Oleh Syahrul
A.
Pendahuluan
Apa
kabar pendidikan Islam? Mundur beberapa tahun yang lalu tepatnya tahun 2009 pemerintah
gencar mempromosikan pendidikan karakter dengan menggelontorkan dana yang tidak
sedikit. Pendidikan karakter jadi bahan primadona diulas, didiskusikan dan
diseminarkan. Mega proyek kurikulum 2013 pun –meskipun hanya sempat berjalan satu
semester sebelum dikembalikan ke kurikulum KTSP oleh menteri pendidikan yang
baru- tidak lepas dari keinginan
pemerintah untuk melahirkan pendidikan yang berkarakter. Seolah-olah pendidikan
kita selama ini tidak berkarakter.
Selama
ini apa saja kerja dunia pendidikan sehingga tidak mampu melahirkan manusia berkarakter?
Padahal cita-cita pendidikan kita sangat mulia, seperti yang tertuang dalam
tujuan pendidikan nasional. Dalam Pasal 3 Undang-Undang tentang Sistem
Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 (UU Sisdiknas), sangatlah
ideal: “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Lalu
apa yang kita saksikan setiap harinya? Data tentang korupsi pejabat misalnya,
dari hasil riset yang dilakukan dalam Transparency International
Corruption Perceptions Index 2009, masih menempatkan Indonesia pada
peringkat yang sangat memperihatinkan. Terkait dengan penyalahgunaan narkotika,
Badan Narkotika Nasional (BNN) pada tahun 2009 tercatat adanya 3,6 juta
pengguna narkoba di Indonesia, dan 41% diantara mereka pertama kali mencoba
narkoba di usia 16-18 tahun, yakni usia remaja SMP-SMU. (Republika online,
26/06/2009)
Belum
lagi dagelan politik para pemimpin bangsa ini yang selalu saja memalukan.
Nilai-nilai musyawarah yang diajarkan bertahun-tahun di bangku sekolah lenyap
seketika saat melihat para anggota DPR yang terhormat bermusyawarah ala
bar-bar, lempar kursi meja, microphone dan apa saja sambil tunjuk-tunjukan.
Yang merasa kalah diakhiri dengan adu jotos. Demi apa? Malu rasanya untuk
mengatakan demi rakyat. Demi golongan dan kepentingan sesaat. Maka, jangan heran
ketika para pelajar mengakhiri pembelajaran mereka di jalan. Tawuran.
Sebenarnya,
secara materi, pendidikan karakter di sekolah-sekolah di Indonesia, sudah
tercakup dalam pelajaran Pendidikan Agama dan sebagian pendidikan
lainnya. Namun seperti halnya banyak mata pelajaran lainnya, mata
ajaran itu masih lebih berorientasi pada pendekatan kognitif melalui hafalan
dan ditujukan untuk perburuan nilai semata. Artinya pembelajaran masih
berorientasi pada aspek perolehan pengetahuan semata secara akademik.
Pendidikan dan pembelajaran terhadap proses perubahan tingkah laku anak didik
masih terabaikan. Jika ini dibiarkan terus-menerus maka kesenjangan
antara mengetahuan dan perilaku semakin melebar.
Lalu
apa sebenarnya pendidikan karakter itu? Istilah karakter berasal dari bahasa
Yunani, charassein, yang berarti to engrave atau mengukir.
Membentuk karakter diibaratkan seperti mengukir di atas batu permata atau
permukaan besi yang keras. Dari sanalah kemudian berkembang pengertian karakter
yang diartikan sebagai tanda khusus atau pola perilaku (an individual’s
pattern of behavior … his moral contitution) (Karen E. Bohlin, Deborah
Farmer, Kevin Ryan, Building Character in School Resource Guide,
San Fransisco: Jossey Bass, 2001, hlm.1)[1] Lickona
menekankan tiga hal dalam pendidikan karakter yaitu knowing, loving, and
acting the good. Adanya keselarasan antara hati, ucapan dan tindakan.
Jika
kita sejenak berkaca melihat hasil pendidikan islam satu-dua abad yang silam
yang melahirkan ulama-ulama sekaliber Imam Syafi’i, al-Ghazali, Ibnu Sina dan
lainya. Pertanyaan adalah mereka tidak ujug-ujug menjadi hebat, ada banyak
faktor. Dan salah satu kuncinya adalah metodologi pendidikan yang mereka
dapatkan saat menuntut ilmu dan belajar. Disamping guru-guru hebat yang
mendidik mereka seperti Imam Malik guru imam Syaf’i dan Imam al-Haramain
al-Juwani guru imam Ghazali.
Seyogyanya
pendidikan mampu melahirkan manusia-manusia yang berkarakter. Pendidikan Islam
juga harus bertanggungjawab atas krisis karakter di negeri kita ini. Ada apa
dengan pendidikan Islam di sekolah-sekolah, madrasah-madrasah, dan
pondok-pondok pesantren maupun di Universita-universitas Islam? Tidak ada
jawaban tunggul untuk mengurainya. Makalah sederhana ini mencoba melihat dari
aspek metodologi pendidikannya. Karena sehebat apa pun nilai-nilai Islam jika
cara atau metodologi yang gunakan tidak tepat tentunya tidak akan menghasil manfaat
yang maksimal.
Mengapa
nilai-nilai islami yang diajarkan tidak atau sangat sulit dipraktikkan dalam
kehidupan sehari-hari. anak-anak diajari hafalan hadis kebersihan, namun,
prilaku membuag sampah tetap berjalan. Ada metodologi yang keliru atau tidak
tepat dalam menyampaikan pendidikan islam.
B.
Pendidikan
Islam
Belum
ada kesepakatan pakar pendidikan Islam dalam mendefinisikan pendidikan Islam.
Dan letak dari perbedaan itu pada tinjauan lingguistiknya yang kemudian
membentuk konsep. Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas lebih condong menggunakan
istilah Ta’dîb untuk menandai konsep pendidikan Islam. Berdasarkan konsep adab
Al-Attas mendefinisikan pendidikan Islam sebagai: ―Pengenalan dan pengakuan
yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam manusia tentang tempat-tempat
yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan sedemikin rupa,
sehingga hal ini membimbing ke arah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang
tepat di dalam tatanan wujud dan kepribadian. (Aly, 1999: 10).[2]
Beberapa
pendapat lainnya seperti M. Yusuf al-Qardhawi yang memberikan pengertian, bahwa
―Pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya; akal dan hatinya; rohani
dan jasmaninya; akhlak dan keterampilannya. Karena itu, pendidikan Islam
menyiapkan manusia untuk hidup baik dalam keadaan damai maupun perang, dan
menyiapkan untuk menghadapi masyarakat dengan segala kebaikan dan
kejahatannyan, manis dan pahitnya‖ (Azra, 2000: 5)
Lalu
apa tujuan pendidikan Islam? Dalam bahasa Arab, istilah “tujuan” berpadanan
dengan kata maqashid yang menunjukkan kepada jalan lurus. Kata ini
merupakan kata jadian dari qashada yang tersebar dalam al-Qur’an yang
memberi arti pokok. Berdasarkan berbagai istilah tersebut di atas, maka tujuan
pendidikan (maqashid al-tarbiyah) dalam Islam mengacu pada tujuan
umum (aims) yang mengarah kepada tujuan akhir (goals) melalui
tujuan antara (objectives). Tujuan pendidikan Islam bertitik tolak dari
konsep penciptaan manusia sebagai khalifah dan fitrah
manusia. Manusia dalam al-Qur’an menempati posisi yang sangat istimewa,
karena ia diciptakan oleh Allah SWT sebagai khalifatan fil’ardhi (wakil
Tuhan) dengan tugas dan fungsi untuk ibadah hanya kepada-Nya.[3] Beriman kepada Allah dan tunduk patuh secara total kepada-Nya (QS
adz-Dzariyat: 56).
Senada
dengan Naquib al-Attas, menjadi manusia yang beradab adalah tujuan pendidikan
Islam. Siapakah manusia yang baik atau manusia beradab itu? Dalam pandangan
Islam, manusia seperti ini adalah manusia yang kenal akan Tuhannya, tahu akan
dirinya, menjadikan Nabi Muhammad saw sebagai uswah hasanah, mengikuti
jalan pewaris Nabi (ulama), dan berbagai kriteria manusia yang baik lainnya.
Manusia yang baik juga harus memahami potensi dirinya dan bisa mengembangkan
potensinya, sebab potensi itu adalah amanah dari Allah SWT.
Dalam
konsep pendidikan dalam Islam, Orangtualah yang bertanggungjawab penuh terhadap
pendidikan anak-anaknya. Maka pendidik atau orangtua menjadi komponen pertama
pendidikan islam. Banyak ayat dan hadis yang menunjukkan hal tersebut. Firman Allah dalam Surah al-Tahrim: 6, sebagai berikut:
Artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka
yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang
kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya
kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.
Seorang anak
terlahir secara fitrah (bertauhid) akan tetap bertauhid, atau menjadi Yahudi,
Nasrahi atau Majusi sangat ditentukan peran orangtua.
Artinya:
“…, dari Abu Hurayrah ra. ia berkata: bersabda
Nabi SAW: “setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, maka orang tuanyalah yang
menjadikan dia Yahudi, Nasrani atau Majusi, seperti binatang ternak melahirkan
anaknya, apakah engkau melihatnya ada yang hidungnya potong (cacat)”? (HR.Bukhari)
Konsep
tripusat pendidikan Ki Hajar Dewantara menjadi sangat relevan dalam kesuksesan
pendidikan. Seseorang/peserta didik akan sukses mencapai tujuan pendidikan jika
dilingkupi oleh tiga hal yang baik; keluarga yang baik tempat internalisasi
nilai-nilai, sekolah/tempat belajar yang baik tempat mempelajari nilai
baik-buruk, dan lingkungan yang baik tempat mempraktikkan nilai-nilai. Ketika
salah satunya tidak terpenuh, maka akan terjadi kepincangan dan kebingungan.
C.
Metodologi
Pendidikan
Setelah
mengetahui tentang apa itu pendidikan Islam dan tujuan dari pendidikan Islam,
maka rumusan metodologi apa yang tepat, efektif dan efesian yang bisa
digunakan?. Metodologi dalam bahasa Yunani “metodos”, kata ini terdiri dari
duan kata yaitu “metha” yang berarti melalui atau melewati dan “hodos” yang
berarti jalan atau cara. Metode berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai
tujuan. Metodologi adalah ilmu-ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran
menggunakan penelusuran dengan tata cara tertentu dalam menemukan kebenaran,
tergantung dari realitas yang sedang dikaji.
Metode
yang umum dikenal dalam dunia pendidikan hingga sekarang adalah metode ceramah,
metode diskusi, metode eksperimen, metode demonstrasi, metode pemberian tugas,
metode sosiodrama, metode drill, metode kerja kelompok, metode tanya jawab,
metode proyek, metode bersyarah, metode simulasi, metode model, metode karya
wisata, dan sebagainya.
Semua
metode ini dapat dipergunakan berdasarkan kepentingan masing-masing, sesuai
dengan pertimbangan bahan yang akan diberikan serta kebaikan dan keburukannya
masing-masing. Dengan kata lain, pemilihan dan penggunaan metode tergantung
pada nilai efektivitasnya masing-masing. Selama tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip ajaran Islam, metode tersebut boleh dipergunakan dalam
pendidikan Islam.[4]
Marilah
kita lihat beberapa ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan petunjuk dalam
membicarakan metode mengajar ini;
“Semua makna
al-Qur’an itu ditanamkan kedalam hati nabi Muhammad saw, dan dengan ucapan nabi
muhammad-lah al-Qur’an itu dilafalkan. Apabila makna al-Qur’am itu dibacakan
(oleh nabi Muhammmad) maka ikutilah bacaan itu (ditujukan kepada sahabat nabi
yang hadir sewaktu wahyu turun kepada nabi).
Ayat
al-Qur’an ini memberikan gambaran kepada kita tentang metode mengajar dalam
suatu proses belajar. Semua bahan pelajaran yang hendak diajarkan
haruslah dikuasai oleh guru sebaik-baiknya. Metode resitas atau metode
pengulangan dapat digunakan.
Ayat
al-Qur’an lain menggambarkan.
”Hai Muhammmad
! Bacalah ! dengan menyebut nama Allah Yang menciptakan alam semesta. Ialah yang
menciptakan manusia dari segumpal darah, Bacalah muhammad, bahwa tuhanmu itu
amat mulia, yang mengajar dengan perantara kalam. (Q.S. Al-Alaq).
Secara
Lahiriyah ayat tersebut memberi suatau petunjuk tentang metode mengajar, bahwa
pelajaran yang utama adalah membaca. Di dalam membaca terkandung makna hendak
memberikan pengetahuan. Pengetahuan yang mula-mula diketahui oleh manusia ialah
nama. Nama adalah simbol pengetahuan permulaan dan dari nama orang dapat
membuat pengertian atau konsep ilmu pengetahuan.[5]
Secara
teoritis maupun yang tersirat dalam kitab suci, metodologi memiliki fungsi yang
sangat signifikan dalam pendidikan Islam. Abdurrahman an-Nahlawi[6]
mengemukakan bahwa ada beberapa metode yang bisa dipergunakan dalam pendidikan
Islam sebagai berikut[7]:
1.
Pendidikan
denga hiwar qurani dan nabawi.
Hiwar
adalah dialog, percakapan silih berganti, hiwar qurani adalah dialog antara
Allah kepada hambaNya sedangkan nabawi adalah dialog nabi kepada para
sahabatnya. Metode ini bisa dipilih.
2.
Pendidikan
dengan kisah qurani dan nabawi
Kisah
memiliki fungsi edukatif kepada pembaca atau pendengarnya. Dalam Qur’an dan
sunah nabi banyak kisah pelajaran hidup yang bisa dijadikan metode.
3.
Pendidikan
dengan perumpamaan
Perumpamaan
dilakukan dengan menyamakan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Seperti
menyerupakan orang musyrik yang mencari perlindungan selain Allah dalam bentuk laba-laba
yang membuat sarangnya.
4.
Pendidikan
dengan keteladanan
Pelajar
adalah pencontoh yang ulung. Satu keteladanan terkadang lebih efektif daripada
seribu kata. Pendidik harus mampu menjadi teladan yang baik, mencontohkan
shalat yang benar, rajin membaca, dan akhlak mulia lainnya.
5.
Pendidikan
dengan latihan dan pengamalan
Teori
atau nilai akan kehilangan makna tanpa dilaksanakan. Sebuah kebaikan maupun
perintah akan berbekas dan berkesan jika dilatih dan dibiasakan terus menerus.
Bagitu pula yang dilakukan oleh rasulullah terhadap para sahabatnya.
6.
Pendidikan
dengan ibrah dan mau’izhah
Ibrah
adalah sebuah proses pembelajaran mengajak, memikirkan dan merenungkan sebuah
fenomena atau kisah untuk diambil pelajarannya. Baik kisah sehari-hari maupun
kisah-kisah dalam al-Qur’an. Mau’izhah adalah nasihat-nasihat yang baik yang menyentuh langsung hati peserta didik.
7.
Pendidikan
dengan targhib dan thahrib
Targhib adalah
memberikan kabar gembira atau janji kebaikan setelah seseoraang melakukan suatu
amalan kebaikan tertentu. Kebalikan dari thahrib yang berisi ancaman dan dosa
bagi pelaku pelanggaran aturan agama. Peserta didik diajari konsekuensi dosa
dan ganjaran pahala atas sebuah perbuatan.
An-Nahlawi mencoba memberikan beberapa alternatif metode yang
diambil dan disaring dari khazanah islam. Beberapa pemikir Islam –selain
an-Nahlawi dan Nasih Ulwan- merumuskan metode pembelajaran Agama Islam. Satu
sama lain saling menguatkan dan melengkapi. Sesungguhnya pendidikan terbaik
adalah pendidikan yang pernah diterapkan oleh Rasulullah. Tugas kita adalah
merumuskan metode itu kemudian meremix ulang dan mengaktualisasikan dalam
konteks kekinian tanpa harus kehilangan ruh atau worldview Islam.
Metode hanyalah salah satu -dari sekian banyak elemen yang saling
berkaitan- upaya memperbaiki sistem pendidikan agar terwujud tujuan pendidikan
Islam.
D.
Kesimpulan
Krisis
akhlak dan budi pekerti yang melanda negeri kita tidak lepas dari persoalan
pendidikan. Antara tujuan pendidikan yang mulia dengan hasil pendidikan tidak
sejalan. Pendidikan Islam yang seharusnya menjadi solusi dari juga tidak
berdaya. Tidak ada jawabana atau solusi tunggal, banyak komponen yang saling
berkaitan. Namun, memahami apa itu pendidikan Islam dan apa tujuannya menjadi
penting.
Pemahaman yang
benar terhadap pendidikan Islam kemudian mengantarkan kepada rumusan metodologi
apa yang tepat digunakan untuk mengajarkannya. Pendidikan Islam bertujuan
mengantarkan manusia/peserta didik untuk menjadi manusia beradab. Manusia yang
mengenal Tuhannya, mengenal Nabinya mengenal diri dan potensi yang dimilikinya.
Maka, tujuan yang mulia ini hendaknya disampaikan dengan metode yang relevan
sesuai dengan karakteristiknya. An-Nahlawi mencoba menawarkan tujuh metodologi
pendidikan Islam yaitu Pendidikan denga
hiwar qurani dan nabawi, Pendidikan dengan kisah qurani dan nabawi, Pendidikan
dengan perumpamaan, Pendidikan dengan keteladanan, Pendidikan dengan latihan
dan pengamalan, Pendidikan dengan ibrah dan mau’izhah, Pendidikan dengan
targhib dan thahrib. Wallahu’alam.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi
Menuju Milenium Baru. Jakarta: Logos, 2000.
Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah
Zakiaah Daradjat, Dkk; Metodologi Pengajaran Agama Islam.Bumi
Aksara, Jakarta. 2001
Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.
[2]
lihat juga buku
the Consept of education of Islam: an Framework for an Islamic Philosophy,
karya al-Attas.
[3]
Dr. Rahmat Rosyadi (Dosen Pascasarjana UIKA Bogor). Konsep
dan Sistem Pendidikan Islam. dikutip dari (http://insists.id/konsep-dan-sistem-pendidikan-islam/).
Akses 20 Desember 2015
[4]
Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah. Hal. 180
[5]
Zakiaah Daradjat, Dkk; Metodologi Pengajaran Agama Islam.Bumi Aksara,
Jakarta. 2001.
[6]
Bukhari Umar. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Amzah. Hal. 189-192
[7]
Bandingkan dengan metode pendidikan yang berpengaruh dari Abdullah Nashih Ulwan (Tarbiyatul Aulad fil Islam)
yang menetapkan lima point penting; 1. Pendidikan dengan keteladanan (qudwah
hasanah), 2. Pendidikan dengan pembiasaan (bil ‘adah), 3. Pendidikan dengan
nasihat yang baik (mau’izhah hasana), 4. Pendidikan dengan kontrol/pengawasan
(mulahazhah), 5. Pendidikan dengan hukuman (bil ‘iqabah).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar