Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Kamis, 15 Mei 2014

10 Menit Saja


10 Menit Saja
Syahrul[1]
Ada adagium lama yang berbunyi “pertemuan pertama begitu menggoda,” sementara Albert Einstein mengatakan, jika awalnya tidak gila, maka seterusnya akan biasa-biasa saja. semuanya bermuara pada pertemuan pertama. Seorang penceramah akan  berhasil mengajak jama’ahnya apabila mampu memberi kesan yang kuat pada ucapan pertamanya, bahkan ucapan salam pun bisa sangat menentukan. Sebuah tulisan akan menarik untuk dibaca jika mampu menampilkan tulisan yang menggugah di paragraf pertamanya, begitupula bentuk relasi-relasi yang lain, kesan pertama menjadi penentu.
Bagi seorang guru yang kesahariannya selalu mengawali dan membuka pelajaran di kelas-kelas tentunya harus sangat tahu jurus pertama ini. Dalam dunia pendidikan, ini dinamakan dengan apersepsi, biasanya 10 menit pertama. Menit-menit pertama dalam proses belajar adalah waktu yang terpenting untuk satu jam pembelajaran selanjutnya (Chatib: 2012). Artinya menit-menit pertama menjadi penentu kesuksesan pembelajaran selanjutnya. Banyak guru yang gagal di menit-menit ini untuk mengambil hak mengajarnya, sehingga pembelajaran berjalan dengan sangat membosankan dari awal sampai akhir.
 Banyak guru yang tidak memahami tentang apersepsi baik dalam definisi maupun urgensinya. Seperti analisis Munif Chatib yang menantang kita untuk membuktikannya dengan penelitian sederhana. Jika ada di sekolah anda ada 20 orang guru, tanyakan kepada mereka tentang definisi apersepsi. Berapa yang telah memahaminya? Terkadang apersepsi hanya menjadi bentuk formalitas tertulis  di dalam Lesson Plan.
Dalam buku Gurunya Manusia (2012: 81) dijelaskan bahwa teori apersepsi diperkenalkan oleh Johan Friedrich Herbart (1776-1841) seorang psikolog, filsuf dan guru yang ahli. Filosofi mendasar teori apersepsi mengatakan bahwa manusia adalah makhluk pembelajar. Sifat dasar manusia adalah memerintah dirinya sendiri, lalu melakukan reaksi atau bereaksi terhadap instruksi yang berasal dari lingkunganny, jika dia dibekali oleh dorongan atau rangsangan (stimulus) khusus.
10 menit yang berkesan
Dalam suatu sesi pembelajaran di yang ‘spesial’ yang bertemakan organisasi dan berorganisasi. Sebelum memasuki kelas, saya tanamkan energy positif dalam pikiran, “sepeluh menit pertama, harus berkesan, berkesan! bismillah”, kemudian saya mencoba untuk menghilangkan semua stigma negative yang melekat di kelas tersebut, bahwa mereka adalah anak-anak yang kreatif, cerdas dan baik. Hal ini penting, karena ketika pikiran kita sudah underestimate terhadap sesuatu itu akan memberikan pengaruh yang besar terhadap sikap kita selanjutnya.
Terselib dalam apitan tangan kanan saya materi-materi pembelajaran dan di tangan kira tergenggam dengan kuat seikat sapu lidi, dengan ucapan salam saya masuk ruang kelas dengan gagah dan menebar senyum. “Selamat pagi anak-anak, hari ini, adalah hari yang luar biasa, karena saya berdiri di hadapan kelas yang luar biasa dan anak-anak yang hebat-hebat.” Salam dan keriuhan hangat terlihat jelas di mata anak-anak. mungkin selama ini, setiap guru yang masuk, mereka hanya mendapatkan keluhan demi keluhan. Mereka seolah-olah jarang mendengarkan pujian dan sanjungan. Ada yang menarik, mereka cukup antusias dan penasaran terhadap properties yang saya bawa. Sapu lidi. Aneh, begitu mungkin pikiran mereka.
Dengan tidak mengurangi penasaran mereka, dengan mengubah ekspresi wajah agak sedikit galak, saya memanggil dengan lantang satu anak yang paling ‘istimewa’ di kelas tersebut, “Andra!” dan satu anak yang paling baik, “dan Dewi, maju ke depan!”. Mereka maju dengan sedikit canggung. “Dewi, Tolong sapu lantai ini!” Sembari saya mencabut sebatang lidi dan memberikannya, dengan sedikit ragu disambut oleh  riuh suara kelas, Dewi menyapu lantai. “Sudah!”. “Sekarang Andra sapu lantai ini dengan sapu lidi itu!”. Dengan sigap Andra menyelesaikannya. “Nah, sekarang Andra tugasmu mematahkan lidi itu!, Andra berkali-kali mencoba namun gagal terus. “Nah, sekarang giliran Dewi untuk mematahkan lidi itu.” Hanya dengan sekali tekukan, lidi patah. “Trimakasih, kalin silahkan duduk kembali, dan tepuk tangan pada mereka berdua.”
Anak-anak ada pelajaran yang sangat berharga dari dua peristiwa tadi, ada yang bisa menyebutkan pelajaran apa yang bisa kita ambil? Sahut menyahut mereka mengemukakan argumentasi mereka, tentunya dengan antusias. ”Semua benar, nah sekarang silahkan jawab secara bersama-sama!”
“Lebih bersih mana antara andra dengan dewi?” Andra…jawab mereka serentak.
“Lebih cepat mana?” “Andraa…”
“Nah, mana yang lebih kuat?” “Andraa…”
“Dan mana yang akan cepat sukses?”“Andraa…”
“Bagus. Tepuk tangan semua!, Nah itulah organisasi”.  
Apersepsi bertujuan bagaimana gelombak otak masuk zona alfa dimana kondisi ini adalah kondisi terbaik untuk belajar, banyak cara mengembalikan otak ke zona alfa, diantaranya dengan cerita lucu, music dan bentuk-bentuk kegiatan yang merangsang emosi. Agar apersepsi menarik dan up to date seyogyanya seorang guru memiliki dan rajin membaca buku-buku berbagai metode pembelajaran, rajin brousing internet, terus mengaupdate informasi-informasi baru, mengikuti perkembangan budaya ngetrend remaja, dan menunjukkan jiwa muda.  


[1] Guru Pendidikan Agama Islam di SMP Muhammadiyah 2 Sawangan, Magelang. Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar