Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Senin, 20 Mei 2013

Kejayaan Islam



PERIODE PERTENGAHAN (THE MIDDLE AGES)
MASA KEJAYAAN ISLAM (THE GOLDEN AGE OF ISLAM)
Syahrul

A.    Pendahuluan
Berbicara masa kejayaan Islam dalam kebudayaan dan peradaban Islam tentunya juga akan berbicara tentang sejarah baik secara kronologis maupun nilai-nilainya. Makna sejarah juga bisa mengacu kepada, paling sedikit, dua konsep terpisah: sejarah yang tersusun dari serangkaian peristiwa masa lampau, keseluruhan pengalaman manusia; dan sejarah sebagai suatu cara yang dengannya fakta-fakta diseleksi, diubah-ubah, dijabarkan dan dianalisis.[1] Salah satu inti isi kandungan al-Qur’an adalah sejarah, bahkan salah satu nama surat ke-28 adalah al-Qashash  (kisah-kisah) agar manusia (ulil albab) mengambil pelajaran (la’allakum tatafakkarun). Wal tandhur nafsun ma qaddamat li ghad (perhatikan sejarahmu untuk hari esokmu) (QS 59;18).
Kegunaan sejarah antara lain; pertama, untuk kelestarian identitas kelompok dan memperkuat daya tahan kelompok itu bagi kelangsungan hidupnya. Kedua, sejarah berguna sebagai pengambilan pelajaran dan tauladan dari contoh-contoh di masa lampau, sehingga sejarah memberikan azas manfaat secara lebih khusus demi kelangsungan hidup itu. Ketiga, sejarah berfungsi sebagai sarana pemahaman mengenai hidup dan mati.[2] Dalam makalah ini kajian sejarah tidak hanya sebatas kronologis saja (pendekatan kesejarahan), tapi juga historic-critical method  –meminjam istilah William Montgomery Watt- sebuah pendekatan kesejarahan yang pada prinsipnya bertujuan menemukan fakta-fakta objektif secara utuh dan mencari nilai-nilai tertentu yang terkandung di dalamnya. Yang ditekankan dalam metode ini adalah pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah data sejarah, bukan peristiwa itu sendiri.[3]
Agar pembahasan tidak meluas, perlu kiranya dibatasi pada apa yang dinamakan kejayaan Islam, dari sudut mana Islam dianggap Berjaya dan maju?. Yang tidak kalah pentingnya adalah menentukan masa/periode pertengahan dalam tinjauan sejarah. Makalah ini akan menganalisis kajayaan Islam dalam sudut luasnya wilayah geografis –penyajian fakta-fakta sejarah- dan penguasaan ilmu pengetahuan di abad pertengahan. Ilmu pengetahuan merupakan ruh sebuah peradaban. Abad pertengahan diperkirakan dimulai dari abad ke-5 hingga 1450. Beberapa ahli sejarah menyimpulkan penguasaan Islam dalam ilmu pengetahuan berkembang sejak abad ke-8 dan ke-12 saja. Akan tetapi, puncaknya di masa kekhilafahan selama empat abad dari abad ke-13 hingga ke-16, khususnya di Negara-negara Islam wilayah timur.[4] dalam makalah ini tidak dibahas secara mendalam pergolakan politik pada masa itu, hanya bersifat sepintas lalu karena tidak begitu urgen, seperti yang diakui oleh W. Montgomery Watt ketika satu kekhilafahan rontok dan berganti dengan dinasti lain kelompok rakyat (society) masih tetap bersatu. Sebagian besar masih merasa sebagai satu kelompok. Semua sudah bersatu di dalam peninggalan Muhammad, Rasulullah, semua telah memandang dunia dalam kerangka skema intelektual yang berdasar Qur’an, dan setidak-tidaknya mengaku bahwa kehidupan mereka dibimbing oleh Kitabullah dan Sunnah Nabi.[5]
B.     Rumusan masalah  
Dari uraian diatas kemudian dibuatlah rumusan masalah yang akan dielaborasi lebih mendalam dalam makalah ini. Makalah ini akan menjawab;
1.      Seberapa luaskah wilayah geografis kekhalifahan Islam pada awal pertengahan?
2.      Apa saja pencapaian dalam bidang ilmu pengetahuan pada masa kejayaan Islam abad pertengahan?
3.      Apa saja faktor-faktor kemunduran ilmu pengetahuan Islam setelah abad pertengahan?
C.     Pembahasan dan Analisis
Luas Wilayah Geografis
Pada dasarnya Islam dalam menyebarkan agama tidaklah menggunakan kekerasan demi kekerasan karena Islam sendiri agama damai, cinta akan kebaikan (rahmatan lilalamin). Padangan-pandangan miring bahwa Islam disebarkan dengan bayangan pedang (sword) masih butuh pembuktian dan fakta-fakta yang jelas. Perang yang dilakukan Islam sebagai pembelaan diri (Q.S. 22: 190). Dalam pembelaan diri ini, Islam mengajarkan untuk mempersiapkan diri dan menyemakan persenjataannya dengan apa yang dimiliki oleh lawan.[6] Tambahan lagi, dengan adanya kebangkitan kesadaran hukum Allah yang diajarkan oleh Rasulullah saw yang mengatur hidup dan kehidupan, baik untuk rakyat jelata maupun bagi para penguasa. Ajaran ini dinilai sangat menggoyahkan kekuasaan absolutism dari kekaisaran Romawi dan Persia karena saat itu, mereka tidak mengenal pembatasan kekuasaan kekaisarannya dengan hukum.[7] Tentunya kedatangan Islam mendapat sambutan hangat dari masyarakat setempat atas ajaran dan cara damai yang ditempuh pasukan Islam. Seperti yang ditunjukkan oleh Umar dan Shalahuddin al-Ayyubi.
Seratus tahun kemudian, sesudah Rasulullah wafat, 632-732 M, daerah pengaruh Islam telah membentang jauh keluar dari wilayah Jazirah Arabia. Di Barat, Telah memasuki wilayah Eropa hingga ke Perancis. Di Timur, masuk ke India dan Cina serta Nusantara Indonesia. Ke Utara, Islam berpengaruh Besar di perbatasan Rusia Selatan dan di Selatan, Sampai Afrika Selatan.[8] 
Perluasan wilayah dimulai secara massif ketika Umar bin Khaththab (13-24 H/634-644 M) menjadi khalifah. Islam berhasil menandingi kekuatan maritime Kekaisaran Persia dan Romawi. Pada tahun 15 H/635 M. berhasil membebaskan Palestina dan Syiria dari kekuasaan Kekaisaran Romawi oleh Jendral Khalid bin Walid dan disusul pada 17 H/637 M membebaskan Persia. Tiga tahun kemudian, 639-642 M diadakan penyeberangan di bawah pimpinan jendral Amru bin Ash membebaskan rakyat Mesir dari penindasan kekuasaan Kekaisaran Romawi. Pada tahun 22 H/643 M masih dalam masa Khalifah Umar bin Khaththab didudukinya Tripoli. Kemudian, di bawah masa Khalifah Utsman bin Affan, 24-36 H/644-656 M dibebaskan pula Tunisia.[9]
 Perkembangan Ilmu Pengetahuan di masa Daulah Umayah
Kesuksesan Islam membangun peradaban yang gemilang yang melampau masanya terletak pada pemahaman agama yang benar. Sejarawan modern setuju bahwa Islam memiliki “daya penggerak” dibalik ilmu pengetahuan dan peradaban. Dua sumber utama, al-Qur’an dan Hadist Nabi. Al-Qur’an menyatakan, “Allah akan mengangkat satu derajat bagi orang yang beriman dan berilmu”  dan “Orang yang berilmu dengan yang tidak berilmu, tidak sama. Sabda Nabi, “menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim”, “menuntut ilmu dari ayunan” dan menuntut ilmu itu tak mengenal jarak meskipun ke negeri Cina. Inilah yang menjadi penggerak utama kebangkitan Islam dalam peradaban ilmu. Hal ini tentunya berbeda dengan perjalan panjang Barat dalam menciptakan masa pencerahan karena tertekan oleh otoritas gereja, seperti dalam kasus Galileo.
Berikut ini akan dipaparkan secara singkat tokoh-tokoh ilmuwan Islam dan cabang-cabang keilmuan yang menjadi keahlian mereka. Tentunya butuh ruang yang tidak sedikit dalam menggambarkan secara utuh tapi karena terbatasnya makalah ini maka akan dibagi menjadi tiga kawasan/masa. Pada masa kekhalifahan Bani Umayyah, Kekhalifahan Abbasiyyah, dan Umayyah di Andalusia.  
Pembidangan ilmu pada masa daulah Umayyah ini dibagi menjadi dua yaitu ilmu baru (al-adabul hadisah) dan ilmu lama (al-adabul qadimah). Adapun ilmu-ilmu baru terbagi menjadi:
a.       Al-Ulumul Islamiyah, di antaranya ilmu-ilmu al-Qur’an, Hadis, Fikih, ‘Ulumul Lisaniyah, Tarikh, dan Jughrafi atau geografi.
b.      Al-‘Ulumul Dakhiliyah, merupakan ilmu perluasan oleh kemajuan Islam, diantaranya thib (kedokteran), filsafat; ilmu pasti dan ilmu eksakta lainnya. Al-Adabul Qadimah, merupakan ilmu-ilmu yang telah ada sejak masa Jahiliyah, diantaranya syair, lugah, khitabah dan amsal
Tokoh-tokoh dalam masa pemerintahan Daulah Umayyah antara lain:
a.       Abdullah Bin Abbas yang dikenal mempunyai keluasan ilmu dalam bidang hadsi dan hukum, beliau juga mempunyai keahlian dalam ilmu tafsir al-Qur’an dan diberi gelar hibr al-ummah (wali umat ini)
b.      Abdullah Ibn Mas’ud seorang tokoh otoritatif dalam bidang hadis. Beliau telah meriwayatkan 848 hadis Nabi saw.
c.       Hasan al-Bashri yang merupakan ahli hadis dan pakar hukum.[10] 
Perkembangan Ilmu di Masa Abbasiyah
Tokoh-tokoh ilmuwan muslim pada bidangnya masing
1.      Bidang Kedokteran
a.       Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dengan measles. Ar-Razi dianggap sebagai penemu prinsip seton dalam operasi. Diantara monografnya, yang paling terkenal adalah risalah tentang bisul dan cacat air (al-judari wa al-hasbah), dan menjadi karya pertama dalam bidang tersebut. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai kedokteran anak.
b.      Ibnu Sina (Avicenna) biasa disebut sebagai al-Syaikh al-ra’is (pemimpin orang terpelajar). Ibnu Sina adalah seorang filosof yang berhasil menemukan system peredaran darah pada manusia. Diantara karyanya adalah al-Qanun fi al-Tibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran terbesar dalam sejarah
c.       Ibnu Masawyh, yang berhasil menulis risalah sistematika berbahasa Arab paling tua tentang optalmologi (gangguan mata)
2.      Bidang Astronomi dan Matematika
a.       Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari adalah astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolabe yang meniru bentuk astrolabe Yunani
b.      Abu al-Abbas Ahmad al-Farghani dari fargana Transoxiana, yang dikenal di Eropa dengan nama al-Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang berjudul al-Mudkhil ila ‘Ilm Haya’ah al-Aflak diterjemahkan ke dalam bahasa latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis
c.       Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi, merupakan tokoh utama dalam bidang matematika Arab. Selain menyusun table astronomi tertua, al-Khawarizmi juga menulis karya tertua tentang aritmatika. Salah satu karyanya adalah Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar.
d.      Abu Abdullah Muhammad ibn Jabir al-Battani seorang peneliti yang mengoreksi beberapa kesimpulan Ptolemius dalam karya-karyanya, dan memperbaiki orbit bulan, dan beberapa planet.
3.      Bidang Kimia
Jabir bin Hayyan (Geber) merupakan tokoh terbesar dalam bidang ilmu kimia pada Abad Pertengahan dan menjadi Bapak Kimia bangsa Arab.
4.      Bidang Filsafat
a.       Al-Kindi atau Yusuf ibn Ishaq, ia memperoleh gelar “Filosof Bangsa Arab”, merupakan representasi pertama dan terakhir dari seorang murid Aristoteles di dunia Timur yang murni keturunan Arab.
b.      Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan Abu Nashr al-Farabi, system filsafatnya merupakan campuran antara platonisme, Aristotelianisme, dan mistisme sehingga dijuluki al-Mu’allim as-Tsani (guru kedua) setelah Aristoteles.
c.       Ibnu Sina, selain sebagai ahli kedokteran juga banyak mengadopsi pandangan filosofis al-Farabi. Salah satu karangannya adalah as-Syifa’.
d.      Ibnu Rusyd yang lebih dikenal dengan nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat.
e.       Ikhwanus Safa dengan buku berjudul Rasail Ikhwanus Safa.
5.      Bidang Zoology dan Antropologi
a.       Abu Usman Amr ibn Bahr al-Jahiz, terkenal dengan dengan karyanya Kitab al-Hayawan (Buku tentang Hewan).
b.      Al-Biruni, (juga dikenal di dunia Barat dengan sebutan Aliboron) adalah salah satu ilmuan terbesar dalam sejarah Islam. Sebagian ahli bahkan tak ragu menyebutnya sebagai ilmuan terbesar yang pernah ada. Bidang keahlian al-Biruni meliputi fisika, antropologi, psikologi, astronomi, kimia, sejarah, geografi, geodesi, geologi, matematika, farmasi, filosofi, dan ia juga seorang guru agama.[11] Ilmuwan multidisiplin yang sangat langka.[12]
6.      Dalam bidang ilmu tafsir
a.       Ibnu Jarir at-Thabari
b.      Muhammad bin Ishaq
c.       Az-Zamakhsyari
d.      Al-Qusyairi[13]
7.      Bidang Hadis
a.       Muhammad ibn Ismail al-Bukhari. Beliau memiliki 7937 dari 600.000 hadis yang ia peroleh dari 1.000 guru dalam rentang waktu 16 tahun perjalanan dan kerja kerasnya di Persia, Irak, Suriah, Hijaz, dan Mesir, yang dikelompokkan berdasarkan tema seperti salat, ibadah haji, dan perang suci.
b.      Muslim ibn al-Hajjaj yang terkenal dengan karyanya as-Shahih, kumpulan hadis asli. Muncul beberapa hadis lainnya, yaitu Sunan Abu Dawud, Jami’ al-Tirmizi, Sunan Ibn Majah, dan Sunan Nasa’i.
8.      Bidang Fikih
a.       Imam Abu Hanifah
b.      Imam Malik bin Anas
c.       Muhammad bin Idris asy-Syafi’i. Pencapaian asy-syafi’I terbesar dalam bidang hokum terletak dalam pembentukan disiplin baru, yaitu bidang usul fiqh, sumber-sumber hokum, atau bisa dikatakan, asas-asas jurisprudensi. Bagi asy-Syafi’I sumber-sumbernya adalah Kitab, Sunnah, dan Konsensus (Ijma’ dari komunitas, dan analogi (qiyas).[14]
d.      Imam Ahmad bin Hambal[15]
9.      Bidang optikal
Abu Ali al-Hasan Ibn al-Haytami, di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata.
10.  Bidang Geografi
Yaqut ibn Abdullah al-Hamawi, adalah ahli geografi muslim terbesar dari Timur yang menulis kamus geografi, Mu’jam al-Buldan.[16]
Masa Emas Islam di Spayol
Pembukaan Eropa berawal pada 711 semasa kepemimpinan Dinasti Umayyah. Seorang sahabat Rasul, Thariq bn Ziyad, yang memimpin pasukan muslim dan berhasil membuka Eropa. Diutus ke sana oleh Musa bin Nushair, seorang Gubernur Afrika Utara. Bersama tujuh ribu pasukan, Thariq berangkat dari Afrika Utara menuju kawasan dekat gunung yang kemudian dinamakan Jabal (gunung) Thariq, saat ini disebut dengan Gibraltar. Ia pun dengan mudah menguasainya. Dari Gibraltar inilah kekuasaan muslim kemudian meluas ke seluruh semenanjung Iberia.[17]
Sebelum Islam menyentuh Eropa, Spayol masih pada masa kegelapan dan keterbelakangan. Kemajuan itu tidak terlepas dari sosok seorang pelopor bernama ‘Abd ar-Rahman ibn Mu’awiyah atau ‘Abd Rahman I. Kekhilafahan Bani Umayyah di Andalusia, sejarah telah menyebutnya, merupakan sebuah mutiara jaman. Kemajuan peradaban, kota metropolitan, Negara adi daya, ilmu pengetahuan dan sains adalah cirri khas Andalusia pada waktu  itu. Ketika bangsa Eropa berada pada masa kebodohan dan keterbelakangan, Andalusia dengan ibukotanya Kordoba (Cordova) mengalami kemajuan yang sangat pesat. Orang Eropa pada waktu itu melihat Andalusia bagaikan, saat ini, bangsa terbelakang Afrika mendapati Amerika Serikat dan Eropa Barat. Ketika jalan-jalan di kota London dan Paris gelap, becek, dan terbelakang, kota-kota Islam di Andalusia seperti Kordoba, Sevilla, Toledo dan sebagainya indah, megah, dan gemerlap dengan lampu-lampu. Kota yang sangat maju dengan jalan-jalan beraspal. Mereka dari Eropa ketika memasuki kota-kota itu terperangah menyaksikan. Semua orang bermigrasi menjadi penduduk kota metropolitan pada waktu itu.[18]  
Pembangunan fisik yang paling menonjol di Spanyol saat itu adalah pembangunan kota, istana, masjid, pemukiman, dan taman-taman. Yang terkenal antara lain Masjid Cordoba, kota az-Zahra, istana Ja’fariyah di Saragoza, tembok Toledo, istana al-Makmun, mesjid Sevilla dan istana al-Hamra di Granada. Disamping kemajuan pembangunan fisik yang menakjubkan Islam di Spanyol memberikan sumbangan yang sangat besar pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Diantaranya bidang filsafat dengan tokohnya Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh, sains dengan tokohnya Abbas ibn Fama yang termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Dalam bidang sejarah dan geografi, banyak pemikir terkenal yang lahir, yaitu Ibn Jubair dari Valencia (1145-1228 M), Ibn Bathuthah dari Tangier (1304-1337 M), dan Ibn Khaldun (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada.[19]     
Kemunduran masa keemasan Islam (the golden age of silam) atau berakhirnya kejayaan Islam dalam segala bidang tidak lepas dari peristiwa penyerbuan pasukan Mongol ke Bagdad pimpinan Hulagu Khan. Pasukan yang jauh dari peradaban ilmu tentunya melakukan penghancuran yang biadab. Tercatat dalam sejarah bagaimana  kekejaman yang dilakukan sehingga kota bagdad berubah menjadi kota yang sangat menyeramkan. Bangsa Mongol menghancurkan istana dan rumah penduduk, membunuh khalifah, dan memporak porandakan perpustakaan. Konon sungai Tigris memerah karena cucuran darah para penduduk dan juga menghitam karena lelehan tinta dari buku-buku manuskrip yang dihempaskan ke sungai itu.
Banyak analisis sejarah yang mengungkapkan sebab-sebab kemunduran kejayaan Islam. Salah satu artikel Ahmad Y. al-Hassan[20], mengupas dan menganalisis faktor-faktor di balik kemunduran ilmu pengetahuan Islam setelah Abad ke-16. Beberapa pandangan yang keliru dalam melihat faktor kemunduran ilmu pengetahuan dalam Islam mendapat kritikan tajam dalam tulisan ini. Pertama, teolog dan sains: bahwa pandangan Ash’ari dan al-Ghazali merupakan penghambat kemajuan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan. Menurut Sarton, pengembangan ilmu pengetahuan memiliki tempat baik di Timur maupun di Barat sampai Abad ke-16, ketika ilmu pengetahuan Barat mulai tumbah, peradaban Timur berhenti dan memburuk. Sehingga kesimpulannya di sini bahwa perbedaan antara Barat dan Timur (Islam) adalah, yang pertama memperoleh pengetahuan dibawah pengaruh teologi, semantar yang kedua tidak dipengaruhi teologi. Teologilah yang menjadi tersangka.
Pandangan ini tentunya sangat menyederhanakan permasalahan. Permasalahan yang sesungguhnya terletak pada faktor ekonomi dan politik seperti yang diyakini oleh Ibnu Khaldun. Berkurangnya minat kepada kepada sains dan bertambahnya pengkajian agama tidak bisa dikaitkan. Yang pertama menyangkut kelemahan ekonomi dari Negara Islam dan menurunya kekuatan secara politik. Ilmu agama menjadi kebutuhan dalam sains dan teknologi seperti pada zaman keemasan kekhalifahan Islam, agama dan sains berjalan tanpa ada gangguan.
Kedua, Sistem Madrasah dan Sains: dalam masalah yang serupa, bahwa system Madrasah, dalam hal ini pendirian Nizamiya di Bagdad oleh Nizam al-Mulk pada tahun 459 H/1067 M yang disokong ilmu agama dan hukum, telah menyebabkan keruntuhan sains. Padahal faktanya sains memiliki institusi sendiri, dan pengkajian agama tidak selalu pada institusi dan guru yang sama. Kajian sains dan ilmu eksak lainya dilakukan di observatorium dan perpustakaan, kedokteran di bimaristan (rumah sakit). Fakta bahwa system madrasah didukung oleh system waqf dimana para dermawan mewakafkan kekayaan mereka dengan tujuan sangat agamis dan secara almiah menyentuh ilmu agama dan hukum. Maka ketika pusat dan institusi sains, yang terikat dengan kemakmuran, menjadi buruk dan berhenti, ketika terjadi kemundurun Negara Islam, dan untuk alasan ini ilmu pengetahuan tidak bisa dipertahankan dan menandingi revolusi sains Barat.
Dalam artikel yang sama Ahmad Y. al-Hassan menguraikan faktor kemunduran itu. Pertama, faktor  Lingkungan dan Alam, berupa kekeringan alam, kebanyakan Negara-Negara Islam atau Negara Timur Tengah terdiri dari wilayah yang kering. Dampak dari kekeringan kemudian menciptakan bangsa Nomad yang berpindah-pindah. Kemudian bencana alam dan letak geografis daerah. Kedua, faktor serangan dari luar, mulai dari perang salib yang menghabiskan waktu yang cukup panjang dan melelahkan, dan serangan Bangsa Mongol yang menimbulkan korban dan kehancuran yang meluluhlantakkan peradaban Islam di Bagdad.
Ketiga, faktor hilangnya perdagangan internasional dan kapitulasi kekuatan Barat. Hilangnya perdagangan internasional yang memunculkan kekuatan baru yaitu Barat yang mengalami stabilats politik dan kemajuan serta revolusi ilmuah dan teknologi. Disamping perbedaan populasi antara dunia Timur dan Barat akibat perang, dampak overektensi dan hambatan cultural. Keempat, faktor kolonialisme dan intervensi militer, baik kolonialisme langsung maupun tidak langsung. Mungkin masih sangat terbuka perdebatan, tapi fakta-fakta sejarah di atas pun menemukan relevansinya  
D.    Penutup
The west Debt to Islam judul bab dari buku What Islam did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization (London: Watkins Publishing, 2006) yang dirensi oleh Adian Husaini ini patut dibaca, ketika dunia Barat sangat fobia dan antipasti terhadap Islam. Penulis buku ini –Tim Wallace-Murphy- memberikan gambaran yang sangat indah terhadap sejarah Islam. Karena itu, tulis Wallace-Murphy, “Kita di Barat menanggung hutang kepada dunia Islam yang tidak akan pernah lunas terbayarkan. (We in the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid).[21] Hal ini tentunya penting diketahui oleh kedua peradaban besar ini agar mis-presepsi bisa dijembatani.
Kejayaan Islam yang pernah ada baik di Timur maupun di Barat seperti peninggalan al-Hambra di Granada atau melihat tugu-tugu Ibn Hazm dan Ibn Rushd di kota Cordoba tidak hanya menjadi nostalgia belaka tanpa makna. Mereka telah melakukan tugasnya, sekarang tugas kita adalah menjadikan Islam kembali berjaya dengan ilmu pengetahuan. Menjadi Khaira ummah yang dijanjikan dapat segera terwujud. Peradaban ilmu yang dibangun oleh Islam memiliki landasan yang kuat yang melepaskan urusan ilmu dengan mengejar kesenangan dunia. Ibn Hazm mengkritik orang yang mengejar ilmu untuk tujuan kedunian. Ibnu Hazm menyebutnya sebagai pengorbanan besar untuk sesuatu yang tidak bernilai. Menuntut ilmu dengan tujuan mengumpulkan harta merupakan cita-cita yang sempit karena harta bisa didapat dengan cepat dan mudah dengan cara lain tanpa ilmu pengetahuan. Disinilah kemudian Nabi mengingatkan tentang niat (nawaitu). Seperti halnya sendirin kepada sahabat yang hijrah demi dunia atau demi wanita atau untuk agama ini, dimana kesudahanya sangat tergantung dari niatnya. Wallau’alam

Daftar Bacaan
Hodgson, Marshall G.S. (terj), The Venture of Islam, Imam dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Book 2,  (Jakarta: Paramadina, 2002).
Siti Maryam dkk (ed), Sejarah Peradaban Islam, Dari masa klasik hingga modern, (Yogyakarta: LESFI, 2003).
Sutrisno, Fazlur Rahman, Kajian Terhadap metode, Epistemologi, dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
Watt, W. Montgomery, Kejayaan Islam, Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990)
Suryanegara, Ahmad Mansur, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, 2010)
Majelis Pendidikan dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Kelas VIII, (Yogyakarta: Mentari, 2008)
Robingan & Munawar Khalil, Teladan Utama Pendidikan Agama Islam, (Solo: Tiga Serangkai, 2011)
Jurnal Pemikiran dan Peradaban ISLAMIA, Volume V No. 1, 2009. H.101
Jurnal pemikiran dan peradaban Islam ISLAMIA, Volume III No. 4, 2008, h
Harian REPUBLIKA, Islam Digest,  Ahad, 21 April 2013. www.republika.co.id versi E-Pepar


[1] Siti Maryam dkk (ed), Sejarah Peradaban Islam, Dari masa klasik hingga modern, (Yogyakarta: LESFI, 2003), h. 4.
[2] Ibid, h. 7
[3] Sutrisno, Fazlur Rahman, Kajian Terhadap metode, Epistemologi, dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 121
[4] Jurnal pemikiran dan peradaban Islam ISLAMIA, Volume III No. 4, 2008, h. 60
[5] W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam, Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 1
[6] Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung: Salamadani, 2010), h. 64
[7] Ibid., h. 50
[8] Ibid., h. 53
[9] Ibid., h. 56
[10] Majelis Pendidikan dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Kelas VIII, (Yogyakarta: Mentari, 2008), h. 86
[11] Jurnal Pemikiran dan peradaban Islam ISLAMI, Volume III No. 4, 2008, h. 95. Tulisan Ir. Akmal dengan judul Al-Biruni Ilmuwan yang Dikenang di Bumi dan Bulan ini membahas secara luas kehidupan intelektual Aliboron. 
[12] Maka tidak begitu mengherankan jika Al-Biruni juga dinobatkan sebagai Bapak Indologi dan juga sebagai Bapak Geodesi dan Antropologi pertama di dunia.
[13] Robingan & Munawar Khalil, Teladan Utama Pendidikan Agama Islam (solo: Tiga Serangkai, 2011), h. 181
[14] W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam, Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 131
[15] Robingan & Munawar Khalil, Teladan Utama Pendidikan Agama Islam (solo: Tiga Serangkai, 2011), h. 181.
[16] Majelis Pendidikan dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Kelas VIII, (Yogyakarta: Mentari, 2008), h. 89-91
[17] Harian REPUBLIKA, Islam Digest,  Ahad, 21 April 2013, h. 15. Juga dapat diakses di republika.co.id versi E-Papernya.
[18] Jurnal Pemikiran dan Peradaban ISLAMIA, Volume V No. 1, 2009. h.101
[19] REPUBLIKA, Islam Digest,  Ahad, 21 April 2013, h. 15. Juga dapat diakses di republika.co.id versi E-booknya
[20] Judul artikelnya, Faktors behind the Decline of Islamic Science After the Sixteenth Century dalam buku Islam and Challenge of Modernity context, Ed. Sharifa Shifa al-Attas, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), hal. 351-389. Artikel ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam Jurnal ISLAMIA, Volume III No.4, 2008.
[21] ISLAMIA, Volume V No.1,2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar