KONSEP KEBEBASAN MANUSIA DALAM TAFSIR
AL-MISBAH
KARYA M. QURAISH SHIHAB
oleh Syahrul
I.
Pendahuluan
Kebebasan
merupakan hak manusia yang paling asasi, meskipun kebebasan tidak bisa
diartikan sebgai kebebasan tak terbatas, karena setiap kebebasan akan dibatasi
oleh kebebasan yang lain. Sebelum melihat bagaimana al-Qur’an menjelaskan
kebebasan manusia, maka memahami manusia akan lebih mengantarkan kepada
pemahaman yang sempurna.
Problematika
kebebasan kehendak benar-benar mempunyai kedudukan khusus dalam sejarah
pemikiran Islam, bahkan dianggap sebagai problematika rasional paling tingggi
yang pernah menghambat kaum muslimin. Pemikiran-pemikiran awam tertuju padanya,
tetapi ia juga dipelajari oleh orang-orang khusus sejak masa awal islam. Di
sekitarnya muncul berbagai macam pertayaan,yang karenanya banyak timbul
perdebatan dan banyak lahir aliran pemikiran spesifik atas namanya. Dengan
berlalunya zaman, aliran-aliran ini masih tetap beraneka ragam dan banyak
jumlahnya.[1]
Kata kebebasan dalam Islam diungkapkan dengan
dua istilah. Pertama, dengan istilah hurriyah. Dalam al-Mausu’ah
al-Islamiyah al-‘Ammah, kebebasan didefinisikan sebagai kondisi
keislaman dan keimanan yang membuat manusia mampu mengerjakan atau meninggalkan
sesuatu sesuai kemauan dan pilihannya, dalam koridor sistem Islam, baik aqidah maupun moral. Dari
pengertian ini terdapat dua bentuk kebebasan. Pertama, kebebasan
internal (hurriyah dakhiliyah) yaitu kekuatan memilih antara dua hal yang berbeda dan bertentangan. Kebebasan
jenis ini tergambar dalam kebebasan berkehendak (hurriyat al-iradah),
kebebasan nurani (hurriyat adh-dhomir), kebebasan jiwa (hurriyat
an-nafs) dan kebebasan moral (hurriyat al-adabiyah). Kedua,
kebebasan eksternal (hurriyat kharijiyah). Bentuk kebebasan ini terbagi
menjadi tiga: ath-thabi’iyah, yaitu kebebasan yang terpatri dalam fitrah
manusia yang menjadikannya mampu melakukan sesuatu sesuai apa yang ia lihat; as-siyasiyah,
yaitu kebebasan yang telah di berikan oleh peraturan perundang-undangan; ad-diniyah,
kemampuan atas keyakinan terhadap berbagai mazhab keagamaan.
Kedua,
kebebasan
diungkapkan dengan istilah ikhtiyar. Ikhtiyar sebagaimana yang dipakai dalam teologi Islam, tidaklah sama dengan ide modern
mengenai kebebasan (dalam arti freedom/liberty).
Sebab, akar kata ikhtiyar adalah khair atau baik, yang berarti memilih
sesuatu yang terbaik. Karena itu, jika bukan memilih sesuatu yang baik, maka
sebenarnya itu bukanlah pilihan, melainkan kezaliman. Memilih sesuatu yang
terbaik adalah kebebasan yang sejati dan untuk melakukannya seseorang dituntut
untuk mengetahui mana yang baik dan mana yang buruk. Sebaliknya, memilih
sesuatu yang buruk adalah pilihan yang berdasarkan kejahilan dan bersumber dari
aspek-aspek tercela nafsu hewani.[2]
Baik
secara tersirat maupun tersurat, al-Qur’an banyak berbicara tentang kebebbasan
manusia untuk menentukan sendiri perbuatannya yang bersifat ikhtiariah. Yang
dimaksud dengan perbuatan ikhtiariah adalah perbuatan yang dapat dinisbatkan
kepada manusia dan menjadi tanggung jawabnya karena memang ia mempunyai
kemampuan untuk melakukan dan meninggalkannya. Misalnya, menerima atau menolak
ayat-ayat yang dibawa para Rasul. Dalam surat 31/Luqman: 21-22
Dan
apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang diturunkan
Allah". mereka menjawab: "(Tidak), tapi kami (hanya) mengikuti apa
yang kami dapati bapak-bapak kami mengerjakannya". dan apakah mereka (akan
mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaitan itu menyeru mereka ke dalam
siksa api yang menyala-nyala (neraka)? Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya
kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia
Telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan Hanya kepada Allah-lah
kesudahan segala urusan.
Kedua
sikap ini merupakan perbuatan ikhtiariah. Orang dapat memilih dan
melakukan sikap pertama (menolak) atau kedua (menerima), dan karenannya ia akan
dibalas dengan siksaan atau pahala sesuai dengan pilihannya itu. Secara
tersirat, diturunkannya al-Qur’an menunjukkan adanya kebebasan yang diberikan
kepada manusia dalam memilih jalan hidupnya, yang berkenaan dengan iman dan
kufur terhadap apa yang dibawa al-Qur’an sendiri
Sejarah
kemudian melahirkan banyak aliran pemikiran teologi islam (kalam) berkaitan
kebebasan manusia dalam hubungannya dengan perbuatan Allah. Ada dua aliran yang
sangat paradoks dan kontaradiktif (face o face). Paham Jabariah berpendapat,
bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk menentukan perbuatan,
karena pada dasarnya Allah telah menentukan perbuatan-perbuatannya sejak azali
dan mewujudkannya padanya (manusia) atas kemampuannya sendiri. Paham Qadariyah,
sebaliknya, berpendapat bahwa manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri
untuk mewujudkan perbuatannya; Allah sama sekali tidak menentukannya
sebelumnya.[3]
Kedua paham ekstrim ini hanya akan melahirkan kerancuan-kerancuan teologi jika
dipegangi dengan secara berlebihan.
Makalah
singkat ini tidak akan terjebak ke dalam perdebatan yang panjang lebar para
teolog muslim (mutakallimun), tapi mencoba mengkonstruksi ayat-ayat yang
menjadi sumber perdebatan -yang melahirkan aliran dan ajaran yang saling bertentangan-
dalam prespeltif tafsir kontemporer, yaitu tafsir al-Misbah karya M. Quraish
Shihab kemudian mendeskripsikannya dengan analisis kualitatif. Sistematika
penulisan makalah ini dimulai pada bagian pertama, berupa pengantar, kedua,
sekilas pandangan beberapa aliran-aliran teologi dalam melihat persoalan
kebebasan manusia. Ketiga, pembahasan dan penjelasan Tafsir al-Misbah
berkaitan dengan ayat-ayat yang menjadi perdebatan. Keempat, penutup
yang berisi kesimpulan.
Perlu
diketahui, bahwa tafsir al-Misbah merupakan produk tafsir modern bahkan
kontemporer oleh seorang ulama asli Indonesia dengan otoritas keilmuan yang
mumpuni. Metode tafsir al-Misbah merupakan kombinasi dari dua metode tafsir
yaitu metode tahlili dan maudu’i.
II.
Aliran-Aliran
Teologi (kalam)
Problematika
muncul pada saat terjadi serentetan bencana; fitnah berkobar terhadap Usman;
sesama orang islam saling menyerang; sekelompok orang mengajukan tahkim
(perdamaian) tetapi yang lain menolak; orang-orang mulai mempertanyakan tentang
dosa besar dan dosa kecil, meraka menghukumi pelaku dosa tersebut (apakah) ia
masih termasuk seorang mukmin atau kafir, atau justru berada di tengah-tengah
antara dua kondisi tersebut. Pada saat munculnya problematika inilah pembahasan
mengenai taqdir mendapat porsi.[4]
Kemudian muncullah beberapa aliran teologi.
Mu’tazilah
Cirri khas paling khusus dari Mu’tazilah,
ialah bahwa mereka meyakini sepenuhnya kemampuan akal. Prinsip ini mereka
pergunakan untuk menghukum berbagai hal. Mereka berpendapat bahwa alam punya
hokum kokoh yang tunduk kepada akal.[5]
Kebebasan berkehendak erat hubungannya dengan keadilan Tuhan. Mereka memandang
keadilan Tuhan menjadi hilang jika seseorang dituntut harus
mempertanggungjawabkan perbuatan yang tidak ia kerjakan, atau jika ia dihisab
tentang perbuatan yang tidak ia kehendaki. Akal dapat mengetahui sifat-sifat
yang menjadikannya jelek sehingga akal dapat mengetahui yang baik adalah baik
dan yang jelek adala jelek. Sedangkan syariat dalam penentuan baik buruk itu
sebenarnya tidak lebih hanya sekedar mengungkapkan dan menceritakan kenyataan
baik-buruk tersebut, karena baik dan buruk itu bersifat rasional dan akal dapat
mengetahuinya sebelum adanya syari’at. Atas dasar itulah aliran Mu’tazilah
berpendapat bahwa manusia mukallaf sebelum datangnya syari’at melalui hal-hal
yang ditunjukkan oleh akal.[6]
Keadilan
Allah menuntut bahwa manusia haruslah bebas. Karena tanpa adanya kebebasan ini,
kenabian dan risalah tidak ada artinya, tidak ada dasar bagi syari’ah atau
taklif bahkan untuk apa pengutusan para rasul kepada orang yang tidak mempunyai
kebebasan dalam mengikuti dan mendengarkan dakwah meraka? Bagaimana seseorang
diperintah untuk melakukan atau tidak melakukan (sesuatu) sedangkan ia tidak
mempunyai kehendak?. Mu’tazilah juga berpendapat bahwa kekuasaan manusia yang
bersifat temporal (al-Hadisah) itu bersumber dari kekuasaan yang Qadim
(eternal), karena Allah telah memberi suatu kemampuan kepada hambannya yang
secara umum bisa dipergunakannya untuk melakukan dan meninggalkannya, atau dia
menciptakan suatu kekuatan pada hambaNya ketika ia menghadapi semua
aktivitasnya. Kemampuan baru ini setiap saat berpengaruh, keterpengaruhannya
itulah yang merupakan tempat adanya pahala dan siksa.[7]
Mu’tazilah
membagi perbuatan manusia menjadi dua klasifikasi: ikhtiariah dan Idtirar.
Perbuatan-perbuatan ikhtiariah adalah tindakan-tindakan yang dituju akal
manusia dengan berdasarkan pada pengetahuan dan kehendak. Perbuatan-perbuatan
jenis ini merupakan alasan bagi taklif seperti shalat dan puasa. Sedangkan
perbuatan-perbuatan Idtirar adalah perbuatan-perbuatan yang terjadi dengan
sendirinya, tanpa ada campur tangan kehendak manusia, seperti api yang membakar
dan mengigil ketika dingin.
Asy’ariah dan Maturidiah
Asy’ariyah
merupakan aliran yang hidup hingga sekarang, berumur hamper sepuluh abad.
Aliran ini tumbuh pada tahun-tahun pertama abad ke-4 H, sehingga sekarang masih
ada, walaupun harus menghadapi tekanan kira-kira 1,5 abad. Satu saat bertarung
melawan kaum rasionali, yang diwakili Mu’tazilah, tapi kadang juga melawan
naqliyah (tekstualis) yang diwakili oleh Salaf ekstrim. Abu Hasan al-Asy’ari
(260-324 H) hendak berdiri di tengah di antara dua aliran tersebut. Perbedaan
antara Asy’ariyah dengan Maturidiyah tidaklah serius masing-masing mewakili
pendapat al-sunnah wa al-jama’ah.[8]
Menurut
Asy’ariah semua perbuatan, baik dan buruk, diciptakan oleh Allah. Sama sekali
tidak ada keraguan dalam hal ini. Merupakan kesalahan tersendiri jika
mengatakan bahwa orang kafir itu menciptakan perbuatan kafirnya, karena seseorang
tidak menciptakan kecuali apa yang dituju dan diinginkannya. Kekafiran itu
adalah sesuatu yang fasid dan jelek, tidak patut diinginkan, maka jika ia
dating dengan tanpa unsur kesengajaan dari penciptanya maka tidak mungkin jika
padahal penciptanya. Pada hakikatnya, yang bukan pencipta tidak boleh mencipta.
Sehingga kemungkinan penciptanya tinggal Allah SWT. Jelas bahwa Asy’ari ingin
menjelaskan bahwa ada perbuatan-perbuatan yang terjadi pada manusia justru
sebalik dari kehendaknya, dan tidak mungkin ia sebagai penciptanya selama iradah
sebagai satu-satunya sumber aksi.[9]
Mu’tazilah
telah melihat bahwa mengembalikan seluruh perbuatan kepada Allah berarti bahwa
manusia berada di antara dua kemungkinan: berada dalam kenikmatan yang harus
disyukuri atau berada dalam kesulitan yang harus dihadapinya dengan sabar. Bagi
al-Asy’ari tidak ada masalah sama sekali dalam masalah ini. Yang jelas ada
bencana-bencana yang harus dihadapi dengan sabar seperti sakit dan kehilangan
anak, tetapi juga ada bencana yang tidak boleh dihadapi dengan kesabaran
seperti kekafiran dan perbuatan maksiat. Ini berarti bahwa Allah mentakdirkan
dan menentukan perbuatan-perbuatan maksiat, tetapi tidak berarti bahwa Dia
memerintahkan agar hal itu dlakukan.
Jika
Allah SWT pencipta semua perbuatan, lantas apa yang tersisa untuk manusia?
Al-Asy’ari menjawab bahwa manusia mempunyai kasab dan ikhtiar. Kasab berarti semata-mata
hubungan qudrat dan kehendak manusia dengan perbuatan, sedangkan perbuatan ini
merupakan ciptaan Allah, karena kudrat kita sama sekali tidak bisa berpengaruh
kepada yang diqudratinya, karena ia sendiri makhluk Allah. Pokoknya Allah
menjalankan sunnah-sunnahNya dengan menciptakan –bersama dengan qudrat yang
baru- perbuatan yang dikehendaki dan disengaja akal manusia. [10]
III. Perpektif Tafsir al-Misbah
Terjadinya perbedaan paham tentang kebebasan
manusia berangkat dari pijakan yang sama yaitu al-Qur’an. Ada beberapa ayat
yang kemudian menimbulkan penafsiran dan intepretasi yang berbeda. Al-Qur’an
terkadang mendukung kebebasan berkehendak, sedangkan sebagian yang lain
menentangnya. Sepintas lalu akan terlihat kontradiksi, tetapi sebenarnya tidak
menunjukkan pertentangan.
1.
Kelompok ayat
yang mendukung kebebasan berkehendak diantaranya;
Katakanlah:
"Hai manusia, Sesungguhnya teIah datang kepadamu kebenaran (Al Quran) dari
Tuhanmu, sebab itu barangsiapa yang mendapat petunjuk Maka Sesungguhnya
(petunjuk itu) untuk kebaikan dirinya sendiri. dan barangsiapa yang sesat, Maka
Sesungguhnya kesesatannya itu mencelakakan dirinya sendiri. dan Aku bukanlah
seorang Penjaga terhadap dirimu". (QS. Yunus:
108)
Tafsirnya: Setelah
banyak perintah dan larangan yang dikemukakan sebulumnya, sebagai penutup
uraian surah, Nabi diperintahkan untuk
menyampaikan bahwa segala larangan itu untuk kepentingan masing-masing bukan
untuk nabi. Seruan ini bagi manusia seluruhnya baik yang percaya maupun tidak,
baik yang hidup pada masa nabi maupun yang akan dating. Bahwa telah dating
al-Qur’an sebagai kebenaran dan pembimbing oleh karena itu barang siapa yang
mendapat petunjuk yakni beriman kepada Muhammad dan mengamalkan kandungan
al-Qur’an , maka semata-mata ia mendapatkan petunjuk untuk kebaikan dirinya
sendiri. Karena itu ia akan hidup tenang di dunia maupun di akhirat. Barang
siapa yang sesat sehingga mengingkari kebenaran al-Qur’an dan kenabian
Muhammad, maka semata-mata dia menyesatkan/mencelakakan dirinya sendiri. Dan
Nabi mempertegas bahwa dirinya bukanlah pemelihara, tuganya adalah hanya
sekedar menyampaikan.[11]
Dan
Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir)
Biarlah ia kafir". Sesungguhnya kami Telah sediakan bagi orang orang zalim
itu neraka, yang gejolaknya mengepung mereka. dan jika mereka meminta minum,
niscaya mereka akan diberi minum dengan air seperti besi yang mendidih yang menghanguskan
muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.
(QS. Al-Kahf: 29)
Tafsirnya: Ayat
ini berbicara tentang penolakan nabi atas usulan kaum musyrikin untuk mengusir
kaum miskin dan lemah dari mejelis beliau, nabi menegaskan kesemua pihak
termasuk kaum musyrikin yang angkuh bahwa; “dan katakanlah wahai Nabi Muhammad
Bahwa: kebenaran yakni wahyu ilahi yang aku sampaikan ini datangnya
dari Tuhanmu pemelihara kamu dalam segala hal; maka barang siapa diantaramu,
atau selain kamu yang ingin beriman tentang apa yang kusampaikan ini maka
hendaklah ia beriman dengan apa yang disampaikan Nabi dan keuntungan akan
kembali padanya. Begitu pula sebaliknya yang kufur, dan Allah sama sekali tidak
pernah rugi atau dirugikan dengan kekafiran meraka. Selanjutnya Allah
menyiapkan balasan atas kedhaliminan meraka denga Neraka dengan segala macam
siksaannya.[12]
Barangsiapa
yang mengerjakan amal yang saleh Maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan
barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, Maka (dosanya) untuk dirinya sendiri;
dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hambaNya.
(QS. Fussilat: 46)
Tafsirnya: Ayat ini berkaitan denga ayat sebelumnya yang
berkaitan dengan Musa yang diberikan kitab Taurat lalu diperselisihkan. Mereka
orang-orang kafir dalam keragu-raguan yang besar terhadap hari kiamat, sehingga
mereka dibiarkan dalam keragu-raguannya. Tetapi hendaknya semua sadar bahwa
barang siapa yang mengerjakan amal kebaikan maka manfaat dan pahalanya untuk
diri mereka sendiri. Begitu pula sebaliknya. Dan Allah tidak pernah dhalim
terhadap hamba-hambanya.[13]
Tiap-tiap
diri bertanggung jawab atas apa yang Telah diperbuatnya,..
(QS. Al-Muddassir: 38)
Tafsirnya:
Ayat di atas merupakan pernyataan kepada manusia seluruhnya dalam kaitannya
dengan kebebasan memilih yang telah ditegskan pada ayat-ayat yang lalu.
Seakan-akan Allah menyatakan: “Hai manusia, kamu sekalian bebas untuk memilih
jalan, maju atau mundur, arah kanan atau kiri. Tetapi hendaknya diketahui bahwa
keadaan kamu kelak, di hari kemudian, akan ditentukan oleh pilihanmu
masing-masing karena kamu semua bahkan tiap-tiap diri lelaki atau perempuan
menyangkut apa yang telah dilakukannya semuanya tergadai. Dan karena tergadai
boleh jadi berhasil ditebus dan ada yang gagal, maka ayat menunjukkan kecuali
golongan kanan. Merekalah yang berhasil menebus dirinya dengan amal-amal saleh.
Kata
kasabat demikian pula iktasabat terambil dari kata kasaba yang
maksudnya adalah perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk mendapatkan
manfaat atau menolak mudarat. Pada mulanya kata ini hanya digunakan apabila
perbuatan yang dimaksud dilakukan oleh anggota badan manusia, khususnya
tangannya, tetapi al-Qur’an menggunakannya juga bagi perbuatan-perbuatan yang
dilakukan oleh hati manusia. [14]
2.
Kelompok ayat
yang menunjukkan bahwa perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan pada
mereka. Diantaranya;
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri
peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak juga akan beriman. (QS. Al-Baqarah: 6)
Allah Telah mengunci-mati hati dan pendengaran mereka, dan
penglihatan mereka ditutup. dan bagi mereka siksa yang amat berat. (QS. Al-Baqarah: 7)
Tafsirnya: Ayat ini,
bukan berbicara tentang semua orang kafir, tetapi orang kafir yang kekufurannya
telah mendarah daging dalam jiwa mereka sehingga tidak lagi mungkin untuk berubah. Ayat ini menunjuk kepada mereka yang keadaannya telah diketahui
Allah sebelum, pada saat, dan susudah datangnya ajakan beriman kepada mereka.
Pengetahuan Allah tentang tentang kepastian tidak bergunanya peringatan buat
mereka bukanlah sebab yang menjadikan mereka tidak beriman. Bukankah seorang
guru dapat mengetahui bahwa siswa yang malas dan bodoh pasti tidak akan lulus?
Pengetahuan tersebut bukan penyebab ketidaklulusan, tetapi penyebabnya, adalah
kebodohan dan kemalasan siswa. Nah, untuk orang-orang kafir yang dimaksud oleh
ayat ini, penyebabnya adalah keenganan
mereka menerima iman sehingga Allah telah mengunci hati dan pendengaran mereka,
yakni Allah membiarkan mereka larut dalam kesesatan sesuai dengan keinginan
hati mereka sendiri sehingga akhirnya hati mereka terkunci mati dan telinga
mereka tidak dapat mendengar bimbingan.
Ayat ini tidak dapat dijadikan alasan bagi kita dewasa ini untuk
menghentikan peringatan dan ajakan beriman karena kita tidak mengetahui apakah
yang dituju oleh sasaran dakwah adalah mereka yang serupa dengan yang dimaksud
oleh ayat ini atau bukan. Ini sama dengan firman-Nya: “berilah peringatan bila
peringatan itu bermanfaat” (QS. Al-A’la: 9). Ayat ini tidak dapat dijadikan
alasan untuk menghentikan dakwah karena kita tidak mengetahui kapan dakwah itu
bermanfaat dan kapan pula sia-sia.[15]
Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, Maka dialah yang
mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan Allah, Maka merekalah
orang-orang yang merugi. (QS. al-A’raf:
178)[16]
Tafsirnya: Petunjuk ada
yang bersifat umum yang berfungsi menunjuki dan membimbing manusia menuju
kebahagian duniawi dan ukhrawi, dan ada juga bersifat khusu, yaitu petunjuk
yang disertai kemampuan untuk melaksanakan isi petunjuk. Ini tidak dapat
dilakukan kecuali oleh Allah swt., karena itu ditegaskannya bahwa: “Sesungguhnya
kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi
Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk.
(QS. Al-Qashas: 56)
Allah
swt. Hanya akan member hidayat dalam pengertian khusus di atas, kepada siapa
yang berjuang untuk meraihnya. Ini berdasarkan sekian banyak ayat seperti
firman-Nya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami,
benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan
Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (QS.
Al-Ankabut: 69). Di sisi lain Allah hanya menyesatkan siapa memilih
kesesatan, “Dan (Ingatlah) ketika Musa Berkata kepada kaumnya: "Hai
kaumku, Mengapa kamu menyakitiku, sedangkan kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya
Aku adalah utusan Allah kepadamu?" Maka tatkala mereka berpaling (dari
kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan Allah tidak memberi petunjuk
kepada kaum yang fasik. (QS. Ash-Shaff: 5)
Katakanlah: "Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa
yang Telah ditetapkan Allah untuk kami…"
(QS. At-Taubah: 51)[17]
Tafsirnya: Ayat
berkaitan denga ayat sebelumnya yang membicarakan perasaan batin orang-orang
munafik yang tidak ikut perang Uhud dengan berbagai alasan. Hati kecil mereka tidak senang jika Nabi Muhammad saw. Menang dalam peperangan. Jika
suatu bencana menimpa nabi walau pun kecil seperti pada perang Uhud, meraka
banyak mengeuarkan argument pembenaran atas ketidakikutan mereka. Di sini Nabi
diperintahkan untuk mengatakan bahwa kami tidak akan berucap seperti ucapan
kalian karena kami yakin bahwa siapa pun tidak mampu mendatangkan manfaat atau
menampik kemudlaratan kecuali atas izin dan restu Allah swt., tetapi kami akan
berucap bahwa sekali-kali tidak aka nada yang menimpa kami, positif atau
negative pada lahirnya melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Karena
seorang mukmin sadar bahwa apa pun ketetapan Allah pasti baik buat dirinya-
kalau baik ia bersyukur kalau sebaliknya ia bersabar.
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang dia kehendaki dan memilihnya.
sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka… (QS. Al-Qasas: 68)
Tafsirnya: Ibnu Asyur
menukil dari al-Wahidi yang menyatakan bahwa ayat ini turun sebagai jawaban
atas ucapan sementara kaum musyrikin yang menyatakan “Mengapa al-Qur’an ini tidak diturunkan
kepada seorang besar salah satu dari dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?. Yang
dimaksud adalah al-Walid Ibnu al-Mughirah dan ‘Urwah Ibn Mas’ud ats-Tsaqafi.
Dengan demikian lanjutan ayat di atas bermakna: Allah menciptakan apa yang Dia
kehendaki dari makhluk-makhluk, baik manusia maupun selainnya dan dia memilih di
antara mahkluk-makhluknya itu apa yang Dia kehendaki dan yang sesuai dengan
tujuan pemilihan itu, antara lain siapa yang Dia kehendaki untuk tugas
kerasulan. Ayat ini menurutnya, sejalan dengan firman-Nya: “Allah lebih
mengetahui di mana Dia menempatkan (QS. Al-An’am: 124)
Sayyid Qutub berkomentar tentang ayat ini, bahwa satu hakikat yang
sering sekali dilupakan manusia, atau mereka lupakan sebagian sisinya. Allah
menciptakan apa yang Dia kehendaki. Tidak satu pun yang dapat mengusulkan kepada-Nya sesuatu, tidak juga menambah atau mengurangi
sesuatu pun dari ciptaan-Nya, atau mengubah dan menggantinya. Dia-lah yang
memilih dari makhluk ciptaan-Nya apa yang Dia kehendaki dan siap yang Dia
kehendaki serta untuk apa Dia kehendaki dari pekerjaan, tugas serta kedudukan.
Tidak satu pun yang berwenang mengusulkan kepada-Nya.
Jika manusia menyadari, manusia tidak akan marah atas apa yang
menimpa mereka, tidak juga akan menyedihkan apa yang luput dari mereka, dan
tidak juga akan menyedihkan apa yang luput dari mereka, karena bukan mereka
yang memilihnya tetapi yang memilih adalah Allah swt. Tetapi ini bukan berarti
bahwa manusia harus mengabaikan akal, kehendak dan aktivitas mereka. Tetapi
maknanya adalah mereka hendaknya menerima apa yang terjadi –setelah mereka
mencurahkan tenaga, pikiran, upaya dan pilihan mereka- dengan rela, hati yang
lapang, penyerahan diri, karena memang mereka berkewajiban melakukan apa yang
mampu mereka lakukan dan menyerahkan sisanya kepada Allah.
"Apakah yang dikehendaki Allah dengan bilangan Ini sebagai
suatu perumpamaan?" Demikianlah Allah membiarkan sesat orang-orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya… (QS. Al-Muddassir: 31)
Tafsirnya: Kata yadhillu
terambil dari kata dhalla pada mulanya berarti kehilangan jejak.
Jejak yang dimaksud dapat berbentuk fisik amupun non-fisik. Kehilangan jejak
dalam hal menelusuri kebenaran atau ajaran agama dinamai juga dhalal. Maka
inilah yang dimaksud dengan di sini. Firman-Nya: (yudhillu Allah man yasya’
wa yahdi man yasya’) Allah membiarkan sesat orang-orang yang
dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dijadikan
argumentasi oleh kelompok Jabariyah (fatalism) sebagai salah satu argumentasi
tentang tidak adanya kebebasan manusia dalam menetapkan pilihannya. Mereka juga
memahami sekian banyak ayat dalam pengertian serupa. Sebagiannya bahkan sangat
ekstrim dengan mengatakan bahwa siksa dan ganjaran itu tidak perlu ada.
Bagaimana siksa dan ganjaran itu dapat dibenarkan sedangkan yang berperan dalam
terciptanya amal baik dan buruk adalah Allah swt., sendiri?
Ditengah-tengah emosi pergolakan muncullah ungkapan: “Tidak ada
taqdir, manusia bebas melakukan segala yang dikehendakinya.” Pandangan yang
merupakan reaksi atas paham terdahulu merupakan penyebab tersebar luasnya
aliran yang kemudian dikenal dengan “Qadariyah” dan “Mu’tazilah” (free will and
free act).[18] Ditegaskan bahwa para sahabat besar dan utama
Nabi Muhammad saw. – jika tidak ingin berkata seluruh sahabat beliau- tidak
pernah memahami bahwa Allah swt. Memaksakan kehendak-Nya sehingga menjadikan
manusia bagaikan daun kering terbang ke arah mana angin berhembus. Pada saat
yang sama, para sahabat tersebut juga tidak beranggapan bahwa manusia
sedemikian bebas, sehingga mampu mewujudkan kehendak mereka tanpa bantuan
Allah.
Yang disesatkan-Nya adalah orang-orang yang pada dasarnya telah
sesat, atau –dengan kata lain- yang dimaksud dengan “disesatkan” adalah
membiarkan mereka tetap di dalam kesesatan. Seperti yang tertuang dalam surat
ash-Shaff : 5, dengan gamblang menegaskan, “…Maka
tatkala mereka berpaling (dari kebenaran), Allah memalingkan hati mereka; dan
Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik.”[19]
Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali
apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam. (QS. At-Takwir: 29)
Tafsirnya: Ayat terakhir
surat ini menggambarkan dua kehendak. Kehendak manusia dan kehendak Allah. Ayat
ini menetapkan bahwa manusia memiliki apa yang dinamai al-Qur’an kasb/usaha,
tetapi usaha itu sama sekali tidak mengurangi kuasa dan kehendak Allah. Ayat
ini hendak menekankan bahwa Allah adalah pelaku yang bebas atas alam raya dan
penghuni-penghuninya, Dia pelaksana yang dapat memaksakan kehendak-Nya. Dia
Maha Mengetahui hati manusia apakah mengarah kepada-Nya ataukah tidak. Namun
itu bukan berarti bahwa Dia memaksa manusia atau manusia tidak memiliki
keterlibatan dan upaya-upayanya. Harus diingat bahwa Allah menganugrahkan
manusia kemampuan untuk mengetahui yang haq dan yang bathil. Pengetahuan itu
ditanamkan Allah pada diri manusia berupa potensi untuk mengenal-Nya serta
mengenal pengutusan para rasul, penurunan al-Qur’an dan lain lain. Allah
menuntut diri manusia agar menghendaki apa yang dikehendakinya buat mereka.
Jika kehendak itu diwujudkannya –maka Allah akan mengantarnya patuh dan taat,
tetapi jika Yang Maha Mengetahui tidak menemukan dalam hati manusia kehendak
itu, maka Allah tidak memudahkan jalannya – sehingga ia tidak memperoleh
kemampuan untuk melakukan kebaikan. [20]
Sayyid Quthub mengomentari ayat di atas antara lain bahwa ayat ini
menegaskan demikian, agar manusia tidak memahami bahwa kehendak mereka terpisah
dari kehendak Allah, yang kepadanya kembali segala sesuatu. Penganugrahan
kebebasan memilih, kemudahan memperoleh petunjuk, semua itu kembali padanya,
yang meliputi segala sesuatu yang lalu dan kini serta yang akan dating.
IV. Kesimpulan
Berdasarkan
tafsir al-Misbah yang melakukan intepretasi tentang ayat-ayat yang dijadikan
pijakan oleh beberapa aliran teologi di dunia Islam. Penulis menyimpulkan bahwa
pemikran tentang kebebasan manusia dapat disimpulkan menjadi beberapa poin,
yaitu;
1.
Adanya kesamaan
paham dengan teologi Asy’ariyah yang banyak dianut oleh islam sunni. Aliran
Asyria’ah kemudian menjadi aliran yang popular dengan istilah ahl Sunna wa
al-jama’ah (aswaja). Meskipun Quraish Shihab tidak menyebutkan faham ahl
sunnah wa al-jama’ah secara eksplisit
2.
Manusia
diberikan kebebasan, tetapi kebebasan yang tidak mutlak. Kebebasan berkehendak
selalu diiringi dengan balasan yang akan diterima sesuai perbuatannya.
3.
Adanya
sanggahan terhadap paham yang menyimpang, baik yang berfaham fatalistic seperti
Jabariyah maupun berfaham liberal seperti Mu’tazilah.
4.
Allah hanya
akan menyesatkan yakni membiarkan dalam kesesatan bagi mereka yang hatinya
cenderung pada kesesatan.
5.
Jika ada
ayat-ayat yang terkesan bahwa Allah berlaku otoriter terhadap manusia, maka
ayat tersebut dijelaskan pada ayat yang lain. Seperti Allah menunjuki dan
menyesatkan siap yang dikehendaki, tentunya di ayat yang lain Allah memberikan
tips mendapat petunjuk dan tips menghindari kesesatan
[1] Ibrahim
Madkour (terj. Yudian Wahyuni Asmin), Aliran dan Teori Filsafat Islam,
Jakarta: Bumi Aksara, 2004, h. 138
[3] Machasin, Menyelami
kebebasan Mnausia, Telaah Kritis terhadap konsep al-Qur’an, Yogyakarta,
Pustaka Pelajar: 1996, h. 124
[4] Ibrahim
Madkour (ter), h. 140
[5] Ibid, h. 48
[6] Ibid, h 162
[7] Ibid, h. 163
[8] Ibid, h. 180
[9] Ibid, h. 183
[10] Ibid, h. 184
[11]
M. QUraish Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 6, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h.
172
[12]
M. QUraish Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 8, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h.
52
[13]
M. QUraish Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 12, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h.
430-431
[14] M. QUraish
Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 14, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 605
[15] M. Quraish
Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 1, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 116-117
[16] M. Quraish
Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 5, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 298-299
[17]M. Quraish
Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 5, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 584-
[18] M. QUraish
Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 14, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 600
[19] Ibid., h. 600
[20] M. Quraish
Sihab, Tafsir al-Misbah, Vol. 15, Jakarta: Lentera Hati, 2002, h. 97
Tidak ada komentar:
Posting Komentar