THEOLOGI DIALEKTIS DAN PERKEMBANGAN DOGMA[1]
Fazlur
Rahman[2]
Reviewer
: Syahrul
20121010016
Tahap
awal –Mu’tazilah-Asy’ariyyah dan Maturidiyyah-Filsafat dan Kalam.
TAHAP AWAL
Al-Qur’an pada
hakekatnya adalah dokumen keagamaan dan etika yang bertujuan praktis
menciptakan masyarakat yang bermoral baik dan adil, yang terdiri dari
manusia-manusia yang saleh dan religius dengan kesadaran yang peka dan nyata
akan adanya satu tuhan yang memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan. Yang
menarik kemudian di dalam al-Qur’an pembahasan teori ketuhanan sangat sedikit.
Beberapa pembahasan bukan menekankan pada eksistensi tuhan tetapi adalah untuk
melukiskan keagungan-Nya yang hidup dan keindahan-Nya yang penuh tujuan.
Penekanan al-Qur’an adalah pada Iman dan tindakan.
Ajaran
al-Qur’an dan Nabi yang sederhana tapi praktis dan efektif mengalami pergolakan
pada masa kekhalifahan ‘Utsman dan Ali. Perpecahan dan keguncangan ummat
kemudian memuncak pada Daulat Umayyah. Kaum Umayyah tetap mempertahankan sistem
kekhilafahan dan agama sebagai dasar Negara dan menerima syari’ah sebagai
konstitusi tetapi kehilangan subtansi dan berlawanan dengan tujuan syaria’ah
dan agama. Meskipun diakui tidak semuanya berprilaku tidak islami tetapi telah
melenceng jauh dari tuntutan-tuntutan pemimpin keagamaan umat ketika itu.
Berawal dari
pergolakan politik pada masa ‘Utsman, Ali sampai Daulat Umayyah kemudian muncul
gejolak-gejolak spekulasi yang belahirkan aliran-aliran theologi[3]
dan bagaimana mereka mengkonstruk dogma theologi mereka. Sebuah pertayaan yang
muncul adalah apakah seorang muslim masih bisa disebut Muslim setelah ia
melakukan dosa besar? Atau apakah iman dalam hati saja sudah cukup, atau
haruskah ia dinyatakan dalam perbuatan? Sekte Khawarij (yang ‘menyisihkan
diri’) yang ekstrim, berpendapat bahwa pelaku dosa besar tidak bisa lagi
disebut muslim, dan akan melancar jihad pada penguasa dan masyarakat atas nama
idealism yang ekstrim dan transenden yang digabungkan dengan fanatisme tanpa
kompromi. Berbeda dengan kaum Murji’ah (Murjiah berarti orang-orang yang
‘menangguhkan‘ penghakiman atas orang sampai hari Akhir nanti) yang tidak berdaya dan menyerah terhadap
rezim Umayyah menyatakan bahwa iman dalam hati saja cukup bagi seseorang untuk
bisa disebut Muslim, dan perbuatan amal tidaklah esensial. Dan menyerukan agar
masyarakat tidak melakukan penghakiman atas seorang pelaku dosa besar yang
nasibnya akan diputuskan oleh Allah di hari Kiamat. Bagi mereka keputusan
hanyalah hak Allah saja.
Kemunculan untuk pertama kali kaum Murji’ah
yang mewakili pandangan yang kalem dan moderat dalam menghadapi kelompok yang
menentang atau pun yang mendukung Ali. Sikap netral dalam pertengkaran politik
antara Ali dan lawan-lawanya mengantarkan meraka juga disebut kaum Mu’tazilah
(netralis), lalu memperoleh sebutan Jabariyyah atau ‘Predeterminis’. Tradisi
netralis dalam politik ini lah yang merupakan mayoritas sahabat dan masyarakat
Madinah pada masa itu sampai masa menanjaknya Bani Umayyah di Madinah.
MU’TAZILAH
Sebelum islam,
Iraq memang sudah menjadi ajang pertarungan ide-ide dan teori-teori yang datang
dari berbagai arah. Hellenisme, agama Kristen, gnostisisme, dan dualisme
manikean dan unsure-unsur Budhisme memberikan bahan-bahan ide untuk spekulasi moral,
agama dan filosofis. Meskipun dorongan untuk melakukan perenungan mula-mula
ditimbulkan oleh peristiwa-peristiwa dalam islam sendiri.
Adalah Hasan
al-Bashri (w. 110 H/728 M) yang mewakili kesalehan warga Madinah dalam konsep
theologinya dengan tegas menolak penafsiran deterministik[4]
dalam islam, dan memandang manusia bertanggungjawab atas perbuatannya. Sikap
tersebut lebih banyak didorong oleh motif kesalehan dari pada rasa ingin tahu
spekulatis dan kecermatan filosofis. Tetapi kadang-kadang beliau berargumentasi
(berdasarkan al-Qur’an) bahwa semua perbuatan manusia bersumber pada dirinya,
dan ia bertanggungjawab atas perbuatannya itu dan di waktu yang lain ia
menyatakan bahwa semua kebaikan haruslah dinisbatkan kepada Allah, sedangkan
semua kejahatan haruslah dirujukkan kepada syeitan dan manusia sendiri (juga
berdasarkan al-Qur’an). Menurut Fazlur Rahman setidaknya ada dua motif dari
Hasan al-Bashri yaitu untuk mengamankan Kebaikan Allah dan untuk membuat
manusia beratanggungjawab terutama atas perbuatan-perbuatan jahat.
Pendapat ini
ditentang oleh mereka yang berpikir sistematis, dan tidak bisa menerima
penolakan terhadap determinisme dan menyuarakan opini mereka yang mendukung
otoritas manusia yang tegas atas perbuatannya sendiri: hanya dengan demikianlah
pujian dan celaan, pahala dan hukuman bagi manusia serta keadilan Tuhan bisa
dipahami. Kaum Khawarij memandang pelaku dosa besar sama saja dengan orang kafir,
sebagian besar kaum muslimin memandangnya sebagai ‘muslim yang berdosa’, maka
kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa orang seperti itu bukanlah orang muslim,
tetapi bukan pula orang kafir. Doktrin ini dikenal sebagai doktrin ‘posisi
tengah’ (al-manzilah bayna al-manzilatayn). Kemungkinan doktrin ini kemudian
menjadi nama bagi Mu’tazilah (kaum netralis), meskipun versi sunni berbeda,
pemberian nama Mu’tazilah ketika pendirinya Washil Ibnu ‘Atha’ (80-131
H/699-749) ‘memisahkan diri’ (I’tazala) dari kelompok Hasan al-Bashri.
Orientalsi Goldzihe mengingkari dengan menyatakan bahwa nama tersebut (akar
kata bahasa Arabnya berarti ‘absen dari’, ‘menjadi netralis’, ‘berada di sisi’
menunjukkan kepada sifat mereka yang saleh dan tak suka ikut campur dalam
pertentangan pendapat.
Pada asalnya,
kaum Mu’tazilah bukanlah pemikir-pemikir bebas seperti yang kadang-kadang disebut
orang. Mereka bukanlah rasionalis murni (walau pun mereka mengklaim bahwa akal
adalah sumber kebenaran moral yang sama derajatnya dengan wahyu), walaupun
dorongan berpikir sistematis terhadap dogma berbeda dengan islam tradisional.
Doktrin kemerdekaan berkehendak manusia seperti dicanagkan oleh kaum Mu’tazilah
segera menjadi bagian dari konsep theologies mengenai ‘keadilan Tuhan’ dan
mengalahkan segi aslinya, yaitu kemerdekaan dan tanggungjawab manusia. Tuhan
tidak bisa melakukan hal-hal yang tidak masuk akal dan tak adil. Dalam doktrin
‘janji dan ancaman’ tuhan tidak mengampuni pelaku kejahatan (karena akan
melanggat janjinya sendiri) ataupun menghukum pelaku kebaikan. Tuhan bukan saja
akan menjadi tidak adil bila Ia tidak melaksanakan janji-janji dan ancaman-Nya,
tapi bahkan Ia akan menjadi pembohong. Doktrin-doktrin ini dikembangkan secara paten dalam pengaruh Hellenisme dan
stoikisme serta stoa
Tak pelak lagi Mu’tazilah dituduh sebagai
humanisme yang ekstrim di mata kaum ortodoks, mereka menegaskan bahwa Tuhan
berada di luar konsep manusia tentang keadilan : apa yang dipandang
manusia sebagai keadilan Tuhan tidaklah berarti demikian bagi-Nya; tetapi apa
yang diperbuat-Nya bagi manusia memang tampak adil dan rasional bagi manusia. Jadi
kaum Mu’tazilah menempatkan ide tentang Tuhan dalam lingkaran ide tentang
keadilan manusia, sementara kaum ortodoks menempatkan ide tentang keadilan
dalam lingkaran ide tentang Tuhan.
Dalam masalah sifat-sifat Tuhan, mu’tazilah melangkah ke
batas yang lebih ekstrim. Mereka menyingkirkan dan menolak semua sifat-sifat
Tuhan. Tuhan adalah zat semata-mata tak memiliki nama-nama dan sifat-sifat yang
abadi, dan pengakuan akan adanya sifat-sifat tersebut menurut mereka adalah
syirik atau polytheisme. Sementara ortodoks lebih mengartikan pada kemutlakan
sifat-sifat Tuhan, kekuasaan, pengetahuan, kehendak-Nya, dan lain-lain. Kaum
Mu’tazilah dicap sebagai mu’aththilah, yakni orang yang membuang semua kandungan zat Tuhan.
Mu’tazilah menuduh balik kepada ortodoks sebagai telah melakukan tasybih atau
menyerupakan Tuhan dengan manusia.
Mu’tazilah membawa rasionalismenya sedemikian jauhnya
dengan mensejajarkan kemampuan akal dengan wahyu dalam menemukan kebenaran
agama. Mereka tidak hanya puas dengan pernyataan superioritas akal atas
tradisi, tetapi lebih jauh menyemakan derajatnya dengan firman Tuhan sebagai
petunjuk agama. Implikasinya mereka tidak bisa menerima Firman Tuhan sebagai
sifat-Nya, sehingga mereka mengatakan bahwa al-Qur’an sebagai ‘kata yang
dicipta’ (makhluk). Dalam masalah
sifat-sifat tuhan pemikiran Mu’tazilah sangat kental dipengaruhi ole hide-ide
Hellenistik. Paham inilah kemudian menimbulkan peristiwa penindasan dan
penyiksaan terhadap Imam Ahmad bin Hambal (w. 241 H/855 M) yang menolak dogma
Mu’tazilah. Dari sini kemudian terlihat relasi antara theology yang dominan,
mayoritas (di dukung penguasa) dengan theologi minoritas tidak harmonis.
ASY’ARIYAH DAN MATURIDIYAH
Tokoh yang
paling tersohor dari gerakan ini, yang menjungkirbalikkan posisi kaum
Mu’tazilah dengan dialektika mereka sendiri adalah Abu Hasan al-Asy’ari (w. 330
H/942 M) yang memisahkan diri dari guru Mu’tazilahnya al-Jubba’I, dalam
mempertahankan pendapatnya bahwa keadilan Tuhan tak dapat ditentukan dalam
batas-batas manusia. Tentang masalah kemerdekaan manusia, berdasarkan teks-teks
tertentu al-Qur’an, ia menegakkan doktrinnya tentang ‘perolehan’.menurut
doktrin ini semua perbuatan manusia telah diciptakan sebelumnya oleh Tuhan,
tetapi perbuatan-perbuatan itu sendiri menempelkan diri pada kehendak manusia
yang dengan demikian ‘memperolehnya’. Manusia memiliki kesadaran bahwa ia
menguasai perbuatan-perbuatan yang dipilih dan dikerjakannya dengan sadar. Prinsip
yang tampaknya berlaku di sini adalah bahwa semua kekuasaan adalah milik Allah
sedangkan tanggungjawab pada manusia.
Dalam masalah
ketuhanan al-‘Asy’ari mengajarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat ril dan
abadi, tetapi berusah menjaga diri dari antropomorfisme. Sifat-sifat Tuhan
tidak identik dengan Zat-nya, tapi juga tidak berbeda dipada-Nya. Mengenahi
pahala dan siksa, ia menekankan baik Kekuasaan Tuhan yang mutlak maupun kasih
sayang dan Rahmat-Nya; Ia dapat saja menghukum dan member pahala menurutkehendak-Nya.
Ini bukan berarti Tuhan bersifat bijaksana tapi untuk menyatakan sikap beraga
yang rendah hati dan takut kepada Allah. Dalam hal ini al-‘Asy’ari meneguhkan
paham ortodoks sekaligus menentang paham Mu’tazilah yang membatasi kekuasaan
Tuhan.
Sistem theology
yang tumbuh berbarengan dengan Mu’tazilah adalah Abu Manshur al-Maturidiyyah
atau Maturidisme (w. 333 H/945 M) di daerah Samarkand di Transoxiana. Dalam
masalh pokok terdapat kesamaan denga al-Asy’ary tetapi berbeda dalam beberapa
hal yang penting. Sama dengan al-Asy’ari bahwa semua perbuatan manusia
dikehendaki oleh Allah, tetapi berbeda dengan al-Asy’ari bahwa perbuatan jahat
tidaklah diiringi oleh ridha Tuhan. Disamping menekankan kekuasaan Tuhan tetapi
masih mengakui effikasi (kekuatan) kehendak manusia. Meskipun dalam
perkembangan selanjutnya menyatakan dengan tegas kemerdekaan mutlak manusia
dalam perbuatannya.
Sebuah masalah
yang penting yang jadi perdapatan di antara dogmatis-dogmatis dan
theology-theologi islam adalah tentang ‘derajat iman’ yang berkaitan dengan
iman dan amal. Kaum Mu’tazilah dan Khawarij berpendapat bahwa amal meruakan
bagian yang esensial dari iman dan derajat iman bisa naik turun, bersifat
kuantitatif dan bisa mencapai derajat nol, meskipun orang tersebut masih
mengaku beriman. Sebaliknya Murji’ah mempercayai bahwa kualitas iman tidak bisa
dianalisis dan bersifat sederhana, tidak mempunyai tingkatan-tingkatan atau
ukuran. Kaum Sunni berada pada posisi dua kutub ekstrim[5],
yang cendrung ke doktrin Murji’ah, bahwa pengakuan iman yang tulus, maka orang
telah memiliki iman yang tak bisa berkurang dan tak dapat dihilangkan oleh
perbuatan lahir yang bagaimana pun juga, walau kadar iman tersebut bisa naik
dan bisa turun dari kadarnya semula.
Menarik untuk
menghadirkan pendapat Wan Daud[6]
tentang Iman dan amal, ia mengidentifikasi beberapa aliran teologi sofis[7]
yaitu al-la adriyah atau gnostik yang selalu mengatakan tidak
tahu dan ragu-ragu. Kedua, al-indiyyah, mereka yang selalu bersikap subjektif.
Ketiga, al-anadiyyah, yaitu “menurut saya”, bergantung pada pendapat
masing-masing. Diakhir tulisan dengan tegas ia mengembil posisi bahwa Allah menganugrahi
akal manusia untuk berpikir, dan untuk sampai pada derajat keyakinan yang tentu
saja pada level manusia, bukan pada level Tuhan. Dengan akal dan keyakinan
itulah, kita paham mana yang haq dan mana yang bathil, mana iman mana kufur,
mana tauhid mana syirik, mana pendapat yag lemah mana yang kuat. Dengan
keyakinan itulah, kita tergerak untuk memperjuangkan yang haq dan melawan yang
bathil.[8]
Filsafat dan Kalam
Gerakan
filsafat Islam dari sudut pandang amplikasi doktrin islamnya, adalah suatu pertumbuhan
lebih lanjut dari kalam-nya Mu’tazilah, menentang sistem rasionalitas
dari para filosof. Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) menampilkan reaksi pertama yang
besar terhadap filsafat, yang bersifat monumental dalam kedalam dan pengaruhnya
yang masih terasa sampai jangka waktu yang lama. Al-Ghazali mengalami
serentetan krisis spiritual pada awal hidupnya. Ia menjadi kecewa denga
theology kalam yang tradisional karena formalism dan eksternalnya. Dalam
usahanya mencari kebenaran ia mempelajari filsafat, tetapi ditemuinya bahwa
filsafat tidak hanya jauh dari islam ortodoks (murni) dalam ajara-ajaranya
tetapi juga tidak mempunyai kepastian dalam pembuktian-pembuktiannya. Dalam
keyakinan agama ia mencari semacam kepastian matematis. Dalam konteks ketika
itu hanya bisa ditemukan dalam sufisme (mistisisme Islam).
Menjelas
kemudian setelah menolok thesis-thesis para filosof ia menuliskan dalam
karyanya yang terkenal, tahafut al-falasifah. Tetapi
mengapa al-Ghazali tidak mencoba menyusun alternative sistem filsafat lainnya?.
Jawabannya adalah bahwa tak ada metafisika apa pun, yang disusun semata-mata
secara rasional, akan dapat memuaskan kebutuhan akan kepastian dalam agama.
Meski ia menolak filsafat Islam-Yunani tetapi ia masih mengambil pandangan filosof
bahwa yang dapat disebut manusia hanyalah ruhnya saja, bukan jasmaninya.
Banyak kritik
yang dialamat kepada al-Ghazali diantaranya dari ahl Hadits yakni para
tradisionalis dan para mutakallimin yang lebih intelektualis, tidak dapat
menerima seruan kepada kalam yang praktis semata-mata yang tidak
memuaskan tuntutan intelektualisme formal. Tetapi karya-karya Imam Ghazali
tetap menarik untuk dipelajari dan dikaji lebih mendalam lagi.
Penutup.
Sangat
disayangkan pembahasan yang cukup menarik ini terkendala pada tingkat kualitas
terjemannya, sehingga beberapa hal tidak bisa dipahami. Setiap pembahasan pada
tiap bab sangat terkait sehingga sangat sulit untuk memahami jika hanya
mengkaji pada bab tertentu saja. Reviewer melihat penulis (Fazlur Rahman)
kurang menuangkan gagasanya dan apa yang menjadi pilihanya atau posisinya
disetiap dialektika teologi, sehingga setiap pembaca diarahkan untuk berspekulasi
sendiri, perlu digaris bawahi bahwa keadilan menurut konsepsi islam tidak sama
dengan sikap netral sebab keadilan itu adalah berpihak pada kebenaran. Wallahu’alam
[1] Fazlur Rahman,
Islam (terj) (Bandung: Pustaka). Hal. 116.
[2] Fazlur Rahman
adalah cendekiawan muslim yang dikenal di seluruh dunia sebagai pembaharu
islam. Lahir di Hazarat, barat laut Pakistan pada tahun 1919. Rahman termasuk
cendekiawan yang controversial, beberapa Muridnya mengkritisinya salah satunya
adalah prof. Wan Mohd Nor Wan Daud dan sahabatnya prof. syed Naquib al-Attas.
Perjalanan intelektualnya dapat dilihat dalam tiga periode; periode awal
(1950-an), periode Pakistan (1960-an), periode Chicago (1970-an dan seterusnya)
[3] Teologi dalam
KBBI adalah pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat-sifat Allah, dasar-dasar
kepercayaan kepada Allahdan agama terutama berdasarkan pada kitab-kitab suci).
(hal. 1041)
[4] Determinisme
merupakan paham yang menganggap setiap kejadian atau tindakan, baik yang
menyangkut jasmani maupun rohani, merupakan konsekuensi dari kejadian-kejadian
sebelumnya dan ada diluar kemauan. (KBBI. Hal.
229)
[5] Sangat dipengaruhi oleh menghindari fanatisme dan penindasan kala itu.
[6] Guru Besar ISTAC-IIUM dan Guru Besar Tamu di ATMA-UKM
Malaysia
[7] Tulisan lengkapnya bisa dibaca di Majalah ISLAMIA, edisi 5/2005 dengan
judul Apakah Manusia Bisa mencapai Kebenaran
[8] Adian Husaini,
Hegemoni Kristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (GIP: 2006)
hal. 206.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar