Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Jumat, 11 Januari 2013

pengantar filsafat


PENGANTAR EPISTEMOLOGI
Syahrul

Menurut pengertian bahasa (etimologi) epistemology, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dagobert D. Runes, berarti atau bermakna; sebagai cabang dari filsafat yang menyelidiki tentang keaslian pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan.[1] Sedangkan pengertian epistemology menurut istilah, Miska Muhammad Amin mengemukakan beberapa definisi sebagai berikut:
1.        Menurut Drs. R.B.S. Fudyarto, epistemology berarti ilmu filsafat tentang pengetahuan, atau dengan pendek, filsafat pengetahuan
2.        Menurut antun Suhono, epistemology ialah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan, ialah bagian filsafat mengenai refleksi manusia atas kenyataan.
3.        Menurut A. H. Baker, yang mempersamakan epistemology dengan metodologi dalam penjelasannya sebagai berikut; metodologi dapat difahami sebagai filsafat ilmu pengetahuan.
4.        The Liang Gie mengutip dari The Encyclopaedia of Philosophy, mengemukakan bahwa: epistemology sebagai cabang filsafat yang bersangkutan dengan sifat dasar dan ruang lingkup pengetauan, pra-anggapan pra-anggapan dan dasar-dasarnya serta realibilitas umum dari tuntutan akan pengetahuan.
Jadi epistemology itu meliputi: a. filsafat, yaitu sebagai cabang filsafat yang berusaha mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan; b. metode, yaitu bertujuan mengantar manusia untuk memperoleh pengetahuan; c. sistem, yaitu bertujuan untuk memperoleh realitas kebenaran pengetahuan itu sendiri.[2]
Epistemology adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemology berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Terdapat tiga persoalan pokok dalam bidang ini: (1) apakah sumber-sumber pengetahuan itu? Dari manakah pengetahuan yang benar itu datang dan bagaimanakah kita mengetahui? (2) apakah sifat dasar pengetahuan itu? Apakah ada dunia yang benar-benar di luar pikiran kita, dan kalau ada, apakah kita dapat mengetahui? Ini adalah persoalan tentang apa yang kelihatan (phenomena/appearance) versus hakikat (noumena/essence). (3) apakah pengetahuan kita itu benar (valid) ? bagaimanakah kita dapat membedakan yang benar dari yang salah? Ini adalah soal tentang mengkaji kebenaran atau verifikasi.[3]  
Istilah epistemologi sendiri pertama sekali muncul pada pertengahan abad XIX oleh oleh J.F. Rarrier dalam bukunya ”institute of Metaphysics ”. persoalan epistemologi tersebut sebenarnya sudah dimulai dalam pertentangan antara Heraclitus (535-475 SM) melawan Parmenindes (504-475 SM) yang pada dasarnya merupakan sengketa fundamental, sebab yang mereka persoalkan sudah berupa masalah kebenaran pengetahuan. Bagi Heraclitus, yang ada hanya gerak; tidak ada sesuatu pun yang dapat disebut “ada”, melainkan semuanya “menjadi”.  Segala-galanya dalam keadaan menjadi, segala permulaan adalah mula dari akhir, segala hidup adalah mula dari mati. Dalam dunia tidak ada yang tetap, semuanya berlaku “panta rhei”, semuanya mengalir. Dunia adalah tempat gerak yang bersambungan, tempat kemajuan yang tidak berakhir, yang baru mendapatkan tempatnya dengan menghancurkan dan menewaskan yang lama.
Sedangkan parmenindas membulatkan pokok keterangannya dengan semboyangnya yang pendek: “hanya yang-ada itu ada, yang-tidak ada tidak ada”.  Tidak ada yang lain kecuali yang “ada”. Sebab itu tidak ada yang “menjadi” dan tidak ada pula yang “hilang”. Keduanya itu “menjadi” dan “hilang”, adalah mustahil bagi akal. “menjadi” menyatakan perpisahan dari yang tidak ada ke yang-ada itu “ada” tetap selama-lamanya
Di sini terlihat bahwa pertentangan teori pengetahuan antara Heraclitus dan Parmenindes menyangkut pertentangan antara yang berubah dan yang tetap. Kedua pandangan yang ekstrem itu juga memperlihatkan hal ini, yakni bahwa yang satu menekankan sumber pengetahuan pada pancaindra dan yang lain memberi titik berat pada kemampuan rasio dan mengabaikan kemampuan indra.[4]    
Dalam sejarah filsafat, Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (348-322) merupakan prototype cikal bakal pergumulan antara kedua aliran tersebut. Plato berpendapat bahwa hasil pengamatan indrawi tidak memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-rubah. Karena sifatnya yang berubah-ubah itu, Plato tidak dapat memercayai kebenarannya. Ilmu pengetahuan yang bersumber dari panca indra diragukan kebenarannya. Sesuatu yang tidak mengalami perubahanlah yang dapat dijadikan pedoman sebagai ilmu pengetahuan. Dalam proses pencariannya, Plato menemukan bahwa di seberang sana (di luar wilayah pengamatan indra) ada apa yang disebut dengan “idea”. Dunia ide ini bersifat tetap, tidak berubah-ubah, kekal. Plato memang banyak terpengaruh oleh Phytagoras dan menaruh perhatian begitu besar kepada matematika untuk mempelajari dunia. Alam ide yang tidak berubah itu dianalogkan dengan rumus matematika yang tidak berubah-ubah. Dia menambahkan bahwa alam ide inilah alam yang sesungguhnya (reality). Alam indrawi bukan lah alam yang susungguhnya. Menurut Plato, manusia sejak lahir sudah membawa ide bawaan yang oleh Rene Descartes (1596-1650) dan tokoh-tokoh rasionalis yang lain disebut innate ideas. Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu, dan dari situlah timbulnya ilmu pengetahuan. Ditegaskan oleh Plato bahwa orang tinggal ”mengingat kembali” saja ide-ide bawaan itu, jika dia ingin memahami segala sesuatu. [5] di sini pengalaman indrawi kurang bermakna atau diabaikan.  
Jika dibandingkan dan dibaca dengan teliti dengan QS. An-Nahl: 78: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”. Jika al-Qur’an menyebut dengan tegas bahwa ketika manusia lahir tidak tahu apa-apa, Plato sebaliknya menegaskan secara eksplisit bahwa manusia sudah membawa apa-apa –yakni ide-ide bawaan yang telah dia lihat sebelum hidup di dunia- dan nanti setelah dewasa manusia tinggal mengingat kembali ide-ide bawaan tersebut.[6] Secara jelas Islam mengkritisi epistemology Plato bahkan filosof Yunani pun banyak mengkritisinya.
Pemikiran Plato dalam epistemology akan sangat kontras dengan pemikiran Aristoteles yang mewakili  empiris-indrawi. Aristoteles mengkritisi sekaligus menunjukkan kelemahan epistemology Plato dengan sanggahan bahwa ide-ide bawaan itu tidak ada.[7] Aristoteles mengakui bahwa pengamatan indrawi itu berubah-ubah, tidak tetap, tidak kekal, tetapi dengan pengamatan dan penyidikan yang terus-menerus terhadap hal-hal dan benda-benda konkret, maka akal atau rasio akan dapat melepaskan atau mengabstraksikan ideanya dari benda-benda yang konkret tersebut. Dari situ, muncul idea-idea dan hokum-hukum yang bersifat universal dan dirumuskan oleh akal atau intelek manusia melalui proses pengamatan dan pengalaman indrawi.[8]
Jika Plato memotong dengan tajam hubungan antara dunia idea yang dianggap kekal dan tidak berubah-ubah dan dunia empiris yang berubah-ubah, dengan mengatakan bahwa dunia idea lah yang terpokok dalam uapaya manusia memperoleh ilmu pengetahuan, maka Aristoteles menyangkal itu. Aristoteles tidak memotong hubungan antara dunia idea dan dunia empiris secara radikal, tetapi lebih menekankan pada peran pengamatan dan penyelidikan empiris dalam menemukan dan memperoleh ilmu pengetahuan. Hubungan antara wilayah empiris-inderawi dengan wilayah idea-intelektual tetap dipertahankan oleh Aristoteles, sedang Plato memisahkan keduanya.[9] kecendrungan pemikir/ilmuwan, ahli sejarah sains kontemporer lebih berpihak pada epistemology Aristoteles dengan argumentasi pemikiran model Plato akan menghambat perkembangan sains yang empirik.
Meskipun teori Plato dinyatakan lemah dan menghambat kemajuan sains empiric, tetapi sesungguhnya Plato-lah yang dapat disebut sebagai pencetus epistemology yang pertama, karena ia mencoba membahas pertayaan-pertayaan dasar. Apakah pengetahuan itu? Di mana umumnya pengetahuan ditemukan? Seberapa jauh apa yang biasanya dianggap, perasaan juga memberikan pengetahuan? Dapatkah alasan menunjukkan pengetahuan? Apakah hubungan pengetahuan dan kenyataan?[10]
Dalam sejarah perkembangan epistemologi lebih lanjut muncul corak pemikiran epistemology Immanuel Kant yang mengkritik dua model epistemology sebelumnya yang rasinalis dan empiris. Kant berusaha keras untuk menunjukkan bagaimana seseorang dapat memadukan pandangan yang terbaik dari pihak rasionalis dan empiris, namun ia sendiri tidak menyetujui dua-duanya secara total. Pemecahan terhadap persoalan-persoalan yang diajukan –apa yang dapat diketahui oleh akal dan apa yang tidak dapat diketahui oleh akal- terletak pengakuanya bahwa ada perbedaan pokok antara “apa yang telah diterima (given) oleh akal pikiran dalam bentuk data yang masih berserakan (unordered) dari pengalaman-pengalaman indrawi” dan “apa yang disumbangkan (contribute) oleh akal pikiran sebagai hasil usahanya untuk menerapkan dan memaksakan kerangka pemikiran apriori –yang merupakan sifat dasar dari akal pikiran itu sendiri- terhadap bahan-bahan material yang berserakan tadi”.[11]
Bagi Kant, Indra hanya memiliki kemampuan memberi data belaka; untuk dapat memiliki pengetahuan kita harus menembus pengalaman (data indrawi plus keaktifan akal). Kant tidak berpretensi untuk memisahkan secara praktis antara aspek indrawi dan akali, namun untuk dapat lebih memiliki cara kerja keduanya perlu diadakan upaya pemisahan secara teoritis. Menurut Kant, lahir dan munculnya pengetahuan tidak lain adalah hanya kerja antara unsur akali (a priori) dengan kesan atau serapan inderawi (a posteriori).[12]    


Sumber Pengetahuan
Salah satu perdebatan besar itu adalah diskusi yang mempersoalkan sumber-sumber dan asal-usul pengetahuan yang meneliti, mempelajari dan mencoba mengungkapkan prinsip-prinsip primer kekuatan struktur pikiran yang dianugrahkan kepada manusia. Dengan itu, ia dapat menjawab pertayaan-pertanyaan berikut: bagaimana pengetahuan itu muncul dalam diri manusia? Bagaimana kehidupan intelektualnya tercipta, termasuk setiap pemikiran dan konsep-konsep (notions) yang muncul sejak dini? Dan apakah sumber yang memberikan kepada manusia arus pemikiran dan pengetahuan ini?
Pengetahuan (persepsi) itu terbagi, secara garis besar, menjadi dua. Pertama, konsepsi (at-Tashawwur, bentuk) atau pengetahuan sederhana. Kedua, tashdiq (assent atau pembenaran), yaitu pengetahuan yang mengandung suatu penilaian.[13] Secara singkat akan dibahas berikut ini.
1.        Konsepsi dan Sumber Pokoknya
Pikiran manusia mengandung dua konsepsi. Pertama, pengertian-pengertian konseptual sederhana, seperti pengertian “wujud”, “unitas”, “panas”, “putih”, dan konsepsi-konsepsi tunggal lain manusia. Kedua, pengertian-pengertian majemuk, yakni konsepsi yang merupakan hasil kombinasi antara konsepsi-konsepsi sederhana. Kita, misalnya, mengkonsepsikan “sebungkal gunung dari tanah” dan mengkonsepsikan “sepotong emas”, kemudian kita kombinasikan dua konsepsi itu. Dari kombinasi itu lahirlah konsep ketiga yaitu konsepsi “sebungkal gunung dari emas”.
Konsepsi ketiga ini, pada dasarnya, adalah kombinasi dari dua konsepsi tadi. Demikianlah, semua konsepsi majemuk itu (dapat) disusutkan menjadi unit-unit konseptual sederhana.[14] Sumber hakiki dari masalah tersebut melahirkan teori-teori baru. Teori Plato tentang pengingatan kembali, yakni teori yang berpendapat bahwa pengetahuan adalah fungsi mengingat kembali informasi-informasi yang telah lebih dahulu diperoleh, sumbernya adala “alam ide” keazalian jiwa. Teori ini adalah teori rasional, teori para filsuf Eropa, yakni teori yang bersumber pada sensasi dan fitrah. Artinya adalah, bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indra, tetapi ia sudah ada (tetap) dalam lubuk fitrah. Selain dua teori tersebut di atas terdapat teori empirikal, yakni bahwa pengindraan adalah satu-satunya yang membekali akal manusia dengan konsepsi-konsepsi dan gagasan-gagasan. Potensi mental, akal budi adalah potensi tercermin dalam berbagai persepsi indrawi. Berbeda dengan beberapa teori sebelumnya, teori disposisi adalah teori para filsuf Muslim, yang terangkum dalam pembagian konsepsi-konsepsi mental menjadi dua bagian : konsepsi-konsepsi primer dan konsepsi-konsepsi sekunder.
Konsepsi-konsepsi primer adalah dasar konseptual bagi akal manusia. Ini lahir dari persepsi indrawi secara langsung terhadap kandungan-kandungannya, sedangkan akal menurut teori tersebut adalah sebagai sumber konsepsi-konsepsi sekunder yang mendorong terjadinya daur  penciptaan inovasi dan konstruksi. Inilah yang diistilahkan sebagai intiza’ (disposisi)[15]   
2.        Tashdiq dan Sumber pokoknya
Pengetahuan sebagai pembenaran (tashdiq atau assent) yang melibatkan penilaian (judgement). Orang dapat sampai kepada pengetahuan objektif dengan pengetahuan tashdiq ini. Kita semua mengetahui sejumlah proposisi dan membenarkannya. Diantara proposisi-proposisi itu adalah penilaian (judgement) yang berdasarkan realitas objektif particular, seperti ucapan kita: “cuacanya panas” atau “matahari telah terbit”. Karena itu, proposisi tersebut disebut particular. Termasuk dalam proposisi-proposisi itu penilaian antara dua gagasan umum, seperti dalam pernyataan kita : ”Keseluruhan itu lebih besar daripada bagian-nya”,  ”satu adalah separuh dua”, ”suatu bagian yang tidak terbagi adalah mustahil”, ”panas menyebabkan mendidih”, ”dingin adalah penyebab pembekuan”, dan ”keliling lingkaran lebih besar daripada garis tengahny”. Demikian pula halnya proposisi-proposisi filosifis, fisikal, dan matematis. Proposisi-proposisi seperti itu disebut ”proposisi universal atau umum”. [16]
Untuk mengetahui sumber  pokok pengetahuan ini bisa dicapai melalui dua aliran : rasional dan empirikal. Para filsuf Muslim umumnya memakai landasan rasional yang biasa digunakan untuk memasuki wilayah metafisika, sedangkan landasan empirical didominasi oleh beberapa paham dalam materialisme yang antara lain adalah marxisme.
Menurut pandangan kaum rasionalis, pengetahuan manusia terbagi menjadi dua; pengetahuan intuitif (sifatnya kepastian) yang sumber pokoknya adalah akal. Pengetahuan kepastian disini maksudnya adalah bahwa akal sebagai sumbernya tidak perlu mencari dalil kebenarannya, seperti mengetahui suatu kejadian mesti ada sebabnya. Lain halnya dengan pengetahuan teoritis dan informasi, akal sebagai sumbernya tidak akan memercayainya kecuali kecuali dengan bantuan pengetahuan-pengetahuan ”pendahulu”. Proses pemikiran sangat diperlukan dengan cara menggali kembali pengetahuan terdahulu, seperti mengetahui ”Bumi itu bulat”. Akal tidak mungkin mencapai keputusan bahwa bumi itu bulat kecuali dengan bantuan pengetahuan primer.
Jadi, doktrin rasional menjelaskan bahwa landasan pengetahuan adalah informasi-informasi primer. Lalu di atas informasi itulah berdiri bangunan-bangunan pikiran manusia yang disebut ”informasi sekunder”. Proses penggalian pengetahuan teoritis dari pengetahuan-pengetahuan sebelumnya adalah proses yang dinamakan ”pemikiran” atau ”berpikir”. [17]
Aliran empirisme menyatakan, bahwa pengalaman adalah sumber pertama semua pengetahuan manusia, karena itu jika manusia tidak memiliki pengalaman dalam segala bentuknya, ia tidak akan mengetahui realitas apa pun bagaimanapun terangnya realitas itu. Ini menunjukkan bahwa manusia itu dilahirkan dalam keadaan tidak memiliki pengetahuan. Kesadaran dan pengetahuannya berangkat dari kehidupan praktisnya. Kaum empirisme tidak mengakui adanya pengetahuan rasional yang mendahului pengalaman.[18]
Epistemilogi Ibnu Rusyd
Dalam kajian epistemologi, menarik untuk membahas epistemologi Ibnu Rusyd (Averroes). Seorang filsuf islam termasyhur  baik di dunia islam maupun di Barat, lahir di Cordova pada 1126 M. Selanjutnya untuk memperkaya makalah ini penulis akan menuliskan sekilas epistemologi Ibnu Rusyd. Dalam pembahasan sebelumnya muncul dua sumber pengetahuan yakni akal dan indra, masih terdapat dua sumber lainya yaitu intuisi[19] dan wahyu. Bagaimana hal itu kemudian dikaitkan dengan pendapat Ibnu Rusyd. Ibnu Rusyd sebagai penganut aliran rasional sangat menekankan kekuatan akal sebagai sumber pengetahuan, namun demikian bukan berarti dia menafikkan sumber pengetahuan yang lainnya seperti dinyatakan melalui ucapan yang dikutip Muhammad Atif ‘Iraqi dari Talkhis kitab an-nafs, hal. 68, bahwa Ibnu Rusyd, di samping menekankan sumber pengetahuan Indrawi, imajinasi, ia juga mewajibkan adanya sumber akal.
Dalam Fasl al-Maqal fi ma Baina al-Hikmah wa asy-Syari’ah min al-Ittisal, Ibnu Rusyd menyelaraskan antara wahyu dengan filsafat. Sehingga dengan tegas ia menyatakan, bahwa wahyu (termasuk juga hadis) merupakam sumber pengetahuan. Jika Ibnu Rusyd tidak mencantumkan intuisi sebagai sumber  pengetahuan, hal itu bisa dilacak karena seorang rasionali seperti Ibnu Rusyd berbeda dengan para filsuf Muslim sebelumnya seperti al-Ghazali. Ibnu Sina dan al-Farabi meski semunya adalah anak kandung Yunani yang notabene semuanya rasionalis, namun rasionalitas para filsuf sebelum Ibnu Rusyd tampak diwarnai oleh pemikiran gnosis, serta cara berpikir yang bercorak occasionalistik/atomistic, terpisah-pisah, tidak ada tasalsul, sehingga unsur kausalitas tampak lemah. Menurut mereka ”api” bisa saja tidak membakar, seseorang tidak belajar bisa saja menjadi pandai karena adanya unsur intuisi/ilham yang turun dari langit. Hal seperti itu, menurut H.A.R. Gibb, menyebabkan tidak diterimanya cara berpikir kaum rasionalis dan cara berpikir atas dasar kemanfaatan agama yang tidak terlepas dari akibat-akibat itu. Ibnu Rusyd tidak memandang bahwa intuisi/ilham (pengetahuan tanpa melalui proses penalaran) itu merupakan salah satu sumber pengetahuan.[20]  
Diskursus Islamisasi ilmu; Tinjauan Epistemologi
Tema islamisasi ilmu masih sangat berkaitan dengan pembahasan epistemologi, sehingga akan lebih menarik jika diskursus tersebut melengkapi makalah ini. Syed Mohammad Naquib al-Attas seorang intelektual Muslim kontemporer  yang mencetuskan gagasan islamisasi ilmu. Karena Problem terpenting yang dihadapi umat Islam saat ini adalah masalah ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan modern tidak bebas nilai (netral) sebab dipengaruhi oleh pandangan-pandangan keagamaan, kebudayaan, dan filsafat, yang mencerminkan kesadaran dan pengalaman manusia Barat. ilmu bukan bebas-nilai (value-free), melainkan sarat nilai (value laden)
Islamisasi bukan hanya labelisasi, seperti teknologi Islam, sosiologi Islam, bom Islam, komputer Islam. Bukan pula justifikasi ayat dan hadits terhadap fenomena keilmuan yang ada, seperti menyertakan ayat-ayat al-Qur`an untuk membenarkan penemuan-penemuan dalam iptek. Demikian juga, bukan dengan cara membangun institusi-institusi Islam semata yang terfokus pada penyertaan etika dan estetika Islam di setiap kegiatan pendidikannya. Akan tetapi islamisasi adalah sebuah kerja epistemologis yang memerlukan penguasaan epistemologi Islam yang matang. Kedua tugas yang menantang ini dengan sendirinya mensyaratkan pemahaman yang mendalam mengenai bentuk, jiwa, dan sifat-sifat Islam sebagai agama, kebudayaan dan peradaban, juga mengenai kebudayaan dan peradaban Barat. Dengan kata lain, memerlukan penguasaan terhadap islamic worldview dan oksidentalisme.[21]
Elemen-eleman dan konsep-konsep apa di dalam epistemology barat yang melahirkan kegelisahan dan urgensi islamisasi. setidaknya ada empat yaitu (a) Mengandalkan kekuatan akal semata untuk membimbing manusia mengarungi kehidupan. (b) Mengikuti dengan setia validitas pandangan dualistis mengenai realitas dan kebenaran. (c) Membenarkan aspek temporal wujud yang memproyeksikan suatu pandangan dunia sekuler. (d) Pembelaan terhadap doktrin humanisme. (e) Peniruan terhadap drama dan tragedi yang dianggap sebagai realitas universal dalam kehidupan spiritual, atau transendental, atau kehidupan batin manusia, yaitu dengan menjadikan drama dan tragedi sebagai elemen yang riil dan dominan dalam jati diri dan eksistensi manusia.
Menjadi hal yang lumrah jika sebuah peradaban melakukan naturalisasi terhadap konsep keilmuan dari luar seperti halnya ilmu dan filsafat mengalami helenisasi (peng-Yunani-an), lalu Kristenisasi pada masa Romawi, Islamisasi pada masa-masa kejayaan umat Islam, dan kemudian westernisasi setelah masa Renaisans. Sebagai pembuktiannya, kenapa para ilmuwan besar seperti Laplace, Darwin, dan Freud, dengan pengetahuan mereka yang mendalam tentang fenomena alam, justru menolak keberadaan Tuhan.
Ketika peradaban Barat membedakan sumber pengetahuan antara yang empiris, logis, intuitif, wahyu, dan iluminasionisme, kemudian mereka hanya mengakui yang logis-empiris saja sebagai sumber pengetahuan yang valid, dengan menegasikan wahyu dan intuisi, maka dalam peradaban Islam hal seperti itu tidak pernah ditemukan.Lihat misalnya pemikiran al-Nasafi yang menyatakan terdapat tiga saluran yang menjadi sumber ilmu, yaitu perspesi indera (idrâk al-hawâs), proses akal sehat (ta'âqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar shâdiq). Oleh al-Attas, penguraian seperti al-Nasafi di atas dihitung empat, dengan memisahkan proses akal sehat dan intuisi hati.
Konsekuensinya, Islam tidak mengenal dikotomi ilmu; yang satu diakui, yang lainnya tidak.Yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan pada wahyu tidak dikategorikan ilmiah.Semua jenis pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris, apalagi yang sifatnya wahyu (revelational), diakui sebagai sesuatu yang ilmiah.Dalam khazanah pemikiran Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau diferensiasi (perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.[22]
Urgensi islamisasi ilmu juga diamini oleh Mulyadhi Kartanegara[23], setelah mempelajari perkembangan ilmu modern, saya sampai pada kesimpulan bahwa ternyata pandangan keilmuan modern telah menimbulkan persoalan-persoalan serius –di samping tentu saja berbagai kemajuan yang diraihnya- terutama dari  sudut pandang teologis, sehingga islamisasi ilmu memang perlu dilakukan.[24] Namun beberapa pemikir muslim kontemporer belum melihat urgensi itu. Akhir epistimologi sebagai ilmu juga tetap harus dilihat dalam perpektif yang tidak bebas nilai (free velue), proses kritik dan bersikap adil menjadi niscaya. Wallahualam biswab.   


[1] Muhammad Azhar, epistemology & refleksi Pemikiran Islam Kontemporer (Yogyakarta: Transmedia Mitra Printika, 2003), hal. 14.
[2] Ibid., hal. 16.
[3] M. Amin Abdullah, “Aspek Epistemologi Filsafat Islam” dalam Irma Fatimah (ed.), Filsafat Islam (Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam, 1992), hal. 28.
[4] Suparman Syukur, Epistemologi Islam Skolastik (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 42.
[5] Ibid., hal. 45
[6] M. Amin Abdullah, op. cit., hal. 30.
[7] Ibid., hal. 31.
[8] Ibid., hal. 31.
[9] Ibid., hal. 32.
[10] Suparman Sykur, op. cit., hal. 47.
[11] M. Amin Abdullah, Islamic Studies, di Perguruan Tinggi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), Hal. 123.
[12] Muhammad Azhar, o p. cit., hal. 2.
[13] Muhammad Baqir As-Shadr, Falsafatuna (Bandung: Mizan, 1994), hal. 25.
[14] Ibid., hal. 26.
[15] Suparman Sykur, op. cit., hal. 56.
[16] Muhammad Baqir As-Shadr, op.cit., hal. 37.
[17] Suparman Sykur, op. cit., hal. 57.
[18] Ibid., hal. 58.
[19] Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran.
[20] Ibid., hal. 58-63
[21] Artikel Nashruddin Syarief, Islamisasi Ilmu Pengetahuan: Tinjauan Epistemologi . (http://insistnet.com/index.php)
[22] Nushruddin Arief Dalam artikel yang sama
[23] Doktor Filsafat lulusan University of Chicago tahun 1996
[24] Mulyadhi Kartanegara, Mengislamkan Nalar; Sebuah Respon terhadap Modernitas, (Jakarta: Erlangga, 2007). Hal. 09.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar