GERAKAN
PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
STUDI KASUS PENDIDIKAN MUHAMMADIYAH
DAN NAHDLATUL ULAMA’ (NU)
Oleh Syahrul, S.Pd.I
I. Pendahuluan
Belum ada kata sepakat di antra
intelektual muslim dalam merumuskan penggunaan istilah atau terminologi
pendidikan Islam. Secara garis besarnya muncul tiga istilah yaitu tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.
Intelektual muslim yang otoritatif di bidangnya, Syed M. Naquib al-Attas, lebih
cendrung menggunakan istilah ta’dib
dari pada istilah yang lain dengan argumen yang ilmiah. Baginya, masalah
mendasar dalam pendidikan Islam adalah hilangnya nilai-nilai adab dalam arti
luas. Hal ini lebih disebabkan oleh rancunya pemahaman konsep tarbiyah, ta’lim, dan adab. Sebab
jika konsep ta’dib ini diterapkan
secara komprehensif, integral, dan sistematis dalam praktik pendidikan Islam,
pelbagai persoalan pengembangan sumber daya manusia Muslim diharapkan dapat
diatasi. Lagi pula, dalam sejarah Islam proses pendidikan Muslim lebih cendrung
pada pengertian ta’dib daripada terbiyah atau ta’lim. Alasan yang lebih mendasar lagi adalah adab berkaitan erat
dengan ilmu, sebab ilmu tidak dapat diajarkan atau ditularkan kepada anak didik
kecuali jika orang tersebut memiliki adab yang tepat terhadap ilmu pengetahuan
dalam pelbagai bidang.[1]
Kemudian dalam langkah konkretnya dalam mengaplikasikan ide dan gagasanya lahir
International Institute of Islamic
Thought and Civilization (ISTAC).
Dalam konteks ke-Indonesian, sejarah
tentunya tidak melupakan peran dan konstribusi dua organisasi islam Indonesia
(Muhammadiyah dan NU) baik pra kemerdekaan maupun pasca kemerdekaan dalam
memajukan bangsa ini khususnya dunia pendidikan. Muhammadiyah yang menggariskan
gerakannya sebagai gerakan yang moderat kemudian melakukan gerakan nyata dengan
amal usaha di bidang pendidikan melahirkan ribuan sekolah dasar dan menengah,
serta ratusan tingkat menengah atas serta tingkat perguruan tinggi dan
universitas yang tersebar di seluruh Indonesia. Tentunya sangat menarik
mengkaji dan menganalisis kunci kesuksesan Muhammadiyah.
Organisasi Islam yang didirikan pada
tahun 1926 di Surabaya yang bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan Ulama) juga
memberikan konstribusi dalam dunia pendidikan di Indonesia. Tentunya dengan
konsep yang khas yang melekat pada organisasi ini, Deliar Noer menyebutnya
dengan kalangan tradisi. Sudah masyhur kemudian NU dikenal dengan sistem pondok
pesantren tradisionalnya. seperti pondok pesantren Tebu Ireng yang didirikan
oleh Hasjim Asj’ari, pesantren Tambak Beras oleh Abdul Wahab Hasbullah, dan
pesantren Den Anyar tidak jauh dari Tambak Beras oleh KH Bisri. Meraka adalah
tokoh dari NU dan pesatren mereka juga sangat identik dengan pesantren NU. Dalam
makalah ini kemudian akan dibahas sistem dan karakteristik lembaga pondok
pesantren.
Sejarah menulis bahwa pondok pesantren
di Indonesia telah ada jauh sebelum NU berdiri sebagai organisasi, bahkan
lembaga pendidikan tertua di Indonesia adalah pondok pesantren sehingga
sebagian sejarawan menilai sistem pondok pesantren asli (geniun) berasal dari
peradaban Indonesia. NU kemudian mengukuhkan identitas dirinya di jalur
pendidikan melalui pondok pesantren. Meskipun semua pondok pesantren yang
didirikan oleh tokoh-tokoh NU tidak berafiliasi langsung ke Organisasi induknya
(NU). Pondok menjadi milik Kiainya (yang berafiliasi NU), sebagai pendiri
sekaligus pemimpinnya.
Berbicara pendidikan tidak pernah lepas
dengan ideologi yang melatar belakanginya. William F. O’Neil dalam bukunya Ideologi-Ideologi Pendidikan, memaparkan
dengan jelas berbagai bentuk ideologi-idelogi pendidikan dunia. Berdasarkan
pemetaannya ada dua aliran ideologi besar yang cukup berpengaruh, dengan varian
masing-masing, yaitu pertama, ideologi konservatif dengan variasi:
fundamentalisme, intelektualisme, dan konservatisme; kedua, ideologi liberalis
dengan variasi: liberalism, liberasionisme, dan anarkisme.[2] Dengan
ideologi Aswaja (ahlusunna wal jama’ah) yang sangat kental
mempertahankan tradisi tentunya akan sangat jelas masuk pada kategori
berideologi konservatif, meskipun NU tidak pernah mungkin menetapkan seperti
itu.
Ideologi secara etimologi dibentuk dari
kata idea, berarti pemikiran, konsep, atau gagasan, dan logos artinya pengetahuan.
Dengan demikian ideologi berarti ilmu pengetahuan tentang ide-ide, tentang
keyakinan atau gagasan.[3]
Menurut Sastra Pratedja membatasinya secara singkat sekali, bahwa yang disebut ideologi
adalah “seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang
diorganisasi menjadi suatu sistem yang teratur. Muhammadiyah sebagai organisasi
Islam merumuskan dalam Muktamar prinsip-prinsip dan keyakinan hidup (ideologi).
Beberapa rumusan tersebut adalah Mukadimah Anggaran Dasar Muhammadiyah,
Kepribadian Muhammadiyah serta Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah.[4]
Berdasarkan rumusan di atas maka terlihat secara jelas –mengikuti pemetaan W.F
O’neil- bahwa Muhammadiyah berideologi konservatif yang mempertahankan tradisi
keislaman namun tetap progresif melakukan pembaharuan.[5] Ideologi
ini kemudian menjadi inspirasi ideologi Pendidikan Muhammadiyah.
Makalah yang singkat ini tentunya sangat
jauh dari kesempurnaan mengupas dan menjelaskan konsep pendidikan dua
organisasi terbesar di Indonesia bahkan dunia ini. Untuk membatasi tema makalah
agar tidak meluas maka dirumuskan rumusan masalahnya. pertama, bagaimana
latar belakang berdirinya Muhammadiyah dan NU secara singkat?. Kedua,
bagaimana konsep pendidikan Muhammadiyah dan NU?. Oleh karena itu sistimatika
penulisan dimulai pada Bab I yang berisi pendahuluan, kemudian Bab II
pembahasan yang dimulai pembahasan Muhammadiyah kemudian NU dan Bab III
kesimpulan, yang berisi persamaan dan perbedaan Muhammadiyah dan NU.
II. Pembahasan
Kelahiran
Muhammadiyah
Salah satu organisasi social Islam yang
terpenting di Indonesia sebelum perang dunia II dan mungkin juga
sampai saat sekarang ini adalah Muhammadiyah. Organisasi ini didirikan di
Yogyakarta pada tanggal 18 November 1912 oleh Kyai Haji Ahmad Dahlan atas saran
yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk
mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen. Dahlan dilahirkan
di Yogyakarta pada tahun 1869 dengan nama Muhammad Darwis, anak dari seorang
Kyai Haji Abu Bakar bin Haji Ibrahim, penghulu.[6]
Dalam keluarga yang cinta ilmu dan riwayat pendidikannya dasar serta studinya
ke Arab selama dua kali mengantarkan Ahmad Dahlan memiliki jiwa yang kritis
terhadap realitas social yang menimpa umat Islam saat itu.
Lahirnya pemikiran modern di awal abad
ke-20 melalui organisasi Muhammadiyah ini tidak dapat dilepaskan dengan situasi
dan kondisi sosial politik yang dihadapi umat Islam saat itu. Kondisi sosial
politik kala itu di mana umat Islam berada dalam cengkraman kolonial Belanda
merupakan faktor eksternal munculnya organisasi Muhammadiyah. Faktor internal yang
turut mendorong lahirnya Muhammadiyah adalah sikap keberagamaan umat Islam kala
itu yang dinilai sangat sinkretis dan diselimuti oleh tradisi Hindu-Buddha
dalam menjalankan ibadah ritual. Rendahnya partisipasi umat Islam dalam
pendidikan. Sikap keberagamaan umat yang masih belum rasional, banyak bercampur
dengan syirik, khurafat, bid’ah dan taqlid akibat dari besarnya pengaruh
keyakinan Hindu dan animism serta proses Islamisasi yang berbau sufisme dan
mistisisme. Sistem pendidikan yang lebih menekankan pada kemampuan mengaji
bukan mengkaji sehingga menimbulkan pemikiran yang tradisional kurang rasional.
Gencarnya gerakan kristenisasi dan westernisasi kala itu yang memperkenalkan
ilmu-ilmu dan kebudayaan Barat tanpa diimbangi dengan pendidikan agama oleh
pemerintah Belanda.[7]
Selain kesadara pendirinya, berdiriya
organisasi Muhammadiyah juga tidak lepas dari jasa-jasa tokoh Boedi Oetomo yang
menganjurkan agar Ahmad Dahlan mendirikan organisasi untuk menyebarkan fahamnya
yang moderat. Pertimbangannya adalah agar sekolahan yang didirikan oleh Ahmad
Dahlan tidak berhenti di tengah jalan ketika ia sudah tidak ada. Pengaruh Boedi
Oetomo sedikit banyak telah mempengaruhi Ahmad Dahlan untuk mendirikan
organisasi Muhammadiyah sampai sekarang telah menjadi organisasi pembaharuan
terbesar di Indonesia bahkan di dunia.[8] Selain
Boedi Oetomo, Ahmad Dahlan juga aktif di organisasi Jami’at Khair, organisasi
modern pada masa itu. Ahmad Dahlan kemudian banyak belajar keorganisasian di
sini yang kemudian menjadi bekal beliau dalam mendirikan Muhammadiyah dan
memanajnya secara modern.
Kritik Terhadap Dunia
Pendidikan
Bakat dalam diri Ahmad Dahlan menjadi
pendidik memang sangat terlihat ketika mengajar di Kweekschool Gubernamen Jetis. Ini terbukti beliau disukai oleh
murid-muridnya sehingga menjadi salah satu guru favorit. Metode induktif,
ilmiah, naqliah dan Tanya jawab sehingga murid-muridnya benar-benar mengetahui
apa yang disampaikan. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan metode pengajaran
yang weton atau bandongan yang sedang berjalan pada saat itu. Metode weton atau
bandongan adalah sebuah model pengajian, di mana seorang kyai atau ustadz membacakan
dan menjabarkan isi kandungan kitab kuning sementara murid atau santri
mendengarkan dan memberikan makna. Sementara metode sorogan berlaku sebaliknya,
yaitu santri atau murid membaca sedangkan kyai atau ustdaz mendengarkan sambil
memberikan pembetulan-pembetulan, komentar atau bimbingan yang diperlukan.[9]
Metode ini masih bisa dijumpai dan dipertahankan di pondok-pondok tradisional.
Tentunya dengan kelebihan dan kekurangannya.
Sistem pendidikan klasikal di atas telah
membuat stagnasi pemikiran karena ajaran agama tidak pernah dikritisi serta
tidak diijtihadi ulang agar nilainya mampu bermanfaat bagi umat. Sistem pendidikan
ini menurut Ahmad Dahlan harus diubah dengan sistem baru yang lebih kritis,
transformative dan demokratis agar mampu menghasilkan para mujtahid handal yang
dapat mengijtihadi hukum sesuai dengan perubahan zaman dan perkembangan
peradaban manusia. [10]
Usaha-usaha yang mula-mula dilakukan
Muhammadiyah adalah mendirikan sekolah serta menyelenggarakan pengajian Islam. Tahun
1918 didirikan sekolah baru bernama “al-Qim al-Arqa”, dua tahun kemudian dari
sekolah ini mendirikan pondok muhammadiyah di Kauman. Tahun 1923 Muhammadiyah
telah berhasil mendirikan 8 jenis sekolah dengan jumlah murid 1019 murid, dan
terdiri dari 73 guru.[11] Dalam
usianya yang tidak lagi muda, Muhammadiyah tetap progresif melakukan dakwahnya.
Salah satu bidang dakwah yang sangat dirasakan oleh masyarakat adalah peran
Muhammadiyah dalam mencerdaskan manusia Indonesia melalui dunia pendidikan.
Data tahun 2003 Muhammadiyah telah memiliki Sekolah Dasar (SD) berjumlah 1128,
Madrasah Ibtida’iyyah (MI) 1768, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) 1179,
Madrasah Tsanawiyah (MTs) 534, Sekolah Menengah Umum (SMU) 509, Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK) 249, Madrasah Aliyah (MA) 171, dan jumlah perguruan tinggi
Muhammadiyah (PTM) adalah 143.[12]
Banyak faktor yang berkonstribusi dalam mengeksiskan keberlangsungan amal usaha
pendidikan ini.
Menurut Geertz titik berat program
Muhammadiyah adalah di bidang pendidikan, yang sistem pengajarannya berpolakan sistem
sekolah negeri. Sistem pendidikan dan pengajaran tersebut bukan dimaksud untuk
menciptakan sendiri suatu sistem pendidikan Islam, melainkan untuk
mengorganisasi sistem pendidikan Swasta yang sejajar dengan sistem nasional. Memang
sejak awal kelahirannya Muhammadiyah cenderung menyesuaikan dengan pendidikan
colonial, sekalipun hanya dalam tata cara penyelenggaraan pendidikan dan bukan
dalam materi atau isi tujuan pendidikan.[13]
gerakan yang bersifat akomodatif.
Belakangan Muhammadiyah juga mendirikan
sekolah-sekolah yang mirip dengan pesantren. Pada dasarnya, reorientasi
kelembagaan dan reorientasi tujuan pengajaran Muhammadiyah tersebut didasarkan
oleh perkembangan dan tuntutan yang muncul yang mengitarinya untuk melakukan
pembaruan. Kontekstualisasi pengajaran tersebut diharapkan agar secara
kualitatif pendidikan yang dikelola oleh Muhammadiyah dapat dipertanggungjawabkan.
Bukan berarti Persyerikatan Muhammadiyah
tidak membangun Pesantren dan sekolah agama. H.S. Prodjokusumo, 1987, dalam Muhammadiyah, Pendidikan Pesantren, dan Pembangunan, member penjelasan tentang
Sekolah Muhammadiyah di Zaman penjajahan. Diklasifikasikan menjadi dua yaitu
sekolah agama dan sekolah umum. Sekolah agama terdiri dari; Muallimin,
Muallimat (sama dengan Muallimin bedanya siswanya putrid), Diniyah Ibtidaiyah
(sekolah agama 3 tahun), Diniyah Wustho (sekolah agama tingkat menengah),
sekolah Tabligh (sekolah agama lanjutan atas), Kuliyatul Muballighin.
Sekolah Umum terdiri dari: Volks School
Moehammadijah (sekolah dasar 3 tahun), Vervolg School (lanjutan dari Volks
School), Normal School (sekolah guru setelah Vervolg), Cursus Voor Volks
Onderwijzer (CVO), Hollandsch Inlandsche School (HIS), Schakel School, Meer
Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Algemeene Middlebare School (AMS), dan
Hollandsch Inlandsche Kweekschool (HIK).[14]
Falsafah dan Paradigma
Pendidikan Muhammadiyah
Untuk melakukan rekonstruksi paradigma,
elemen penting yang perlu diperhatikan oleh sistem pendidikan Muhammadiyah
meliputi faktor-faktor yang terkait dengan akuntabilitas. Elemen penting yang
dimaksud antara lain; pertama, Visi pendidikan Muhammadiyah. Kedua,
Misi Pendidikan Muhammadiyah. Ketiga, Tujuan Pendidikan Muhammadiyah. Keempat,
Sasaran pendidikan Muhammadiyah. Kelima, Kebijaksanaan Pendidikan
Muhammadiyah. Keenam, Program pendidikan Muhammadiyah. Ketujuh,
Kegiatan Pendidikan Muhammadiyah. Dan kedelapan, Indikator Kinerja.[15]
Pendidikan
yang diselenggarakan umat manusia selalu didasarkan pada pandangan hidup atau
falsafah yang dianut masyarakat manusia yang bersangkutan, karena setiap
masyarakat mempunyai falsafah dan pandangan hidupnya sendiri. Pandangan hidup
masyarakat itulah yang memberi arah ke mana pendidikan akan menuju dan
bagaimana cara memindahkan nilai-nilai tersebut. Pandangan hidup pulalah yang
menentukan tujuan pendidikan suatu masyarakat.[16]
Begitu pula halnya Muhammadiyah sebagai organisasi social yang berasaskan
Islam. Dalam pendidikan Muhammadiyah telah merumuskan kerangka filosofisnya.
Dalam Tanfidz Keputusan Muktamar Satu
Abad Muhammadiyah, yakni pada Bab II, terdapat penjelasan tentang Rumusan
Filsafat Pendidikan Muhammadiyah. Beberapa poin dari keputusan tersebut. Pertama,
hakikat pendidikan dalam pandangan Muhammadiyah. Terdapat pernyatan; “Pendidikan
Muhammadiyah adalah penyiapan lingkungan yang memungkinkan seseorang tumbuh
sebagai manusia yang menyadari kehadiran Allah SwT sebagai Rabb dan menguasai
ilmu pengetahuan, teknologi dan seni (IPTEKS). Dengan kesadaran spiritual
makrifat (iman/tauhid) dan penguasaan IPTEKS, seseorang mampu memenuhi
kebutuhan hidupnya secara mandiri memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri,
peduli sesame manusia yang menderita akibat kebodohan dan kemiskinan,
senantiasa menyebarluaskan kemakmuran, mencegah kemungkaran bagi pemuliaan
kemanusiaan dalam rangka kehidupan bersama yang ramah lingkungan dalam sebuah
bangsa dan tata pergaulan dunia yang adil, beradab dan sejahtera sebagai ibadah
kepada Allah. Pendidikan Muhammadiyah merupakan pendidikan Islam modern yang
mengintegrasikan agama dengan kehidupan dan antara iman dan kemajuan yang
holistic.
Kedua, visi
dan misi pendidikan Muhammadiyah. Visi Muhammadiyah dinyatakan sebagai berikut:
“terbentuknya manusia pembelajar yang bertaqwa, berakhlak mulia, berkemajuan
dan unggul dalam IPTEKS sebagai perwujudan tajdid dakwah amar ma’ruf nahi
mungkar. Sedangkan misi dirumuskan sebagai berikut: (1) mendidik manusia memiliki kesadaran ketuhanan
(spiritual makrifat); (2) membentuk manusia berkemajuan yang memiliki etos
tajdid, berfikir cerdas, alternatif dan berwawasan luas; (3) mengembangkan
potensi manusia berjiwa mandiri, beretos kerja keras, wirausaha, kompetitif dan
jujur; (4) membina peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki kecakapan
hidup dan keterampilan social, teknlogi, informasi dan komunikasi; (5)
membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki jiwa, kemampuan
menciptakan dan mengapresiasi karya seni-budaya; (6) membentuk kader
Persyerikatan, umat dan bangsa yang ikhlas, peka, peduli dan bertanggungjawab
terhadap kemanusiaan dan lingkungan.
Ketiga, nilai-nilai
dasar pendidikan Muhammadiyah (NDPM). Sebagai berikut: (1) Pendidikan
Muhammadiyah diselenggarakan merujuk pada nilai-nilai yang bersumber pada
al-Qur’an dan sunnah Nabi; (2) ruhul ikhlas untuk mencari ridla Allah SwT
menjadi dasar dan inspirasi dalam ikhtiar mendirikan dan menjalankan amal usaha
di bidang pendidikan; (3) menerapkan prinsip kerja sama (musyarakah) dengan
tetap memelihara sikap kritis, baik pada masa Hindia Belanda, Dai Nippon
(Jepang), Orde Lama, Orde Baru, hingga pasca ORBA; (4) selalu memelihara dan
menghidup-hidupkan prinsip pembaharuan (tajdid), inovasi dalam menjalankan amal
usaha di bidang pendidikan; (5) memiliki kultur untuk memihak kepada kaum yang
mengalami kesengsaraan (dhuafa dan mustadh’afin) dengan melakukan proses-proses
kreatif sesuai denga tantangan dan perkembangan yang terjadi pada masyarakat
Indonesia; (6) memperhatikan dan menjalankan prinsip keseimbangan (tawasuth dan
moderat) dalam mengelola lembaga pendidikan antara akal sehat dan kesucian
hati.
Keempat,
unsur-unsur pendidikan. Aspek-aspek pendidikan meliputi: (1) pembelajar; (2)
pembelajaran; (3) pendidik; (4) Persyerikatan; (5) manajerial; (6) Kurikulum;
(7) Kemasyarakatan.[17] Keempat
nilai ini masih dalam datarn konsep filosofis masih perlu penjabaran yang lebih
lanjut agar dapat aplikatis di ranah praksis di sekolah-sekolah Muhammadiyah.
Dalam Filsafat Pendidikan setidaknya
mengenal tiga aliran filsafat, yaitu: esensialisme/perenialisme, progresivisme,
dan rekonstruksi social. Esensialisme berpandangan bahwa tugas pendidikan
melestarikan budaya. Progresivisme berpadandangan bahwa tugas pendidikan adalah
mengembangkan kemampuan subyek didik agar dapat berkembang optimal.
Rekonstruksi social berpandangan adanya aspek individual dan adanya aspek
tanggungjawab kemasyarakatan.[18]
Dalam hal ini Muhammadiyah secara eksplisit masuk tiga kategori di atas yaitu esensialisme/perenialisme,
progresivisme, sekaligus rekonstruksi social.
Amin Abdullah dalam makalah Filosofi dan Paradigma Pendidikan
Muhammadiyah[19]
mengungkapkan empat paradigma pendidikan Muhammadiyah. Pertama, paradigma pembaharuan pendidikan Islam yang bercorak
kritis-hermeneutis. Muhammadiyah senantiasa menyatukan dimensi ajaran “kembali
kep ada al-Qur’an dan Sunnah” dengan dimensi “ijtihad” dan “Tajdid” social
keagamaan. Keduanya dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Lewat ijtihad dan tajdid sosio-kulturalnya,
Muhammadiyah sengaja meniru dan melaksanakan sistem pendidikan “sekolah” untuk
tidak menyebutnya dengan sistem pendidikan Barat yang mengajarkan ilmu secara
lebih utuh-komprehensif, baik dalam wilayah natural maupun social atau
behavioral science dengan tidak meninggalkalkan ilmu-ilmu agama Islam.
Kedua,
adalah paradigma pembaharuan pendidikan agama Islam yang bercorak esensialis sekaligus perennialis. Nilai-nilai yang esensial
yang termuat dalam kitab suci al-Qur’an dan juga Sunnah harus berlaku dan
diamalkan secara abadi (perennial).
contoh paradigma pembaharuan pemikiran Islam model
esensialis-perennialis lebih menekankan dimensi “purifikasi” aqidah dan ibadah
dan bukan dinamisasi kehidupan social dan pendidikan keagamaan. Ketiga,
paradigma pembaharuan pendidikan Islam yang bercorak rekonstruksi social (social reconstruction).
Dalam mengaktualisasikan dan merealisasikan cita-cita dan perjuangannya, metode
pembaharuan pemikiran pendidikan Islam model Muhammadiyah menggunakan sistem
organisasi.
Keempat,
paradigma pembaharuan pendidikan Islam yang bercorak progressif. Titik tekan paradigma
ini antara lain adalah sifatnya yang selalu berorientasi ke depan (future oriented). Dengan demikian,
semangat untuk memperbaiki, mengoreksi, dan menyempurnakan cara berpikir dan
mekanisme kerja yang sekarang ini sedang berjalan selalu diperioritaskan.
Konklusinya kemudian dapat ditarik bahwa
Paradigma pendidikan Muhammadiyah pada dataran keilmuan adalah menyatukan ilmu
dengan wahyu, dan ditampilkan dalam antologi yang mendudukkan wahyu dan sunnah
Rasul sebagai acuan. Sementara pada dataran oprasional adalah agar umat Islam
mampu berkiprah di seluruh sektor kehidupan dan di seluruh bidang keahlian, dan
berada dalam seluruh strata kehidupan dan seluruh strata keahlian.[20]
Profil
Singkat Madrasah Muallimin Muhammadiyah Yogyakarta
Pondok Pesantren Mu’allimin Muhammadiyah
Yogyakarta mula-mula didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan pada tahun1920 dengan nama
“Qismul Arqa” atau sering disebut “Hogere School” yang berarti sekolah menengah
tinggi. Tahun 1923 nama tersebut diganti menjadi “Kweekschool Islam” lalu
berubah lagi menjadi “Kweekschool Muhammadiyah”. Pelajarnya masih campuran,
putra-putri. Akhirnya pada kongres Muhammadiyah tahun1930 di Yogyakarta diganti
namanya menjadi “Madrasah Mu’allimin Mu’allimat.
Setelah mengalami pasang surut dalam
perjalanan sejarah yang cukup panjang, lalu timbul gagasan untuk menyesuaikan
dengan perkembangan zaman dan lebih meningkatkan kualitas pendidikan dan
pengajaran. Pada tahun 1980 di bawah kepemimpinan HMS. Ibnu Juraimi, terjadilah
perubahan system pendidikan Mu’allimin yang sangat mendasar. Jikalau pada masa
sebelumnya asrama belum menjadi satu kesatuan system dengan madrasah, maka
sejak tahun 1980 itulah mu’allimin mulai menganut system “long life education”.
Pada system ini madrasah hanyalah merupakan sub system dari pondok pesantren.
Perpaduan antara kebutuhan persyarikatan
(yakni: pencetakan kader-kader) dan
kebutuhan umat saat itu (yakni: keinginan untuk memperoleh ijazah formal yang
diakui oleh Negara, sehingga dapat melanjutkan pendidikan keperguruan tinggi
umum maupun agama) merupakan tuntutan yang tidak bisa dielakkan. Langkahnya, pertama,
memasukkan kurikulum madrasah Tsanawiyah dan Aliyah sesuai kurikulum 1975 (SKB
3 menteri pada masa Menteri Agama Prof. Dr. Mukti Ali) ke dalam kurikulum
Mu’allimin. Kedua, para siswa diwajibkan tinggal di dalam Asrama/Pondok.
Ketiga, pengajaran bahasa Arab dan bahasa Inggris lebih diintensifkan
lagi dengan tujuan mencetak siswa Mu’allimin yang handal dalam berbahasa asing,
baik secara aktif maupun pasif.[21]
Nahdlatul Ulama’ (NU)
Benteng perlawanan terhadap golongan
pembaharu yang didirikan kalangan tradisi di pulau Jawa berbentuk Nahdlatul
Ulama. Didirakan dalam tahun 1926.[22] Kehadiran
dan kelahiran NU sebagai organisasi para ulama di tengah-tengah masyarakat yang
plural dan majemuk seperti Indonesia bukan suatu kebetulan. Terdapat
pilihan-pilihan logis dan sadar atas terbentuknya NU oleh para ulama
tradisional waktu itu. Jika diteliti secara seksama, sejak kelahirannya, NU
telah dihadapkan pada pertarungan ideologi yang ada sebelumnya. Tidak hanya ideologi
keagamaan yang ada di tanah air, tetapi, dan ini yang lebih penting adalah ideologi
yang “diimpor” dari Mesir dan Saudi Arabia. Berbeda dengan ormas keagamaan
lainnya, kehadiran NU merupakan bagian dari desakan local untuk merawat tradisi
yang saat itu terancam oleh kalangan reformis atau modernis (baca:
Muhammadiyah, Syarikat Islam dan al-Irsyad). Ini adalah faktor dari dalam atau
internal di tanah air. Tetapi, dari sisi eksternal, kehadiran NU, langsung atau
tidak langsung sebagai bentuk resistensi terhadap faham wahabisme di satu sisi
dan menguatnya kelompok pembeharuan di Mesir yang dikomandoi oleh Jamaluddin
al-Afghani dan Rasyid Ridho.[23]
Meskipun itu bukanlah satu-satunya sebab yang merespon berdirinya NU.
Sedikit menyinggung sejarah pendidikan
NU, Pada Muktamar NU ke-3 (1928), elite NU memprakarsai gerakan peduli
pendidikan dengan mengajak para Muktamirin untuk mengunjungi pesantren-pesantren
besar seperti Tambak Beras yang dipimpin KH. Wahab Chasbullah, Denanyar yang
dipimpin oleh KH. Bisri Syamsuri, dan Nganjuk yang dipimpin oleh K. Pathudin
Seror Putih. Pada Muktamar NU ke-4 (1929), panitia Muktamar merespon
kecenderungan naiknya kuantitas dan kualitas pendidikan yang mendorong para
Muktamirin sepakat untuk membentuk wadah khusus yang menangani bidang
pendidikan yang bernama Hoof Bestur Nahdlatul Oelama (HBNO) yang diketuai oleh
Ustadz Abdullah Ubaid, waktu itu disebut presiden. Pada perkembangan
selanjutnya, terbentuklah Lembaga Pendidikan Maârif NU (LPMNU) pada Muktamar NU
ke-20 (1959) di Jakarta.
Dari arena Muktamar ke Muktamar, hingga
Muktamar NU ke-30 (1999) di Kediri, Lirboyo, Jawa Timur, NU tetap menjadikan
sektor pendidikan sebagai mainstream (pemikiran utama). Munas dan Konbes NU
tanggal 25-28 Juli 2002 di Pondok Gede Jakarta menghasilkan Taushiyah Pondok
Gede Tahun 2002yang mencoba mempertegas kembali posisi bidang pendidikan untuk
menjadi prioritas program NU. Untuk menafsirkan lebih rinci, tak lama setelah
itu, tepatnya tanggal 22-25 Agustus 2002 di Kawasan Puncak Batu Malang Jawa
Timur, diselenggarakan Rapat Kerja LPMNU dan Musyawarah Kerja Perguruan Tinggi
NU. Di forum tersebut, NU kembali mematangkan format, strategi dan guidlines
(garis panduan) pengembangan pendidikan di lingkungan NU.[24]
Tidak bisa dikatakan bahwa sistem
pendidikan pesantren adalah identik dengan NU, namun Keberadaan pendidikan di
wilayah NU berawal dari keberadaan pesantren. para kiai pesantren, dahulu kala,
ketika pulang dari Timur Tengah ke Indonesia, sebagian besar mendirikan
pesantren sebagai institusi pendidikan. Oleh karena pendidikan pesantren, maka keilmuan
yang diutamakan adalah keagamaan, khususnya fiqih-hukum-yurisprudensi; dan
karena kitab fiqih itu kebanyakan berbahasa Arab, maka untuk memahaminya
diperlukan ilmu alat berupa nahwuâ sharaf, jadi pesantren mesti memiliki
perangkat keilmuan nahwu-sharaf.
Jadi keberadaan pendidikan di lingkungan
NU sebelum madrasah adalah pesantren. Saat ini pendidikan pesantren berada
dalam naungan NU, yang penanganannya dipasrahkan pada Lajnah RMI (Lembaga
Rabithah Maâhid Islamiyah), sedangkan pendidikan madrasah berada dalam naungan
NU, yang penanganannya diserahkan kepada Lembaga Pendidikan Maârif (LPM). Sekolah
NU-Maârif didirikan untuk syiâr Islam. Oleh karena untuka syiâr, maka yang
penting ramai, dalam artian yang penting sekolahnya berjumlah banyak. Persoalan
kualitas nanti dulu dan pada awalnya- tidak begitu dipedulikan. Akan tetapi
pada perkembangan berikutnya, sekolah NU-Maârif mengikuti kebutuhan sebagaimana
keberadaan sekolah pada umumnya. Sekolah pada umumnya mengembangkan potensi
pokok yang harus dimiliki oleh sekolah yang bersangkutan.
Pendidikan NU mempunyai dua ciri yang
esensial; 1). Al-I’timad alannafsi (berdikari), dan 2). Fil Ijtimaâiyah
(memasyarakat), artinya dihidupi oleh masyarakat. Madrasah atau pesantren itu
didirikan oleh masyarakat dan dibiayai sendiri oleh masyarakat. Ketika
masyarakat mau belajar atau mau menyekolahkan anaknya di pesantren atau
madrasah, mereka hanya ditunjukkan tempatnya oleh kiai, kemudian mereka
membangun kamar sendiri. Hal itu sekarang bergeser, pesantren atau madrasah
tidak berdikari, mereka juga mencari sumbangan ke pemerintah. Wali santri
sekarang tidak otomatis menyumbang kecuali ada tarikan dari pihak sekolah. Jadi
tidak ada kesukarelaan seperti dulu, kalau wali santri menitipkan anaknya ke
pesantren maka bangunan pesantren menjadi tanggung jawab wali santri.[25]
Sistem Pesantren
Dalam buku Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam
di Indonesia (2001: 100-120), yang berisi kumpulan tulisan dari berbagai
sumber. Salah satu judul yang menarik adalah tulisan Hasan Basri dengan judul Pesantren: Karakteristik dan Unsur-Unsur
Kelembagaan. tulisan ini mencoba untuk memotret sekilas gambaran sistem
pesantren dan karakteristiknya. Berangkat dari
definisi teoritis, pesantren menurut Mastuhu, adalah lembaga pendidikan
tradisional Islam untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan
mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan sebagai
pedoman prilaku sehari-hari.
Definisi lain yang diberikan oleh
Sudjoko Prasodjo, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama,
umumnya dengan cara nonklasikal, di mana seseorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam
kepada sntri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh
ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama)
dalam pesantren tersebut. Dengan demikian, dalam lembaga pendidikan Islam yang
disebut pesantren sekurang-kurangnya ada unsur-unsur: kiai, mesjid sebagai
tempat penyelenggaraan pendidikan, dan pondok atau asrama tempat tinggal para
santri.
Karakteristik
pendidikan pesantren
1. Materi
Pelajaran dan Metode Pelajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pada
dasarnya pesantren hanya mengajarkan agama, sedangkan sumber kajian atau mata
pelajarannya ialah kitab-kitab dalam bahasa Arab. Pelajaran agama yang dikaji
ialah al-Qur’an dengan tajwidnya dan tafsir, aqa’id dan ilmu kalam, fiqh dan
ushul fiqh, hadis dan musthalah hadis, bahasa arab dengan ilmu alatnya seperti
nahwu, sharaf, bayan, ma’ani, badi’ dan arudh, tarikh, mantiq dan tasawuf.
Kitab yang dikaji umumnya kitab-kitab yang ditulis pada abad pertengahan yang
lazim disebut kitab kuning.
Adapun metode yang lazim dipergunakan
dalam pendidikan pesantren ialah wetonan,
sorogan, dan hafalan. Metode wetonan adalah metode kuliah dimana para santri
mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kiai yang menerangkan pelajaran.
Sedangkan metode sorogan ialah metode di mana santri menghadap kiai atau guru
seorang demi seorang dengan membawa kitab yang dipelajarinya. Metode hafalan
ialah suatu metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari
kitab yang dipelajarinya. Biasanya dalam bentuk syair atau nadzam agar lebih
mudah untuk dihafalkan.
2. Jenjang
Pendidikan
Jenjang pendidikan dalam pesantren tidak dibatasi seperti dalam
lembaga-lembaga pendidikan yang memakai sistem klasikal. Umumnya, kenaikan
tingkat seseorang santri ditandai dengan tamat dan bergantinya kitab yang
dipelajarinya. Apabila seorang santri telah menguasai satu kitab atau beberapa
kitab dan telah lulus imtihan (Ujian)
yang diuji oleh kiainya, maka ia berpindah ke kitab lain. Jadi, jenjang
pendidikan tidak ditandai dengan naiknya kelas seperti dalam pendidikan formal,
tapi pada penguasaan kitab-kitab yang telah ditetapkan dari yang paling rendah
sampai yang paling tinggi.
3. Fungsi
Pesantren
Pesantren tidak hanya berfungsi sebagai
lembaga pendidikan, tetapi juga berfungsi sebagai lembaga social dan penyiar
agama. Sementara Azyumardi Azra menyatakan bahwa ada tiga fungsi pesantren
tradisional. Pertama, transmisi dan transfer ilmu-ilmu Islam. Kedua, pemeliharaan
tradisi Islam, dan ketiga, reproduksi ulama. Di samping itu pesantren juga
menjadi sentral konsultasi masyarakat yang dating dengan berbagai keperluan
seperti minta nasihat, minta doa, dll.
4.
Prinsip-Prinsip
Pendidikan Pesantren
Setidak-tidaknya
ada dua belas prinsip yang dipegang teguh pesantren: (1) Theocentric, (2) suka
rela dalam pengabdian; (3) kearifan; (4) kesederhanaan; (5) kolektivitas; (7)
kebebasan terpimpin; (8) kemandirian; (9) pesantren adalah tempat mencari ilmu
dan mengabdi; (10) mengamalkan ajaran agama; (11) belajar di pesantren bukan
mencari ijazah; (12) restu kiai, artinya semua perbuatan yang dilakukan oleh
setiap warga pesantren sangat bergantung pada kerelaan dan doa dari kiai.
5. Sarana
dan tujuan pesantren
Dalam bidang sarana, pesantren
tradisional ditandai oleh cirri khas kesederhanaan. Sejak dulu lingkungan atau
kompleks pesantren sangat sederhana. Tentu saja kesederhanaan secara fisik kini
sudah berubah total. Banyak pesantren tradisional yang memiliki gedung yang
megah. Namun, kesederhanaan dapat dilihat dari sikap dan prilaku kiai dan
santri serta sikap mereka dalam pergaulan sehari-hari.
Mengenai tujuan pesantren, sampai kini
belum ada suatu rumusan yang definitif. antara satu pesantren dengan pesantren
yang lain terdapat perbedaan dalam tujuan, meskipun semangatnya sama, yakni
untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat serta meningkatkan ibadah kepada
Allah. Hasil wawancara Mastuhu terhadap pengurus pesantren layak untuk
dituliskan, tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan mengembangkan
kepribadian muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan,
berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau
abdi masyarakat, sebagai rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana
kepribadian Nabi Muhammad (mengikuti sunah nabi), maupun berdiri sendiri, bebas
dan teguh dalam kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan
kejayaan umat Islam di tengah-tengah masyarakat (‘zzul Islami wal muslimin),
dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan kepribadian Indonesia.
6. Kehidupan
Kiai dan Santri
Kegiatan di pesantren berkisar pada
pembagian waktu berdasarkan shalat lima waktu. Dengan sendirinya pengertian
waktu pagi, siang, dan sore di pesantren menjadi berbeda dengan pengertian di
luar.
Setidak-tidaknya ada delapan cirri
pendidikan pesantren, sebagai berikut: (1) Adanya hubungan yang akrab antara
santri dengan kiainya; (2) Kepatuhan santri kepada kiai; (3) Hidup hemat dan
sederhana benar-benar diwujudkan dalam lingkungan pesantren; (4) Kemandirian
amat terasa di pesantren; (5) Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan
(ukhwah) sangat mewarnai pergaulan di pesantren; (6) Disiplin sangat dianjurkan
di pesantren; (7) Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan merupakan salah
satu segi pendidikan yang diperoleh para santri; (8) Pemberian ijazah, yaitu
pencantuman nama dalam satu daftar rantai transmisi pengetahuan yang diberikan
kepada santri-santri
Profil
singkat Ponpes Tebuireng
Pondok
pesantren tebu irang didirikan oleh Kyai Hasyim Asy’aripada tahun 1899 M.
secara singkat, periodesasi kepemimpinan tebuireng sebagai berikut:
Periode
I :
KH. Muhammad hasyim Asy’ari :
1899-1947
Periode
II :
KH. Abdul Wahid Hsyim :
1947-1950
Periode
III : KH. Abdul Karim Hasyim :1950-1951
Periode
IV : KH. Ahmad Baidhawi :1951-1952
Periode
V : KH. Abdul Kholik Hasyim : 1953-1965
Periode
VI : KH. Muhammad Yusuf
Hasyim :1965-2006
Periode
VII : KH. Salahuddin Wahid : 2006- sekarang
Sebagai pesantren tradisional, pondok
pesantren tebuireng pada awal kelahirannya telah mampu menunjukkan perannya
yang sangat berarti bagi negeri ini, yang sedang melawan penjajah Belanda dan
jepang. Seiring dengan perjalan waktu pondok pesantren tebuireng tumbuh
demikian pesatnya, santri yang berdatangan menimba ilmu semakin banyak dan
beragam. Untuk kepentingan, pondok pesantren tebuireng beberapa kali telah
melakukan perubahan kebijaksanaan yang berkaitan dengan pendidikan. Pada zaman
itu system pengajarn yang digunakan adalah metode sorogan, metode weton atau
bandongan atau halqah. Kenaikan tingkat pendidikan dinyatakan dengan
bergantinya kitab yang khatam dikaji dan diikuti santri. Materi pelajarannya
pun khusus berkisar tentang pengetahuan agama islam, ilmu syari’at dan bahasa
Arab. Sesuai dengan misi utama berdirinya pondok
Perubahan system pendidikan di pesantren
ini pertama kali diadakan Kyai Hasyim Asy’ari pada tahun 1919 M, yakni dengan
penerapan system madrasi (klasikal) dengan mendirikan Madrasah Salafiyah
Syafi’iyah. System pengajaran disajikan secara berjenjang dalam dua tingkat,
yakni Shifir Awal dan Shifir Tsani. Hingga pada tahun 1929 M, kembali dirintis
pembaharuan, yakni dengan dimasukkannya pelajaran umum ke dalam struktur
kurikulum pengajaran. Satu bentuk yang belum pernah ditempuh oleh pesantren
manapun pada waktu itu.[26]
Ponpes Tebuireng saat ini di bawah naungan Yayasan Hasyim Asy’ari mengembangkan
beberapa unit pendidikan formal dan nonformal, yaitu: Madrasah Tsanawiyah
Salafiyah Syafi’iyyah, SMP A. Wahid Hsyim, Madrasah Aliyah Salafiyah
Syafi’iyyah, SMA A. Wahid Hasyim, Madrasah Diniyyah, dan Ma’had Aly Hasyim
Asy’ari.
III. Kesimpulan
Yang bisa disimpulkan dari penjelasan singkat dalam
makalah ini yaitu;
1. Adanya
kesamaan ideology pendidikan yakni konservatis, meskipun Muhammadiyah lebih
progresif dengan konsep tajdidnya sedangkan NU lebih pada tetap mempertahankan
nilai-nilai tradisi.
2. Memiliki
kesamaan dalam merespon perkembangan zaman, dalam konteks pendidikan
Muhammadiyah memasukkan system kepondokan (asrama) ke dalam system madrasah.
Sedangan NU memasukkan system pendidikan Madrasah (metode klasikal) ke dalam
system pondok.
3. Lahirnya
Muhammadiyah merupakan respon terhadap kondisi umat islam di Indonesia yang
irasional, sedangkan NU lahir dari antithesis gerakan pembaharuan Timur Tengah
dan Muhammadiyah.
Daftar Pustaka
Tuhuleley, Said
(ed), Reformasi Pendidikan Muhammadiyah
Suatu Keniscayaan, Yogyakarta: SM, 2003
Slamet Abdullah
& Muslich KS, Seabad Muhammadiyah,
dalam Pergumulan Budaya Nusantara, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2010
Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia
1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1985
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008
Nata, H. Abuddin
(ed), Sejarah Pertumbuhan dan
Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Gramedia, 2001
Mansur
Suryanegara, Ahmad, Api Sejarah, Bandung:
Salamadani, 2010
Pasha, Musthafa
Kamal & Darban, Ahmad Adaby, Muhammadiyah
sebagai Gerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka SM, 2009
A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama, Masa
Depan Moderatisme Islam di Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010
Suara
Muhammadiyah (SM), NO. 04 TH KE-98. 16 – 28 FEB 2013
Jurnal
Humaniora, Vol. 3 No. 2 November 2001
Artikel PendidikanNetworkMENGENALPENDIDIKANNAHDHATULULAMA.htm.
akses juni 2013
www.Tebuireng.org/pages/1/profil.html. akses 20 juni
2013
[1] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
M. Naquib Al-Attas, Bandung: Mizan, 2003, h. 24
[2] Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008, h. 4
[3] Musthafa Kamal Pasha & Ahmad
Adaby Darban, Muhammadiyah sebagai
Gerakan Islam, Yogyakarta: Pustaka SM, 2009, h. 145
[4] Musthafa Kamal Pasha & Ahmad
Adaby Darban, h. 146
[5] Gambaran lebih rinci dijelaskan
oleh Amin Abdullah pada tema Paradigma Pendidikan Muhammadiyah
[6] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia
1900-1942, Jakarta: LP3ES, 1985, h. 84
[7] H. Abuddin Nata (ed), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan
Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 2001,
hlm. 256
[8] Slamet Abdullah & Muslich
KS, Seabad Muhammadiyah, dalam Pergumulan
Budaya Nusantara, Yogyakarta: Global Pustaka Utama, 2010, h. 3-4
[9] Slamet Abdullah & Muslich
KS, h. 42
[10] Slamet Abdullah & Muslich
KS, h. 42
[11]
Abudin Nata (ed), h, 259
[12] Said Tuhuleley (ed), Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu
Keniscayaan, Yogyakarta: SM, 2003, h. 29
[13]
Abudin Nata (ed), h. 263
[14] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadina, 2010,
h. 444
[15] Said Tuhuleley (ed), h. 98-100
[16]
Jurnal Humaniora, Vol. 3 No. 2 November 2001, h. 95
[17] Tulisan Prof.
Dr. Syamsul Arifin dengan judul AIK Sebagai Praksis Pendidikan Nilai, Suara
Muhammadiyah 04/98 I 16-28 Februari 2013
[18] Said Tuhuleley (ed), Reformasi Pendidikan Muhammadiyah Suatu
Keniscayaan, Yogyakarta: SM, 2003, h. 35-40
[19] Said Tuhuleley (ed), h. 49
[20] Said Tuhuleley (ed), h. 49 &
51
[21]
Selengkapnya bisa dibaca di situs resminya, www.muallimin.sch.id/index.php/profile.
akses 20 juni 2013
[22]
Deliar Noer, h, 241
[23] A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama, Masa
Depan Moderatisme Islam di Indonesia, Yogyakarta: Logung Pustaka, 2010, h.
22
[24]
Artikel%20Pendidikan%20Network%20-%20MENGENAL%20PENDIDIKAN%20NAHDHATUL%20ULAMA.htm.
akses 8 Juni 2013
[25] Ibid
[26] Untuk lebih
rinci dan mendalam dapat dibaca di situs resminya,
Tebuireng.org/pages/1/profil.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar