10 Menit Saja
Syahrul[1]
Ada adagium lama yang berbunyi “pertemuan pertama begitu
menggoda,” sementara Albert Einstein mengatakan, jika awalnya tidak gila,
maka seterusnya akan biasa-biasa saja. semuanya bermuara pada pertemuan
pertama. Seorang penceramah akan
berhasil mengajak jama’ahnya apabila mampu memberi kesan yang kuat pada
ucapan pertamanya, bahkan ucapan salam pun bisa sangat menentukan. Sebuah
tulisan akan menarik untuk dibaca jika mampu menampilkan tulisan yang menggugah
di paragraf pertamanya, begitupula bentuk relasi-relasi yang lain, kesan
pertama menjadi penentu.
Bagi seorang guru yang kesahariannya selalu mengawali dan membuka
pelajaran di kelas-kelas tentunya harus sangat tahu jurus pertama ini. Dalam
dunia pendidikan, ini dinamakan dengan apersepsi, biasanya 10 menit pertama.
Menit-menit pertama dalam proses belajar adalah waktu yang terpenting untuk
satu jam pembelajaran selanjutnya (Chatib: 2012). Artinya menit-menit pertama
menjadi penentu kesuksesan pembelajaran selanjutnya. Banyak guru yang gagal di
menit-menit ini untuk mengambil hak mengajarnya, sehingga pembelajaran berjalan
dengan sangat membosankan dari awal sampai akhir.
Banyak guru yang tidak
memahami tentang apersepsi baik dalam definisi maupun urgensinya. Seperti
analisis Munif Chatib yang menantang kita untuk membuktikannya dengan
penelitian sederhana. Jika ada di sekolah anda ada 20 orang guru, tanyakan
kepada mereka tentang definisi apersepsi. Berapa yang telah memahaminya? Terkadang
apersepsi hanya menjadi bentuk formalitas tertulis di dalam Lesson Plan.
Dalam buku Gurunya Manusia (2012: 81) dijelaskan bahwa teori
apersepsi diperkenalkan oleh Johan Friedrich Herbart (1776-1841) seorang
psikolog, filsuf dan guru yang ahli. Filosofi mendasar teori apersepsi
mengatakan bahwa manusia adalah makhluk pembelajar. Sifat dasar manusia adalah
memerintah dirinya sendiri, lalu melakukan reaksi atau bereaksi terhadap
instruksi yang berasal dari lingkunganny, jika dia dibekali oleh dorongan atau
rangsangan (stimulus) khusus.
10 menit yang berkesan
Dalam suatu sesi pembelajaran di yang ‘spesial’ yang bertemakan
organisasi dan berorganisasi. Sebelum memasuki kelas, saya tanamkan energy
positif dalam pikiran, “sepeluh menit pertama, harus berkesan, berkesan! bismillah”,
kemudian saya mencoba untuk menghilangkan semua stigma negative yang melekat di
kelas tersebut, bahwa mereka adalah anak-anak yang kreatif, cerdas dan baik.
Hal ini penting, karena ketika pikiran kita sudah underestimate terhadap
sesuatu itu akan memberikan pengaruh yang besar terhadap sikap kita
selanjutnya.
Terselib dalam apitan tangan kanan saya materi-materi pembelajaran
dan di tangan kira tergenggam dengan kuat seikat sapu lidi, dengan ucapan salam
saya masuk ruang kelas dengan gagah dan menebar senyum. “Selamat pagi
anak-anak, hari ini, adalah hari yang luar biasa, karena saya berdiri di
hadapan kelas yang luar biasa dan anak-anak yang hebat-hebat.” Salam dan keriuhan
hangat terlihat jelas di mata anak-anak. mungkin selama ini, setiap guru yang
masuk, mereka hanya mendapatkan keluhan demi keluhan. Mereka seolah-olah jarang
mendengarkan pujian dan sanjungan. Ada yang menarik, mereka cukup antusias dan
penasaran terhadap properties yang saya bawa. Sapu lidi. Aneh, begitu mungkin
pikiran mereka.
Dengan tidak mengurangi penasaran mereka, dengan mengubah ekspresi
wajah agak sedikit galak, saya memanggil dengan lantang satu anak yang paling ‘istimewa’
di kelas tersebut, “Andra!” dan satu anak yang paling baik, “dan Dewi,
maju ke depan!”. Mereka maju dengan sedikit canggung. “Dewi, Tolong sapu
lantai ini!” Sembari saya mencabut sebatang lidi dan memberikannya, dengan
sedikit ragu disambut oleh riuh suara
kelas, Dewi menyapu lantai. “Sudah!”. “Sekarang Andra sapu lantai ini
dengan sapu lidi itu!”. Dengan sigap Andra menyelesaikannya. “Nah, sekarang
Andra tugasmu mematahkan lidi itu!, Andra berkali-kali mencoba namun gagal
terus. “Nah, sekarang giliran Dewi untuk mematahkan lidi itu.” Hanya
dengan sekali tekukan, lidi patah. “Trimakasih, kalin silahkan duduk
kembali, dan tepuk tangan pada mereka berdua.”
“Anak-anak ada pelajaran yang sangat berharga dari dua peristiwa
tadi, ada yang bisa menyebutkan pelajaran apa yang bisa kita ambil? Sahut
menyahut mereka mengemukakan argumentasi mereka, tentunya dengan antusias. ”Semua
benar, nah sekarang silahkan jawab secara bersama-sama!”
“Lebih bersih mana antara andra dengan dewi?” Andra…jawab mereka serentak.
“Lebih cepat mana?” “Andraa…”
“Nah, mana yang lebih kuat?” “Andraa…”
“Dan mana yang akan cepat sukses?”“Andraa…”
“Bagus. Tepuk tangan semua!, Nah itulah organisasi”.
Apersepsi bertujuan bagaimana gelombak otak masuk zona alfa dimana
kondisi ini adalah kondisi terbaik untuk belajar, banyak cara mengembalikan
otak ke zona alfa, diantaranya dengan cerita lucu, music dan bentuk-bentuk
kegiatan yang merangsang emosi. Agar apersepsi menarik dan up to date
seyogyanya seorang guru memiliki dan rajin membaca buku-buku berbagai metode
pembelajaran, rajin brousing internet, terus mengaupdate
informasi-informasi baru, mengikuti perkembangan budaya ngetrend remaja,
dan menunjukkan jiwa muda.
[1] Guru Pendidikan Agama Islam di SMP Muhammadiyah 2 Sawangan,
Magelang. Mahasiswa Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar