selfie bareng di akhir kuliyah |
Saat
melanjutkan studi di tingkat Magister, tepatnya semester ke-2, terdapat mata
kuliah “Evaluasi Pendidikan Islam” yang kebetulan diampu oleh sang Professor.
Sebuah kesempatan dan keberuntungan bertemu dan belajar langsung dengan seorang
penulis yang produktif. Ada sebuah semangat untuk bertemu. Satu jam pertama
dengan beliau langsung memberikan sebuah semangat perjuangan dari seorang ibu. Hemm, ternyata beliau adalah seorang
wanita paruh baya yang sangat keibuan, dangan wajah yang bersih berseri yang menyiratkan
semangat kemudaan yang pantang memudar meski digerogoti oleh waktu.
Upps telat, “assalamualaikum.....” saat
saya membuka pintu ruang kuliah, beliau sudah duduk dan mempersilahkan saya
masuk. Maaf bu, telat, tadi sempat macet. Silahkan! Jawabnya ramah. Meski
keterlambatan ini sangat saya sesalkan. Telat di pertemuan pertama di kelas
profesor. Ruang kelas ternyata masih rame dengan makanan ringan (roti) yang
dibawa oleh sang Guru besar. Hemm,
mengagumkan, pertemuan pertama mengesankan dengan sepotong roti. Terlihat
teman-teman santai menikmati roti sambil mendengarkan beliau bercerita tentang
masa hidupnya.
Alhamdulillah
kebagian juga sepotong roti dari sang professor. Beliau menceritakan masa kecil
dengan orangtuan dalam penjajahan Jepang, dengan semangat beliau menceritakan
bagaimana masa itu terjadi. Kemudian cerita mengalir ke awal karirnya sebagai
penulis dan pengajar. Wah, beliau
ternyata mantan guru SD dan mengawali karir menulisnya pada mapel IPA untuk
tingkat sekolah dasar dalam bentuk modul. Berawal dari karya pertamanya
kemudian pundi-pundi rupiah mengalir, sampai kemudia beliau mampu membeli mobil
pada zaman itu.
Beliau
santai dalam mengajar tapi serius. Terlihat ilmu eksak yang begitu matang,
dominan dengan angka-angka, tabel dan rumus-rumus. Meskipun sebenarnya sangat
sederhana tapi karena otak saya memang didesain tidak untuk memikirkan
angka-angka yang jlimet, butuh beberapa waktu untuk bisa mengimbangi kecepatan sang
profesor dalam menjelaskan buku beliau yang menjadi materi pokok kuliah dan
wajib dimiliki oleh mahasiswa.
“Syahrul......
dari mana?” suara professor mengalun cukup bersahabat dan memecah suasan
kuliah, antara percaya dan tidak nama saya disebut. “betul bu, dari Makassar”
jawabku mantap. Bergiliran kemudian sang professor menyebut dan memanggil nama
satu-satu nama mahasiswa. Absensi. “saya sudah terbiasa harus kenal dengan
nama-nama mahasiswa saya”, beliau
menjelaskan. “agar mereka malu kalau sudah saya kenal kok, nilainya rendah”.
Heeemmm, strategi yang menarik, batinku.
Secara
umum, beliau adalah sosok yang penuh inspirasi, pekerja keras, santun, lemah
lembut, keibuaan, humoris dan suka bagi-bagi snack, dan yang terakhir sudah
menjadi rahasia umum, hehhe. Namun karena beliau mengajar hal-hal yang berkaitan
dengan angka dan rumus, sebenarnya saya tidak begitu nyaman. Ada perasaan
minder terkadang menyergap. Benar saja, dengan semua usaha maksimal yang
kukerahkan, diakhir ujian saya mendapatkan nilai B. Hemm, not too bad.
Pada pertemuan pertama
kuliah, sempat sepintas didiskusikan persoalan UN. Saat saya menanyakan tentang
Ujian Nasional yang menjadi berita hangat saat itu, beliau menjawab dengan
tegas dan seolah tidak membuka ruang diskusi, “UN harus tetap dilakuan!” padahal
saya termasuk yang kontra UN dengan berbagai argumentasi. mungkin di situ letak
perbedaan pandangan dari sang murid kepada sang professor. Meskipun sempat
sakit dan alpa dalam beberapa sesion kuliah karena sakit yang dideritanya,
namuan semangat beliau tetap membara. Diakhir kuliah beliau masih harus
mengkomsumsi obat di ruang kelas. Selamat berjuang bunda dan terimakasih atas
semua inspirasi ini. Satu jam saja, cukup buatku untuk menyerap saripati
inspirasi itu. (mgl.15-2-23)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar