PENGANTAR EPISTEMOLOGI
Syahrul
Menurut
pengertian bahasa (etimologi) epistemology, sebagaimana yang dijelaskan oleh
Dagobert D. Runes, berarti atau bermakna; sebagai cabang dari filsafat yang
menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu
pengetahuan.[1]
Sedangkan pengertian epistemology menurut istilah, Miska Muhammad Amin
mengemukakan beberapa definisi sebagai berikut:
1.
Menurut
Drs. R.B.S. Fudyarto, epistemology berarti ilmu filsafat tentang pengetahuan,
atau dengan pendek, filsafat pengetahuan
2.
Menurut
antun Suhono, epistemology ialah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan, ialah
bagian filsafat mengenai refleksi manusia atas kenyataan.
3.
Menurut
A. H. Baker, yang mempersamakan epistemology dengan metodologi dalam
penjelasannya sebagai berikut; metodologi dapat difahami sebagai filsafat ilmu
pengetahuan.
4.
The
Liang Gie mengutip dari The Encyclopaedia of Philosophy, mengemukakan
bahwa: epistemology sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan sifat
dasar dan ruang lingkup pengetauan, pra-anggapan pra-anggapan dan
dasar-dasarnya serta realibilitas umum dari tuntutan akan pengetahuan.
Jadi
epistemology itu meliputi: a. filsafat, yaitu sebagai cabang filsafat yang
berusaha mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan; b. metode, yaitu bertujuan
mengantar manusia untuk memperoleh pengetahuan; c. sistem, yaitu bertujuan
untuk memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.[2]
Epistemology
adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemology
berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Terdapat
tiga persoalan pokok dalam bidang ini: (1) apakah sumber-sumber pengetahuan
itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimanakah kita
mengetahui? (2) apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang
benar-benar di luar pikiran kita, dan kalau ada, apakah kita dapat mengetahui? Ini adalah persoalan tentang apa yang
kelihatan (phenomena/appearance) versus hakikat (noumena/essence). (3) apakah
pengetahuan kita itu benar (valid) ? bagaimanakah kita dapat membedakan
yang benar dari yang salah? Ini adalah soal tentang mengkaji kebenaran atau
verifikasi.[3]
Istilah epistemologi sendiri pertama sekali muncul pada
pertengahan abad XIX oleh oleh J.F. Rarrier dalam bukunya ”institute of
Metaphysics ”. persoalan epistemologi tersebut sebenarnya sudah dimulai
dalam pertentangan antara Heraclitus (535-475 SM) melawan Parmenindes (504-475
SM) yang pada dasarnya merupakan sengketa fundamental, sebab yang mereka
persoalkan sudah berupa masalah kebenaran pengetahuan. Bagi Heraclitus, yang
ada hanya gerak; tidak ada sesuatu pun yang dapat disebut “ada”, melainkan
semuanya “menjadi”. Segala-galanya dalam
keadaan menjadi, segala permulaan adalah mula dari akhir, segala hidup adalah
mula dari mati. Dalam dunia tidak ada yang tetap, semuanya berlaku “panta
rhei”, semuanya mengalir. Dunia adalah tempat gerak yang bersambungan,
tempat kemajuan yang tidak berakhir, yang baru mendapatkan tempatnya dengan
menghancurkan dan menewaskan yang lama.
Sedangkan parmenindas membulatkan pokok keterangannya
dengan semboyangnya yang pendek: “hanya yang-ada itu ada, yang-tidak ada tidak
ada”. Tidak ada yang lain kecuali yang
“ada”. Sebab itu tidak ada yang “menjadi” dan tidak ada pula yang “hilang”.
Keduanya itu “menjadi” dan “hilang”, adalah mustahil bagi akal. “menjadi”
menyatakan perpisahan dari yang tidak ada ke yang-ada itu “ada” tetap
selama-lamanya
Di sini terlihat bahwa pertentangan teori pengetahuan
antara Heraclitus dan Parmenindes menyangkut pertentangan antara yang berubah
dan yang tetap. Kedua pandangan yang ekstrem itu juga memperlihatkan hal ini,
yakni bahwa yang satu menekankan sumber pengetahuan pada pancaindra dan yang
lain memberi titik berat pada kemampuan rasio dan mengabaikan kemampuan indra.[4]
Dalam sejarah
filsafat, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (348-322) merupakan prototype cikal
bakal pergumulan antara kedua aliran tersebut. Plato berpendapat bahwa hasil
pengamatan indrawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang
selalu berubah-rubah. Karena sifatnya yang berubah-ubah itu, Plato tidak dapat
memercayai kebenarannya. Ilmu pengetahuan yang bersumber dari panca indra
diragukan kebenarannya. Sesuatu yang tidak mengalami perubahanlah yang dapat
dijadikan pedoman sebagai ilmu pengetahuan. Dalam proses pencariannya, Plato
menemukan bahwa di seberang sana (di luar wilayah pengamatan indra) ada apa
yang disebut dengan “idea”. Dunia ide ini bersifat tetap, tidak
berubah-ubah, kekal. Plato memang banyak terpengaruh oleh Phytagoras dan
menaruh perhatian begitu besar kepada matematika untuk mempelajari dunia. Alam
ide yang tidak berubah itu dianalogkan dengan rumus matematika yang tidak
berubah-ubah. Dia menambahkan bahwa alam ide inilah alam yang sesungguhnya
(reality). Alam indrawi bukan lah alam yang susungguhnya. Menurut Plato,
manusia sejak lahir sudah membawa ide bawaan yang oleh Rene Descartes
(1596-1650) dan tokoh-tokoh rasionalis yang lain disebut innate ideas.
Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal
dan memahami segala sesuatu, dan dari situlah timbulnya ilmu pengetahuan. Ditegaskan oleh Plato bahwa orang tinggal ”mengingat kembali” saja
ide-ide bawaan itu, jika dia ingin memahami segala sesuatu. [5]
di sini pengalaman indrawi kurang bermakna atau diabaikan.
Jika
dibandingkan dan dibaca dengan teliti dengan QS. An-Nahl: 78: “Dan Allah
mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun,
dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.
Jika al-Qur’an menyebut dengan tegas bahwa ketika manusia lahir tidak tahu
apa-apa, Plato sebaliknya menegaskan secara eksplisit bahwa manusia sudah
membawa apa-apa –yakni ide-ide bawaan yang telah dia lihat sebelum hidup di
dunia- dan nanti setelah dewasa manusia tinggal mengingat kembali ide-ide
bawaan tersebut.[6]
Secara jelas Islam mengkritisi epistemology Plato bahkan filosof Yunani pun
banyak mengkritisinya.
Pemikiran Plato
dalam epistemology akan sangat kontras dengan pemikiran Aristoteles yang
mewakili empiris-indrawi. Aristoteles mengkritisi
sekaligus menunjukkan kelemahan epistemology Plato dengan sanggahan bahwa
ide-ide bawaan itu tidak ada.[7]
Aristoteles mengakui bahwa pengamatan indrawi itu berubah-ubah, tidak tetap,
tidak kekal, tetapi dengan pengamatan dan penyidikan yang terus-menerus
terhadap hal-hal dan benda-benda konkret, maka akal atau rasio akan dapat
melepaskan atau mengabstraksikan ideanya dari benda-benda yang konkret
tersebut. Dari situ, muncul idea-idea dan hokum-hukum yang bersifat universal
dan dirumuskan oleh akal atau intelek manusia melalui proses pengamatan dan
pengalaman indrawi.[8]
Jika Plato
memotong dengan tajam hubungan antara dunia idea yang dianggap kekal dan tidak
berubah-ubah dan dunia empiris yang berubah-ubah, dengan mengatakan bahwa dunia
idea lah yang terpokok dalam uapaya manusia memperoleh ilmu pengetahuan, maka
Aristoteles menyangkal itu. Aristoteles tidak memotong hubungan antara dunia
idea dan dunia empiris secara radikal, tetapi lebih menekankan pada peran
pengamatan dan penyelidikan empiris dalam menemukan dan memperoleh ilmu
pengetahuan. Hubungan antara wilayah empiris-inderawi dengan wilayah
idea-intelektual tetap dipertahankan oleh Aristoteles, sedang Plato memisahkan
keduanya.[9]
kecendrungan pemikir/ilmuwan, ahli sejarah sains kontemporer lebih berpihak
pada epistemology Aristoteles dengan argumentasi pemikiran model Plato akan
menghambat perkembangan sains yang empirik.
Meskipun teori
Plato dinyatakan lemah dan menghambat kemajuan sains empiric, tetapi
sesungguhnya Plato-lah yang dapat disebut sebagai pencetus epistemology yang
pertama, karena ia mencoba membahas pertayaan-pertayaan dasar. Apakah
pengetahuan itu? Di mana umumnya pengetahuan ditemukan? Seberapa jauh apa yang
biasanya dianggap, perasaan juga memberikan pengetahuan? Dapatkah alasan
menunjukkan pengetahuan? Apakah hubungan pengetahuan dan kenyataan?[10]
Dalam sejarah
perkembangan epistemologi lebih lanjut muncul corak pemikiran epistemology
Immanuel Kant yang mengkritik dua model epistemology sebelumnya yang rasinalis
dan empiris. Kant berusaha keras untuk menunjukkan bagaimana seseorang dapat
memadukan pandangan yang terbaik dari pihak rasionalis dan empiris, namun ia
sendiri tidak menyetujui dua-duanya secara total. Pemecahan terhadap
persoalan-persoalan yang diajukan –apa yang dapat diketahui oleh akal dan apa
yang tidak dapat diketahui oleh akal- terletak pengakuanya bahwa ada perbedaan
pokok antara “apa yang telah diterima (given) oleh akal pikiran dalam bentuk
data yang masih berserakan (unordered) dari pengalaman-pengalaman indrawi” dan
“apa yang disumbangkan (contribute) oleh akal pikiran sebagai hasil usahanya
untuk menerapkan dan memaksakan kerangka pemikiran apriori –yang merupakan
sifat dasar dari akal pikiran itu sendiri- terhadap bahan-bahan material yang
berserakan tadi”.[11]
Bagi Kant,
Indra hanya memiliki kemampuan memberi data belaka; untuk dapat memiliki
pengetahuan kita harus menembus pengalaman (data indrawi plus keaktifan akal).
Kant tidak berpretensi untuk memisahkan secara praktis antara aspek indrawi dan
akali, namun untuk dapat lebih memiliki cara kerja keduanya perlu diadakan
upaya pemisahan secara teoritis. Menurut Kant, lahir dan munculnya pengetahuan
tidak lain adalah hanya kerja antara unsur akali (a priori) dengan kesan atau
serapan inderawi (a posteriori).[12]
Sumber Pengetahuan
Salah satu
perdebatan besar itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber dan asal-usul
pengetahuan yang meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan
prinsip-prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugrahkan kepada
manusia. Dengan itu, ia dapat menjawab pertayaan-pertanyaan berikut: bagaimana
pengetahuan itu muncul dalam diri manusia? Bagaimana kehidupan intelektualnya
tercipta, termasuk setiap pemikiran dan konsep-konsep (notions) yang muncul
sejak dini? Dan apakah sumber yang memberikan kepada manusia arus pemikiran dan
pengetahuan ini?
Pengetahuan (persepsi) itu terbagi, secara garis besar,
menjadi dua. Pertama, konsepsi (at-Tashawwur, bentuk) atau pengetahuan
sederhana. Kedua, tashdiq (assent atau pembenaran), yaitu
pengetahuan yang mengandung suatu penilaian.[13] Secara
singkat akan dibahas berikut ini.
1.
Konsepsi dan Sumber Pokoknya
Pikiran manusia
mengandung dua konsepsi. Pertama, pengertian-pengertian konseptual sederhana,
seperti pengertian “wujud”, “unitas”, “panas”, “putih”, dan konsepsi-konsepsi
tunggal lain manusia. Kedua, pengertian-pengertian majemuk, yakni konsepsi yang
merupakan hasil kombinasi antara konsepsi-konsepsi sederhana. Kita, misalnya,
mengkonsepsikan “sebungkal gunung dari tanah” dan mengkonsepsikan “sepotong
emas”, kemudian kita kombinasikan dua konsepsi itu. Dari kombinasi itu lahirlah
konsep ketiga yaitu konsepsi “sebungkal gunung dari emas”.
Konsepsi ketiga
ini, pada dasarnya, adalah kombinasi dari dua konsepsi tadi. Demikianlah, semua
konsepsi majemuk itu (dapat) disusutkan menjadi unit-unit konseptual sederhana.[14]
Sumber hakiki dari masalah tersebut melahirkan teori-teori baru. Teori Plato
tentang pengingatan kembali, yakni teori yang berpendapat bahwa pengetahuan
adalah fungsi mengingat kembali informasi-informasi yang telah lebih dahulu
diperoleh, sumbernya adala “alam ide” keazalian jiwa. Teori ini adalah teori rasional, teori para
filsuf Eropa, yakni teori yang bersumber pada sensasi dan fitrah. Artinya
adalah, bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi
yang tidak muncul dari indra, tetapi ia sudah ada (tetap) dalam lubuk fitrah.
Selain dua teori tersebut di atas terdapat teori empirikal, yakni bahwa
pengindraan adalah satu-satunya yang membekali akal manusia dengan
konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan. Potensi mental, akal budi adalah potensi
tercermin dalam berbagai persepsi indrawi. Berbeda dengan beberapa teori
sebelumnya, teori disposisi adalah teori para filsuf Muslim, yang
terangkum dalam pembagian konsepsi-konsepsi mental menjadi dua bagian :
konsepsi-konsepsi primer dan konsepsi-konsepsi sekunder.
Konsepsi-konsepsi
primer adalah dasar konseptual bagi akal manusia. Ini lahir dari persepsi
indrawi secara langsung terhadap kandungan-kandungannya, sedangkan akal menurut
teori tersebut adalah sebagai sumber konsepsi-konsepsi sekunder yang mendorong
terjadinya daur penciptaan inovasi dan
konstruksi. Inilah yang diistilahkan sebagai intiza’ (disposisi)[15]
2.
Tashdiq dan Sumber pokoknya
Pengetahuan
sebagai pembenaran (tashdiq atau assent) yang melibatkan penilaian (judgement).
Orang dapat sampai kepada pengetahuan objektif dengan pengetahuan tashdiq ini.
Kita semua mengetahui sejumlah proposisi dan membenarkannya. Diantara
proposisi-proposisi itu adalah penilaian (judgement) yang berdasarkan realitas
objektif particular, seperti ucapan kita: “cuacanya panas” atau “matahari telah
terbit”. Karena itu, proposisi tersebut disebut particular. Termasuk dalam
proposisi-proposisi itu penilaian antara dua gagasan umum, seperti dalam
pernyataan kita : ”Keseluruhan itu lebih besar daripada bagian-nya”, ”satu adalah separuh dua”, ”suatu bagian yang
tidak terbagi adalah mustahil”, ”panas menyebabkan mendidih”, ”dingin adalah
penyebab pembekuan”, dan ”keliling lingkaran lebih besar daripada garis
tengahny”. Demikian pula halnya proposisi-proposisi filosifis, fisikal, dan matematis.
Proposisi-proposisi seperti itu disebut ”proposisi universal atau umum”. [16]
Untuk mengetahui sumber
pokok pengetahuan ini bisa dicapai melalui dua aliran : rasional
dan empirikal. Para filsuf Muslim umumnya memakai landasan rasional yang biasa
digunakan untuk memasuki wilayah metafisika, sedangkan landasan empirical
didominasi oleh beberapa paham dalam materialisme yang antara lain adalah
marxisme.
Menurut pandangan kaum rasionalis, pengetahuan manusia
terbagi menjadi dua; pengetahuan intuitif (sifatnya kepastian) yang sumber
pokoknya adalah akal. Pengetahuan kepastian disini maksudnya adalah bahwa akal
sebagai sumbernya tidak perlu mencari dalil kebenarannya, seperti mengetahui
suatu kejadian mesti ada sebabnya. Lain halnya dengan pengetahuan teoritis dan
informasi, akal sebagai sumbernya tidak akan memercayainya kecuali kecuali
dengan bantuan pengetahuan-pengetahuan ”pendahulu”. Proses pemikiran sangat
diperlukan dengan cara menggali kembali pengetahuan terdahulu, seperti
mengetahui ”Bumi itu bulat”. Akal tidak mungkin mencapai keputusan bahwa bumi
itu bulat kecuali dengan bantuan pengetahuan primer.
Jadi, doktrin rasional menjelaskan bahwa landasan
pengetahuan adalah informasi-informasi primer. Lalu di atas informasi itulah
berdiri bangunan-bangunan pikiran manusia yang disebut ”informasi sekunder”.
Proses penggalian pengetahuan teoritis dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya
adalah proses yang dinamakan ”pemikiran” atau ”berpikir”. [17]
Aliran empirisme menyatakan, bahwa pengalaman adalah
sumber pertama semua pengetahuan manusia, karena itu jika manusia tidak
memiliki pengalaman dalam segala bentuknya, ia tidak akan mengetahui realitas
apa pun bagaimanapun terangnya realitas itu. Ini menunjukkan bahwa manusia itu dilahirkan
dalam keadaan tidak memiliki pengetahuan. Kesadaran dan pengetahuannya
berangkat dari kehidupan praktisnya. Kaum empirisme tidak mengakui adanya
pengetahuan rasional yang mendahului pengalaman.[18]
Epistemilogi Ibnu Rusyd
Dalam kajian epistemologi, menarik untuk membahas
epistemologi Ibnu Rusyd (Averroes). Seorang filsuf islam termasyhur baik di dunia islam maupun di Barat, lahir di
Cordova pada 1126 M. Selanjutnya untuk memperkaya makalah ini penulis akan
menuliskan sekilas epistemologi Ibnu Rusyd. Dalam pembahasan sebelumnya muncul
dua sumber pengetahuan yakni akal dan indra, masih terdapat dua sumber lainya
yaitu intuisi[19]
dan wahyu. Bagaimana hal itu kemudian dikaitkan dengan pendapat Ibnu Rusyd.
Ibnu Rusyd sebagai penganut aliran rasional sangat menekankan kekuatan akal
sebagai sumber pengetahuan, namun demikian bukan berarti dia menafikkan sumber
pengetahuan yang lainnya seperti dinyatakan melalui ucapan yang dikutip
Muhammad Atif ‘Iraqi dari Talkhis kitab an-nafs, hal. 68, bahwa Ibnu
Rusyd, di samping menekankan sumber pengetahuan Indrawi, imajinasi, ia juga
mewajibkan adanya sumber akal.
Dalam Fasl al-Maqal fi ma Baina al-Hikmah wa
asy-Syari’ah min al-Ittisal, Ibnu Rusyd menyelaraskan antara wahyu dengan
filsafat. Sehingga dengan tegas ia menyatakan,
bahwa wahyu (termasuk juga hadis) merupakam sumber pengetahuan. Jika Ibnu Rusyd
tidak mencantumkan intuisi sebagai sumber
pengetahuan, hal itu bisa dilacak karena seorang rasionali seperti Ibnu
Rusyd berbeda dengan para filsuf Muslim sebelumnya seperti al-Ghazali. Ibnu
Sina dan al-Farabi meski semunya adalah anak kandung Yunani yang notabene
semuanya rasionalis, namun rasionalitas para filsuf sebelum Ibnu Rusyd tampak
diwarnai oleh pemikiran gnosis, serta cara berpikir yang bercorak occasionalistik/atomistic,
terpisah-pisah, tidak ada tasalsul, sehingga unsur kausalitas tampak
lemah. Menurut mereka ”api” bisa saja tidak membakar, seseorang tidak belajar
bisa saja menjadi pandai karena adanya unsur intuisi/ilham yang turun dari
langit. Hal seperti itu, menurut H.A.R. Gibb, menyebabkan tidak diterimanya
cara berpikir kaum rasionalis dan cara berpikir atas dasar kemanfaatan agama
yang tidak terlepas dari akibat-akibat itu. Ibnu Rusyd tidak memandang bahwa
intuisi/ilham (pengetahuan tanpa melalui proses penalaran) itu merupakan salah
satu sumber pengetahuan.[20]
Diskursus
Islamisasi ilmu; Tinjauan Epistemologi
Tema islamisasi
ilmu masih sangat berkaitan dengan pembahasan epistemologi, sehingga akan lebih
menarik jika diskursus tersebut melengkapi makalah ini. Syed Mohammad Naquib
al-Attas seorang intelektual Muslim kontemporer
yang mencetuskan gagasan islamisasi ilmu. Karena Problem terpenting yang
dihadapi umat Islam saat ini adalah masalah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan
modern tidak bebas nilai (netral) sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan
keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman
manusia Barat. ilmu bukan bebas-nilai (value-free), melainkan sarat nilai
(value laden)
Islamisasi bukan hanya labelisasi, seperti teknologi
Islam, sosiologi Islam, bom Islam, komputer Islam. Bukan pula justifikasi ayat
dan hadits terhadap fenomena keilmuan yang ada, seperti menyertakan ayat-ayat
al-Qur`an untuk membenarkan penemuan-penemuan dalam iptek. Demikian juga, bukan
dengan cara membangun institusi-institusi Islam semata yang terfokus pada
penyertaan etika dan estetika Islam di setiap kegiatan pendidikannya. Akan
tetapi islamisasi adalah sebuah kerja epistemologis yang memerlukan penguasaan
epistemologi Islam yang matang. Kedua tugas yang menantang ini dengan
sendirinya mensyaratkan pemahaman yang mendalam mengenai bentuk, jiwa, dan
sifat-sifat Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban, juga mengenai
kebudayaan dan peradaban Barat. Dengan
kata lain, memerlukan penguasaan terhadap islamic worldview dan oksidentalisme.[21]
Elemen-eleman
dan konsep-konsep apa di dalam epistemology barat yang melahirkan kegelisahan
dan urgensi islamisasi. setidaknya ada empat yaitu (a) Mengandalkan kekuatan
akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan. (b) Mengikuti dengan
setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran. (c) Membenarkan
aspek temporal wujud yang memproyeksikan suatu pandangan dunia sekuler. (d)
Pembelaan terhadap doktrin humanisme. (e) Peniruan terhadap drama dan tragedi
yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual, atau
transendental, atau kehidupan batin manusia, yaitu dengan menjadikan drama dan
tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan eksistensi
manusia.
Menjadi hal
yang lumrah jika sebuah peradaban melakukan naturalisasi terhadap konsep
keilmuan dari luar seperti halnya ilmu dan filsafat mengalami helenisasi
(peng-Yunani-an), lalu Kristenisasi pada masa Romawi, Islamisasi pada masa-masa
kejayaan umat Islam, dan kemudian westernisasi setelah masa Renaisans. Sebagai
pembuktiannya, kenapa para ilmuwan besar seperti Laplace, Darwin, dan Freud,
dengan pengetahuan mereka yang mendalam tentang fenomena alam, justru menolak keberadaan
Tuhan.
Ketika
peradaban Barat membedakan sumber pengetahuan antara yang empiris, logis,
intuitif, wahyu, dan iluminasionisme, kemudian mereka hanya mengakui yang
logis-empiris saja sebagai sumber pengetahuan yang valid, dengan menegasikan
wahyu dan intuisi, maka dalam peradaban Islam hal seperti itu tidak pernah
ditemukan.Lihat misalnya pemikiran al-Nasafi yang menyatakan terdapat tiga
saluran yang menjadi sumber ilmu, yaitu perspesi indera (idrâk al-hawâs),
proses akal sehat (ta'âqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi
yang benar (khabar shâdiq). Oleh al-Attas, penguraian seperti al-Nasafi di atas
dihitung empat, dengan memisahkan proses akal sehat dan intuisi hati.
Konsekuensinya,
Islam tidak mengenal dikotomi ilmu; yang satu diakui, yang lainnya tidak.Yang
logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan pada wahyu tidak
dikategorikan ilmiah.Semua jenis pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris,
apalagi yang sifatnya wahyu (revelational), diakui sebagai sesuatu yang ilmiah.Dalam
khazanah pemikiran Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau
diferensiasi (perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.[22]
Urgensi
islamisasi ilmu juga diamini oleh Mulyadhi Kartanegara[23],
setelah mempelajari perkembangan ilmu modern, saya sampai pada kesimpulan bahwa
ternyata pandangan keilmuan modern telah menimbulkan persoalan-persoalan serius
–di samping tentu saja berbagai kemajuan yang diraihnya- terutama dari sudut pandang teologis, sehingga islamisasi
ilmu memang perlu dilakukan.[24]
Namun beberapa pemikir muslim kontemporer belum melihat urgensi itu. Akhir
epistimologi sebagai ilmu juga tetap harus dilihat dalam perpektif yang tidak
bebas nilai (free velue), proses kritik dan bersikap adil menjadi niscaya. Wallahualam
biswab.
[1]
Muhammad Azhar,
epistemology & refleksi Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta:
Transmedia Mitra Printika, 2003), hal. 14.
[2] Ibid., hal.
16.
[3] M. Amin
Abdullah, “Aspek Epistemologi Filsafat Islam” dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat
Islam (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), hal. 28.
[4] Suparman
Syukur, Epistemologi Islam Skolastik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2007), hal. 42.
[5] Ibid., hal. 45
[6] M. Amin
Abdullah, op. cit., hal. 30.
[7] Ibid., hal.
31.
[8] Ibid., hal.
31.
[9] Ibid., hal.
32.
[10] Suparman
Sykur, op. cit., hal. 47.
[11] M. Amin
Abdullah, Islamic Studies, di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010), Hal. 123.
[12] Muhammad
Azhar, o p. cit., hal. 2.
[13] Muhammad Baqir
As-Shadr, Falsafatuna (Bandung: Mizan, 1994), hal. 25.
[14] Ibid., hal.
26.
[15] Suparman Sykur, op. cit., hal.
56.
[16] Muhammad Baqir
As-Shadr, op.cit., hal. 37.
[17] Suparman
Sykur, op. cit., hal. 57.
[18] Ibid., hal.
58.
[19] Intuisi
merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran.
[20] Ibid., hal.
58-63
[21] Artikel Nashruddin Syarief, Islamisasi Ilmu Pengetahuan:
Tinjauan Epistemologi . (http://insistnet.com/index.php)
[22] Nushruddin Arief Dalam
artikel yang sama
[23] Doktor
Filsafat lulusan University of Chicago tahun 1996
[24] Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar; Sebuah Respon
terhadap Modernitas, (Jakarta: Erlangga, 2007). Hal. 09.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar