A.
Latar Belakang
Proses modernisasi, seringkali mengagungkan nilai-nilai yang
bersifat materi dan anti rohani, sehingga mengabaikan unsur-unsur
spiritualitas. Benturan nilai-nilai materi dan unsur-unsur rohani dalam alam
modern, secara tidak langsung member gambaran bagi sikap hidup suatu komunitas
pada zaman tertentu.[1] Zaman
yang mengagung-agungkan materi hanya akan membawa kepada kegersangan jiwa
bahkan mematikan hati. analisis Ahmad Mubarok, mengidentifikasi penyakit atau
ganguan-ganguan kejiwaan yang dialami oleh manusia-manusia modern, diantaranya;
1) kecemasan karena hilangnya orietasi hidup (the meaning of life). 2)
kesepian karena hubungan/relasi interpersonal yang dibangun jauh dari ketulusan.
3) kebosanan hidup dalam kepalsuan dan kepura-puraan. 4) prilaku menyimpang. 5)
psikosomatik, adalah ganguan fisik yang disebabkan oleh faktor-faktor kejiwaan
dan sosial.
Al-Qur’an turun sebagai pedoman (hudan) bagi seluruh manusia
sampai akhir zaman telah memberikan sinyal bahwa manusia yang mulia bukanlah
ditentukan dari seberapa besar kekayaannya atau seberapa bagus penampilannya
fisiknya yang kesmuanya itu bersifat profan (fana) tidak abadi. Akan tetapi
manusia yang paling mulia adalah mereka yang bertaqwa.[2]
Dalam beberapa hadis nabi juga menjelaskan bahwa Allah tidak melihat kondisi
fisik (unsur materi) tetapi yang disaksikan adalah hati dan amal perbuatan[3].
Jiwa bersih yang melahirkan amal shaleh.
Berbicara
tentang jiwa maka akan membicarakan psikologi sementara psikologi akan berbicara
tentang manusia. secara bahasa psikologi berasal dari bahasa Yunani Psyche
yang berarti “jiwa” dan logos yang berarti “ilmu”. Dengan demikian,
secara harfiah psikologi sering memberi kesan sebagai ilmu yang mempelajari
jiwa. Namun, dewasa ini istilah psikologi
sengaja dibedakan dari istilah ilmu jiwa. Psikologi tidak mempelajari jiwa,
melainkan gejala-gejala kejiwaan.[4] Gejala-gejala
ini kemudian umum dikenal dengan prilaku atau tingkah laku
Mengkaji tentang manusia, menjadi
kajian yang tidak pernah berhenti. Dr. Alexis Carrel (1873-1944) menulis:
“Pengetahuan tentang makhluk-makhluk hidup secara umum dan manusia secara
khusus belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai di bidang-bidang
ilmu pengetahuan lain. Manusia adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan
serta amat kompleks.[5] Muncul
kemudian banyak aliran-aliran psikologi dalam melihat dan mengkonstruksi konsep
manusia, diantaranya, teori strukturalisme yang dikemukakan pertama kali oleh
Wilhelm Wundt (1248-1339 H/1832-1920 M). teori ini menguraikan struktur atau
susunan jiwa, bahwa jiwa itu terdiri atas elemen-elemen yang berhubungan satu
dan lainnya melalui proses (mekanisme) assosiasi. Kemudian muncul aliran
fungsionalisme yang merupakan reaksi terhadap strukturalisme. Strukturalisme
berusaha mencari isi kesadaran dan menanyakan hakikat jiwa, sehingga akhirnya
merumuskan bahwa jiwa adalah kesadaran.
Selanjutnya muncul aliran gestalt
yang merupakan protes terhadap strukturalisme. Menurut teori gestalt,
strukruralisme dan juga fungsionalisme mengutamakan elemen-elemen jiwa dan
kurang memperhatikan keseluruhan. Yang utama bukanlah elemen, tapi keseluruhan.
Perkembangan selanjutnya muncul teori psikoanalisis yang dikembangkan oleh
Sigmund Freud (1273-1358 H/1856-1939 M). Freud mengatakan bahwa jiwa terdiri
dari tiga system, yaitu id, ego, dan super ego. Disisi lain jiwa
terdiri dari tiga system kesadaran, yaitu the consciousness (kesadaran),
the preconsciousness (bawah sadar), dan the unconsciousness (ketidaksadaran).
Freud berpendapat bahwa pusat tingkah laku adalah the consciousness (kesadaran).[6]
Kemudian muncul aliran behaviorisme yang memandang jiwa sebagai system
mekanistik yang merespon rangsangan dari luar. Selanjutnya Abraham Harold
Maslow memunculkan teori Humanistik.[7]
Dalam
khazanah keilmua Islam, filsafat berkembang dengan sangat pesat, tetapi
psikologi tidak berkembang. Hal ini bukan berarti para ulama tidak tertarik
kepada masalah jiwa. Al-Qur’an dan hadits sendiri banyak berbicara tentang jiwa
(nafs), tetapi pengalaman psikologis masyarakat Islam berbeda dengan pengalaman
psikologi masyarakat Barat. Masyarakat modern Barat tumbuh di atas puing-puing
kekecewaan kepada gereja yang berseberangan dengan pemikiran modern sehingga
agama (gereja) kemudian dipisahkan dari urusan dunia.
Relasi agama dengan psikologi terpolarisasi menjadi empat periode. Pertama,
berlangsung sekitar paruh kedua abad ke-19. Psikologi sebagai sains dan agama
tidak mendapatkan tempat yang penting dalam kajiannya. Persentuhan agama dan
psikologi belum menemukan wujudnya. Kedua, berlangsung pada akhir abad
ke-19 sampai awal abad ke-20. Cirinya terlihat ada usaha-usaha dari para
psikolog untuk mengkaji dan menafsirkan perilaku beraga berdasarkan konsep
teori psikologi. Harmonisasi psikologi dengan agama.
Ketiga, berlangsung
sejak tahun 1930 sampai dengan sekitar tahun 1950-an. Periode ini kemerosotan
hubungan agama dengan psikologi. Munculnya kecurigaan dan saling antipati
antara satu dengan yang lain. Keempat, dimulai sekitar tahun 1960-an dan masih
berlangsung sampai sekarang. Pada periode ini, pengembangan psikologi mengarah
pada usaha-usaha untuk menjadikan nilai, budaya, dan agama sebagai objek kajian
psikologi dan sekaligus sebagai sumber inspirasi bagi pembangunan teori-teori
psikoligi.[8] Agama
bisa mengkritisi maupun bisa mendukung sebuah teori. Meskipun al-Qur’an
bukanlah kitab sains namun, tidak bisa dinafikkan bahwa al-Qur’an mengandung
benih-benih ilmu pengetahuan.
Sudah sejak lama al-Qur’an menginformasikan bahwa manusia sebagai
makhluk ciptaan Tuhan memiliki sosok diri yang terbentuk dari unsur fisik dan
nonfisik. Secara anatomis, pemahaman terhadap unsure fisik tampaknya tak jauh
berbeda dari konsep manusia menurut pandangan ilmuwan Barat, meskipun dalam
pengertian khusus konsep islam tentang manusia lebih rinci.[9]
Manusia menurut terminologi al-Qur’an dapat dilihat dari berbagai
sudut pandang. Manusia disebut al-basyar berdasarkan pendekatan
aspek biologisnya. Dari sudut pandang ini manusia dilihat sebagai makhluk
biologis yang memiliki dorongan primer (makan, minum, hubungan seksual) dan
makhluk generative (berketurunan). Sedangkan, dilihat dari fungsi dan potensi
yang dimiliknya manusia disebut al-insan. Disebut al-nas yang
umumnya dilihat dari sudut pandang hubungan social yang dilakukannya. Manusia
pun disebut sebagi al-ins untuk menggambarkan aspek spiritual yang
dimiliki. Al-Qur’an juga menyebut manusia sebagai Bani Adam. Konsep ini untuk
menggambarkan nilai-nilai universal yang ada pada pada diri setiap manusia
tanpa melihat latar belakang perbedaan jenis kelamin, ras, dan suku bangsa atau
aliran kepercayaan masing-masing.[10]
Konsep manusia yang berdasarkan wahyu tetunya akan berbeda dengan yang tanpa
bimbingan wahyu.
Mengkaji manusia dalam perspektif al-Qur’an menjadi sangat urgen,
sebagai seorang muslim al-Qur’an tentunya menjadi sumber rujukan yang utama
sebelum yang lainnya. Setelah manusia difahami secara qur’ani selanjutnya
didialogkan dengan konsep-konsep manusia hasil pengamatan manusia. Khusunya an-Nafs
yang merupakan inti dari manusia.[11]
kajian tentang manusia dan jiwa dengan
metode tafsir maudu’i telah banyak dilakukan, dengan rujukan
tafsir-tafsir klasik maupun modern. Tetapi kajian tafsir al-Misbah dengan tema
pembahasan nafs, sepanjang penelusuran penulis belum ada yang
membahasnya. Tesis ini mencoba untuk memberikan sumbangan teoritis –walaupun
hanya dalam bentuk low level probability theory (teori kemungkinan yang
berperingkat rendah) mengenai nafs atau jiwa.
Disamping kelebihan dan kekurangan yang dimiliki M. Quraish Shihab,
beliau termasuk intelektual muslim Indonesia yang unik. Pendidikan Tingginya
yang kebanyakan ditempuh di Timur Tengah, Al-Azhar, Cairo ini, oleh Howard M.
Federspiel dianggap sebagai seorang yang unik bagi Indonesia. Mengenai hal ini
ia mengatakan sebagai berikut: "Ketika meneliti biografinya, saya
menemukan bahwa ia berasal dari Sulawesi Selatan, terdidik di pesantren, dan
menerima pendidikan tingginya di Mesir pada Universitas Al-Azhar, di mana ia
menerima gelar M.A dan Ph.D-nya. Ini menjadikan ia terdidik lebih baik
dibandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Popular
Indonesian Literature of the Quran, dan lebih dari itu, tingkat pendidikan
tingginya di Timur Tengah seperti itu menjadikan ia unik bagi Indonesia pada
saat di mana sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di Barat.[12]
Corak pemikirannya dalam tafsir lebih condong menggunakan metode
maudu’i serta banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara
kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan
yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata –disamping
penulis yang sangat produktif- menambah keunikan M. Quraish Shihab. Sehingga mengkaji
dan menggali Tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab tentunya sangat menarik.
Setidaknya dalam konteks keindonesian menjadi sumbangan yang berharga karena
tidak banyak pemikir muslim Indonesia bidang Tafsir.
Dalam konteks karakter[13]
yang difahami dalam bahasa agama sebagai akhlak. Ada beberapa istilah yang
mirip dan sering disamakan antara karakter dengan kepribadian dan temperamen,
padahal sebenarnya berbeda. Karakter
lebih menjurus ke arah tabiat-tabiat yang dapat disebut benar atau salah, sesuai
atau tidak sesuai dengan norma-norma
sosial yang diakui[14]
pendidikan karakter Indonesia memuat delapan belas karakter, jika diamati
denganseksama karakter sebenarnya adalah kerja hati atau jiwa yang melahirkan
prilaku. dalam surat al-Ra’d/13:11, di samping mengisyaratkan nafs
sebagai wadah, ia juga mengisyaratkan sebagai penggerak tingkah laku. Tuhan
tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah isi dari nafs
mereka. Masih banyak ayat lain menjelaskan bahwa nafs menjadi penggerak. Maka
mengaitkan karakter dengan nafs menjadi relevan dalam tesis ini
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, Agar lebih fokus
dan pembahasannya tidak melebar, maka dirumuskanlah rumusan masalah sebagai
berikut;
1.
Bagaimana
konsep nafs/jiwa dalam al-Qur’an tafsir al-Misbah?
2.
Bagaimana
solusi nafs/jiwa dalam membentuk karakter?
C.
Tujuan dan Kegunaan
1.
Tujuan Penelitian
sejalan dengan rumusan masalah yang diajukan di atas, tujuan
penelitian tesis ini adalah untuk mengetahui konsep nafs dalam tafsir al-Misbah.
untuk mengetahui tujuan itu maka disusunlah beberapa tujuan sebagai berikut:
1.
Untuk
menganalisis bagaimana konsep nafs/jiwa dalam tafsir al-Misbah karya M. Quraish
Shihab.
2.
Untuk
menganalisis bagaimana solusi nafs/jiwa dalam membentuk karakter.
2.
Kegunaan/Kepentingan
Diantara kegunaan pembahasan ini adalah:
1.
Sumbangan
wacana ilmiah kepada dunia pendidikan, khusunya pendidikan Islam dalam rangka
memperkaya khazanah keilmuan psikologi pendidikan Islam dalam perspektis
al-Qur’an
2.
Motivasi
dan sumbangan gagasan kepada peneliti selanjutnya yang akan meneliti penelitian
yang serupa berhubungan konsep nafs dalam perspektif tafsir al-Qur’an.
D.
Landasan Teori
Aristoteles, filosof Yunani kenamaan itu, mendefinisikan manusia
sebagai hewan yang berpikir (thinking animal). Sebagian antropologi berpendapat
bahwa cirri khas manusia adalah kesadaran dan kemauannya untuk berteknik,
sehingga manusia adalah makhluk bertekni. Beda lagi dengan sosiolog bahwa
manusia adalah makhluk social. Para ahli bidang etika mengatakan bahwa manusia
adalah makhluk yang bertanggung jawab.[15]
Gabaran-gambaran di atas menunjukkan keunikan manusia diantara kelebihan dan
kekurangannya.
Manusia terdiri dari dua unsur pokok yaitu gumpalan tanah dan
hembusan Ruh. Ia adalah kesatuan dari kedua unsure tersebut yang tidak dapat
dipisahkan. Bila dipisah, maka ia bukan lagi manusia, sebagaimana air, yang
merupakan perpaduan antara oksigen dan hedrogen, dalam kadar-kadar tertentu
bila salah satu di antaranya terpisah maka ia bukan air lagi.[16]
Bagaimana al-Qur’an berbicara tentang manusia?, sekurang-kurangnya
ada sebelas istilah kunci yang digunakan al-Qur’an untuk menjelaskan manusia.
Kesebelas istilah itu adalah: البشر, الانس, الإنسان,
الانس, الناس, بنى ادم, النفس, العقل, القلب, الروح, الفطر. .[17]
masing-masing istilah memiliki makna yang berbeda. Al-Qur’an menyebut nafs
dalam bentuk-bentuk kata jadian تنفّس, يتنافس,
متنافسون, نفس, نفوس, انفس. . dalam bentuk mufrad, nafs disebut 77 kali tanpa
idhafah dan 65 kali dalam bentuk idhafah. Dalam bentuk jamak nufus
disebut 2 kali, sedang dalam bentuk jamak anfus disebut 158 kali. Sedangkan
kata tanaffasa-yatanaffasu dan al-mutanaffisun masing-masing
hanya disebut satu kali.[18]
Dalam bahasa Arab, nafs mempunyai banyak arti, dan salah
satunya adalah jiwa. Oleh karena itu, ilmu jiwa dalam bahasa Arab disebut
dengan nama Ilmu an-Nafs dalam arti jiwa telah dibicarakan para ahli
sejak kurun waktu yang sangat lama. Dan persoalan nafs telah dibahas
dalam kajian filsafat, psikologi, dan juga ilmu tasawwuf.
Dalam filsafat, pengertian jiwa diklasifikasi dengan bermacam-macam
teori, antara lain:
1.
Teori
yang memandang bahwa jiwa itu merupakan subtansi yang berjenis khusus, yang
dilawankan dengan subtansi materi, sehingga manusia dipandang memiliki jiwa dan
raga.
2.
Teori
yang memandang bahwa jiwa itu merupakan suatu jenis kemampuan, yakni semacam
pelaku atau pengaruh dalam kegiatan-kegiatan
3.
Teori
yang memandang jiwa semata-mata sebagai sejenis proses yang tampak pada
organism-organisme hidup.
4.
Teori
yang menyamakan pengertian jiwa dengan pengertian tingkah laku.[19]
Berdasrkan pola tingkah laku seseorang, tiga komponen psikologis
yaitu kognisi, afeksi, dan konasi yang bekerja secara kompleks merupakan bagian
yang menentukan sikap seseorangterhadap suatu objek, baik yang berbentuk
konkret maupun objek yang abstrak. Komponen kognisi akan menjawab tentang apa
yang dipikirkan atau dipersepsikan tentang objek. Komponen afeksi dikaitkan
dengan apa yang dirasakan terhadap objek (senang atau tidak senang). Sedangkan,
komponen konasi berhubungan dengan kesedian atau kesiapan untuk bertindak
terhadap objek. [20]
Kepribadian menurut pandangan psikologi terdiri dari dua unsure,
yaitu unsure hereditas dan pengaruh lingkungan. Hubungan antara unsure
hereditas dan pengaruh lingkungan inilah yang membentuk kepribadian. Adanya
kedua unsure yang membentuk kepribadian itu menyebabkan munculnya konsep
tipologi dan karakter. Tipologi lebih ditekankan pada unsure bawaan, sedangkan
karakter lebih ditekankan oleh adanya pengaruh lingkungan.[21]
Hanya watak (karakter) yang memiliki peluang untuk diubah atau dipengaruhi.[22]
Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein,
yang berarti to engrave atau mengukir. Membentuk karakter
diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang
keras. Dari sanalah kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan
sebagai tanda khusus atau pola perilaku (an individual’s pattern of behavior … his moral
contitution) (Karen E. Bohlin, Deborah Farmer, Kevin Ryan,
Building Character in School Resource Guide, San Fransisco: Jossey
Bass, 2001, hlm.1).[23]
hubungan antara nafs dengan karakter terletak pada pendorong prilaku yang
melahirkan tindakan.
E.
Tinjauan Pustaka
Tulisan tentang nafs atau pun jiwa tidak
ada, bahkan bisa dikatakan melimpah, tetapi setalah melakukan kajian pustaka
tidak banyak kemudian tulisan yang mengkaji secara mendalam konsep nafs
dari tafsir al-Misbah Karya M. Quraish Shihab. Telah dikatahui bersama bahwa
tafsir memiliki warna dan corak yang beragam; ada yang berdasarkan nalar
penulis saja, ada yang berdasarkan riwayat-riwayat, ada pula yang menyatukan
keduannya.[24]
Disamping itu, setting sejarah, dan tingka keilmuan mufassir turut membawa
pengaruh pada produk tafsirnya. Nafs atau jiwa sangat berkaitan erat
dengan ilmu psikologi yang merupakan disiplin ilmu yang mengkaji tentang
manusia. Sehingga berbicara tentang konsep nafs tidak pernah lepasa dari
konsepsi-konsepsi manusia itu sendiri.
Baharuddin. Paradigma Psikologi
Islami. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004)[25].
Mencoba membangun konsep-konsep psikologi islami dengan metode tafsir maudu’i
atau tematik dengan pola pikir pemaknaan dan reflektif. Dalam membangun
psikologi islami Baharuddin tidak memulainya dari nol, tapi memanfaatkan
teori-teori psikologi Barat dengan terlebih dahulu diuji dengan konsep-konsep
islami. Penelitian ini cukup komprehensif dalam menjelaskan paradigma psikologi
islami, dimulai dari membicarakan psikis manusia dalam al-Qur’an, kemudian
mengupas elemen-elemen psikologi dari al-Qur’an, yang kemudian puncaknya
membangun paradigma psikologi islami.
Ahmad Mubarok. Jiwa dalam
al-Qur’an. (Jakarta: Paramadina, 2000).[26] Dengan
menggunakan metode tafsir maudu’i buku ini banyak memberikan wawasan dan
pengetahuan dari berbagai aspek yang berkaitan dengan nafs/jiwa. Baik secara
definitif maupun fungsi-fungsi nafs sebagai penggerak tingkah laku. Disertasi
ini juga upaya-upaya dalam mensucikan jiwa (Tazkiyah an-Nafs) dan
keutamaan-keutamaannya. Kemudian al-Qur’an menyebutkan an-nafs dalam tiga term,
pertama, al-Nafs al-Lawwamah[27]
(jiwa yang amat menyesali dirinya). Kedua, al-Nafs al-Muthma’innah
(jiwa yang tenang).[28] Ketiga,
Nafs Ammarah[29]
(nafsu yang rendah) dan menjelaskan secara mendalam dengan pendekatan tematik.
Zakiah Darajat. Ilmu Jiwa Agama.
(Jakarta: Bulan Bintang, 1983). Buku ini menjelaskan sejarah munculnya
psikologi dan proses tumbuhnya rasa beragama pada individu. Zakiah Darajat. Islam
dan Kesehatan Mental. (Jakarta: Cv. Masagung,1991). Buku ini menceritakan
bagaimana hubungan rukun iman dengan kesehatan mental dan pengaruh pendidikan
pada kesehatan mental.
H. Jamaluddin. Psikologi Agama.
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010). Buku ini mengupas sejarah relasi antara
psikologi dengan agama dan perkembangan psikologi agama. Pembahasan jiwa/nafs
dikaitkan dengan keagamaan pada anak, usia dewasa, usia lanjut. Disamping itu
diangkat pula problem-problem jiwa dalam pengaruhnya pada kebudayaan, keagamaan
dan pendidikan. Intinya adalah bagaimana jiwa/nafs berhadapan dengan
problem-problem kehidupan.
Tesis yang berjudul Konsep Jiwa
dalam al-Qur’an, Solusi Qur’ani untuk Penciptaan Kesehatan Jiwa dan
Implikasinya Terhadap pendidikan Islam, ditulis oleh H. M. Aji Nugroho. Tesis ini, merupakan
penelitian pustaka (Library Research) dengan metode tafsir maudu’i (tematik)
menyimpulkan bahwa jiwa adalah nafs yang merupakan sisi dalam dari dalam diri
manusia yang memiliki aspek kejiwaaan yakni keseluruhan kualitas manusia berupa
pikiran, perasaan, kemauan, dan kebebasan. Pada konteks kesehatan jiwa, secara
psikis terdapat tiga dimensi yaitu, al-aql, al-qlb, an-nafsu dalam
pandangan al-Qur’an kesehatan jiwa akan terwujud manaka al-aql dan al-qalb dapat
diarahkan pada dimensi ruhaniah dengan akhlak terpuji sebagai indikatornya dan
menghindarkan dari an-nafsu yang mendorong kepada perbuatan negative dan
destruktif.
Tesis yang berjudul Nilai-Nilai
Pendidikan Ibadah shalat (Kajian Tafsir al-Misbah Karya Muhammad Quraish
Shihab, ditulis oleh Suharti. Tesis
ini mengkaji nilai dalam ibadah shalat dengan objek kajiannya adalah Tafsir
al-Misbah. Skripsi yang berjudul Homo Seks Dalam al-Qur’an, Telaah Kritis
Quraish Shihab dalam Tafsir al-Misbah, ditulis oleh Machmunah. Tesis ini
menggali metodologi penafsiran M. Quraish Shihab tentang Homo Seks kemudian
mengkritisinya.
Dari penelusuran pustaka, penulis
belum menemukan penelitian yang secara spesifik mengkaji konsep nafs/jiwa dalam
tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab
yang kemudian dikaitkan dengan pembentukan karakter. Dengan segala kelebihan
dan kekurangannya M. Quraish Shihab adalah ulama kontemporer yang tidak
diragukan lagi otoritas keilmuannya. Tafsir al-Misbah merupakan produk tafsir
modern dengan kombinasi atau gabungan dua metode yaitu tahlili[30]
dan maudu’I ditambah dengan ijtihad dan dikuatkan dengan rujukan
pendapat dan fatwa ulama yang relevan.[31] Oleh
karena itu penelitian ini menjadi penting.
F.
Metode Penelitian
1.
Jenis
Penelitian
Kajian tesis ini berdasarkan atas kajian pustaka atau literatur.
Oleh karena itu Penelitian ini merupakan penelitian kajian pustaka (library
research), yaitu penelitian yang berusaha menghimpun data dari khazanah
literatur dan menjadikan dunia tesk sebagai objek utama analisisnya. Penelitian
ini mencoba untuk mengkonstruk konsep nafs (jiwa) yang terdapat dalam
tafsir al-Misbah karya M. Quraish Shihab.
Penelitian ini juga penelitian studi tokoh, dalam hal ini adalah M.
Quraish Shihab. Menurut Kunto Wijoyo, ada dua macam biografi, yaitu, pertama, portrayal
(portrait), dan kedua, scientific (ilmiah) dalam hal ini penulis
menggunakan biografi scientific sebagai model penelitian. Dalam biografi yang scientific,
seorang peneliti berusaha menerangkan tokoh berdasarkar analisis ilmiah.[32]
2.
Teknik
Pengumpulan Data
Penelitian
ini merupakan penelitian kepustakaan (library research). Data diambil dari
kepustakaan baik berupa buku, dokumen, maupun artikel[33],
sehingga teknik pengumpulan datanya dilakukan melalui pengumpulan sumber-sumber
primer maupun sekunder. Seperti halnya Metode dokumentasi yang mencari data
mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat
kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, legger, agenda dan sebagainya.[34]
Data
penelitian ini menggunakan data kualitatif yang dinyatakan dalam bentuk kata
atau kalimat.[35]
Ada dua jenis data yaitu data primer dan sekunder. Data primer dalam penelitian
ini adalah Tafsir Al-Mishbah;
Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur'an (15
Volume, Jakarta: Lentera Hati, 2003).[36]
Sedangkan sumber sekundernya termuat dalam karya-karya M. Quraish Shihab
berbentuk buku yang kurang lebih berjumlah 50-an yang berbicara tentang tafsir,
fatwa, dan problem-prpblem keagamaan lainnya. Diantaranya yakni; 1)
Satu Islam, Sebuah Dilema (Bandung: Mizan, 1987); 2) Filsafat
Hukum Islam (Jakarta: Departemen Agama, 1987); 3) Membumikan al-Qur'an;
Fungsi dan Kedudukan Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat (Bandung: Mizan,
1994); 4) Lentera Hati; Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: Mizan,
1994); 5) Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1996);
6) Wawasan al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat
(Bandung: Mizan, 1996); 7) Tafsir al-Qur'an (Bandung: Pustaka Hidayah,
1997); 8) Secercah Cahaya Ilahi; Hidup Bersama Al-Qur'an (Bandung;
Mizan, 1999) dll.[37]
Dan buku-buku lain yang relevan dengan tema yang dikaji
Kemudian
dibutuhkan langkah-langkah yang sistematis sebagai panduan dalam pembahasan.
Adapun langkah yang akan peneliti lakukan dalampembahasan meliputi berikut ini:
a.
Mengumpulkan
ayat-ayat yang berbicara tentang term nafs, baik yang langsung menyebut term
nafs maupun yang berhubungan dengan makna nafs.
b.
Merumuskan
makna nafs dari ayat-ayat tersebut dengan analisis Tafsir Al-Misbah karya M.
Quraish shihab.
c.
Membaca dengan cermat dan teliti terhadap
sumber data primer yang berbicara dan mendukung tema nafs dari karya-karya M.
Quraish Shihab.
3.
Teknik
Analisis Data
Untuk
menganalisis data, penelitian ini menggunakan metode[38]
deskriptif yang berarti analisis dilakukan dengan cara menyajikan deskripsi
sebagaimana adanya, tanpa campur tangan pihak peneliti.[39]
Usaha pemberian deskripsi atas fakta tidak sekedar diuraikan, tetapi lebih dari
itu, yakni fakta dipilih-pilih menurut klasifikasinya, diberi intepretasi, dan
refleksi.[40]
Pendekatan
sama dengan istilah approach yang bisa diartikan sebagai cara atau
metode analisis yang didasarkan pada teori tertentu.[41] Karena
objek kajian penelitian ini adalah al-Qur’an tafsir al-Misbah maka pendekatan
yang relevan adalah pendekatan tafsir Maudu’i atau tematik dengan bertolak dari analisis
bahasa (linguistic) dan analisis konsep. Terfsir maudu’i terbagi dua, pertama,
dengan cara membahas satu surat al-Qur’an secara menyeluruh, memperkenalkan dan
menjelaskan maksud-maksud umumnya secara garis besar, dengan cara menghubungkan
berbagai ayat dan berbagai pokok masalah dalam satu surat tertentu.[42] Kedua,
dengan cara menghimpun dan menyusun seluruh ayat yang memiliki kesamaan arah,
kemudian menganalisisnya dari berbagai aspek, untuk kemudian menyajikan hasil
tafsir ke dalam satu tema bahasan tertentu[43].
Peneliti lebih cenderung untuk menggunakan cara kedua. yaitu berusaha menghimpun
ayat-ayat al-Qur’an dari berbagai surat dan yang berkaitan dengan persoalan dan
topic yang ditetapkan sebelumnya. Kemudian, panafsir membahas dan menganalisis
kandungan ayat tersebut –dalam hal ini menggunakan analisis tafsir al-Misbah- sehingga
menjadi satu kesatuan yang utuh.
Sedangkan
untuk menganalisis kata-kata dan term-term tertentu dari ayat al-Qur’an,
penulis menggunakan معجم مفردات الفاظ القران karangan al-Raghib al-Isfahani di samping لسان العربي
karya Ibn Mandzur. Adapun untuk memudahkan teknis pencarian ayat penulis
menggunakan المعجم
المفهرس لالفاظ القران karangan Fu’ad Abd al-Baqi.
G.
Sistematika Penulisan
Untuk
mempermudah dalam penyajian dan memahami
tesis ini, maka skripsi ini disusun berdasarkan sistematika sebagai berikut:
Bab pertama, Pendahuluan, yang akan membahas mengenai: latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat dari
penelitian, kerangka teoritik, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan
sistematika penulisan.
Bab
kedua, mengkaji dan mengurai Tafsir al-Misbah, latar belakang penulisannya,
metodologinya, keistimewaannya, dan posisinya di antara tafsir-tafsir
kontemporer yang ada. Kemudian biografi M. Quraish Shihab dimulai dari perjalan
intelektualnya, pemikiran-pemikirannya dan karya-karyanya. Bab ketiga,
pembahasan dan analisis konsep nafs dalam perspektif tafsir al-Misbah,
dan kemudian mengkonstruk fungsi dan peran nafs dalam membentuk karakter
Bab keempat,
merupakan penutup dari teisi kesimpulan dari pembahasan dan analisis pada
bab-bab sebelumnya, kemudian saran-saran dari hasil penelitian ini dan kata
penutup (closing speech) yang berisi rasa syukur serta ajakan
bagi pembaca untuk melakukan kritik dan saran atas penelitian ini.
H.
Daftar Pustaka
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi Kedua, Yogyakarta: Tiara
Wacana,
203.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur penelitian Suatu Pendekatan
Praktek, Jakarta: PT. Rineka Cipta. 1993.
Hadi, Amirul & H. Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan,
Bandung: Pustaka Setia. 1998.
Siswantoro, Metode Penelitian Sastra: Analisis Psikologis, Suarakarta:
Sebelas Maret University Press, 2004
Kuntowijoyo, Metodologi Sejarah, Edisi Kedua, Yogyakarta:
Tiara Wacana, 203.
Nawawi, Hadari, Metodologi penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta:
Gajah Mada Universy press, 2001
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat pendidikan Islam, Bandung:
PT. Al-Ma’arif, 1989
Mubarock, Ahmad, Jiwa dalam al-Qur’an, Jakarta: Paramadina,
2000, h. 1
Jalaluddin, Psikologi
Agama, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010
Sri Rumini (et
al:), Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: UNY Press, 2006
Shihab, M. Quraish, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu
dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung: Mizan, 2001
Al-Insan, Jurnal Kajian Islam, vol. 1, no. I, januari 2005
http://syakirman.blogspot.com/2010/11/metode-tafsir-modern-tafsir-al-manar-al.html.
akses 17/07/2013
KONSEP NAFS DALAM TAFSIR
AL-MISBAH
KARYA M. QURAISH SHIHAB
(SOLUSI QUR’ANI DALAM MEMBENTUK KARAKTER)
Proposal Tesis
Diajukan Sebagai Tugas Akhir
Metodologi Penelitian
Oleh
Syahrul, S.Pd.I
NBM: 20121010016
PSIKOLOGI PENDIDIKAN ISLAM
MEGISTER STUDI ISLAM
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
2013
[1] Ahmad
Mubarock, Jiwa dalam al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, h. 1
[2] QS. Al-Hujurat
-49: 13.
[3] HR. Imam
Bukhari
[4] Sri Rumini (et
al:), Psikologi Pendidikan, Yogyakarta: UNY Press, 2006, hlm. 5
[5] M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan, 2001, hlm. 224
[6] Lihat
Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2004, hlm. 8-10
[7] Humanistic
mengakui adanya kualitas insan dalam diri manusia berupa berpikir, abstraksi,
imajinasi, perasaan, dan lain-lain
[8] Baharuddin, Paradigma
Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 3-6
[9] Jalaluddin, Psikologi
Agama, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010, hlm. 46
[10] Ibid., hlm. 46
[11] Dalam hadis
yang panjang yang diriwayatkan secara muttafaq alaih disebutkan bahwa ….
Dan ingatlah, di dalam jasad itu terdapat segumpal daging. Jika baik, seluruh
jasad akan baik, dan jika ia rusak, seluruh jasad pun akan rusak.
[12]
juga
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab
[13] Karakter
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat-sifat kejiwaan,
akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain; tabiat;
watak, sedangkan berkarakter berarti mempunyai tabiat; mempunyai
kepribadian; berwatak
[14]
Ahmad D. Marimba, Pengantar Filsafat pendidikan Islam, Bandung: PT.
Al-Ma’arif, 1989, hlm 66
[15]
M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, Bandung: Mizan, 2001, hlm. 227
[16]
Ibid,. hlm. 233
[17]
Baharuddin, Paradigma
Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h. 2
[18] Achmad
Mubarok, Jiwa dalam Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2000, h. 42-43
[19] Ibid., hlm. 25-26
[20]
Jalaluddin, Psikologi
Agama, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010, hlm.
260
[21] Ibid,. hlm. 308
[22] Ibid., hlm 267
[24] M. Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’a, Bandung: Mizan, 2001, 47
[25] Disertasi
Baharuddin di UIN Yogyakarta yang telah diterbitkan menjadi buku pada 2004
dengan judul “PARADIGMA PSIKOLOGI ISLAMI (Studi tentang Elemen Psikologi
dari al-Qur’an)”.
[26] Disertasi
penulis pada Program Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, yang kemudian
diterbitkan menjadi buku teks.
[27] QS.
Al-Qiyamah/75:1-2
[28] QS.
Al-Fajr/89:27-30
[29] Qs.
Yusuf/12:53
[30] merupakan cara menafsirkan ayat-ayat Alquran dengan mendeskripsikan
uraian-uraian makna yang terkandung dalam ayat-ayat Alquran dengan mengikuti
tertib susunan surat-surat dan ayat-ayat sebagaimana urutan mushaf Alquran, dan
sedikit banyak melakukan analisis di dalamnya: dari segi kebahasaan, sebab
turun, hadis atau komentar sahabat yang berkaitan, korerasi ayat dan surat, dll
[32] Kuntowijoyo, Metodologi
Sejarah, Edisi Kedua, Yogyakarta: Tiara Wacana, 203.
[33] Hadari Nawawi,
Metodologi penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajah Mada Universy
press, 2001), h. 95
[34]
Suharsimi Arikunto, Prosedur penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta:
PT. Rineka Cipta. 1993.
[35]Amirul
Hadi & H. Haryono, Metodologi Penelitian Pendidikan, Bandung:
Pustaka Setia. 1998, hal. 126
[37] Lihat juga
http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_Quraish_Shihab
[38] Metode
diartikan sebagai prosedur atau tata cara yang sistematis yang dilakukan
seorang penelti dalam upaya mencapai tujuan seperti memecahkan masalah, atau
menguak phenomena tertentu.
[39] Siswantoro, Metode
Penelitian Sastra: Analisis Psikologis, (Suarakarta: Sebelas Maret University
Press), 2004, h. 49
[40] Ibid., h. 50
[41] Ibid., h. 81
[42] Baharuddin, Paradigma
Psikologi Islami, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 38-39
[43] Ibid, h. 39
Salam.
BalasHapusGan, saya mau meneliti tentang Prof Quraish Shihab dalam tesis saya.
Boleh saya gunakan kutip tesis agan sebagai tinjauan pustaka dalam tesis saya?
Boleh saya minta no kontak agan?
Mohon responnya, terimakasih.
Jazaakallohu khoirul Jazaa
BalasHapus