menjadi
inspirasi bagi kita semua khususnya bagi pemula –seperti saya, sarjana yang
kepingin menulis- yang berkeinginan terjun dalam dunia tulis menulis.
Wallahualam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar