Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Senin, 23 Februari 2015

Satu Jam di Kelas Professor

selfie bareng di akhir kuliyah

  Prof. Suharsimi Arikunto adalah nama yang tidak asing di telinga saya dan mungkin juga teman-teman yang sedang melakukan penelitian akhir baik itu untuk tingkat S1, S2, dan S3. Saat saya menyelesaikan skripsi pun tak lepas dari nama besar Suharsimi Arikunto, nama yang melekat dengan metopen. Meskipun sering mengutip buku beliau, namun, saya belum pernah bertemu. Sempat terlintas sepintas dalam imajinasi saya bahwa beliau seperti sosok seorang bapak yang serius, seperti para pemikir dan penemu pada umumnya dengan kepala botak dan kacamata tebal.
          Saat melanjutkan studi di tingkat Magister, tepatnya semester ke-2, terdapat mata kuliah “Evaluasi Pendidikan Islam” yang kebetulan diampu oleh sang Professor. Sebuah kesempatan dan keberuntungan bertemu dan belajar langsung dengan seorang penulis yang produktif. Ada sebuah semangat untuk bertemu. Satu jam pertama dengan beliau langsung memberikan sebuah semangat perjuangan dari seorang ibu. Hemm, ternyata beliau adalah seorang wanita paruh baya yang sangat keibuan, dangan wajah yang bersih berseri yang menyiratkan semangat kemudaan yang pantang memudar meski digerogoti oleh waktu.
Upps telat, “assalamualaikum.....” saat saya membuka pintu ruang kuliah, beliau sudah duduk dan mempersilahkan saya masuk. Maaf bu, telat, tadi sempat macet. Silahkan! Jawabnya ramah. Meski keterlambatan ini sangat saya sesalkan. Telat di pertemuan pertama di kelas profesor. Ruang kelas ternyata masih rame dengan makanan ringan (roti) yang dibawa oleh sang Guru besar. Hemm, mengagumkan, pertemuan pertama mengesankan dengan sepotong roti. Terlihat teman-teman santai menikmati roti sambil mendengarkan beliau bercerita tentang masa hidupnya.
          Alhamdulillah kebagian juga sepotong roti dari sang professor. Beliau menceritakan masa kecil dengan orangtuan dalam penjajahan Jepang, dengan semangat beliau menceritakan bagaimana masa itu terjadi. Kemudian cerita mengalir ke awal karirnya sebagai penulis dan pengajar. Wah, beliau ternyata mantan guru SD dan mengawali karir menulisnya pada mapel IPA untuk tingkat sekolah dasar dalam bentuk modul. Berawal dari karya pertamanya kemudian pundi-pundi rupiah mengalir, sampai kemudia beliau mampu membeli mobil pada zaman itu.
          Beliau santai dalam mengajar tapi serius. Terlihat ilmu eksak yang begitu matang, dominan dengan angka-angka, tabel dan rumus-rumus. Meskipun sebenarnya sangat sederhana tapi karena otak saya memang didesain tidak untuk memikirkan angka-angka yang  jlimet, butuh beberapa waktu untuk bisa mengimbangi kecepatan sang profesor dalam menjelaskan buku beliau yang menjadi materi pokok kuliah dan wajib dimiliki oleh mahasiswa.
        “Syahrul...... dari mana?” suara professor mengalun cukup bersahabat dan memecah suasan kuliah, antara percaya dan tidak nama saya disebut. “betul bu, dari Makassar” jawabku mantap. Bergiliran kemudian sang professor menyebut dan memanggil nama satu-satu nama mahasiswa. Absensi. “saya sudah terbiasa harus kenal dengan nama-nama mahasiswa saya”,  beliau menjelaskan. “agar mereka malu kalau sudah saya kenal kok, nilainya rendah”. Heeemmm, strategi yang menarik, batinku.
Secara umum, beliau adalah sosok yang penuh inspirasi, pekerja keras, santun, lemah lembut, keibuaan, humoris dan suka bagi-bagi snack, dan yang terakhir sudah menjadi rahasia umum, hehhe. Namun karena beliau mengajar hal-hal yang berkaitan dengan angka dan rumus, sebenarnya saya tidak begitu nyaman. Ada perasaan minder terkadang menyergap. Benar saja, dengan semua usaha maksimal yang kukerahkan, diakhir ujian saya mendapatkan nilai B. Hemm, not too bad.

          Pada pertemuan pertama kuliah, sempat sepintas didiskusikan persoalan UN. Saat saya menanyakan tentang Ujian Nasional yang menjadi berita hangat saat itu, beliau menjawab dengan tegas dan seolah tidak membuka ruang diskusi, “UN harus tetap dilakuan!” padahal saya termasuk yang kontra UN dengan berbagai argumentasi. mungkin di situ letak perbedaan pandangan dari sang murid kepada sang professor. Meskipun sempat sakit dan alpa dalam beberapa sesion kuliah karena sakit yang dideritanya, namuan semangat beliau tetap membara. Diakhir kuliah beliau masih harus mengkomsumsi obat di ruang kelas. Selamat berjuang bunda dan terimakasih atas semua inspirasi ini. Satu jam saja, cukup buatku untuk menyerap saripati inspirasi itu. (mgl.15-2-23)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar