Demokrasi
berasal dari bahasa Yunani, bukan dari bahasa Arab.Ini adalah bentuk dari dua
kata; demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan,
kekuasaan, atau hukum.Dengan demikian, secara letterleg, arti “demokrasi”
adalah pemerintahan rakyat atau kekuasaan rakyat atau hukum rakyat.[1]Intinya
adalah menjadikan suara rakyat suara Tuhan (vox vovuli vox dei).Kedaulatan
ditangan rakyat (government by the people). Mengapa diskursus antara Islam dan
demokrasi selalu hangat?, setidaknya perdebatan itu kemudian terpolarisasi
menjadi tiga, yaitu yang menerima demokrasi seutuhnya tanpa kritik, kemudian
yang menolaknya mentah-mentah tanpa kompromi, dan yang ketiga mencoba untuk
kompromi dan dialog dengan tetap kritis.
Dalam bahasa
Arab demokrasi diartikan ad-dimugrathiyah.Secara
bahasa terlihat bahwa demokrasi bukan berasal dari khasanah dan tradisi Islam.Dimana
aturan hukum di tangan Tuhan melalui al-Qur’an dan Sunah, tidak diserahkan kepada
suara mayoritas. Meskipun NegaraIslam tidak sama dengan konsep Negara teokrasi
(Negara tuhan). Teokrasi adalah sistem kenegaraan dimana pemerintahan dikuasai
oleh satu priesthood (sistem kependetaan), yang mempunyai hirarki (tingkat
bertingkat), dan menjalankan demikian itu sebagai wakil Tuhan di dunia.Dalam Islam
tidak dikenal priesthood semacam itu.[2]
Intelektual muslim Hafiz salih, misalnya, mengharamkan penggunaan istilah dan
konsep demokrasi, karena konsep ini berarti menegasikan kedaulatan Allah atas
manusia.[3]
Demokrasi
bukanlah sistem politik tanpa kritik, kritik yang dating bukan hanya dari Islam
(Timur) bahkan dari Barat sendiri yang notabenenya sumber demokrasi itu
sendiri.Plato (429-347 BC)menyebut empat kelemahan demokrasi.Salah satunya, pemimpin
biasanya dipilih dan diikuti karena factor-faktor non-esensial, seperti
kepintaran pidato, kekayaan, dan latar belakang keluarga.Plato memimpikan
munculnya “the wisest people” sebagai pemimpin ideal suatu Negara.[4]Akan sangat
mustahil menghadirkannya dengan sistem demokrasi. Muhammad Iqbal juga banyak
memberikan kritik terhadap konsep pemerintahan yang menyerahkan keputusannya
kepada massa yang berpikiran rendah .kata Iqbal, bagaimana pun, para semut
tidak akan mampu melampaui kepintaran Sulaiman.[5]
Pakar hukumIslam
TM. Hasbi As-Shiddieqy, dalam bukunya,
Ilmu Kenegaraan dalam Hukum Islam, bahwa terdapat segi-segi persamaan dan
perbedaan antara Islam dan demokrasi, tapi segi-segi perbedaannya lebih banyak
dari pada persamaannya, diantaranya; pertama, dari segi konsep “rakyat”. Bagi
demokrasi modern rakyat dibatasi oleh batas-batas geografi, jenis, bahasa,
dll.,bagi Islam kesatuan akidah yang
menjadi pengikat. Kedua, tujuan demokrasi Barat, baik yang modern maupun demokrasi
kuno adalah maksud keduniaan, atau tujuan materi belaka. Sementara Islam
mewujudkan kemaslahatan dunia dan akhirat .Ketiga, kekuasaan rakyat dalam
demokrasi Barat adalah mutlak.Tetapi di dalam Islam, kekuasaan rakyat dibatasi
dengan aturan-aturan Islam yang bersumber kepada al-Qur’an dan Sunnah.[6]
Al-Maududi
mengkritik demokrasi Barat, yang menurutnya mempunyai beberapa kelemahan
mendasar.Pertama, kelompok penguasa bisa saja bertindak atas nama rakyat
meskipun sebagian pikiran dan tenaga yang dikerahkannya bukan untuk rakyat,
tapi untuk melestarikan kekuasaan yang mereka pegang. Kedua, jika kekuasaan
mutlak untuk membuat legislasi berada di tangan pembuat hukum (law maker) harus
sesuai dengan selera dan opini rakyat tidak mustahil suatu ketika
tindakan-tindakan yang tidak manusiawi menjadi legal sepenuhnya bila opini
public menuntutnya.Bila sebuah legislasi dikehendaki oleh mayoritas rakyat,
meskipun bertentangan dengan ajaran moral dan agama, maka legislasi itu harus
berjalan. Sebaliknya, suatu legislasi lain betapapun benar dan adil dapat
dibatalkan jika rakyat menghendakinya.[7]bahkan
ia mengecam demokrasi sebagai sistem musyrik.
Domokrasi lahir
bukan di ruang hampa tanpa membawa nilai (value) yang melatar belakangi
kelahirannya.Menurut Bernard Lewis, pemikir politik paling berpengaruh di A.S
sesudah berakhirnya perang dingin, “sejak awal mula, kaum Kristen diajarkan
–baik dalam persepsi maupun praktis- untuk memisahkan antara Tuhan dan kaisar
dan dipahamkan tentang adanya kewajiban yang berbeda antara keduanya.[8]Demokrasi
mengharuskan adanya sekularisme, sedangkan Islam adalah agama yang didasarkan
pada kepercayaan kepada Tuhan.
Bahkan A.S
sendiri tidak percaya jika suara mayoritas itu bisa lebih baik.Ini terlihat
pada kasus 5 Desember 2000, Mahkama Agung A.S (US Supreme court), memenangkan
George W. Bush atas calon Demokrat, al-Gore.Padahal popular vote, suara rakyat,
lebih banyak berpihak pada Gore.[9]Begitu
pula halnya yang terjadi di PBB, sebuah sistem aristokratik dipertontonkan,
dimana kekuasaan PBB diberikan kepada hanya beberapa Negara yang dikenal dengan
“Bib Five”, (AS, Rusia, Perancis, Inggris, Cina).Kelima Negara ini yang
mendapatkan hak istimewa, hak veto.
B.
Demokrasi
Religius
Menghadapi penetrasi barat, sebagian
pemikir muslim ada yang bersikap apriori dan anti-Barat; ada juga yang menerima
mentah-mentah segala yang datang dari Barat, serta ada pula yang berusaha
mencari nilai-nilai positif dari peradaban dan pemikiran Barat, disamping membuang
nilai-nilai yang bertentangan dengan Islam. [10]salah
satu sistem politik Islam yang sering didiskusikan di Negara-negaraIslamadalah
istilah “demokrasi”. Istilah ini telah diterima oleh hampir semua pemerintahan
dunia; bahkan pemerintahan-pemerintahan otoriter sekalipun menggunakan atribut
“demokrasi” untuk memberikan cirri kepada rezim dan aspirasi mereka. Akibatnya
adalam menjamurnya penggunaan kata “demokrasi”, seperti demokrasi liberal,
demokrasi terpimpin, demokrasi kerakyatan , demokrasi social, dan sebagainya.
Perubahan penggunaan semacam itu sebagian dimaksudkan untuk membawa konsep
demokrasi lebih dekat kepada kultur masyarakat tertentu dan sebagian lagi
dimaksudkan untuk menjustifikasisistem
politik yang diajukan oleh pemerintah tersebut.[11]
Respon
intelektaul muslim terhadap demokrasi sangat berkaitan erat dengan
karakteristik pemikiran Islam yang dapat diklasifikasi menjadi lima bentuk
yaitu tradisional, reformis, modernis, fundementalis, dan neo-modernis.[12]kaum
tradisionalis adalah mereka yang memegangi pemikiran Islam dari ulama abad
pertengahan tanpa melakukan usaha-usaha untuk mengubah bentuknya secara
subtantif, termasuk merespon masalah-masalah kemasyarakatan kontemporer. Kaum
reformis adalah mereka yang melakukan usaha-usaha reinterpretasi doktrin Islam
dan menantang penyimpangan agama atau bid’ah yang bertentangan dengan al-Qur’an
dan sunnah. Kaum modernis kaum modenis adalah mereka yang melakukan artikulasi
dan upaya penyadaran untuk mereformulasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam
dalam istilah-istilah pemikiran modern atau untuk menyatukan pemikiran dan
institusi-institusi pemikiran modern dengan tradisi Islam.sedangkan kaum
fundamentalis adalah mereka yang membela doktrin Islam dan menegaskan
superioritas Tuhan, melakukan usaha-usaha untuk mengimplementasikannya secara
total, dan neo-modernis adalah mereka yang melakukan usaha-usaha untuk
menemukan titik temu antara kaum Islam modernis dengan kaum Islam tradisional.[13]Respon
yang beragam terhadap demokrsi kemudian mengkerucut menjadi tiga yaitu yang
menerima, menolak dan yang mendialogkan antara Islam dan demokrasi. Karena
susungguhnya demokrasi bukan sistem politik yang baku dan stagnan tetapi
bersifat fleksibel yang terus mengalami evolusi-evolusi dan perubahan-perubahan
sehingga memunculkan istilah-istilah demokrasi yang bersanding dengan konsep
lain.
Banyak
intelektual Muslim menerima konsep demokrasi dengan modifikasi tertentu sesuai
dengan ajaran Islam.sehingga memunculkan istilah-istilah seperti Demokrasi
Religius, Teo Demokrasi istilah dari al-Maududidan Demokrasi Teistik (Theistic
Democracy) istilah dari Natsir.Tanpa dijelaskan bahwa “demokrasi murni” yang
mendelegasikan semua dimensi-dimensi urusan public termasuk legislasi dari
pemerintahan mayoritas tanpa batas, adalah mutlak tidak kompatibel dengan Islam.Pada
dasarnya semua aliran pemikiran, ideology dan agama yang menganut suatu
rangkaian kepercayaan, nilai-nilai atau peraturan-peraturan yang independen
dari kehendak atau keinginan rakyat tidak setuju dengan demokrasi tanpa
batas.Nilai-nilai dan peraturan ini harus dilindungi dan tidak dapat diserahkan
kepada kehendakmayoritas, sebab mayoritas dalam setiap bentuk demokrasi selalu
berubah dan tidak stabil.[14]
Berbicara DR
(Demokrasi Religius) tentunya tidak pernah lepas dari perbincangan para
intelaktual muslim dalam merumuskannya, tidak ada konsep yang baku, tetapi
terdapat persamaan-persamaan yang subtansial. Untuk melihat posisi DR tentunya
harus melihat dinamika pemikiran politik Islam dalam menghadapi penetrasi
politik Barat. Setidaknya arus pemikiran politik islam dalam merespon Barat
terbagi menjadi tiga arus pemikir. Kelompokpertama,
mengembangkan gagasan kesempurnaan ajaran islam dan menolak pengaruh-pengaruh
pemikir Barat. Muhammad Rasyid Ridha, Hasan al-Banna, al-Maududi, dan Sayyid
Quthb temasuk tokoh-tokoh yang merindukan sistem khilafah universal atau Negara
supranasional tanpa sekat geografis.
Kelompok kedua, berusaha memisahkan islam dari
politik. Islam adalah sesuatu dan politik adalah sesuatu yang lain. Keduanya tidak
boleh disatukan.Tokoh-tokohnya adalah Musthafa Kamal Ataturk, Ali Abdurraziq,
dan Thaha Husein.Kelompok ketiga,
berusaha menjembatani kedua arus pemikiran yang bertentangan di atas.Mereka
tidak menolak mentah-mentah pemikiran yang berasal dari Barat, tetapi juga
tidak menerima begitu saja warisan pemikir Islam yang tidak sesuai dengan
kondisi dan situasi yang berkembang.Tokoh-tokohnya adalah Sayyid Jamaluddin
al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, Muhammad Syaltut, dan Mohammad
Natsir.[15]Dari
tiga kelompok di atas nampaknya kelompok ketiga yang menerima demokrasi dengan
syarat tertentu yang kemudian dimodifikasi menjadi demokrasi religious (DR).Penulis
akanmenfokuskan mengambil pemikiran Mohammad Natsir dalam menjelaskan demokrasi
leligius.
Sejak Awal
Natsir berpendirian bahwa islam bukan hanya agama sekedar agama pribadi yang
mengurus soal-soal hubungan manusia kepada Tuhan. Islam adalah agama yang
lengkap mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk politik
kenegaraan.Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan politik. Memang
kalau diteliti ayat-ayat al-Qur’an dan hadis Nabi, tidak ada satu pun
pemerintah untuk menegakkan agama. Namun bagi Natsir, Negara diperlukan baik
ada ataupun tidak ada perintah islam. Menurutnya, tidak perlu ada perintah
untuk mendirikan Negara.Yang diperlukan adalah patokan-patokan untuk mengatur Negara
supaya Negara menjadi subur dan kuat serta menjadi wasilah bagi tercapainya
tujuan hidup manusia dan bagi keselamatan mereka.
Tentang pemimpin
Negara, bagi Natsir, namanya bisa saja berbeda-beda dan tidak harus bergelar
khalifah. Yang penting adalah bahwa kepala Negara haruslah ulilamrkaum muslimin keturunan bangsa tersebut dan sanggup
menjalankan peraturan-peraturan islamdalam susunan kenegaraan. Karenanya,
Natsir mengharuskan kepala Negara haruslah berwibawa, amanah, cinta agama, dan
cinta tanah air. Bagaimana bentuk hubungan antara agama dan politik?, Menurut
Natsir, al-Qur’an dan sunah memang tidak berbicara tentang masalah-masalah
teknis seperti penentuan Anggaran Belanja Negara, peraturan valuta, aturan
devisa, dan 1001 permasalahan lainnya. Al-Qur’an dan sunah hanya mengatur
dasar-dasar dan pokok-pokok peraturan hubungan sesama manusia.
Islam mengatur
sifat-sifat yang perlu ada bagi kepala Negara serta hak dan kewajibannya. Agama
islam menetapkan kewajiban melakukan musyawarah terhadap permasalahan yang
tidak diatur al-Qur’an dan sunah untuk mencapai kemaslahatan. Islam menetapkan
hak dan kewajiban antara penguasa dan rakyat.Islam menetapkan aturan pembasmi
macam-macam penyakit masyarakat.Islam menetapkan beberapa peraturan tentang
perekonomian seperti tertuang dalam kewajiban membayar zakat, sedekah, dan
larangan riba. Berdasarkan pandangan ini, Natsir tidak menolak kemungkinan diterapkannya
sistem pemerintahan Barat, sejauh tidak bertentangan dengan nilai-nilai ajaran
islam. Dalam hal ini menarik dicatat pandangan Natsir tentang ddemokrasi Barat.
Natsir yakin bahwa prinsip-prinsip islam tentang syura (musyawarah) lebih dekat
dengan rumusan demokrasi modern. Natsir, dengan demikian, dapat menerima
eksistensi parlemen sebagai representasi pelaksanaan musyawarah tersebut. Namun
yang ditolak adalah semangat demokrasi modern yang berlatar belakang kultur
sekuler Barat. Karena itu, Natsir memandang bahwa pengambilan keputusan dalam
syura harus mengacu pada prinsip-prinsip etik keagamaan.Dengan demikian, natsir
berusaha mendamaikan teori kedaulatan rakyat dengan teori kedaulatan
Tuhan.Islam menganut paham theisticdemocracy,
yaitu demokrasi yang berlandaskan nilai-nilai ketuhanan.[16]
Pemikiran Natsir memperlihatkan demokrasi dengan wajah lain, bentuk yang tidak
sekuler.
Konsep Demokrasi
Religius, Demokrasi yang berketuhanan dalam pandangan beberapa pemikir islam,
diantaranyaRashid al-Ghannouchi (Tunisia lahir 194 M) menulis: pemerintahan Islam
adalah pemerintahan yang:
1. Otoritas
legislative tertinggi adalah syariah, yang merupakan hukum-hukum Ilahiyah dari Islam
yang mengatasi semua hukum-hukum.
2.
Kekuasaan
politik ada di tangan Masyarakat (Ummah), yang harus mengadopsi bentuk syura
sebagai suatu sistem konsultasi mandat.
Pemikir seperti
Sadek Sulaiman (Oman, Lahir 1933 M) menegaskan bahwa syura dalam Islam termasuk
unsure-unsur pokok dalam demokrasi. Dia berkata: “sebagai sebuah konsep dan sebuah prinsip, syura dalam Islam tidak
berbeda dengan demokrasi. Baik syura atau demokrasi muncul dari pertimbangan
pokok bahwa diskusi kolektif lebih cendrung membawa suatu hasilyang adil dan
sehat untuk kepentingan social ketimbang preferensi individual.[17]
Semangat musyawarah (syura) terdapat dalam beberapa surat yaitu
QS. Asy-Syura: 38,
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima
(mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka
(diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian
dari rezki yang kami berikan kepada mereka.”
QS. Ali Imran:
159, “…mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu.”
Akan terkesan berlebihan
jika menyamakan bahwa syura adalah sama secara fungsional dengan demokrasi
parlementer Barat. Syura hanya dalam urusan-urusan social dan politik.Seperti
ketika nabi berkonsultasi dengan para sahabat berkaitan dengan perang Badr dan
Uhud. Beliau memberikan preseden penghormatan terhadap opini mayoritas muslim
ketimbang opininya sendiri. Akan tetapi jelas bahwa nabi tidak berkonsultasi
dengan umat muslimin tentang urusan-urusan keagamaan atau hal-hal yang bersifat
Ilahiyah.[18]Menutup
penjelasan DR bahwa karena ada keterbatasan dari kehendak dan
keinginan-keinginan rakyat, mereka mempunyai otoritas dalam rangka
peraturan-peraturan dan nilai-nilai Islam.Oleh karenanya, mayoritas dari rakyat
atau wakil-wakil mereka tidak mempunyai kekuasaan untuk membuat legislasi atau
keputusan-putusan yang bertentangan dengan hukumIslam.Konstitusionalisme religius
ditentukan oleh otoritas syariah.Oleh karena itu, pemerintahan religius tidak
hanya bertanggung jawab berkaitan dengan hak-hak dan kebutuhan masyarakat, tapi
juga harus bertanggungjawab pada syariah dan hukum-hukum Ilahiyah.[19]
Demokrasi
religious bukan berarti lepas dari kritik dari para penentangnya. Ada beberapa
kritik yang mendasar yaitu, pertama,
DR adalah paradoksal. DR mengabaikan sifat yang alami dari agama dan
mengabaikan pula fondasi-fondasi epistemology demokrasi. Kedua, mengambil alih kekuasaan Tuhan.Prinsip ini bertentangan
dengan Islam karena melibatkan legislasi hukum, banyak ayat-ayat al-Qur’an yang
menunjukkan bahwa legislasi adalah untuk Allah swt.Ketiga, problem kesamaan hukum.
Terdapat tiga kelompok masyarakat, yaitu warga non-muslim, budak, dan
wanita-manita tidak memiliki kesamaan dibanding warga muslim pria yang merdeka.[20]Meskipun
ketiga poin di atas telah dijawab dengan cukup baik oleh pengusung demokrasi
religious.
C.
Konsep
Khilafah
Khilafah secara esensial berarti
penerus, atau orang yang memegang posisi yang sebelumnya dipengan orang lain.
Akan tetapi kata ini tidak terbatas pada konteks otoritas politik saja.Jadi,
seorang khalifah (caliph) bukan saja berarti penerus dari pemerintah yang
terdahulu, tapi bisa juga seorang yang secara definitive ditunjuk sebagai wakil
dan diberi otoritas oleh orang yang menunjukkanya. Atau lebih kurang sama
artinya dengan wakil, naib (vicegerent).[21]
Hizbut Tahrir, organisasi politik yang sejak awal mengusung khilafah sebagai
konsep pemerintahan Islam yang sah tentunya memiliki konsep sendiri.
Sebelum
menggambarkan konsep khilafah secara terbatas, penulis akan memberikan catatan
bagaimana Hizbut Tahrir (HT), organisasi politik transnasional yang didirikan
oleh asy-Syekh Taqiyuddin an-Nabhani (berdiri 28 Jumadil Tsani 1372 H./14Maret
1953 M) di Yordania yang menggusung ide dan gagasan tentang Khilafah memandang
demokrasi. Setelah menjelaskan konsep demokrasi yang paradok dengan Islam, HT
kemudian memutuskan bahwa,kaum Muslim haram mengambil demokrasi dan
mendakwahkannya;mendirikan partai politik berasaskan demokrasi; mengambil
demokrasisebagai pandangan hidup atau menerapkannya; menjadikannya sebagaiasas
bagi UUD dan undang-undang; menjadikannya sebagai sumber diantara sumber-sumber
UUDdan undang-undang;menjadikannya senagaiasas pendidikan dan tujuannya; dan
kaum Muslim wajib membuangnyasecaramenyeluruh. Demokrasi itu najis, hukum
thaghut, kufur, pemikirankufur, sistem kufur, dan undang-undang kufur. Apalagi
demokrasi, samasekali tidak memiliki hubungan apapun dengan Islam[22]
Di dalam tesis
yang berjudul Tsaqofah dan Metode Hizbut
Tahrir dalam Mendirikan Khilafah Islamiyah yang menjadi kitab panduan,
metode, dan langkah HT dalam menegakkan
khilah di seluruh dunia membahas konsep khilafah secara mendetaildan cukup
luas. Agar tidak melebar terlalu luas dan keterbatasan penulis maka penulis
membatasi pada pokok-pokok konsep khilafah, sebagai gambaran singkat.HT
mengklaim bahwa khilafah adalah sistem pemerintahan Islam, dan menjadi wajib
degan legitimasi dari al-Qur’an surat al-Maidah: 48-49, dan beberapa hadis nabi
serta ijma’ para sahabat setelah wafatnya Rasulullah sehingga setiap muslim
wajib beraktifitas dalam rangka menegakkan khilafah.
Definisi
khilafahmenurutHT ialah "Kepemimpinan umumbagi seluruh kaumMuslim di dunia
untuk menegakkan hukum-hukumperundang-undangan Islam dan mengemban dakwah Islam
ke seluruhdunia".Khilafah adalah Imamah. Imamah dan khilafah itu artinya
sama.Banyak hadis-hadis shahih yang menjelaskan dua kalimat ini
denganpengertian sama. Di dalam nash-nash syara' tidak terdapat untuk salahsatu
dari keduanya pengertian yang menyelisihi pengertian yang lainnya,tidak dalam
al-Qur'an dan tidak pula dalam as-Sunnah, karena hanyakeduannyalah yang menjadi
nash-nash syara'.Dan dalam hal ini tidaklahwajib terikat hanya dengan kata ini,
yakni Imamah atau Khilafah.Sebab,yang wajib hanyalah terikat dengan substansi
pengertiannya.[23]
Berkaitan dengan
pilar suatu Negara Islam (khilafah) HT berpendapat setelah mengkaji dan
menelitidalil-dalil syara', bahwa sistem pemerintah Islam itu tegak diatasempat
pilar berikut:Pilar pertama :
Kedaulatan di tangan syara', bukan di tangan umat.Pilar kedua : Kekuasaan di tangan umat.Pilar ketiga : Mengangkat satu khalifah adalah wajib atas
kaumMuslim.Pilar keempat : Hanya
khalifah yang memiliki hak men-tabanni(mengadopsi)
hukum-hukum syara', keempat hal di atas merupakan pilar-pilarpemerintah Islam.
Dan essensi pemerintah Islamtidak ada kecuali dengankeempat pilar
tersebut.Apabila ada salah satu dari keempat pilar itu yanghilang, maka
hilanglah esensi pemerintahan Islam itu.[24]
Disamping empat pilar tersebut di atas, HT kemudian menyusun struktur pemerintahan
Negara Islam (khilafah) dengan mengadopsi system yang pernah ada di Madinah
al-Munawwarah sebagai berikut:1. Khalifah,2.Para Mu'awin at-Tafwidh (Wuzara'
at-Tafwidh),3.Wuzara' at-Tanfidz,4.Para wali (gubernur),5.Amir
al-Jihad (Panglima Perang),6. Keamanan Dalam Negeri,7. Urusan Luar
Negeri,8. Industri,9.Peradilan (al-Qadho'),10.Mashalih an-Nas (Kemaslahatan
Umum),11. Baitul Mal,12. Lembaga Informasi dan 13.Majelis Umat.[25]
Yang juga
penting dibahas di sini adalah konsep Khalifah (pemimpin), syarat seorang khalifah.
Ada dua macam syarat terkait dengankhalifah, yaitu: syarat 'in'iqad (syarat
legalitas), dan syarat afdhaliyah (syaratkeutamaan).Adapun, syarat
legalitas adalah syarat-ayarat yang wajib dipenuhisebagai syarat legalitas
khilafah. Untuk legalitas ini ada tujuh syarat, yaitu:seorang muslim,
laki-laki, baliqh, berakal, adil, merdeka, dan mampumelaksanakan tugas-tugas khilafah.
Sedangkan, syarat afdhaliyah (syarat keuatamaan) adalah selain
syarat'in'iqad (syarat legalitas), tentu hal ini harus ditetapkan berdasarkan
dalilyang shahih. Dalam hal ini, Hizbut Tahrir telah membuat
contohnyaseperti seorang keturunan Quraisy, mujtahid, pandai memakai
senjata,dan sebagainya, diantara hal-hal yang ada dalilnya, hanya saja
indikasinyatidak mengarah pada sesuatu yang tegas atau harus (ghairu ja'zim).[26]
Sebagai
kesimpulan awal bahwa Hizbut Tahrir sejak awal sudah menegaskan system Khilafah
Bukan pemerintahan sistem republic, bukan pula model kabinet, yangmana setiap
departe mememiliki kekuasaan, wewenang, dan anggaranyang terpisah satu sama
lain; ada yang lebih banyak dan ada yang lebihsedikit. Bukan pula sistem
demokrasi menurut pengertian hakiki demokrasi, baikdari segi bahwa kekuasaan
membuat hukum-menetapkan halal danharam, terpuji dan tercela-ada di tangan
rakyat, maupun dari segi tidakadanya keterikatan dengan hukum syara' dengan
dalih.Oleh karena itu, Hizbut Tahrir menolak upaya menyamakandemokrasi dengan syura,
bahkan Hizbut Tahrir menolak upayamembandingkan antara keduanya. Sebab tidak
boleh membandingkanantara sistem pemerintahan buatan manusia, yaitu demokrasi,
dengansyura yangmerupakan pemikiran cabang dari sistem pemerintahan
yanglain, yaitu sistem pemerintahan Islam.Sebab perbuatan ini seperi orangyang
membandingkan antara sistem ekonomi kapitalisme dengan zakatdalam Islam, tentu
hal ini tidak benar.[27]
Menegakkan
Negara islam yang benar sesuai dengan ajaran islam memang merupakan impian yang
idealis. Tetapi jika kemudian ada ijtihad politik kontemporer dalam menjawab
tuntutan zaman selama itu masih sesuai dengan prinsip-prinsip islam tentunya
juga tidak boleh dinafikkan. Karena memang tidak ada konsep Negara yang mendetail
yang tersurat di dalam al-Qur’an maupun Hadis.Al-qur’an dan hadis hanya
berbicara pada dataran prinsip-prinsipnya saja.Sehingga kaidah ushulmengatakan ma la yudraku kulluh la yutraku kulluh. Apa yang tidak bisa dicapai
semuannya, jangan juga meninggalkan semuanya. Jika sistem khilafah utopis maka
demokrasi religious adalah alternatifnya. Sama dengan proses islamisasi sains
yang selama ini sebagian intelektual muslim lakukan. Wallahu ‘alam
Daftar bacaan
1. Abu
Muhammad Ashim al-Maqdisi, Syaikh, Agama
Demokrasi, Jateng: Kafayeh, 2008.
2. Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA,
Volume V No. 2, 2009.
3. Abdillah,
Masykuri, Demokrasi di Persimpangan
Makna, Respon intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep Demokrasi
(1966-1993), Yogya: Tira Wacana Yogya, 1999.
4. Vaezi,
Ahmad, Agama Politik: Nalar Politik
Islam, Jakarta: Citra, 2006.
5. Muhsin
Rodhi, Muhammad, Tsaqofah dan Metode
Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Negara Khilafah Islamiyah, Bangil: al-Izzah,
2008.
6. Husaini,
Adian, Wajah Peradaban Barat, Jakarta:
GIP, 2005,
7. Muhammad
Iqbal & Amin Husein Nasution, Pemikiran
Politik Islam, Jakarta: Kencana, 2010.
[1]
Syaikh Abu Muhammad Ashim al-Maqdisi, Agama
Demokrasi, Jateng: Kafayeh, 2008, h. 40
[2]
Jurnal Pemikiran dan Peradaban Islam ISLAMIA, Volume V No. 2, 2009, h. 95
[3]
Masykuri Abdillah, Demokrasi di
Persimpangan Makna, Respon intelektual Muslim Indonesia Terhadap Konsep
Demokrasi (1966-1993), Yogya: Tira Wacana Yogya, 1999, h. 8
[4]
Jurnal ISLAMIA, op.cit., h. 92
[5]Ibid, h. 92
[6]Ibid, h. 95
[7]
Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, pemikiran politik islam, Jakarta:
Kencana, 2010. h. 180.
[8]
Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat, Jakarta:
GIP, 2005, h. 28.
[9]Ibid., h. 88
[10]
Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, op.cit., h. 57
[11]
Masykuri Abdillah, op. cit., h. 2.
[12]
Ibid., h.11
[13]
Ibid., h. 2-12
[14]
Ahmad Vaezi, Agama Politik: Nalar Politik
Islam, Jakarta: Citra, 2006, h. 228
[15]
Muhammad Iqbal & Amin Husein Nasution, op. cit., h. 236
[16]Ibid, h. 220-223.
[17]
Ahmad Vaezi, op. cit., h, 233
[18]Ibid, h. 235-236
[19]Ibid, h. 243
[20]Ibid,
h. 244-260
[21]
Ibid, h. 77
[22]
Muhammad Muhsin Rodhi, Tsaqofah dan
Metode Hizbut Tahrir dalam Mendirikan Negara Khilafah Islamiyah, Bangil: al-Izzah,
2008, h. 301
[23]Ibid, h. 384
[24]Ibid, h. 399
[25]
Ibid, h. 415
[26]
Ibid, h. 415-416
[27]
Ibid, h. 305
Tidak ada komentar:
Posting Komentar