Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Jumat, 11 Januari 2013

Studi Islam


THEOLOGI DIALEKTIS DAN PERKEMBANGAN DOGMA[1]
Fazlur Rahman[2]
Reviewer : Syahrul
20121010016

Tahap awal –Mu’tazilah-Asy’ariyyah dan Maturidiyyah-Filsafat dan Kalam.
TAHAP AWAL
Al-Qur’an pada hakekatnya adalah dokumen keagamaan dan etika yang bertujuan praktis menciptakan masyarakat yang bermoral baik dan adil, yang terdiri dari manusia-manusia yang saleh dan religius dengan kesadaran yang peka dan nyata akan adanya satu tuhan yang memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan. Yang menarik kemudian di dalam al-Qur’an pembahasan teori ketuhanan sangat sedikit. Beberapa pembahasan bukan menekankan pada eksistensi tuhan tetapi adalah untuk melukiskan keagungan-Nya yang hidup dan keindahan-Nya yang penuh tujuan. Penekanan al-Qur’an adalah pada Iman dan tindakan.
Ajaran al-Qur’an dan Nabi yang sederhana tapi praktis dan efektif mengalami pergolakan pada masa kekhalifahan ‘Utsman dan Ali. Perpecahan dan keguncangan ummat kemudian memuncak pada Daulat Umayyah. Kaum Umayyah tetap mempertahankan sistem kekhilafahan dan agama sebagai dasar Negara dan menerima syari’ah sebagai konstitusi tetapi kehilangan subtansi dan berlawanan dengan tujuan syaria’ah dan agama. Meskipun diakui tidak semuanya berprilaku tidak islami tetapi telah melenceng jauh dari tuntutan-tuntutan pemimpin keagamaan umat ketika itu.
Berawal dari pergolakan politik pada masa ‘Utsman, Ali sampai Daulat Umayyah kemudian muncul gejolak-gejolak spekulasi yang belahirkan aliran-aliran theologi[3] dan bagaimana mereka mengkonstruk dogma theologi mereka. Sebuah pertayaan yang muncul adalah apakah seorang muslim masih bisa disebut Muslim setelah ia melakukan dosa besar? Atau apakah iman dalam hati saja sudah cukup, atau haruskah ia dinyatakan dalam perbuatan? Sekte Khawarij (yang ‘menyisihkan diri’) yang ekstrim, berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak bisa lagi disebut muslim, dan akan melancar jihad pada penguasa dan masyarakat atas nama idealism yang ekstrim dan transenden yang digabungkan dengan fanatisme tanpa kompromi. Berbeda dengan kaum Murji’ah (Murjiah berarti orang-orang yang ‘menangguhkan‘ penghakiman atas orang sampai hari Akhir nanti)  yang tidak berdaya dan menyerah terhadap rezim Umayyah menyatakan bahwa iman dalam hati saja cukup bagi seseorang untuk bisa disebut Muslim, dan perbuatan amal tidaklah esensial. Dan menyerukan agar masyarakat tidak melakukan penghakiman atas seorang pelaku dosa besar yang nasibnya akan diputuskan oleh Allah di hari Kiamat. Bagi mereka keputusan hanyalah hak Allah saja.
 Kemunculan untuk pertama kali kaum Murji’ah yang mewakili pandangan yang kalem dan moderat dalam menghadapi kelompok yang menentang atau pun yang mendukung Ali. Sikap netral dalam pertengkaran politik antara Ali dan lawan-lawanya mengantarkan meraka juga disebut kaum Mu’tazilah (netralis), lalu memperoleh sebutan Jabariyyah atau ‘Predeterminis’. Tradisi netralis dalam politik ini lah yang merupakan mayoritas sahabat dan masyarakat Madinah pada masa itu sampai masa menanjaknya Bani Umayyah di Madinah.
MU’TAZILAH
Sebelum islam, Iraq memang sudah menjadi ajang pertarungan ide-ide dan teori-teori yang datang dari berbagai arah. Hellenisme, agama Kristen, gnostisisme, dan dualisme manikean dan unsure-unsur Budhisme memberikan bahan-bahan ide untuk spekulasi moral, agama dan filosofis. Meskipun dorongan untuk melakukan perenungan mula-mula ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa dalam islam sendiri.
Adalah Hasan al-Bashri (w. 110 H/728 M) yang mewakili kesalehan warga Madinah dalam konsep theologinya dengan tegas menolak penafsiran deterministik[4] dalam islam, dan memandang manusia bertanggungjawab atas perbuatannya. Sikap tersebut lebih banyak didorong oleh motif kesalehan dari pada rasa ingin tahu spekulatis dan kecermatan filosofis. Tetapi kadang-kadang beliau berargumentasi (berdasarkan al-Qur’an) bahwa semua perbuatan manusia bersumber pada dirinya, dan ia bertanggungjawab atas perbuatannya itu dan di waktu yang lain ia menyatakan bahwa semua kebaikan haruslah dinisbatkan kepada Allah, sedangkan semua kejahatan haruslah dirujukkan kepada syeitan dan manusia sendiri (juga berdasarkan al-Qur’an). Menurut Fazlur Rahman setidaknya ada dua motif dari Hasan al-Bashri yaitu untuk mengamankan Kebaikan Allah dan untuk membuat manusia beratanggungjawab terutama atas perbuatan-perbuatan jahat.
Pendapat ini ditentang oleh mereka yang berpikir sistematis, dan tidak bisa menerima penolakan terhadap determinisme dan menyuarakan opini mereka yang mendukung otoritas manusia yang tegas atas perbuatannya sendiri: hanya dengan demikianlah pujian dan celaan, pahala dan hukuman bagi manusia serta keadilan Tuhan bisa dipahami. Kaum Khawarij memandang pelaku dosa besar sama saja dengan orang kafir, sebagian besar kaum muslimin memandangnya sebagai ‘muslim yang berdosa’, maka kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang seperti itu bukanlah orang muslim, tetapi bukan pula orang kafir. Doktrin ini dikenal sebagai doktrin ‘posisi tengah’ (al-manzilah bayna al-manzilatayn). Kemungkinan doktrin ini kemudian menjadi nama bagi Mu’tazilah (kaum netralis), meskipun versi sunni berbeda, pemberian nama Mu’tazilah ketika pendirinya Washil Ibnu ‘Atha’ (80-131 H/699-749) ‘memisahkan diri’ (I’tazala) dari kelompok Hasan al-Bashri. Orientalsi Goldzihe mengingkari dengan menyatakan bahwa nama tersebut (akar kata bahasa Arabnya berarti ‘absen dari’, ‘menjadi netralis’, ‘berada di sisi’ menunjukkan kepada sifat mereka yang saleh dan tak suka ikut campur dalam pertentangan pendapat.
Pada asalnya, kaum Mu’tazilah bukanlah pemikir-pemikir bebas seperti yang kadang-kadang disebut orang. Mereka bukanlah rasionalis murni (walau pun mereka mengklaim bahwa akal adalah sumber kebenaran moral yang sama derajatnya dengan wahyu), walaupun dorongan berpikir sistematis terhadap dogma berbeda dengan islam tradisional. Doktrin kemerdekaan berkehendak manusia seperti dicanagkan oleh kaum Mu’tazilah segera menjadi bagian dari konsep theologies mengenai ‘keadilan Tuhan’ dan mengalahkan segi aslinya, yaitu kemerdekaan dan tanggungjawab manusia. Tuhan tidak bisa melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dan tak adil. Dalam doktrin ‘janji dan ancaman’ tuhan tidak mengampuni pelaku kejahatan (karena akan melanggat janjinya sendiri) ataupun menghukum pelaku kebaikan. Tuhan bukan saja akan menjadi tidak adil bila Ia tidak melaksanakan janji-janji dan ancaman-Nya, tapi bahkan Ia akan menjadi pembohong. Doktrin-doktrin ini dikembangkan  secara paten dalam pengaruh Hellenisme dan stoikisme serta stoa       
  Tak pelak lagi Mu’tazilah dituduh sebagai humanisme yang ekstrim di mata kaum ortodoks, mereka menegaskan bahwa Tuhan berada di luar konsep manusia tentang keadilan : apa yang dipandang manusia sebagai keadilan Tuhan tidaklah berarti demikian bagi-Nya; tetapi apa yang diperbuat-Nya bagi manusia memang tampak adil dan rasional bagi manusia. Jadi kaum Mu’tazilah menempatkan ide tentang Tuhan dalam lingkaran ide tentang keadilan manusia, sementara kaum ortodoks menempatkan ide tentang keadilan dalam lingkaran ide tentang Tuhan.
Dalam masalah sifat-sifat Tuhan, mu’tazilah melangkah ke batas yang lebih ekstrim. Mereka menyingkirkan dan menolak semua sifat-sifat Tuhan. Tuhan adalah zat semata-mata tak memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang abadi, dan pengakuan akan adanya sifat-sifat tersebut menurut mereka adalah syirik atau polytheisme. Sementara ortodoks lebih mengartikan pada kemutlakan sifat-sifat Tuhan, kekuasaan, pengetahuan, kehendak-Nya, dan lain-lain. Kaum Mu’tazilah dicap sebagai mu’aththilah, yakni orang  yang membuang semua kandungan zat Tuhan. Mu’tazilah menuduh balik kepada ortodoks sebagai telah melakukan tasybih atau menyerupakan Tuhan dengan manusia.
Mu’tazilah membawa rasionalismenya sedemikian jauhnya dengan mensejajarkan kemampuan akal dengan wahyu dalam menemukan kebenaran agama. Mereka tidak hanya puas dengan pernyataan superioritas akal atas tradisi, tetapi lebih jauh menyemakan derajatnya dengan firman Tuhan sebagai petunjuk agama. Implikasinya mereka tidak bisa menerima Firman Tuhan sebagai sifat-Nya, sehingga mereka mengatakan bahwa al-Qur’an sebagai ‘kata yang dicipta’ (makhluk). Dalam masalah sifat-sifat tuhan pemikiran Mu’tazilah sangat kental dipengaruhi ole hide-ide Hellenistik. Paham inilah kemudian menimbulkan peristiwa penindasan dan penyiksaan terhadap Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H/855 M) yang menolak dogma Mu’tazilah. Dari sini kemudian terlihat relasi antara theology yang dominan, mayoritas (di dukung penguasa) dengan theologi minoritas tidak harmonis.
ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH    
Tokoh yang paling tersohor dari gerakan ini, yang menjungkirbalikkan posisi kaum Mu’tazilah dengan dialektika mereka sendiri adalah Abu Hasan al-Asy’ari (w. 330 H/942 M) yang memisahkan diri dari guru Mu’tazilahnya al-Jubba’I, dalam mempertahankan pendapatnya bahwa keadilan Tuhan tak dapat ditentukan dalam batas-batas manusia. Tentang masalah kemerdekaan manusia, berdasarkan teks-teks tertentu al-Qur’an, ia menegakkan doktrinnya tentang ‘perolehan’.menurut doktrin ini semua perbuatan manusia telah diciptakan sebelumnya oleh Tuhan, tetapi perbuatan-perbuatan itu sendiri menempelkan diri pada kehendak manusia yang dengan demikian ‘memperolehnya’. Manusia memiliki kesadaran bahwa ia menguasai perbuatan-perbuatan yang dipilih dan dikerjakannya dengan sadar. Prinsip yang tampaknya berlaku di sini adalah bahwa semua kekuasaan adalah milik Allah sedangkan tanggungjawab pada manusia.
Dalam masalah ketuhanan al-‘Asy’ari mengajarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat ril dan abadi, tetapi berusah menjaga diri dari antropomorfisme. Sifat-sifat Tuhan tidak identik dengan Zat-nya, tapi juga tidak berbeda dipada-Nya. Mengenahi pahala dan siksa, ia menekankan baik Kekuasaan Tuhan yang mutlak maupun kasih sayang dan Rahmat-Nya; Ia dapat saja menghukum dan member pahala menurutkehendak-Nya. Ini bukan berarti Tuhan bersifat bijaksana tapi untuk menyatakan sikap beraga yang rendah hati dan takut kepada Allah. Dalam hal ini al-‘Asy’ari meneguhkan paham ortodoks sekaligus menentang paham Mu’tazilah yang membatasi kekuasaan Tuhan.
Sistem theology yang tumbuh berbarengan dengan Mu’tazilah adalah Abu Manshur al-Maturidiyyah atau Maturidisme (w. 333 H/945 M) di daerah Samarkand di Transoxiana. Dalam masalh pokok terdapat kesamaan denga al-Asy’ary tetapi berbeda dalam beberapa hal yang penting. Sama dengan al-Asy’ari bahwa semua perbuatan manusia dikehendaki oleh Allah, tetapi berbeda dengan al-Asy’ari bahwa perbuatan jahat tidaklah diiringi oleh ridha Tuhan. Disamping menekankan kekuasaan Tuhan tetapi masih mengakui effikasi (kekuatan) kehendak manusia. Meskipun dalam perkembangan selanjutnya menyatakan dengan tegas kemerdekaan mutlak manusia dalam perbuatannya.
Sebuah masalah yang penting yang jadi perdapatan di antara dogmatis-dogmatis dan theology-theologi islam adalah tentang ‘derajat iman’ yang berkaitan dengan iman dan amal. Kaum Mu’tazilah dan Khawarij berpendapat bahwa amal meruakan bagian yang esensial dari iman dan derajat iman bisa naik turun, bersifat kuantitatif dan bisa mencapai derajat nol, meskipun orang tersebut masih mengaku beriman. Sebaliknya Murji’ah mempercayai bahwa kualitas iman tidak bisa dianalisis dan bersifat sederhana, tidak mempunyai tingkatan-tingkatan atau ukuran. Kaum Sunni berada pada posisi dua kutub ekstrim[5], yang cendrung ke doktrin Murji’ah, bahwa pengakuan iman yang tulus, maka orang telah memiliki iman yang tak bisa berkurang dan tak dapat dihilangkan oleh perbuatan lahir yang bagaimana pun juga, walau kadar iman tersebut bisa naik dan bisa turun dari kadarnya semula.
Menarik untuk menghadirkan pendapat Wan Daud[6] tentang Iman dan amal, ia mengidentifikasi beberapa aliran teologi sofis[7] yaitu al-la adriyah atau gnostik yang selalu mengatakan tidak tahu dan ragu-ragu. Kedua, al-indiyyah, mereka yang selalu bersikap subjektif. Ketiga, al-anadiyyah, yaitu “menurut saya”, bergantung pada pendapat masing-masing. Diakhir tulisan dengan tegas ia mengembil posisi bahwa Allah menganugrahi akal manusia untuk berpikir, dan untuk sampai pada derajat keyakinan yang tentu saja pada level manusia, bukan pada level Tuhan. Dengan akal dan keyakinan itulah, kita paham mana yang haq dan mana yang bathil, mana iman mana kufur, mana tauhid mana syirik, mana pendapat yag lemah mana yang kuat. Dengan keyakinan itulah, kita tergerak untuk memperjuangkan yang haq dan melawan yang bathil.[8]   
Filsafat dan Kalam
Gerakan filsafat Islam dari sudut pandang amplikasi doktrin islamnya, adalah suatu pertumbuhan lebih lanjut dari kalam-nya Mu’tazilah, menentang sistem rasionalitas dari para filosof. Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) menampilkan reaksi pertama yang besar terhadap filsafat, yang bersifat monumental dalam kedalam dan pengaruhnya yang masih terasa sampai jangka waktu yang lama. Al-Ghazali mengalami serentetan krisis spiritual pada awal hidupnya. Ia menjadi kecewa denga theology kalam yang tradisional karena formalism dan eksternalnya. Dalam usahanya mencari kebenaran ia mempelajari filsafat, tetapi ditemuinya bahwa filsafat tidak hanya jauh dari islam ortodoks (murni) dalam ajara-ajaranya tetapi juga tidak mempunyai kepastian dalam pembuktian-pembuktiannya. Dalam keyakinan agama ia mencari semacam kepastian matematis. Dalam konteks ketika itu hanya bisa ditemukan dalam sufisme (mistisisme Islam).
Menjelas kemudian setelah menolok thesis-thesis para filosof ia menuliskan dalam karyanya yang terkenal, tahafut al-falasifah. Tetapi mengapa al-Ghazali tidak mencoba menyusun alternative sistem filsafat lainnya?. Jawabannya adalah bahwa tak ada metafisika apa pun, yang disusun semata-mata secara rasional, akan dapat memuaskan kebutuhan akan kepastian dalam agama. Meski ia menolak filsafat Islam-Yunani tetapi ia masih mengambil pandangan filosof bahwa yang dapat disebut manusia hanyalah ruhnya saja, bukan jasmaninya.   
Banyak kritik yang dialamat kepada al-Ghazali diantaranya dari ahl Hadits yakni para tradisionalis dan para mutakallimin yang lebih intelektualis, tidak dapat menerima seruan kepada kalam yang praktis semata-mata yang tidak memuaskan tuntutan intelektualisme formal. Tetapi karya-karya Imam Ghazali tetap menarik untuk dipelajari dan dikaji lebih mendalam lagi.
Penutup.
Sangat disayangkan pembahasan yang cukup menarik ini terkendala pada tingkat kualitas terjemannya, sehingga beberapa hal tidak bisa dipahami. Setiap pembahasan pada tiap bab sangat terkait sehingga sangat sulit untuk memahami jika hanya mengkaji pada bab tertentu saja. Reviewer melihat penulis (Fazlur Rahman) kurang menuangkan gagasanya dan apa yang menjadi pilihanya atau posisinya disetiap dialektika teologi, sehingga setiap pembaca diarahkan untuk berspekulasi sendiri, perlu digaris bawahi bahwa keadilan menurut konsepsi islam tidak sama dengan sikap netral sebab keadilan itu adalah berpihak pada kebenaran. Wallahu’alam


[1] Fazlur Rahman, Islam (terj) (Bandung: Pustaka). Hal. 116.
[2] Fazlur Rahman adalah cendekiawan muslim yang dikenal di seluruh dunia sebagai pembaharu islam. Lahir di Hazarat, barat laut Pakistan pada tahun 1919. Rahman termasuk cendekiawan yang controversial, beberapa Muridnya mengkritisinya salah satunya adalah prof. Wan Mohd Nor Wan Daud dan sahabatnya prof. syed Naquib al-Attas. Perjalanan intelektualnya dapat dilihat dalam tiga periode; periode awal (1950-an), periode Pakistan (1960-an), periode Chicago (1970-an dan seterusnya)
[3] Teologi dalam KBBI adalah pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat-sifat Allah, dasar-dasar kepercayaan kepada Allahdan agama terutama berdasarkan pada kitab-kitab suci). (hal. 1041)
[4] Determinisme merupakan paham yang menganggap setiap kejadian atau tindakan, baik yang menyangkut jasmani maupun rohani, merupakan konsekuensi dari kejadian-kejadian sebelumnya dan ada diluar kemauan. (KBBI. Hal. 229)
[5] Sangat dipengaruhi oleh menghindari fanatisme dan penindasan kala itu.
[6] Guru Besar ISTAC-IIUM dan Guru Besar Tamu di ATMA-UKM Malaysia
[7] Tulisan lengkapnya bisa dibaca di Majalah ISLAMIA, edisi 5/2005 dengan judul Apakah Manusia Bisa mencapai Kebenaran
[8] Adian Husaini, Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (GIP: 2006) hal. 206.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar