STUDI
KOMPARASI PENDIDIKAN KARAKTER
DALAM PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM
PENDEKATAN
FILOSOFIS HISTORIS
Syahrul,
S.Pd.I
A.
Pengantar
Akhir-akhir ini
pendidikan karakter menjadi topic yang hangat di dunia pendidikan di Indonesia.
Hal ini berkaitan erat dengan realitas masyarakat dan dunia pendidikan pada
khususnya. Tawuran pelajar, penyalahgunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas
yang berimbas pada pernikahan kecelakaan (accident)
dan aborsi. Masyarakat sudah sangat permisif dengan dekadensi moral, pemecahan
masalah diselesaikan dengan pentungan dan jotosan,
hukum diselesaikan dijalanan. Seolah-olah pendidikan telah kehilangan
fungsinya membina dan membentuk karakter peserta didik dan mewarnai bangsa.
Penguatan
karakter melalui pendidikan juga diamini oleh M. Nuh selaku kementerian
pendidikan bahwa pembentukan
karakter perlu dilakukan
sejak usia dini.
Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang.
John Luther pernah berkata; “Good character is more to be praised than
outstanding talent. Most talents are to some axtent a gift. Good character, by
contranst, is not given to us. We
have to build it peace by peace – by thought, choice, courage and determination.”
Karakter yang baik
lebih patut dipuji
daripada bakat yang luar
biasa. Hampir semua bakat
adalah anugerah. Karakter yang baik,
sebaliknya, tidak dianugerahkan
kepada kita. Kita
harus membangunnya sedikit demi
sedikit – dengan
pikiran, pilihan, keberanian, dan usaha
keras- (John Luther,
dikutip dari Ratna Megawangi, Semua
Berakar Pada Karakter
(Jakarta: Lembaga Penerbit FE-UI,
2007).[1]
Kegundahan pemerintah/pemimpin akan kemerosotan moral dalam
berkehidupan kebangsaan tentunya sangat beralasan, di Barat yang notabenenya
sangat mengangung-anggungkan kebebasan (liberal), HAM, emansipasi dan toleransi
pun harus melakukan intervensi ke dunia pendidikan dalam pembentukan karakter.
Meraka pun meyakini bahwa sekolah memiliki peran yang penting dalam pembinaan
dan pembentukan karakter untuk menciptakan masyarakat yang baik. Indonesia yang
bukan Negara sekuler tentunya sangat berkepentingan dalam hal ini.
Wacana pendidikan
karakter bukanlah tanpa diskursus dan perdebatan diantara tokoh-tokoh
pendidikan. Mengapa harus pendidikan karakter? Bukankah bangsa ini telah lama
menerapkan pendidikan budi pekerti atau dalam pendidikan islam dikenal dengan
pendidikan akhlak. Apa dan bagaimana pendidikan karakter?, apa saja nilai-nilai
dalam pendidikan karakter?, dan bagaimana aplikasi dan implikasinya di dunia
pendidikan?, yang kemudian komparasikan dengan sudut pandang pendidikan islam.
Dengan pendekatan filosofis historis –menggali secara mendalam dan terperinci
serta konteks sejarahnya- diharapkan dapat menemukan penilaian yang objektif.
Sehingga kita tidak mudah latah menerima konsep pendidikan yang datang dari
luar tanpa ada kritis (taken for granted) dan tidak mencoba menggali, menimbang, dan
menerapkan khasanah yang sudah kita miliki yang nyata-nyatanya lebih cocok
dengan budaya sendiri. Meminjam istilah Ibnu Khaldun, al-maghluub muu’laun Abadan bil iqtida’ bil-ghaalib (kecendrungan
manusia mengikuti pihak yang menang)
B.
Pembahasan
Karakter dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain;
tabiat; watak, sedangkan berkarakter berarti mempunyai
tabiat; mempunyai kepribadian; berwatak (1995: 445) Dengan kata sesuatu yang
melekat pada diri individu yang tidak membutuhkan pemikiran dalam bertindak
atau terjadi secara reflek. Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir. Membentuk
karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi
yang keras. Dari sanalah kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan
sebagai tanda khusus atau pola perilaku (an individual’s pattern of behavior … his moral
contitution) (Karen E. Bohlin, Deborah Farmer, Kevin Ryan,
Building Character in School Resource Guide, San Fransisco: Jossey
Bass, 2001, hlm.1).[2]
Anita Syaharuddin mengutip di dalam buku Educating For
Character: How Our School Can Teach Respect and Responsibility, (1992:
12-22) bahwa Lickona mendefinisikan orang yang berkarakter sebagai sifat alami
seseorang dalam merespons situasi secara bermoral—yang dimanifestasikan dalam
tindakan nyata melalui tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab,
menghormati orang lain dan karakter mulia lainnya. Pengertian ini mirip dengan
apa yang diungkapkan oleh Aristoteles, bahwa karakter itu erat kaitannya dengan
habit atau kebiasaan yang terus
menerus dilakukan. Lebih jauh, Lickona menekankan tiga hal dalam mendidik
karakter. Tiga hal itu dirumuskan dengan indah: knowing, loving,
and acting the good. Menurutnya keberhasilan pendidikan karakter dimulai
dengan pemahaman karakter yang baik, mencintainya, dan pelaksanaan atau peneladanan
atas karakter baik itu[3]. Ada
beberapa istilah yang mirip dan sering disamakan antara karakter dengan
kepribadian dan temperamen, padahal
sebenarnya berbeda. Karakter lebih menjurus ke arah tabiat-tabiat yang
dapat disebut benar atau salah, sesuai atau tidak sesuai dengan norma-norma sosial yang diakui.[4]
Akhmad Sudrajat pemerhati pendidikan di dunia maya (website)
mendefinisikan Pendidikan karakter
sebagai suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk
melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME),
diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan
kamil.[5]
Secara sederhana pendidikan
karakter bukan hanya sekedar menghafal, mengisi kognitif semata tetapi
pendidikan yang melibatkan akal, emosi dan fisik peserta didik sehingga menjadi
satu kesatuan yang utuh yang kemudian membentuk kebiasan yang baik (good habits)
peserta didik, sehingga apa yang menjadi pengetahuan juga menjadi aksi nyata
dengan proses pendidikan love the good, feeling the good and action the
good.
Kensep
Pendidikan menurut Al-Attas, adalah “penyemaian dan penanaman
adab dalam diri seseorang –ini disebut dengan ta’dib. Al-Qur’an menegaskan
bahwa contoh ideal bagi orang yang beradab adalah Nabi Muhammad Saw., yang oleh
kebanyakan sarjana muslim disebut sebagai Manusia Sempurna atau Manusia
Universal (al-Insan al-Kulliy).[6]
Konsep ta’dib adalah konsep yang paling tepat untuk pendidikan islam, bukannya
tarbiyah ataupun ta’lim sebagaimana yang dipakai pada saat ini. Dia mengatakan
“struktur konsep ta’dib sudah mencakup unsur-unsur ilmu (‘ilm), instruksi (ta’lim),
dan pembinaan yang baik (tarbiyah) sehingga tidak perlu lagi dikatakan bahwa
konsep pendidikan islam adalah sebagaimana terdapat dalam tiga serangkaian
konsep tarbiyah-ta’lim-ta’dib. [7]
yang secara konsisten dipertahankan oleh al-Attas.
Konsep adab
dalam Islam terkait dengan keyakinan bahwa dalam melakukan tindakan, manusia
mempunyai rujukan yang utama yaitu wahyu Allah swt dan sunnah Nabi-Nya. Konsep pendidikan
karakter yang bercorak sekuler-liberal tidak mungkin dapat mencetak
manusia-manusia beradab. Menurut Prof al-Attas, prinsip etika yang sejati dan
universal hanya dapat dibangun oleh jiwa manusia yang bersifat spiritual. Yaitu
ketika jiwa mendapatkan ilmu yang benar dari Tuhannya.[8] Di
dalam pendidikan islam, karakter yang baik atau akhlak baik hanya merupakan
salah satu bagian saja dari akhlak. Karena akhlak bukan hanya berprilaku baik
(akhlak pribadi) tetapi juga akhlak kepada Allah, kepada Rasulnya, akhlak
pribadi, dan akhlak kepada keluarga, masyarakat dan Negara.
Secara terminologi terlihat tidak permasalahan yang
subtansi, tetapi muncul permaslahan pada nilai-nilai karakter apa yang akan
dibentuk. Sebagai
pedoman hidup maka karakter dapat dikembangkan berdasarkan berbagai ideologi
atau nilai, falsafah suatu bangsa, masyarakat. Karena luasnya cakupan dari
pendidikan karakter maka UNESCO telah melakukan kajian yang mendalam dan
menarik kesimpulan bahwa ada enam dimensi karakter yang bersifat universal yang
diakui semua agama maupun bangsa. Keenam dimensi karakter ini adalah trustworthiness
(Jujur atau dapat dipercaya), respect (sikap menghargai dan menghormati
orang lain tanpa memandang latar belakang yang menyertainya) responsibility
(watak bertanggung jawab atas apa yang dilakukan), fairness (selalu
mengedepankan standar keadilan tanpa dipengaruhi oleh sikap dan perasaan yang
dimilikinya ketika berhadapan dengan orang lain), caring (sikap memahami kegembiraan dan
kepedihan yang dialami orang lain), dan citizenship (watak menjadi warga
Negara yang baik ). (rynders, 2006).[9]
Nilai agama (religi) bukan menjadi
nilai yang universal, sehingga kejujuran yang dibangun bukan berlandaskan pada
nilai agama yang luhur. Sehingga dampaknya kemudian orang bisa jadi sangat
jujur, disiplin, dan pekerja keras tanpa harus bertuhan (atheis). Hal yang sama
diamini oleh Dinar Dewi Kania peneliti Insists, mengapa nilai agama tidak
menjadi nilai universal. Hal tersebut merupakan konsenkuensi dari sekularisasi
yang melanda Eropa setelah hilangnya kepercayaan masyarakat Barat terhadap
kepempinan gereja. Sekularisasi menyebabkan pengukuran baik-buruk, benar-salah,
semata-mata dilakukan melalui rasio dan pengalaman indera manusia. Masyarakat
Barat pada akhirnya menganggap nilai-nilai agama merupakan fenomena subjektif
yang dialami oleh masing-masing individu dan tidak bersifat universal. Konsepsi
nilai dalam peradaban Barat terus berevolusi sesuai dengan tuntutan jaman
akibat ketiadaan nilai absolut yang bersumber dari wahyu yang mengatur
kehidupan masyarakat dan menjadi rujukan moralitas. Konsep nilai berkembang
sesuai dengan konsepsi masyarakat Barat terhadap hakikat manusia, agama dan ilmu
serta kehidupan itu sendiri. Perkembangan konsep nilai ini menunjukkan betapa
Barat tidak pernah akan berhenti merumuskan nilai-nilai yang dianggap baik bagi
kehidupan masyarakatnya[10].
Kemudian manarik apa yang dikritisi
oleh Hamid Fahmy Zarkasyi tentang nilai yang berlaku Barat, “Apa yang disebut
baik dan perilaku baik itu di Barat relatif. Nilai baik buruk berubah seiring
dengan perubahan kehidupan. Akhirnya pendidikan bukan untuk menanamkan nilai,
tapi menggali nilai-nilai yang sesuai dengan nilai mereka yang boleh jadi
bersifat lokal. Di Amerika karakter yang ditanamkan di sekolah sesuai dengan
latar belakang dan perkembangan sosial dan ekonomi mereka sendiri. Di Amerika
isu sentralnya adalah nilai-nilai feminisme, liberalisme, pluralisme,
demokrasi, humanisme dan sebagainya. Maka arah pendidikan karakter di sana
adalah untuk mencetak sumber daya manusia yang pro gender, liberal, pluralis,
demokratis, humanis agar sejalan dengan tuntutan sosial, ekonomi, dan politik
di Amerika”.[11]
Sehingga
merupakan sesuatu yang memprihatinkan apabila umat Islam masih percaya bahwa etika
universal dapat dibangun menggunakan framework Barat modern yang menganggap Tuhan
dan jiwa tidak memiliki objektivitas dan nilai ilmiah sebagai sumber ilmu.
Untuk kasus di Indonesia Pendidikan
Nasional (Kementerian Pendidikan Nasional, Badan penelitian dan pengembangan,
Pusat Kurikulum (2011). Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa
pedoman sekolah yang mencakup 18 nilai karakter sebagai berikut; Religius, Jujur,
Toleransi, Disiplin, kerja keras, kreatif, Mandiri, Demokratis, Rasa ingin Tahu,
Semangat kebangsaan, Cinta tanah air, Menghargai prestasi, Bersahabat/
komunikatif, Cinta damai, Gemar membaca, Peduli lingkungan, Peduli social,
Tanggung jawab.[12]
Kembali nilai karakter menyesuaikan diri dengan kondisi local setempat.
Kedelapan belas nilai (value) karakter di atas akan sangat sulit diterapkan
pada dataran praktik. Terlalu banyak sehingga menghilangkan kefokusan dalam
pengajaran dan penerapan. Guru pun mungkin belum bisa mengingat semuanya,
apalagi siswanya. Jika berkaca pada Jepang nilai karakter yang dibangun hanya
empat; jujur, bekerja keras, disiplin, dan bertanggungjawab tetapi mampu
mendarah daging bagi setiap warganya.
Jika dilihat lebih teliti lagi
sesungguhnya ke-18 nilai karakter di atas terkesan dikotomi atau sekuler. Nilai
agama/religi hanya menjadi salah satu bagian (sub) dari seluruh nilai. Nilai
religi atau ketaatan kepada agama apa yang dimaksud?, apakah orang yang rajin
salat, gemar berpuasa, semangat berhaji yang dikatakan paling religi sementara
yang jujur, kerja keras, dan disiplin dll tidak dikatakan sebagai tindakan
religi? Padahal bagi seorang muslim semua aktifitas selama disandarkan kepada
Allah akan bernilai ibadah (religi). Jika pemahaman yang dikotomik ini
diajarkan maka yang timbul kemudian pengkotak-kotakan pelajaran. Belajar
matematika, sains, dan sastra adalah urusan dunia (materi) sedangkan belajar
agama urusan akhirat. Seharusnya tertanam di benak guru dan siswa bahwa masuk
lab/laboraturium dan belajar IPA juga termasuk belajar agama/ibadah sehingga
spirit yang dibangun, spirit spiritual.
Wahbah
al-Zuhaili dalam buku Ilmu Pendidikan Islam (Mujib dan Mudzakkir, 2008:
36-38) mengemukakan nilai-nilai normatif pendidikan Islam yang mengacu pada al-Qur’an
terdapat tiga pilar utama, yaitu; Pertama, pendidikan I’tiqadiyah,
yang berkaitan dengan pendidikan keimanan atau pendidikan aqidah yang tertuang
dalam enam rukun iman. Kedua, pendidikan khuluqiyah, yang
berkaitan dengan pendidikan etika, membersihkan diri dari perbuatan tercela dan
menghiasi diri dengan perbuatan terpuji. Ketiga, pendidikan amaliyah,
yang berkaitan dengan tingkah laku sehari-hari. Pendidikan amaliyah terbagai ke
dalam dua aspek yaitu, pendidikan ibadah (ubudiyah) yang mencakup hubungan
dengan Tuhan seperti, shalat, puasa, zakat, haji, dan nazar. Yang kedua
pendidikan muamalah. Pendidikan muamalah mencakup beberapa dimensi yaitu, syakhshiyah,
madaniyah, jana’iyah, murafa’at,dusturiyah,
duwaliyah, iqtishadiyah.[13]
Islam sebagai pedoman, hudan lil-naas, dan tibyan li-kullisyai’ penjelas semua
hal, sehingga nilai (value) yang dikandungnya menyeluruh dan universal. Sistem
nilai dalam islam dapat dilihat pada bagan di bawah ini;
3. Amaliyah
|
1.Akhlak
Terhadap Allah swt
2.Akhlak
Terhadap Rasulullah
3.Akhlak
Terhadap Pribadi
4.Ahklak
dalam Keluarga
5.Akhlak
Bermasyarakat
6. Akhlak Bernegara
|
1.
Ubudiyah
(Ibadah
dlm arti Khusus)
|
2.
Muamalah
(Ibadah dlm arti Luas)
|
1.Ibadah
Shalat
2.Ibadah
Zakat
3.Ibadah
Puasa
4. Haji
|
1.
Menuntut
Ilmu
2.
Syakhshiyah
3.
Dusturiyah
4.
Duwaliyah
dll.
|
1.Nilai
Iman Kepada Allah
2.Nilai
Iman kepada MalaikatNya
3.Nilai
Iman kepada Kitab-KitabNya
4.Nilai
Iman kepada Rasul-rasulNya
5.Nilai
Iman kepada Hari Akhir
6.Nilai
Iman kepada Qadha & Qadhar
|
2. Khuluqiyyah
|
Islam
|
1. I’tiqadiyah
|
Skema 1
|
Selanjut
pada ranah aplikasi pengajaran dan penanaman pendidikan karakter terkesan tidak
sistematis dan belum dirumuskan dengan jelas. Akhmad Sudrajat menjelaskan
secara singkat bagaimana pendidikan karakter di sekolah dibentuk bahwa semua
komponen (stakeholders)
harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi
kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan
atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas
atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan
ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Tetapi belum ada
prinsip-prinsip acuanya yang jelas
Pendidikan
karakter islam setidaknya memenuhi enam prinsi, pertama, menjadikan Allah sebagai tujuan hidup. kedua, memperhatikan akal perkembangan
rasio. Ketiga, memperhatikan
perkembangan kecerdesan emosi. Empat,
praktik melalui keteladanan dan pembiasaan. Kelima,
memperhatikan pemenuhan kebutuhan hidup. Keenam,
menempatkan nilai sesuai prioritas[14]. Abdullah
Nashih Ulwan pakar pendidikan anak dalam islam menyusun sutuh tahapan
pendidikan yaitu, pendidikan iman, moral, fisik, rasio, kejiwaan, social, dan
seks. Prinsip-prinsip ini kemudian yang menjadi acuan penanaman dan pembentukan
karakter islami.
C.
Kesimpulan
Setelah
melakukan analisis dan elaborasi yang singkat dan sederhana, penulis kemudian
menarik kesimpulan/kongklusi bagaimana pendidikan islam melihat pendidikan
karakter. Ada beberapa hal yang menjadi pembeda antara keduanya, yaitu;
1.
Pendidikan
karakter dalam hal ini karakter yang baik merupakan salah satu bagia dari
pendidikan islam. Pendidikan islam mengajarkan akhlak bukan hanya untuk pribadi
tetapi juga bagaimana berakhlak kepada Allah dan Rasulnya.
2.
Nilai-nilai
pendidikan karakter di Barat akan selalu bersifat relatif, karena nilai moral
dan etika akan sangat berbeda satu dengan yang lain bahkan bertentangan. Baik
dan buruk akan selalu menjadi perdebatan para filosof. Pendidikan islam
mengenal nilai absolut yang bersumberkan pada wahyu dari Tuhan yang absolut.
3.
Nilai-nilai
pendidikan karakter di Indonesia mengesankan adanya dikotomi dan secular. Nilai
agama/religi hanya menjadi sub nilai yang tidak menjiwai semua nilai. Sedangkan
di dalam pendidikan islam, nilai ilahiyah/agama harus menjadi sumber inspirasi
dan landasan dalam segala aktifitas agar bernilai ibadah
4.
Pada
dataran aplikasi penerapan belum ada rumusan prinsip-prinsip yang jelas
sehingga akan meimbulkan banyak penafsiran sesuai dengan selera masing-masing.
Pada pendidikan islam ada beberapa prinsip yang harus ada di dalam pembelajaran
setidaknya prinsip iman dan ketuhanan.
Disampin perbedaan di atas, ada yang menjadi
kesamaan antara pendidikan islam dengan pendidikan karakter, bahwa keduanya
membentuk prilaku yang baik yang mendarah daging yang dilakukan secara spotan.
Adagium Arab mengatakan al-ilmu bila amalin ka-sysyajari bila tsmarin,
ilmu yang tak diamalkan bagaikan pohon tak berbuah. Tak bernilai. Ilmu tanpa
karakter.
Pengintegrasian pendidikan islam dengan pendidikan
karakter akan terlihat indah jika melalui islamisasi. Karena ilmu tidak bebas
nilai (free value) maka proses islamisasi menajdi penting. Dengan memasukkan
nilai-nilai yang prinsip yaitu agama, kemudian menghilangkan dikotomi
pengkotak-kotakan nilai. Sehingga bangsa Indonesia kemudian tidak kehilangan
jati diri sebagai bangsa dengan tetap mempertahankan nilai-nilai yang luhur.
“Ibarat pepatah mencari jarum kampak hilang” Wallahu’alam bishawab
[1] Adian Husaini, Pendidikan Islam
Membentuk Manusia Berkarakter & Beradab, Jakarta: Cakrawala publishing,
2010, h. 23.
[3] Artikel Anita Syaharuddin, Pendidikan Karakter: Apa Lagi? dapat
di akses di www.insistsnet.com
atau www.adianhusaini.com
dalam bentuk pdf. Diakses pada 20/02/2011
[6] Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed
M. Naquib al-Attas, Bandung: Mizan 2033, h. 174.
[7] Ibid., h. 175
[9] Zamroni, “Strategi dan Model
Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah”, makalah pada Seminar Pendidikan
Karakter di Sekolah di Magelang, Magelang 23 Mei 2011.
[12] Zamroni,
“Strategi dan Model Implementasi Pendidikan Karakter di Sekolah”, makalah pada
Seminar Pendidikan Karakter di Sekolah di Magelang, Magelang 23 Mei 201, h. 5.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar