Berbicara tentang pendidikan, merupakan sebuah tema yang selalu menarik untuk didiskusikan, baik yang mencoba mengkritisi maupun yang menformulasikan konsep-konsep pendidikan yang kekinian dan termoderenkan, sebagian lagi membentuk pendidikan-pendidikan alternatif setelah merasa kecewa dengan hasil dari pendidikan nasional kita yang dianggap sekuler dan terlalu mahal dengan alumni-alumni yang belum mampu menjawab tantangan zaman. Dikotomis dalam kamus besar bahasa Indonesia bermakna pembagian atas dua konsep yang bertentangan (hlm. 233), Yang bertentangan dengan makna integral, penyatuan dan pemaduan beberapa konsep menjadi satu, tidak terpisah, menyatu dan menyeluruh. Sementara sekuler secara awam dapat dimaknai pemisahan antara keduniawian dengan akherat.
Tambahan isme dibelakan sekuler akan bermakna sebuah paham.
Apabila diperhatikan dengan seksama UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003 Bab VI tentang jalur, jenjang dan jenis pendidikan berbunyi: jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi, advokasi, keagamaan, dan khusus., harus diakui ada dikotomi –kalau tidak mau dikatan sekuler- antara jenis pendidikan umum dengan pendidikan agama begitu pula dengan jenis pendidikan yang lain. Pendidikan umum belajar ilmu agama sekedarnya dan pendidikan agama belajar ilmu umum sekedarnya. Sehingga ahli sains minus agama, ahli agama minus sains dan teknologi.
Hal ini diperkuat pada bab BAB X pasal 37 UU Sisdiknas tentang ketentuan kurikulum pendidikan dasar dan menengah yang mewajibkan memuat sepuluh bidang mata pelajaran dengan pendidikan agama yang tidak proposional dan tidak dijadikan landasan bagi bidang pelajaran yang lainnya. Maka menjadi sangat mustahil mewujudkan tujuan pendidikan nasioanal kita agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki spritual keagamaan, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara. (UU Sisdiknas, 2005: 3). Dan tujuan yang mulia itu pun semakin jauh dari harapan dan angan-angan kita ketika menyaksikan amburadulnya bangsa ini karena ulah orang-orang yang berpendidikan tinggi minus nilai-nilai agama sebagai karakter, maka tidak heran kemudian ketika Kementrian Pendidikan Nasional M. Nuh kembali mengingatkan pada pendidikan karakter sebagai jati diri pendidikan.
Tetapi sangat disayangkan kemudian formulasi nilai-nila karakter yang diajarkan di sekolah-sekolah kemudian menjadi dikotomis dan sekuler. Rumusan nilai/materi dalam pendidikan karakter di pendidikan Nasional bangsa Indonesia, dalam hal ini kementerian Pendidikan Nasional (Kementerian Pendidikan Nasional, Badan penelitian dan pengembangan, Pusat Kurikulum (2011)., terdapat 18 nilai karakter, yang mencakup : Religius, Jujur, toleran, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan tanggung jawab. (Zamroni, 2011: 5). Pengertian nilai religius mejadi sebuah pertanyaan penting di sini, dan bagaimana seorang guru harus memaknainya dan menjelaskan serta menanamkanya kepada siswa di sekolah. Apakah prilaku religius hanya berhanti pada ritual-ritual keagamaan semata ?, trus jujur serta disiplin bukan mengamalkan nilai religi (agama) ?.
Dalam salah satu kesimpulan penelitian (skripsi) penulis, bahwa ada dikotomisasi penanaman nilai-nilai karakter. Dapat dilahat antara nilai religius dengan nilai-nilai lainnya. Nilai agama/religius hanya menjadi salah satu pilar/nilai yang terpisah dengan nilai-nilai karakter yang lain. Sementara di dalam pendidikan Islam semua nilai-nilai kebaikan harus berlandaskan pada Tuhan, sehingga semua nilai-nilai karakter tidak bermakna tanpa landasan nilai ilahiyah (Iman). Semua nilai-nilai kebaikan atau karakter itu harus terinspirasi dan berdasar pada nilai religi sebagai perwujudan keimanan kepada Allah swt. Seperti halnya nilai kebaikan sebagai amal shaleh seseorang ataupun karakter jujur, disiplin, kerja keras tidak akan bermakna di hadapa Allah, bila tidak dilandasi oleh keimanan kepadaNya.
Jika kita gambarkan secara vertikal maka dapat dibaca bahwa nilai religius berada pada puncak pyramid yang kemudian memberikan warna (sibghoh) kepada nilai-nilai dibawahnya. Sehingga nilai disiplin, nilai kejujuran, cinta tanah air dan lainnya tidak pernah melepaskan diri dari nilai religius. Berprilaku jujur, disiplin, cinta tanah air, toleran, kerja keras dan nilai lainnya sama dengan mengamalkan agama (religius) atau beribadah, seperti mengamalkan ibadah-ibadah ritual lainnya. Tidak dengan memisah-misahnya. Sehingga kecendrungan sebagaian besar pelajar dan bahkan guru menjadikan pembelajaran matematika, fisika, kegiatan laboraturium an sich kegiatan akademik bukan bagian dari kegiatan ibadah. Pembelajaran agama tercerabut dari pengetahuan sains dan teknologi. Aktifitas ibadah ritual (mahdhah) serius dan khusuk karena diganjar surga sementara belajar sains menjadi tidak khusuk lagi karena urusun duniawi semata. Dan sebaliknya.
Diperparah lagi ketika guru selalu mengidentikkan dan menilai seorang siswa sebagai anak yang shaleh (religius) ketika mereka aktif di mesjid, shalat, puasa dan berdoa. Sementara mereka yang rajin membaca, peduli lingkungan, disiplin dan jujur tidak menjadi indikator keshalehan. Tentunya sangat mengkhawatirkan ketika nilai-nilai karakter diajarkan secara berpisah tidak integral. Pendidikan yang semacam ini hanya melahirkan manusia-manusia yang pincang. Masyarakat Jepang sangat dikenal dengan nilai kejujur, disiplin, dan kerja keras yang tinggi meskipun meraka atheis (tidak bertuhan), dengan kata lain orang bisa saja menjadi baik tanpa agama. Di Indonesia tiap tahun jama’ah haji membludak tapi setiap tahun pula kita rasa-rasanya tidak mendapatkan kehadiran mereka membawa perubahan sosial, koruptor-koruptor pun banyak yang bergelar “Haji”. agama yang seyogyanya menjadi rahmat (kebaikan) bagi kehidupan sesama telah tercerabut dan terkunci di tempat-tempat ibadah. Agama tidak lagi fungsional bagi pemeluknya.
Harus diakui bersama pendidikan agama di sekolah-sekolah tidak begitu mendapatkan tempat baik oleh pemerintah maupun oleh sekolah sendiri. Setiap tahun kita dipertontonkan kegelisahan wali siswa, guru-guru, dan pemerintah daerah dan pusat untuk mensukseskan hasil UN yang maksimal. Kegelisahan itu mengantarkan pada pemadatan kegiatan di sekolah dengan les-les dan seabrek tugas latihan, yang masih merasa kurang tidak segang-segan mengeluarkan uang untuk ikut bimbingan belajar. Tetapi sayang kegelisahan akan hasil UN tidak dibarengi dengan kegelisahan kondisi keagamaan mereka. Bisakah membaca al-Qur’an, sudah benarkah ibadah shalat mereka, bagaimana akhlak mereka, Bagaimana pendidikan agama di sekolah dijalankan?. Yang terjadi kemudian kelulusan dirayakan dengan tindakan-tindakan amoral seperti konvoi-konvoi, corat coret, mabuk mabukan dan tidak sedikit melampiaskan seks bebas dengan pasangannya. Na’udzubillah.
Renungan
Peryataan prof. Arif Rahman dalam sebuah ceramah Ramadhna di stasiun TV Swasta sebaiknya menjadi renungan bersama, bahwa gagalnya sebuah pendidikan adalah ketika pendidikan itu tidak mampu mengantarkan peserta didik mengenal Tuhannya. Seharusnya orang yang belajar biologi, semakin ia mempelajari, memperdalam dan meneliti sesuatu semakin bertambah ketakwaannya kepada Tuhan. Subhanallah maa khalaqta hadza baathilaa, Maha Suci Allah tidak ada yang engkau ciptakan sia-sia. Begitu pula yang belajar politik (syiyasah), semakin belajar semakin merasakan betapa indah, teratur, dan sempurna aturan-aturan Allah. Tidak semakin menjadikan seseorang semakin rakus kekuasaan sehingga menjadikan kedudukan yang maha Kuasa menggantikan Ketuhanan yang Maha Esa.
Sebagai anak bangsa yang peduli pada bangsa dan agama ini, sebaiknya kita merenung dan bermuhasabah kembali kemudian memperbaiki langkah-langkah yang keliru lalu melangkah lagi. Pertama, Hentikan pola-pola pengajaran yang parsial, sepotong-sepotong pada semua mata pelajara. Kedua, kembalikan penanaman nilai karakter merujuk pada karakter islami yang menjadikan agama sebagai barometer kebaikan yang pertama dan utama di sekolah-sekolah. Pembiaran pengajaran yang dikotomi akan sangat berbahaya bagi generasi selanjutnya, hanya akan membawa dampak polarisasi pemikiran sekuler bawah sadar yang memandang dunia dan agama berbeda. Ibadah lancar, sedekah jor-joran tetapi korupsi tetap semangat, menyakiti orang lain tetap istiqamah.
Ketiga, kembalikan pengajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) fungsional, tidak berorientasi nilai semata. Hubungan dengan Allah (mablun minallah) harus berjalan seiring dengan hubungan dengan manusia (hablun minannas). Adagium Arab berbunyi, “al-ilmu bila amalin kassyajari bi tsamarin”, ilmu tanpa amal bagaikan pohon tak berbuah. Bahkan Hubungan vertical kepada Allah seperti puasa, haji dll. apabila tidak dapat dilakukan secara sempurna, dapat disempurnakan melalui fidyah, dam, membebaskan budak, dan infak sedekah yang semuanya berdimensi sosial. Ibadah puasa yang yang sangat individual pun pahalanya masih digantung sebelum menunaikan zakat. Banyak lagi hadis nabi yang menjadikan indicator kesempurnaan iman seseorang selalu dikaitkan bagaimana ia melayani tamunya, manusia aman dari gangguan lisan dan tangannya, dan interaksi-interaksi sosial yang lain.
Mari kita renungkan hadis dari Rasulullah saw., beliau bersabda : "Bertakwalah kepada Allah di mana saja engkau berada. Sertailah (tutuplah) kejelekan itu dengan kebaikan, niscaya kebaikan tadi akan menghapus kejelekan, dan gaulilah manusia dengan akhlak yang baik." (HR. Turmudzi).
Ketakwaan tidak bisa hanya di tempatkan di mesjid-mesjid saja, jika sudah ke kantor, pasar, dan tempat kerja lainnya ketakwaan kemudian ditanggalkan dan dikunci. Berakhlak mulia merupakan ciri islam, maka jagalah agar rahmat tersebar di muka bumi. Wallahualam
Syahrul, S.Pd.I, Guru PAI SMP Muh. 2 Sawangan dan Mahasiswa Pascasarjana UMY Yogyakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar