KAIDAH-KAIDAH
TAFSIR AL-QUR’AN
SEBUAH
REVIEW
(BERDASARKAN
BUKU AL-QAWAID AL-HISAN LI TAFSIRIL
QUR’AN KARYA AS-SA’DI)
SYAHRUL,
S.Pd.I
A.
Pengantar
Al-Qur’an
al-Karim akan terus membimbing manusia selama ia tetap mempelajari dan
mengamalkannya. Al-Qur’an sebagai kitab suci terakhir akan tetap terjaga
keasliannya dari perubahan-perubahan dari musuh-musuh islam (wainna lahu lahafdzuun). Al-Qur’an hanya
akan menjadi sekedar kitab suci dan bacaan yang diperlombakan jika umat islam
tidak mempelajari dan menelaah secara mendalam. Oleh karena itu Nabi
mengingatkan bahwa sebaik-baik manusia adalah mereka yang mempelajari al-Qur’an
dan mengajarkannya (khairukum man
ta’allama al-Qur’an wa allamahu).
Ilmu tafsir
sangat diperlukan dalam memahami kitab suci al-Qur’an. Tetapi menjadi seorang
mufassir harus memiliki syarat-syarat dan keilmuan yang ketat. Dr. Muhammad
Nabil Ghanaim mensyaratkan empat persyaratan yaitu, pertama, mempunyai
pengetahuan mendalam tentang al-Qur’an dan as-Sunnah. Kedua, mengetahui
pendapat para sahabat dan tafsir mereka terhadap al-Qur’an. Ketiga, penafsir
harus mempunyai aqidah yang luruh. Keempat, menguasai ‘irab bahasa Arab. Syeikh
Manna’ al-Qaththan masih menambahkan satu syarat lagi yaitu membersihkan diri
dari hawa nafsu.
Adapun ilmu yang
harus dikuasai menurut Abu Hayyan al-Andalusi, Jalaluddin as-Syuyuti dan
al-Alusi adalah; ilmu bahasa Arab, Nahwu, Sharaf, Ma’ani, Bayan, Badi,
Isytiqaq, Usul Fiqh, Fiqh, Ilmu Qira’at, Ilmu Hadits, Asbab an-Nuzul, Nasikh wa
al-Mansukh, Ilmu Kalam, dan Ilmu Mauhibah.
Karena al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa Arab maka kaidah-kaidah yang diperlukan para mufassir
dalam memahami al-Qur’an terpusat pada kaidah-kaidah bahasa, pemahaman
asas-asasnya, penghayatan uslub-uslubnya dan penguasaan rahasia-rahasianya. Makalah
ini akan menjabarkan lima kaidah sesuai tugas yang diberikan berdasarkan buku
karya as-Sa’di yaitu kaidah ke-7, ke-18, ke-20, ke-21, dan ke-26. Tetapi untuk
memudahkan sistimatika penulisan maka disusun sesuai urutan nomor terkecil ke
terbesar.
B.
Macam-Macam Kaidah Tafsir karya as-Sa’di
Kaidah
Pertama,
apabila di dalam al-Qur’an kata ism (kata benda) ditemukan atau disebut secara
sendiri (infarada),maka itu
menunjukkan pengertian umum yang sejalan dengannya. Akan tetapi jika disebutkan
bersamaan dengan yang lain sebagai penjelasnya, pengertian ism menjadi terbatas pada yang dijelaskan saja.
Contohnya
adalah kata iman yang dalam beberapa ayat disebutkan secara tersendiri,
sedangkan, sedangkan dalam beberapa ayat lain dikaitkan dengan amal saleh atau
sifat-sifat lain. Berdasarkan kaidah di atas, maka kata iman yang disebutkan secara sendiri menunjuk semua pengertian iman,
baik yang berhubungan dengan masalah akidah ataupun syariat – konkrit (dhahir) maupun abstrak (bathin).
Definisi iman menurut ulama salaf adalah qaulul qalbi wal lisan wa amalul qalbi wal lisani wal jawarih
(keyakinan yang diucapkan oleh lidah, dibenarkan dalam hati, dan termanifestasi
dalam perbuatan anggota tubuh)
Adapun
iman yang disertai dengan penyebutan amal saleh, misalnya dalam ayat innal-ladzina amanu wa ‘amilushshalihati … (sesungguhnya
orang-orang yang beriman dan berimal saleh…) iman ditafsirkan berkaitan dengan
perbuatan hati, berupa makrifah, pembenaran, keyakinan (‘itiqad), ketaatan (inabah).
Sementara kata amal saleh ditafsirkan dengan pelaksanaan semua syariat, baik
perkataan maupun perbuatan.
Contoh
lain kata al-birr (kebajikan) dan
kata al-Taqwa (menjaga diri, waspada). Jika al-birr dan al-taqwa disebutkan
sendiri-sendiri –disamping kebajikan- masing-masing juga menunjuk pengertian
menjunjung semua perintah dan menjauhi semua larangan Allah dan RasulNya.
Contoh al-taqwa disebutkan sendiri
terdapat dalam surat Ali Imran ayat 133-134. Di sini taqwa dijabarkan dalam
bentuk sifat-sifat kebaikan, jika sifat itu tidak dimilki seseorang maka
hakekat taqwa tidak bisa dicapai. Kata al-birr
disebutkan secara tersendiri terdapat dalam surat al-Infithar ayat 13. Kata
dalam ayat ini menunjukkan pengertian melakukan perbuatan-perbuatan kebaikan
dan meninggalkan perbuatan maksiat secara umum.
Adapun
kata al-birr dan al-taqwa yang digabung dalam satu ayat seperti yang terdapat dalam
surat al-Maidah ayat 5, masing-masing memiliki pengertian yang berbeda. Al-birr ditafsirkan sebagai semua nama yang disukai dan diridhai
Allah swt dalam bentuk perbuatan dan perkataan. Sedangkan kata al-taqwa ditafsirkan semua nama yang
mengandung pengertian meninggalkan perbuatan dan perkataan maksiat kepada
Allah. Begitupula kata al-itsm jika disebut sendirian maksudnya adalah semua
perbuatan maksiat yang dapat menimbulkan dosa bagi pelakunya baik vertical
kepada Allah maupun horizontal kepada manusia. Kata al-‘udwan bila disebut secara sendiri pun bermakna sama, namun
apabila keduanya disebutkan bersamaan dalam satu ayat, al-itsm bermakna perbuatan maksiat kepada Allah dan al-‘udwan ditafsirkan sebagai nama dari
permusuhan antar sesama manusia baik berkaitan dengan harta, darah dan harga
diri.
Contoh
lain adalah faqir dan miskin, jika disebutkan secara bersama-sama dalam satu
ayat seperti dalam surat at-Taubah ayat 60, maka makna faqir adalah orang yang
sangat membutuhkan bantuan tetapi ia tidak memiliki apa-apa. Sedangkan miskin
bermakna orang yang kebutuhanya lebih besar daripada apa yang dimilikinya. Jika
faqir dan miskin disebutkan secara terpisah maka ia bermakna sama.
Kaidah
kedua,
dalam banyak ayat Allah menunjuki (yahdi
man-yasya’) bagi siapa yang dikehendaki dan menyesatkan (yudhillu man-yasya’) bagi yang
dikehendaki, dan di ayat yang lain Allah menyebutkan sebab-sebab seseorang
mendapatkan hidayah dan petunjuk dan kebalikannya. Contoh lainnya; yaghfiru liman-yasya’ (mengampuni),
yuadzdzibu man-yasya’ (mengadzab), yarhamu
man-yasya” (merahmati), yabsuthur-rizqa man-yasya’ (melapangkan
rezeki) dll. Hal ini menunjukkan akan kesempurnaan kehendak (Tauhid), dan
kesendirian Allah dalam mencipta segala sesuatu serta dalam mengurus/mengatur
semua perkara. Segala perbendaharaan dunia menjadi milikNya dan akan member,
menahan kepada yang dikehendaki. Agar manusia hanya berharap, meminta, dan
berdoa kepada Allah serta menghindari dari berharap kepada selainNya. Seperti
tertuang dalam hadis Qudsi; (Ya ‘ibadi
kullukum dhallin illa man hadaituhu, fastahduuni ahdikum) wahai hambaku
kalian semua tersesat kecuali mereka yang Ku beri petunjuk, maka minta
petunjuklah kepadaKu, akan kutunjuki.
Di
sebagian ayat yang lain, Allah menyebutkan sebab-sebabnya, agar seorang hamba
mengetahui sebab dan jalan menuju hidayah dan menghindari kesesatan. Contohnya
dalam surat al-lail ayat 5-10.
Sesungguhnya
usaha kamu memang berbeda-beda. 5.
Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, 6. Dan membenarkan adanya pahala yang terbaik
(syurga), 7. Maka kami kelak akan
menyiapkan baginya jalan yang mudah. 8.
Dan adapun orang-orang yang bakhil dan merasa dirinya cukup, 9. Serta mendustakan pahala terbaik, 10. Maka kelak kami akan menyiapkan baginya
(jalan) yang sukar.
Dalam
ayat ini Allah menjelaskan sebab-sebab hidayah dan kemudahan begitu pula
sebab-sebab dan kesusahan hidup. Seperti halnya sebab seorang hamba mendapatkan
ampunan (maghfirah).
(156) … Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk
orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang beriman
kepada ayat-ayat kami. (157) (yaitu)
orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya). (QS. Al-A’raf:
156-157)
Ayat
yang lainnya;
وَسَارِعُوا
إِلَىٰ مَغْفِرَةٍ مِّن رَّبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ
أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ [٣:١٣٣]
Dan bersegeralah
kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit
dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa (QS. Ali Imran:
133)
Kemudian
Allah menyebutkan sebab-sebab untuk mendapatkan ampunan (maghfirah) dan rahmat, yaitu dengan mencapai ketaqwaan baik dalam
ayat ini maupun di dalam ayat yang lain. Begitu pula perintah menyimak dengan
baik bacaan al-Qur’an agar mendapatkan rahmat (turhamuun) (QS. 7:204) dan perintah untuk taat kepada Allah dan
RasulNya (QS. 3:132) dan contoh-contoh yang lainnya.
Kaidah
ketiga, dilihat
dari satu sisi, seluruh al-Qur’an bersifat muhkam (jelas, tegas, mudah difahami,
dan terperinci maksudnya). Di sisi lain al-Qur’an juga dapat dikatakan seluruhnya
mutasyabih (serupa, samar, perlu penjelasan, dan tidak mudah difahami). Dapat
juga dilihat bahwa sebagian muhkam dan sebagai lagi mutasyabih. Allah mensifati
al-Qur’an dengan tiga sifat ini. Ayat yang menegaskan sifat muhkam al-Qur’an
terdapat dalam surat Hud ayat 1. Maksudnya adalah al-Qur’an itu al-Haq
(kebenaran) yang disusun dengan sangat sistematis, mencapai puncak kerapian dan
kebijaksanaan. Dalam al-Qur’an tidak didapati pertentangan dan perselisihan.
Semua perintah berisi kebaikan dan keberkahan dan semua larangan berangkat dari
keburukan dan akan menimbulkan keburukan.
Bahwa
al-Qur’an bersifat mutasyabih, dinyatakan dalam surah az-Zumar ayat 23. Maksud
mutasyabih di sini ialah berupa kebaikan, kebenaran, nilai petunjuk dan
kebenaranya. Sifat mutasyabih (keserupaan) al-Qur’an dapat diumpamakan ketika
al-Qur’an menjelaskan sifat buah-buahan yang berasal dari tanam-tanaman dan
tumbuh-tumbuhan, terdapat dalam surat al-An’am ayat 141. Dapat pula sifat
mutasyabih al-Qur’an diserupakan dengan keterangan tentang sifat kenikmatan dan
buah-buahan di Surga (QS. Al-Baqarah: 25). termasuk dalam
pengertian ayat-ayat mutasyaabihaat: ayat-ayat yang mengandung beberapa pengertian
dan tidak dapat ditentukan arti mana yang dimaksud kecuali sesudah diselidiki
secara mendalam; atau ayat-ayat yang pengertiannya Hanya Allah yang mengetahui
seperti ayat-ayat yang berhubungan dengan yang ghaib-ghaib misalnya ayat-ayat
yang mengenai hari kiamat, surga, neraka dan lain-lain.
Adapun
al-Qur’an menyebutkan sebagian ayat mutasyabih dan sebagian lagi muhkam
terdapat dalam surat Ali Imran ayat 7. …Di
antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamaat , Itulah pokok-pokok isi Al
qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat… dijelaskan pula dalam ayat
ini, bahwa sebagian manusia berkeyakinan yang teguh dalam memahami ayat
mutasyabih bahwa semua berasal dari al-Qur’an, dan jika ada ayat yang
mutasyabih maka dapat ditemukan penjelasannya pada ayat yang lain sehingga
menjadi jelas (muhkam).
Contohnya
dalam beberapa ayat menyebutkan bahwa Allah maha kuasa atas segala-galanya,
seperti jika Allah berkehendak maka terjadilah (kun fayakun), dan ayat lain bahwa Allah menyesatkan kepada siapa
yang dikehendaki dan menunjuki siapa yang dikehendaki (QS. Fathir: 8). Jika
secara sepintas saja dan hanya focus pada ayat-ayat yang senada, maka akan
menimbulkan pemahaman yang keliru bahwa Allah menyesatkan dan menunjukkan seseorang
secara acak tanpa sebab yang jelas. Padahal petunjuk dan penyesatan diberikan
Allah melalui sebab-sebab yang dilakukan serta menjadi predikat dirinya (QS.
Al-Maidah: 16 dan QS. Al-A’raf: 30). Begitupula jika hanya memahami ayat-ayat
qudrah bahwa manusia bebas memilih dan berkehendak tanpa ada campur tangan
Allah akan menimbulkan pemahaman yang keliru pula. Hendaknya dua kelompok ayat
ini difahami secara proposional bahwa manusia bisa memilih dan menentukan
perbuatan baik maupun buruk tetapi daya untuk membuat pilihan, keputusan,
kekuasaan dan kekuatan melakukan perbuatan baik dan buruk Allahlah yang
menciptakan.
Kaidah
keempat, petunjuk
al-Qur’an tetap relevan dalam setiap ruang dan waktu. Kebaikan (al-ma’ruf) dan kemungkaran (al-munkar) pada dasarnya dapat dibagi
dua, yaitu dari segi konsep (ide) dan perincian pelaksanaan. Dilihat dari segi
konsep, keduanya bersifat universal. Keduanya diketahui dan dikenal manusia
sebagai sesuatu yang baik atau yang buruk, dimana saja mereka berada dan pada
zaman apapun mereka hidup. Keduanya tetap dan tidak berubah-ubah. Berbuat baik
kepada orang tua, adil, menjaga harga diri membela yang lemah, jujur merupakan
perbuata baik yang pasti diakui semua orang, begitu pula sebaliknya pembunuhan,
berzina, meminum khamar, dan semua
perbuatan buruk pasti diakui sebagai kejahatan.
Jenis
kedua adalah kebaikan (al-ma’ruf) dan
keburukan (al-munkar) yang mengalami
perubahan dan perbaikan karena perbedaan ruang, waktu dan keadaan. Penilaian
baik dan buruk diserahkan kepada urf dan kemaslahatan yang sedang berlaku pada
waktu tertentu. Contohnya adalah perintah berbuat baik kepada orantua, akan
tetapi Allah tidak menentukan secara khusus jenis perbuatan baik yang terbaik (al-birr wa al-ihsan) kepada orangtua.
Tiadanya perincian jenis-jenis kebaikan dalam masalah ini agar perintah itu mencakup semua sifat dan
keadaan yang muncul kemudian, yang dipandang sebagai perbuatan baik kepada
orangtua.
Begitu
pula perintah Allah berbuat baik kepada keluarga, tetangga, teman-teman dan
sebagainya. Ukuran, jenis, bentuk, macam, dan model kebaikannya adalah yang
dipandang dan dinilai baik oleh masyarakat pada umumnya (menurut adat dan
kebiasaan), sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum syara’. Begitu
pula perintah berbuat baik (bil ma’ruf)
suami kepada istri (QS. An-Nisa’: 19 dan QS. Al-Baqarah: 228), Allah
menyerahkan aturan pergaulan, hak dan kewajiban suami-istri yang baik kepada
pertimbangan dan penilaian urf yang
berlaku saat itu di lingkungan suami istri.
Contoh
dari kaidah di atas ialah firman Allah pada surat al-Anfal ayat 26 dan 31:
Hai anak Adam,
Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu Pakaian untuk menutup auratmu dan
Pakaian indah untuk perhiasan….
…. makan dan
minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berlebih-lebihan.
Dua
ayat di atas secara umum mengandung pembolehan makan dan minum serta berpakaian
tanpa menyebutkan jenis makanan dan minuman serta model pakaiannya. Ayat ini
tentunya membolehkan manusia mengkomsumsi bermacam-macam makanan, minuman dan
pakaian yang jenis dan macamnya berbeda-beda (karena adanya perbedaan iklim,
budaya, adat istiadat, keadaan tempat, dan masa) tanpa membedakan apakah semuanya
sudah dikenal pada waktu ayat ini turun.
Contoh
lainya adalah transaksi perdagangan yang terdapat dalam surat an-Nisa’ ayat 29:
Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di
antara kamu…
Ayat
ini tidak menentukan jenis dan macam perdangan yang benar, tidak pula
menentukan secara tegas bentuk redaksi transaksi (akad) yang menyebutkan
prinsip ridha atau “suka sama suka” sebagai keabsahan suatu jual beli atau
perdangan.
Kaidah kelima,
hukum di dalam suatu ayat bergantung pada kondisi yang dipersyaratkan di
dalamnya. Pada prinsipnya semua ayat al-Qur’an yang di dalamnya memuat berbagai
persyaratan atau kaitan keadaan (quyud),
maka hokum-hukumnya tidak berlaku –kecuali jika di dalam kasus yang hendak
ditentukan hukumnya terdapat persyaratan atau kaitan keadaan tersebut.
Contoh
penerapan kaidah di atas;
Ayat tentang
alasan perbuatan syirik
Dan barangsiapa
menyembah Tuhan yang lain di samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun
baginya tentang itu, Maka Sesungguhnya perhitungannya di sisi Tuhannya…. (QS.
Al-Mu’minun: 117)
Menyembah
sesuatu selain Allah adalah perbuatan kafir dan musyrik. Mengenai alasanya,
tentunya tidak ada alasan yang dibenarkan, pengaitan perbuatan tersebut dengan
alasan tertentu seolah-olah menjadi pembenaran boleh melakukan asalkan dengan
alasan tertentu. Tetapi maksud pengaitan perbuatan syirik dengan suatu alasan adalah
untuk menjelaskan betapa keji dan tercela perbuatan syirik, bukan
menoleransinya
Membunuh Para
Nabi A.S Tanpa Hak
…. dan mereka
membunuh para nabi dengan tanpa hak… (QS. Al-Baqarah; 61)
Ayat
ini seolah-oleh membenarkan membunuh para nabi yang dilakukan dengan sah,
padahal semua pembunuhan terhadap nabi adalah tanpa hak. Ayat ini –disamping
menegaskan bahwa pembunuhan para nabi itu sangat tercela- juga menegaskan
pelaku pembunuhan tersebut adalah orang-orang yang sangat jahat dan berdosa.
Mengawini Anak
Tiri
Diharamkan atas
kamu (mengawini) ibu-ibumu… dan anak-anak tirimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang Telah kamu campuri… (QS. An-Nisa’ 23)
Larangan
mengawini anak tiri dengan keadaan di bawah pemeliharaan seorang ayah tiri sama
sekali tidak berhubungan diperbolehkan mengawininya. Seorang laki-laki secara
mutlak haram mengawini anak tirinya, baik anak itu berada dalam pemeliharaannya
ataupun tidak. Penyebutan kaitan tersebut adalah untuk menegaskan betapa keji
tindakan seorang ayah tiri yang mengawini anak tirinya -yang kedudukannya sama
dengan anak kandungnya.
Alasan Membunuh
Anak
Dan janganlah
kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. (QS. Al-Isra:
31)
Membunuh
anak, dalam keadaan bagaimanapun, adalah tindakan terlarang. Karena itu, adanya
kaitan pembunuhan anak dengan kemiskinan dimaksudkan untuk menyatakan kumulasi
kejahatan yang akan terjadi yaitu, kejahatan membunuh tanpa alasan, kejahatan
membunuh orang, dan kejahatan membunuh karena menentang taqdir. Penyebutan kaitan
tersebut untuk menegaskan –bahwa sedangkan membunuh anak dalam keadaan miskin
pun sangat terlarang- apalagi jika dalam keadaan ekonomi orang tua baik.
Melakukan Gadai
dalam Perjalanan
Jika kamu dalam
perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh
seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang oleh yang
berpiutang…. (QS.
Al-Baqarah: 283)
Melakukan
penggadaian untuk mendapatkan uang adalah sah hukumnya, baik dilakukan di rumah
maupun ketika sedang dalam bepergian (musafir).
Atas dasar itu tujuan al-Qur’an menyebutkan kaitan transaksi gadai dengan
keadaan dalam pejalanan adalah untuk menegaskan bahwa transaksi itu, tetap sah
walaupun dilakukan dalam keadaan yang paling rawan. Sebab biasanya dalam
kondisi musafir tingkat kepercayaan sangat tipis kecuali adanya jaminan
tertentu dalam bentuk gadai.
Jumlah Saksi
dalam Transaksi Utang-Piutang
…dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu).
jika tak ada dua oang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang
perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai…. (QS. Al-Baqarah: 282)
Penyebutan
jumlah saksi seperti di dalam ayat di atas adalah dalam bentuk kesaksian yang
lebih sempurna, yang dengan menganjurkan jumlah saksi seperti itu para pihak
akan lebih merasa tenang, dan hak masing-masing menjadi lebih terjamin.
Melakukan
Tayamum sebagai Pengganti Wudhu.
… dan jika kamu
sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu
Telah menyentuh perempuan, Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah
kamu …. (QS.
An-Nisa’: 43)
Melakukan
tayamum boleh saja dilakukan, baik ketika sedang musafir ataupun tidak. Artinya
tayamum tidaklah dipersyaratkan ketika sedang dalam perjalanan (safar) saja, tetapi tetapi juga ketika
sedang berada di wilayah sendiri (muqim),
asalkan pada waktu itu tidak ditemukan air. Penyebutan kaitan bepergian pada
ayat di atas hanyalah untuk menjelaskan bahwa biasanya orang yang sedang
bepergian yang sulit menemukan air.
Melakukan Qashar
Shalat
Dan apabila kamu
bepergian di muka bumi, Maka tidaklah Mengapa kamu men-qashar shalat(mu), jika
kamu takut diserang orang-orang kafir… (QS. An-Nisa’: 101)
Di
antara ulama terdapat kesepakatn bahwa melakukan qashar shalat tetap dibolehkan
meskipun ketika sedang dalam keadaan aman dan tidak mesti ketika dalam keadaaan
takut diserang musuh saja. Wallahu’alam
Daftar
Bacaan
Manna’
Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an,
Jakarta: Pustaka Litera AntarNusa, 2007.
Abdurrahman
bin Nashir al-Sa’di, al-Qawaid al-Hisan
lil Tafsiril Qur’am, maktabh al-Ma’arif
Jurnal
Kajian Islam AL-INSAN, Vol. 1, No. 1, Januari 2005
Al-Qur’an
terjemahan Depag
Terjemahan
al-Qawaid al-hisan …
Tidak ada komentar:
Posting Komentar