Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Selasa, 22 Desember 2015

METODOLOGI PENDIDIKAN ISLAM


Oleh Syahrul

      A.    Pendahuluan
Apa kabar pendidikan Islam? Mundur beberapa tahun yang lalu tepatnya tahun 2009 pemerintah gencar mempromosikan pendidikan karakter dengan menggelontorkan dana yang tidak sedikit. Pendidikan karakter jadi bahan primadona diulas, didiskusikan dan diseminarkan. Mega proyek kurikulum 2013 pun –meskipun hanya sempat berjalan satu semester sebelum dikembalikan ke kurikulum KTSP oleh menteri pendidikan yang baru-  tidak lepas dari keinginan pemerintah untuk melahirkan pendidikan yang berkarakter. Seolah-olah pendidikan kita selama ini tidak berkarakter.


Selama ini apa saja kerja dunia pendidikan sehingga tidak mampu melahirkan manusia berkarakter? Padahal cita-cita pendidikan kita sangat mulia, seperti yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional. Dalam Pasal 3  Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional  Nomor 20 tahun 2003 (UU Sisdiknas), sangatlah ideal: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”

Lalu apa yang kita saksikan setiap harinya? Data tentang korupsi pejabat misalnya, dari hasil riset yang dilakukan dalam Transparency International Corruption Perceptions Index 2009, masih menempatkan Indonesia pada peringkat yang sangat memperihatinkan. Terkait dengan penyalahgunaan narkotika, Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2009 tercatat adanya  3,6 juta pengguna narkoba di Indonesia, dan 41% diantara mereka pertama kali mencoba narkoba di usia 16-18 tahun, yakni usia remaja SMP-SMU. (Republika online, 26/06/2009)

Belum lagi dagelan politik para pemimpin bangsa ini yang selalu saja memalukan. Nilai-nilai musyawarah yang diajarkan bertahun-tahun di bangku sekolah lenyap seketika saat melihat para anggota DPR yang terhormat bermusyawarah ala bar-bar, lempar kursi meja, microphone dan apa saja sambil tunjuk-tunjukan. Yang merasa kalah diakhiri dengan adu jotos. Demi apa? Malu rasanya untuk mengatakan demi rakyat. Demi golongan dan kepentingan sesaat. Maka, jangan heran ketika para pelajar mengakhiri pembelajaran mereka di jalan. Tawuran.  

Sebenarnya, secara materi, pendidikan karakter di sekolah-sekolah di Indonesia, sudah tercakup dalam pelajaran Pendidikan Agama dan sebagian pendidikan lainnya.  Namun seperti halnya banyak mata pelajaran lainnya,  mata ajaran itu masih lebih berorientasi pada pendekatan kognitif melalui hafalan dan ditujukan untuk perburuan nilai semata. Artinya pembelajaran masih berorientasi pada aspek perolehan pengetahuan semata secara akademik. Pendidikan dan pembelajaran terhadap proses perubahan tingkah laku anak didik masih terabaikan.  Jika ini dibiarkan terus-menerus maka kesenjangan antara mengetahuan dan perilaku semakin melebar.

Lalu apa sebenarnya pendidikan karakter itu? Istilah karakter berasal dari bahasa Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir. Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau permukaan besi yang keras. Dari sanalah kemudian berkembang pengertian karakter yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku (an individual’s pattern of behavior … his moral contitution) (Karen E. Bohlin, Deborah Farmer, Kevin Ryan, Building Character in School Resource Guide, San Fransisco: Jossey Bass, 2001, hlm.1)[1] Lickona menekankan tiga hal dalam pendidikan karakter yaitu knowing, loving, and acting the good. Adanya keselarasan antara hati, ucapan dan tindakan.

Jika kita sejenak berkaca melihat hasil pendidikan islam satu-dua abad yang silam yang melahirkan ulama-ulama sekaliber Imam Syafi’i, al-Ghazali, Ibnu Sina dan lainya. Pertanyaan adalah mereka tidak ujug-ujug menjadi hebat, ada banyak faktor. Dan salah satu kuncinya adalah metodologi pendidikan yang mereka dapatkan saat menuntut ilmu dan belajar. Disamping guru-guru hebat yang mendidik mereka seperti Imam Malik guru imam Syaf’i dan Imam al-Haramain al-Juwani guru imam Ghazali.

Seyogyanya pendidikan mampu melahirkan manusia-manusia yang berkarakter. Pendidikan Islam juga harus bertanggungjawab atas krisis karakter di negeri kita ini. Ada apa dengan pendidikan Islam di sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, dan pondok-pondok pesantren maupun di Universita-universitas Islam? Tidak ada jawaban tunggul untuk mengurainya. Makalah sederhana ini mencoba melihat dari aspek metodologi pendidikannya. Karena sehebat apa pun nilai-nilai Islam jika cara atau metodologi yang gunakan tidak tepat tentunya tidak akan menghasil manfaat yang maksimal.

Mengapa nilai-nilai islami yang diajarkan tidak atau sangat sulit dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. anak-anak diajari hafalan hadis kebersihan, namun, prilaku membuag sampah tetap berjalan. Ada metodologi yang keliru atau tidak tepat dalam menyampaikan pendidikan islam.

B.     Pendidikan Islam
Belum ada kesepakatan pakar pendidikan Islam dalam mendefinisikan pendidikan Islam. Dan letak dari perbedaan itu pada tinjauan lingguistiknya yang kemudian membentuk konsep. Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas lebih condong menggunakan istilah Ta’dîb untuk menandai konsep pendidikan Islam. Berdasarkan konsep adab Al-Attas mendefinisikan pendidikan Islam sebagai: ―Pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikin rupa, sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. (Aly, 1999: 10).[2]

Beberapa pendapat lainnya seperti M. Yusuf al-Qardhawi yang memberikan pengertian, bahwa ―Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan kejahatannyan, manis dan pahitnya‖ (Azra, 2000: 5)

Lalu apa tujuan pendidikan Islam? Dalam bahasa Arab, istilah “tujuan” berpadanan dengan kata maqashid yang menunjukkan kepada jalan lurus. Kata ini merupakan kata jadian dari qashada yang tersebar dalam al-Qur’an yang memberi arti pokok. Berdasarkan berbagai istilah tersebut di atas, maka tujuan pendidikan (maqashid  al-tarbiyah) dalam Islam mengacu pada tujuan umum (aims) yang mengarah kepada tujuan akhir (goals) melalui tujuan antara (objectives). Tujuan pendidikan Islam bertitik tolak dari konsep penciptaan manusia sebagai khalifah dan fitrah manusia.  Manusia dalam al-Qur’an menempati posisi yang sangat istimewa, karena ia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifatan fil’ardhi (wakil Tuhan) dengan tugas dan fungsi untuk ibadah hanya kepada-Nya.[3] Beriman kepada Allah dan tunduk patuh secara total kepada-Nya (QS adz-Dzariyat: 56).

Senada dengan Naquib al-Attas, menjadi manusia yang beradab adalah tujuan pendidikan Islam. Siapakah manusia yang baik atau manusia beradab itu? Dalam pandangan Islam, manusia seperti ini adalah manusia yang kenal akan Tuhannya, tahu akan dirinya, menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah, mengikuti jalan pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia yang baik lainnya. Manusia yang baik juga harus memahami potensi dirinya dan bisa mengembangkan potensinya, sebab potensi itu adalah amanah dari Allah SWT.

Dalam konsep pendidikan dalam Islam, Orangtualah yang bertanggungjawab penuh terhadap pendidikan anak-anaknya. Maka pendidik atau orangtua menjadi komponen pertama pendidikan islam. Banyak ayat dan hadis yang menunjukkan hal tersebut. Firman Allah dalam Surah al-Tahrim: 6, sebagai berikut:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.

Seorang anak terlahir secara fitrah (bertauhid) akan tetap bertauhid, atau menjadi Yahudi, Nasrahi atau Majusi sangat ditentukan peran orangtua.
Artinya:
“…, dari Abu Hurayrah ra. ia berkata: bersabda Nabi SAW: “setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka orang tuanyalah yang menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi, seperti binatang ternak melahirkan anaknya, apakah engkau melihatnya ada yang hidungnya potong (cacat)”? (HR.Bukhari)

Konsep tripusat pendidikan Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan dalam kesuksesan pendidikan. Seseorang/peserta didik akan sukses mencapai tujuan pendidikan jika dilingkupi oleh tiga hal yang baik; keluarga yang baik tempat internalisasi nilai-nilai, sekolah/tempat belajar yang baik tempat mempelajari nilai baik-buruk, dan lingkungan yang baik tempat mempraktikkan nilai-nilai. Ketika salah satunya tidak terpenuh, maka akan terjadi kepincangan dan kebingungan.

C.     Metodologi Pendidikan
Setelah mengetahui tentang apa itu pendidikan Islam dan tujuan dari pendidikan Islam, maka rumusan metodologi apa yang tepat, efektif dan efesian yang bisa digunakan?. Metodologi dalam bahasa Yunani “metodos”, kata ini terdiri dari duan kata yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai tujuan. Metodologi adalah ilmu-ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran, tergantung dari realitas yang sedang dikaji.

Metode yang umum dikenal dalam dunia pendidikan hingga sekarang adalah metode ceramah, metode diskusi, metode eksperimen, metode demonstrasi, metode pemberian tugas, metode sosiodrama, metode drill, metode kerja kelompok, metode tanya jawab, metode proyek, metode bersyarah, metode simulasi, metode model, metode karya wisata, dan sebagainya.

Semua metode ini dapat dipergunakan berdasarkan kepentingan masing-masing, sesuai dengan pertimbangan bahan yang akan diberikan serta kebaikan dan keburukannya masing-masing. Dengan kata lain, pemilihan dan penggunaan metode tergantung pada nilai efektivitasnya masing-masing. Selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam, metode tersebut boleh dipergunakan dalam pendidikan Islam.[4]
Marilah kita lihat beberapa ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan petunjuk dalam membicarakan metode mengajar ini;

“Semua makna al-Qur’an itu ditanamkan kedalam hati nabi Muhammad saw, dan dengan ucapan nabi muhammad-lah al-Qur’an itu dilafalkan. Apabila makna al-Qur’am itu dibacakan (oleh nabi Muhammmad) maka ikutilah bacaan itu (ditujukan kepada sahabat nabi yang hadir sewaktu wahyu turun kepada nabi).

Ayat al-Qur’an ini memberikan gambaran kepada kita tentang metode mengajar dalam suatu proses belajar. Semua bahan  pelajaran yang hendak diajarkan haruslah dikuasai oleh guru sebaik-baiknya. Metode resitas atau metode pengulangan dapat digunakan.
Ayat al-Qur’an lain menggambarkan.

”Hai Muhammmad ! Bacalah ! dengan menyebut nama Allah Yang menciptakan alam semesta. Ialah yang menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah muhammad, bahwa tuhanmu itu amat mulia, yang mengajar dengan perantara kalam. (Q.S. Al-Alaq).

Secara Lahiriyah ayat tersebut memberi suatau petunjuk tentang metode mengajar, bahwa pelajaran yang utama adalah membaca. Di dalam membaca terkandung makna hendak memberikan pengetahuan. Pengetahuan yang mula-mula diketahui oleh manusia ialah nama. Nama adalah simbol pengetahuan permulaan dan dari nama orang dapat membuat pengertian atau konsep ilmu pengetahuan.[5]

Secara teoritis maupun yang tersirat dalam kitab suci, metodologi memiliki fungsi yang sangat signifikan dalam pendidikan Islam. Abdurrahman an-Nahlawi[6] mengemukakan bahwa ada beberapa metode yang bisa dipergunakan dalam pendidikan Islam sebagai berikut[7]:
1.      Pendidikan denga hiwar qurani dan nabawi.
Hiwar adalah dialog, percakapan silih berganti, hiwar qurani adalah dialog antara Allah kepada hambaNya sedangkan nabawi adalah dialog nabi kepada para sahabatnya. Metode ini bisa dipilih.
2.      Pendidikan dengan kisah qurani dan nabawi
Kisah memiliki fungsi edukatif kepada pembaca atau pendengarnya. Dalam Qur’an dan sunah nabi banyak kisah pelajaran hidup yang bisa dijadikan metode.
3.      Pendidikan dengan perumpamaan
Perumpamaan dilakukan dengan menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Seperti menyerupakan orang musyrik yang mencari perlindungan selain Allah dalam bentuk laba-laba yang membuat sarangnya.
4.      Pendidikan dengan keteladanan
Pelajar adalah pencontoh yang ulung. Satu keteladanan terkadang lebih efektif daripada seribu kata. Pendidik harus mampu menjadi teladan yang baik, mencontohkan shalat yang benar, rajin membaca, dan akhlak mulia lainnya.
5.      Pendidikan dengan latihan dan pengamalan
Teori atau nilai akan kehilangan makna tanpa dilaksanakan. Sebuah kebaikan maupun perintah akan berbekas dan berkesan jika dilatih dan dibiasakan terus menerus. Bagitu pula yang dilakukan oleh rasulullah terhadap para sahabatnya.
6.      Pendidikan dengan ibrah dan mau’izhah
Ibrah adalah sebuah proses pembelajaran mengajak, memikirkan dan merenungkan sebuah fenomena atau kisah untuk diambil pelajarannya. Baik kisah sehari-hari maupun kisah-kisah dalam al-Qur’an. Mau’izhah adalah nasihat-nasihat yang baik  yang menyentuh langsung hati peserta didik.
7.      Pendidikan dengan targhib dan thahrib
Targhib adalah memberikan kabar gembira atau janji kebaikan setelah seseoraang melakukan suatu amalan kebaikan tertentu. Kebalikan dari thahrib yang berisi ancaman dan dosa bagi pelaku pelanggaran aturan agama. Peserta didik diajari konsekuensi dosa dan ganjaran pahala atas sebuah perbuatan.
An-Nahlawi mencoba memberikan beberapa alternatif metode yang diambil dan disaring dari khazanah islam. Beberapa pemikir Islam –selain an-Nahlawi dan Nasih Ulwan- merumuskan metode pembelajaran Agama Islam. Satu sama lain saling menguatkan dan melengkapi. Sesungguhnya pendidikan terbaik adalah pendidikan yang pernah diterapkan oleh Rasulullah. Tugas kita adalah merumuskan metode itu kemudian meremix ulang dan mengaktualisasikan dalam konteks kekinian tanpa harus kehilangan ruh atau worldview Islam.
Metode hanyalah salah satu -dari sekian banyak elemen yang saling berkaitan- upaya memperbaiki sistem pendidikan agar terwujud tujuan pendidikan Islam.
D.    Kesimpulan
Krisis akhlak dan budi pekerti yang melanda negeri kita tidak lepas dari persoalan pendidikan. Antara tujuan pendidikan yang mulia dengan hasil pendidikan tidak sejalan. Pendidikan Islam yang seharusnya menjadi solusi dari juga tidak berdaya. Tidak ada jawabana atau solusi tunggal, banyak komponen yang saling berkaitan. Namun, memahami apa itu pendidikan Islam dan apa tujuannya menjadi penting.

Pemahaman yang benar terhadap pendidikan Islam kemudian mengantarkan kepada rumusan metodologi apa yang tepat digunakan untuk mengajarkannya. Pendidikan Islam bertujuan mengantarkan manusia/peserta didik untuk menjadi manusia beradab. Manusia yang mengenal Tuhannya, mengenal Nabinya mengenal diri dan potensi yang dimilikinya. Maka, tujuan yang mulia ini hendaknya disampaikan dengan metode yang relevan sesuai dengan karakteristiknya. An-Nahlawi mencoba menawarkan tujuh metodologi pendidikan Islam yaitu  Pendidikan denga hiwar qurani dan nabawi, Pendidikan dengan kisah qurani dan nabawi, Pendidikan dengan perumpamaan, Pendidikan dengan keteladanan, Pendidikan dengan latihan dan pengamalan, Pendidikan dengan ibrah dan mau’izhah, Pendidikan dengan targhib dan thahrib. Wallahu’alam.




Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 2000.
Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah
Zakiaah Daradjat, Dkk; Metodologi Pengajaran Agama Islam.Bumi Aksara, Jakarta. 2001
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.





[1] dikutip dari (http://insists.id/pendidikan-karakter-apa-lagi/). Akses 20 Desember 2015
[2] lihat juga buku the Consept of education of Islam: an Framework for an Islamic Philosophy, karya al-Attas.

[3] Dr. Rahmat Rosyadi (Dosen Pascasarjana UIKA Bogor). Konsep dan Sistem Pendidikan Islam. dikutip dari (http://insists.id/konsep-dan-sistem-pendidikan-islam/). Akses 20 Desember 2015
[4] Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah. Hal. 180
[5] Zakiaah Daradjat, Dkk; Metodologi Pengajaran Agama Islam.Bumi Aksara, Jakarta. 2001.
[6] Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah. Hal. 189-192
[7] Bandingkan dengan metode pendidikan yang berpengaruh dari Abdullah  Nashih Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam) yang menetapkan lima point penting; 1. Pendidikan dengan keteladanan (qudwah hasanah), 2. Pendidikan dengan pembiasaan (bil ‘adah), 3. Pendidikan dengan nasihat yang baik (mau’izhah hasana), 4. Pendidikan dengan kontrol/pengawasan (mulahazhah), 5. Pendidikan dengan hukuman (bil ‘iqabah). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar