Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Sabtu, 23 Maret 2013

Demokrasi Religius


A.    Paradoksi Demokrasi (Sebuah Kritik Atas Demokrai)
Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, bukan dari bahasa Arab.Ini adalah bentuk dari dua kata; demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan, kekuasaan, atau hukum.Dengan demikian, secara letterleg, arti “demokrasi” adalah pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat atau hukum rakyat.[1]Intinya adalah menjadikan suara rakyat suara Tuhan (vox vovuli vox dei).Kedaulatan ditangan rakyat (government by the people). Mengapa diskursus antara Islam dan demokrasi selalu hangat?, setidaknya perdebatan itu kemudian terpolarisasi menjadi tiga, yaitu yang menerima demokrasi seutuhnya tanpa kritik, kemudian yang menolaknya mentah-mentah tanpa kompromi, dan yang ketiga mencoba untuk kompromi dan dialog dengan tetap kritis.
Dalam bahasa Arab demokrasi diartikan ad-dimugrathiyah.Secara bahasa terlihat bahwa demokrasi bukan berasal dari khasanah dan tradisi Islam.Dimana aturan hukum di tangan Tuhan melalui al-Qur’an dan Sunah, tidak diserahkan kepada suara mayoritas. Meskipun NegaraIslam tidak sama dengan konsep Negara teokrasi (Negara tuhan). Teokrasi adalah sistem kenegaraan dimana pemerintahan dikuasai oleh satu priesthood (sistem kependetaan), yang mempunyai hirarki (tingkat bertingkat), dan menjalankan demikian itu sebagai wakil Tuhan di dunia.Dalam Islam tidak dikenal priesthood semacam itu.[2] Intelektual muslim Hafiz salih, misalnya, mengharamkan penggunaan istilah dan konsep demokrasi, karena konsep ini berarti menegasikan kedaulatan Allah atas manusia.[3]
Demokrasi bukanlah sistem politik tanpa kritik, kritik yang dating bukan hanya dari Islam (Timur) bahkan dari Barat sendiri yang notabenenya sumber demokrasi itu sendiri.Plato (429-347 BC)menyebut empat kelemahan demokrasi.Salah satunya, pemimpin biasanya dipilih dan diikuti karena factor-faktor non-esensial, seperti kepintaran pidato, kekayaan, dan latar belakang keluarga.Plato memimpikan munculnya “the wisest people” sebagai pemimpin ideal suatu Negara.[4]Akan sangat mustahil menghadirkannya dengan sistem demokrasi. Muhammad Iqbal juga banyak memberikan kritik terhadap konsep pemerintahan yang menyerahkan keputusannya kepada massa yang berpikiran rendah .kata Iqbal, bagaimana pun, para semut tidak akan mampu melampaui kepintaran Sulaiman.[5]
Pakar hukumIslam TM. Hasbi  As-Shiddieqy, dalam bukunya, Ilmu Kenegaraan dalam Hukum Islam, bahwa terdapat segi-segi persamaan dan perbedaan antara Islam dan demokrasi, tapi segi-segi perbedaannya lebih banyak dari pada persamaannya, diantaranya; pertama, dari segi konsep “rakyat”. Bagi demokrasi modern rakyat dibatasi oleh batas-batas geografi, jenis, bahasa, dll.,bagi Islam kesatuan akidah  yang menjadi pengikat. Kedua, tujuan demokrasi Barat, baik yang modern maupun demokrasi kuno adalah maksud keduniaan, atau tujuan materi belaka. Sementara Islam mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat .Ketiga, kekuasaan rakyat dalam demokrasi Barat adalah mutlak.Tetapi di dalam Islam, kekuasaan rakyat dibatasi dengan aturan-aturan Islam yang bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah.[6]
Al-Maududi mengkritik demokrasi Barat, yang menurutnya mempunyai beberapa kelemahan mendasar.Pertama, kelompok penguasa bisa saja bertindak atas nama rakyat meskipun sebagian pikiran dan tenaga yang dikerahkannya bukan untuk rakyat, tapi untuk melestarikan kekuasaan yang mereka pegang. Kedua, jika kekuasaan mutlak untuk membuat legislasi berada di tangan pembuat hukum (law maker) harus sesuai dengan selera dan opini rakyat tidak mustahil suatu ketika tindakan-tindakan yang tidak manusiawi menjadi legal sepenuhnya bila opini public menuntutnya.Bila sebuah legislasi dikehendaki oleh mayoritas rakyat, meskipun bertentangan dengan ajaran moral dan agama, maka legislasi itu harus berjalan. Sebaliknya, suatu legislasi lain betapapun benar dan adil dapat dibatalkan jika rakyat menghendakinya.[7]bahkan ia mengecam demokrasi sebagai sistem musyrik.
Domokrasi lahir bukan di ruang hampa tanpa membawa nilai (value) yang melatar belakangi kelahirannya.Menurut Bernard Lewis, pemikir politik paling berpengaruh di A.S sesudah berakhirnya perang dingin, “sejak awal mula, kaum Kristen diajarkan –baik dalam persepsi maupun praktis- untuk memisahkan antara Tuhan dan kaisar dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antara keduanya.[8]Demokrasi mengharuskan adanya sekularisme, sedangkan Islam adalah agama yang didasarkan pada kepercayaan kepada Tuhan.
Bahkan A.S sendiri tidak percaya jika suara mayoritas itu bisa lebih baik.Ini terlihat pada kasus 5 Desember 2000, Mahkama Agung A.S (US Supreme court), memenangkan George W. Bush atas calon Demokrat, al-Gore.Padahal popular vote, suara rakyat, lebih banyak berpihak pada Gore.[9]Begitu pula halnya yang terjadi di PBB, sebuah sistem aristokratik dipertontonkan, dimana kekuasaan PBB diberikan kepada hanya beberapa Negara yang dikenal dengan “Bib Five”, (AS, Rusia, Perancis, Inggris, Cina).Kelima Negara ini yang mendapatkan hak istimewa, hak veto.
B.     Demokrasi Religius
Menghadapi penetrasi barat, sebagian pemikir muslim ada yang bersikap apriori dan anti-Barat; ada juga yang menerima mentah-mentah segala yang datang dari Barat, serta ada pula yang berusaha mencari nilai-nilai positif dari peradaban dan pemikiran Barat, disamping membuang nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam. [10]salah satu sistem politik Islam yang sering didiskusikan di Negara-negaraIslamadalah istilah “demokrasi”. Istilah ini telah diterima oleh hampir semua pemerintahan dunia; bahkan pemerintahan-pemerintahan otoriter sekalipun menggunakan atribut “demokrasi” untuk memberikan cirri kepada rezim dan aspirasi mereka. Akibatnya adalam menjamurnya penggunaan kata “demokrasi”, seperti demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, demokrasi kerakyatan , demokrasi social, dan sebagainya. Perubahan penggunaan semacam itu sebagian dimaksudkan untuk membawa konsep demokrasi lebih dekat kepada kultur masyarakat tertentu dan sebagian lagi dimaksudkan untuk  menjustifikasisistem politik yang diajukan oleh pemerintah tersebut.[11]
Respon intelektaul muslim terhadap demokrasi sangat berkaitan erat dengan karakteristik pemikiran Islam yang dapat diklasifikasi menjadi lima bentuk yaitu tradisional, reformis, modernis, fundementalis, dan neo-modernis.[12]kaum tradisionalis adalah mereka yang memegangi pemikiran Islam dari ulama abad pertengahan tanpa melakukan usaha-usaha untuk mengubah bentuknya secara subtantif, termasuk merespon masalah-masalah kemasyarakatan kontemporer. Kaum reformis adalah mereka yang melakukan usaha-usaha reinterpretasi doktrin Islam dan menantang penyimpangan agama atau bid’ah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan sunnah. Kaum modernis kaum modenis adalah mereka yang melakukan artikulasi dan upaya penyadaran untuk mereformulasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam dalam istilah-istilah pemikiran modern atau untuk menyatukan pemikiran dan institusi-institusi pemikiran modern dengan tradisi Islam.sedangkan kaum fundamentalis adalah mereka yang membela doktrin Islam dan menegaskan superioritas Tuhan, melakukan usaha-usaha untuk mengimplementasikannya secara total, dan neo-modernis adalah mereka yang melakukan usaha-usaha untuk menemukan titik temu antara kaum Islam modernis dengan kaum Islam tradisional.[13]Respon yang beragam terhadap demokrsi kemudian mengkerucut menjadi tiga yaitu yang menerima, menolak dan yang mendialogkan antara Islam dan demokrasi. Karena susungguhnya demokrasi bukan sistem politik yang baku dan stagnan tetapi bersifat fleksibel yang terus mengalami evolusi-evolusi dan perubahan-perubahan sehingga memunculkan istilah-istilah demokrasi yang bersanding dengan konsep lain.
Banyak intelektual Muslim menerima konsep demokrasi dengan modifikasi tertentu sesuai dengan ajaran Islam.sehingga memunculkan istilah-istilah seperti Demokrasi Religius, Teo Demokrasi istilah dari al-Maududidan Demokrasi Teistik (Theistic Democracy) istilah dari Natsir.Tanpa dijelaskan bahwa “demokrasi murni” yang mendelegasikan semua dimensi-dimensi urusan public termasuk legislasi dari pemerintahan mayoritas tanpa batas, adalah mutlak tidak kompatibel dengan Islam.Pada dasarnya semua aliran pemikiran, ideology dan agama yang menganut suatu rangkaian kepercayaan, nilai-nilai atau peraturan-peraturan yang independen dari kehendak atau keinginan rakyat tidak setuju dengan demokrasi tanpa batas.Nilai-nilai dan peraturan ini harus dilindungi dan tidak dapat diserahkan kepada kehendakmayoritas, sebab mayoritas dalam setiap bentuk demokrasi selalu berubah dan tidak stabil.[14]
Berbicara DR (Demokrasi Religius) tentunya tidak pernah lepas dari perbincangan para intelaktual muslim dalam merumuskannya, tidak ada konsep yang baku, tetapi terdapat persamaan-persamaan yang subtansial. Untuk melihat posisi DR tentunya harus melihat dinamika pemikiran politik Islam dalam menghadapi penetrasi politik Barat. Setidaknya arus pemikiran politik islam dalam merespon Barat terbagi menjadi tiga arus pemikir. Kelompokpertama, mengembangkan gagasan kesempurnaan ajaran islam dan menolak pengaruh-pengaruh pemikir Barat. Muhammad Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, al-Maududi, dan Sayyid Quthb temasuk tokoh-tokoh yang merindukan sistem khilafah universal atau Negara supranasional tanpa sekat geografis.
Kelompok kedua, berusaha memisahkan islam dari politik. Islam adalah sesuatu dan politik adalah sesuatu yang lain. Keduanya tidak boleh disatukan.Tokoh-tokohnya adalah Musthafa Kamal Ataturk, Ali Abdurraziq, dan Thaha Husein.Kelompok ketiga, berusaha menjembatani kedua arus pemikiran yang bertentangan di atas.Mereka tidak menolak mentah-mentah pemikiran yang berasal dari Barat, tetapi juga tidak menerima begitu saja warisan pemikir Islam yang tidak sesuai dengan kondisi dan situasi yang berkembang.Tokoh-tokohnya adalah Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Muhammad Syaltut, dan Mohammad Natsir.[15]Dari tiga kelompok di atas nampaknya kelompok ketiga yang menerima demokrasi dengan syarat tertentu yang kemudian dimodifikasi menjadi demokrasi religious (DR).Penulis akanmenfokuskan mengambil pemikiran Mohammad Natsir dalam menjelaskan demokrasi leligius. 
Sejak Awal Natsir berpendirian bahwa islam bukan hanya agama sekedar agama pribadi yang mengurus soal-soal hubungan manusia kepada Tuhan. Islam adalah agama yang lengkap mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk politik kenegaraan.Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik. Memang kalau diteliti ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi, tidak ada satu pun pemerintah untuk menegakkan agama. Namun bagi Natsir, Negara diperlukan baik ada ataupun tidak ada perintah islam. Menurutnya, tidak perlu ada perintah untuk mendirikan Negara.Yang diperlukan adalah patokan-patokan untuk mengatur Negara supaya Negara menjadi subur dan kuat serta menjadi wasilah bagi tercapainya tujuan hidup manusia dan bagi keselamatan mereka.
Tentang pemimpin Negara, bagi Natsir, namanya bisa saja berbeda-beda dan tidak harus bergelar khalifah. Yang penting adalah bahwa kepala Negara haruslah ulilamrkaum muslimin keturunan bangsa tersebut dan sanggup menjalankan peraturan-peraturan islamdalam susunan kenegaraan. Karenanya, Natsir mengharuskan kepala Negara haruslah berwibawa, amanah, cinta agama, dan cinta tanah air. Bagaimana bentuk hubungan antara agama dan politik?, Menurut Natsir, al-Qur’an dan sunah memang tidak berbicara tentang masalah-masalah teknis seperti penentuan Anggaran Belanja Negara, peraturan valuta, aturan devisa, dan 1001 permasalahan lainnya. Al-Qur’an dan sunah hanya mengatur dasar-dasar dan pokok-pokok peraturan hubungan sesama manusia.
Islam mengatur sifat-sifat yang perlu ada bagi kepala Negara serta hak dan kewajibannya. Agama islam menetapkan kewajiban melakukan musyawarah terhadap permasalahan yang tidak diatur al-Qur’an dan sunah untuk mencapai kemaslahatan. Islam menetapkan hak dan kewajiban antara penguasa dan rakyat.Islam menetapkan aturan pembasmi macam-macam penyakit masyarakat.Islam menetapkan beberapa peraturan tentang perekonomian seperti tertuang dalam kewajiban membayar zakat, sedekah, dan larangan riba. Berdasarkan pandangan ini, Natsir tidak menolak kemungkinan diterapkannya sistem pemerintahan Barat, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran islam. Dalam hal ini menarik dicatat pandangan Natsir tentang ddemokrasi Barat. Natsir yakin bahwa prinsip-prinsip islam tentang syura (musyawarah) lebih dekat dengan rumusan demokrasi modern. Natsir, dengan demikian, dapat menerima eksistensi parlemen sebagai representasi pelaksanaan musyawarah tersebut. Namun yang ditolak adalah semangat demokrasi modern yang berlatar belakang kultur sekuler Barat. Karena itu, Natsir memandang bahwa pengambilan keputusan dalam syura harus mengacu pada prinsip-prinsip etik keagamaan.Dengan demikian, natsir berusaha mendamaikan teori kedaulatan rakyat dengan teori kedaulatan Tuhan.Islam menganut paham theisticdemocracy, yaitu demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan.[16] Pemikiran Natsir memperlihatkan demokrasi dengan wajah lain, bentuk yang tidak sekuler.
Konsep Demokrasi Religius, Demokrasi yang berketuhanan dalam pandangan beberapa pemikir islam, diantaranyaRashid al-Ghannouchi (Tunisia lahir 194 M) menulis: pemerintahan Islam adalah pemerintahan yang:
1.      Otoritas legislative tertinggi adalah syariah, yang merupakan hukum-hukum Ilahiyah dari Islam yang mengatasi semua hukum-hukum.
2.      Kekuasaan politik ada di tangan Masyarakat (Ummah), yang harus mengadopsi bentuk syura sebagai suatu sistem konsultasi mandat.
Pemikir seperti Sadek Sulaiman (Oman, Lahir 1933 M) menegaskan bahwa syura dalam Islam termasuk unsure-unsur pokok dalam demokrasi. Dia berkata: “sebagai sebuah konsep dan sebuah prinsip, syura dalam Islam tidak berbeda dengan demokrasi. Baik syura atau demokrasi muncul dari pertimbangan pokok bahwa diskusi kolektif lebih cendrung membawa suatu hasilyang adil dan sehat untuk kepentingan social ketimbang preferensi individual.[17] Semangat musyawarah (syura) terdapat dalam beberapa surat yaitu
QS. Asy-Syura: 38, “Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka.”
QS. Ali Imran: 159, “…mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu.”
Akan terkesan berlebihan jika menyamakan bahwa syura adalah sama secara fungsional dengan demokrasi parlementer Barat. Syura hanya dalam urusan-urusan social dan politik.Seperti ketika nabi berkonsultasi dengan para sahabat berkaitan dengan perang Badr dan Uhud. Beliau memberikan preseden penghormatan terhadap opini mayoritas muslim ketimbang opininya sendiri. Akan tetapi jelas bahwa nabi tidak berkonsultasi dengan umat muslimin tentang urusan-urusan keagamaan atau hal-hal yang bersifat Ilahiyah.[18]Menutup penjelasan DR bahwa karena ada keterbatasan dari kehendak dan keinginan-keinginan rakyat, mereka mempunyai otoritas dalam rangka peraturan-peraturan dan nilai-nilai Islam.Oleh karenanya, mayoritas dari rakyat atau wakil-wakil mereka tidak mempunyai kekuasaan untuk membuat legislasi atau keputusan-putusan yang bertentangan dengan hukumIslam.Konstitusionalisme religius ditentukan oleh otoritas syariah.Oleh karena itu, pemerintahan religius tidak hanya bertanggung jawab berkaitan dengan hak-hak dan kebutuhan masyarakat, tapi juga harus bertanggungjawab pada syariah dan hukum-hukum Ilahiyah.[19]
Demokrasi religious bukan berarti lepas dari kritik dari para penentangnya. Ada beberapa kritik yang mendasar yaitu, pertama, DR adalah paradoksal. DR mengabaikan sifat yang alami dari agama dan mengabaikan pula fondasi-fondasi epistemology demokrasi. Kedua, mengambil alih kekuasaan Tuhan.Prinsip ini bertentangan dengan Islam karena melibatkan legislasi hukum, banyak ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan bahwa legislasi adalah untuk Allah swt.Ketiga, problem kesamaan hukum. Terdapat tiga kelompok masyarakat, yaitu warga non-muslim, budak, dan wanita-manita tidak memiliki kesamaan dibanding warga muslim pria yang merdeka.[20]Meskipun ketiga poin di atas telah dijawab dengan cukup baik oleh pengusung demokrasi religious.
C.    Konsep Khilafah
Khilafah secara esensial berarti penerus, atau orang yang memegang posisi yang sebelumnya dipengan orang lain. Akan tetapi kata ini tidak terbatas pada konteks otoritas politik saja.Jadi, seorang khalifah (caliph) bukan saja berarti penerus dari pemerintah yang terdahulu, tapi bisa juga seorang yang secara definitive ditunjuk sebagai wakil dan diberi otoritas oleh orang yang menunjukkanya. Atau lebih kurang sama artinya dengan wakil, naib (vicegerent).[21] Hizbut Tahrir, organisasi politik yang sejak awal mengusung khilafah sebagai konsep pemerintahan Islam yang sah tentunya memiliki konsep sendiri.
Sebelum menggambarkan konsep khilafah secara terbatas, penulis akan memberikan catatan bagaimana Hizbut Tahrir (HT), organisasi politik transnasional yang didirikan oleh asy-Syekh Taqiyuddin an-Nabhani (berdiri 28 Jumadil Tsani 1372 H./14Maret 1953 M) di Yordania yang menggusung ide dan gagasan tentang Khilafah memandang demokrasi. Setelah menjelaskan konsep demokrasi yang paradok dengan Islam, HT kemudian memutuskan bahwa,kaum Muslim haram mengambil demokrasi dan mendakwahkannya;mendirikan partai politik berasaskan demokrasi; mengambil demokrasisebagai pandangan hidup atau menerapkannya; menjadikannya sebagaiasas bagi UUD dan undang-undang; menjadikannya sebagai sumber diantara sumber-sumber UUDdan undang-undang;menjadikannya senagaiasas pendidikan dan tujuannya; dan kaum Muslim wajib membuangnyasecaramenyeluruh. Demokrasi itu najis, hukum thaghut, kufur, pemikirankufur, sistem kufur, dan undang-undang kufur. Apalagi demokrasi, samasekali tidak memiliki hubungan apapun dengan Islam[22]
Di dalam tesis yang berjudul Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Khilafah Islamiyah yang menjadi kitab panduan, metode, dan langkah  HT dalam menegakkan khilah di seluruh dunia membahas konsep khilafah secara mendetaildan cukup luas. Agar tidak melebar terlalu luas dan keterbatasan penulis maka penulis membatasi pada pokok-pokok konsep khilafah, sebagai gambaran singkat.HT mengklaim bahwa khilafah adalah sistem pemerintahan Islam, dan menjadi wajib degan legitimasi dari al-Qur’an surat al-Maidah: 48-49, dan beberapa hadis nabi serta ijma’ para sahabat setelah wafatnya Rasulullah sehingga setiap muslim wajib beraktifitas dalam rangka menegakkan khilafah.
Definisi khilafahmenurutHT ialah "Kepemimpinan umumbagi seluruh kaumMuslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukumperundang-undangan Islam dan mengemban dakwah Islam ke seluruhdunia".Khilafah adalah Imamah. Imamah dan khilafah itu artinya sama.Banyak hadis-hadis shahih yang menjelaskan dua kalimat ini denganpengertian sama. Di dalam nash-nash syara' tidak terdapat untuk salahsatu dari keduanya pengertian yang menyelisihi pengertian yang lainnya,tidak dalam al-Qur'an dan tidak pula dalam as-Sunnah, karena hanyakeduannyalah yang menjadi nash-nash syara'.Dan dalam hal ini tidaklahwajib terikat hanya dengan kata ini, yakni Imamah atau Khilafah.Sebab,yang wajib hanyalah terikat dengan substansi pengertiannya.[23]
Berkaitan dengan pilar suatu Negara Islam (khilafah) HT berpendapat setelah mengkaji dan menelitidalil-dalil syara', bahwa sistem pemerintah Islam itu tegak diatasempat pilar berikut:Pilar pertama : Kedaulatan di tangan syara', bukan di tangan umat.Pilar kedua : Kekuasaan di tangan umat.Pilar ketiga : Mengangkat satu khalifah adalah wajib atas kaumMuslim.Pilar keempat : Hanya khalifah yang memiliki hak men-tabanni(mengadopsi) hukum-hukum syara', keempat hal di atas merupakan pilar-pilarpemerintah Islam. Dan essensi pemerintah Islamtidak ada kecuali dengankeempat pilar tersebut.Apabila ada salah satu dari keempat pilar itu yanghilang, maka hilanglah esensi pemerintahan Islam itu.[24] Disamping empat pilar tersebut di atas, HT kemudian menyusun struktur pemerintahan Negara Islam (khilafah) dengan mengadopsi system yang pernah ada di Madinah al-Munawwarah sebagai berikut:1. Khalifah,2.Para Mu'awin at-Tafwidh (Wuzara' at-Tafwidh),3.Wuzara' at-Tanfidz,4.Para wali (gubernur),5.Amir al-Jihad (Panglima Perang),6. Keamanan Dalam Negeri,7. Urusan Luar Negeri,8. Industri,9.Peradilan (al-Qadho'),10.Mashalih an-Nas (Kemaslahatan Umum),11. Baitul Mal,12. Lembaga Informasi dan 13.Majelis Umat.[25]
Yang juga penting dibahas di sini adalah konsep Khalifah (pemimpin), syarat seorang khalifah. Ada dua macam syarat terkait dengankhalifah, yaitu: syarat 'in'iqad (syarat legalitas), dan syarat afdhaliyah (syaratkeutamaan).Adapun, syarat legalitas adalah syarat-ayarat yang wajib dipenuhisebagai syarat legalitas khilafah. Untuk legalitas ini ada tujuh syarat, yaitu:seorang muslim, laki-laki, baliqh, berakal, adil, merdeka, dan mampumelaksanakan tugas-tugas khilafah. Sedangkan, syarat afdhaliyah (syarat keuatamaan) adalah selain syarat'in'iqad (syarat legalitas), tentu hal ini harus ditetapkan berdasarkan dalilyang shahih. Dalam hal ini, Hizbut Tahrir telah membuat contohnyaseperti seorang keturunan Quraisy, mujtahid, pandai memakai senjata,dan sebagainya, diantara hal-hal yang ada dalilnya, hanya saja indikasinyatidak mengarah pada sesuatu yang tegas atau harus (ghairu ja'zim).[26]
Sebagai kesimpulan awal bahwa Hizbut Tahrir sejak awal sudah menegaskan system Khilafah Bukan pemerintahan sistem republic, bukan pula model kabinet, yangmana setiap departe mememiliki kekuasaan, wewenang, dan anggaranyang terpisah satu sama lain; ada yang lebih banyak dan ada yang lebihsedikit. Bukan pula sistem demokrasi menurut pengertian hakiki demokrasi, baikdari segi bahwa kekuasaan membuat hukum-menetapkan halal danharam, terpuji dan tercela-ada di tangan rakyat, maupun dari segi tidakadanya keterikatan dengan hukum syara' dengan dalih.Oleh karena itu, Hizbut Tahrir menolak upaya menyamakandemokrasi dengan syura, bahkan Hizbut Tahrir menolak upayamembandingkan antara keduanya. Sebab tidak boleh membandingkanantara sistem pemerintahan buatan manusia, yaitu demokrasi, dengansyura yangmerupakan pemikiran cabang dari sistem pemerintahan yanglain, yaitu sistem pemerintahan Islam.Sebab perbuatan ini seperi orangyang membandingkan antara sistem ekonomi kapitalisme dengan zakatdalam Islam, tentu hal ini tidak benar.[27]
Menegakkan Negara islam yang benar sesuai dengan ajaran islam memang merupakan impian yang idealis. Tetapi jika kemudian ada ijtihad politik kontemporer dalam menjawab tuntutan zaman selama itu masih sesuai dengan prinsip-prinsip islam tentunya juga tidak boleh dinafikkan. Karena memang tidak ada konsep Negara yang mendetail yang tersurat di dalam al-Qur’an maupun Hadis.Al-qur’an dan hadis hanya berbicara pada dataran prinsip-prinsipnya saja.Sehingga kaidah ushulmengatakan ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh. Apa yang tidak bisa dicapai semuannya, jangan juga meninggalkan semuanya. Jika sistem khilafah utopis maka demokrasi religious adalah alternatifnya. Sama dengan proses islamisasi sains yang selama ini sebagian intelektual muslim lakukan. Wallahu ‘alam



Daftar bacaan
1.       Abu Muhammad Ashim al-Maqdisi, Syaikh, Agama Demokrasi, Jateng: Kafayeh, 2008.
2.        Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Volume V No. 2, 2009.
3.       Abdillah, Masykuri, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respon intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogya: Tira Wacana Yogya, 1999.
4.       Vaezi, Ahmad, Agama Politik: Nalar Politik Islam, Jakarta: Citra, 2006.
5.       Muhsin Rodhi, Muhammad, Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Negara Khilafah Islamiyah, Bangil: al-Izzah, 2008.
6.       Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat, Jakarta: GIP, 2005,
7.       Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran Politik Islam, Jakarta: Kencana, 2010.



[1] Syaikh Abu Muhammad Ashim al-Maqdisi, Agama Demokrasi, Jateng: Kafayeh, 2008, h. 40
[2] Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Volume V No. 2, 2009, h. 95
[3] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respon intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi (1966-1993), Yogya: Tira Wacana Yogya, 1999, h. 8
[4] Jurnal ISLAMIA, op.cit., h. 92
[5]Ibid, h. 92
[6]Ibid, h. 95
[7] Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, pemikiran politik islam, Jakarta: Kencana, 2010. h. 180.
[8] Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Jakarta: GIP, 2005, h. 28.
[9]Ibid., h. 88
[10] Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, op.cit., h. 57
[11] Masykuri Abdillah, op. cit., h. 2.
[12] Ibid., h.11
[13] Ibid., h. 2-12
[14] Ahmad Vaezi, Agama Politik: Nalar Politik Islam, Jakarta: Citra, 2006, h. 228
[15] Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, op. cit., h. 236

[16]Ibid, h. 220-223.
[17] Ahmad Vaezi, op. cit.,  h, 233
[18]Ibid, h. 235-236
[19]Ibid, h. 243
[20]Ibid, h. 244-260
[21] Ibid, h. 77
[22] Muhammad Muhsin Rodhi, Tsaqofah dan Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Negara Khilafah Islamiyah, Bangil: al-Izzah, 2008, h. 301
[23]Ibid, h. 384
[24]Ibid, h. 399
[25] Ibid, h. 415
[26] Ibid, h. 415-416
[27] Ibid, h. 305

Tidak ada komentar:

Posting Komentar