MI
& UN
Oleh
Syahrul[1]
Teori
Multiple Intelligence (MI) yang memiliki arti multi kecerdasan, kecerdasan
yang luas atau kecerdesan tak berbatas ini pertama kali dicetuskan oleh Dr.
Howard Gardner, seorang psikolog dari Project Zero Harvard University pada
tahun 1983. Teori ini (MI) sebagai jawaban terhadap teori kecerdasan
Intellectual Question (IQ) yang telah lama mendominasi teori kecerdasan di
dunia. Lebih khusus di dunia pendidikan. Tingkat kecerdasan diukur dengan
angka-angka yang menafsirkan tingkat kecerdasan seseorang. Meskipun sejarah
teori IQ penuh dengan kepentingan penguasa pada saat itu, namun sudah jamak
telah diyakini dan diterapkan di banyak institusi-institusi dalam rekrutmen
anggota.
Teori
kecerdasan MI mencoba untuk menghargai/menilai manusia seutuhnya, tidak dengan
satu sudut saja. Jika kita sepakat bahwa pendidikan adalah memanusiakan
manusia, maka tidak ada peserta didik yang bodoh karena manusia adalah makhluk
unik dan special. Desain Tuhan yang Maha Sempurna (fii ahsani taqwim). Kecerdasan manusia tidak bisa dinilai hanya
dari sisi kognitif yang direduksi dalam hasil mengerjakan soal atau tes yang
berbentuk angka. Memahami manusia/siswa bagaikan menyelami samudra lautan.
Ujian
Nasional (UN) yang dihadapi para siswa pada tiap tahunnya telah jamak menjadi sistem
evaluasi yang menentukan sukses tidaknya seorang siswa untuk menempuh jenjeng
pendidikan selanjutnya. Jika gagal, maka pada tahun ini siswa harus bersabar
menanti setahun kemudian untuk mengambil paket B. Cap/stigma anak bodoh, nakal,
malas dan 1001 cap negatif lainnya akan anak dapatkan baik dari sekolah, teman
maupun orangtuanya. Tidakkah tekanan psikologi ini akan melekat seumur hidup
dan memberikan dampak bagi masa depan mereka. Terlepas dari pro dan kontra
pelaksanaan UN yang tiada akhir (never ending), namun ini lah realitasnya hari
ini yang akan dihadapi siswa. Tulisan ini akan mencoba mengupas sedikit
paradigm UN dari sudut pandang MI.
Benjamin
S. Bloom membagi kemampuan seseorang menjadi tiga; pertama, kemampuan kognitif
yang menghasilkan kemampuan berpikir. Kedua, kemampuan psikomotorik yang menghasilkan
kemampuan berkarya. Ketiga, kemampuan afektif yang menghasilkan kemampuan
bersikap (Munif, 2011: 71). Kemampuan kognitif dalam Taksonomi Bloom pun
memiliki tingkatan-tingkatan, yang paling rendah adalah hafalan. Akan tetapi
hafalan itulah yang banyak dituangkan di dalam soal atau tes. Harus diakui
bersama bahwa mengukur prestasi dan mendokumentasikan dalam bentuk raport yang
paling mudah adalah pada ranah kognitif dan dalam bentuk soal atau tes.
Sementara aspek psikomotorik seperti prestasi olah raga, seni, karya tulis dan
aspek afektif seperti sopan baik kepada guru maupun teman, suka menolong
membutuhkan ketelitian, kesabaran, dan kemauan yang keras untuk
mendokumentasikannya, tapi bukan menjadi penentu kelulusan. Bahkan terkadang
hanya sekedar laporan di atas kertas yang hanya dibutuhkan pada saat tertentu
saja. Meskipun secara legal-formal
syarat kelulusan adalah baiknya prilaku tapi apakah berlaku?
Delapan
kecerdasan menurut Dr. Howard Gardner yaitu, kecerdasan linguistik, matematis-logis,
visual-spasial, musikal, kinestetis, interpersonal, intrapersonal, dan
kecerdasan natural dan masih akan ditemukan kecerdasan-kecerdasan yang lain,
karena kecerdasan itu bersifat dinamis. Sementara UN yang hanya menguji
Matematik, Ilmu Alam, dan bahasa merupakan bagian terkecil dari kecerdasan
manusia, apalagi jika akan dikaitkan dengan kesuksesan masa depan, tentu sangat
tidak relevan. Sebenarnya UN akan menjadi mudah dan tidak menjadi “monster” jika didekati dengan pengajaran mengacu pada
gaya belajar anak yakni dengan pendekatan MI. tentunya kembali lagi kepada guru,
karena menerapkan pendekatan MI tentunya lebih susah pada awalnya yang
membutuhkan kreatifitas tingkat tinggi. Tapi siswa yang kreatif lahir dari guru
yang kreatif. Adagium mengatakan, “jika guru berhenti belajar maka pada saat
itu pula ia harus berhenti mengajar”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar