PERIODE
PERTENGAHAN (THE MIDDLE AGES)
MASA
KEJAYAAN ISLAM (THE GOLDEN AGE OF ISLAM)
Syahrul
A. Pendahuluan
Berbicara
masa kejayaan Islam dalam kebudayaan dan peradaban Islam tentunya juga akan
berbicara tentang sejarah baik secara kronologis maupun nilai-nilainya. Makna
sejarah juga bisa mengacu kepada, paling sedikit, dua konsep terpisah: sejarah
yang tersusun dari serangkaian peristiwa masa lampau, keseluruhan pengalaman
manusia; dan sejarah sebagai suatu cara yang dengannya fakta-fakta diseleksi,
diubah-ubah, dijabarkan dan dianalisis.[1]
Salah satu inti isi kandungan al-Qur’an adalah sejarah, bahkan salah satu nama
surat ke-28 adalah al-Qashash
(kisah-kisah) agar manusia (ulil
albab) mengambil pelajaran (la’allakum
tatafakkarun). Wal tandhur nafsun ma
qaddamat li ghad (perhatikan sejarahmu untuk hari esokmu) (QS 59;18).
Kegunaan
sejarah antara lain; pertama, untuk kelestarian identitas kelompok dan
memperkuat daya tahan kelompok itu bagi kelangsungan hidupnya. Kedua, sejarah
berguna sebagai pengambilan pelajaran dan tauladan dari contoh-contoh di masa
lampau, sehingga sejarah memberikan azas manfaat secara lebih khusus demi
kelangsungan hidup itu. Ketiga, sejarah berfungsi sebagai sarana pemahaman
mengenai hidup dan mati.[2]
Dalam makalah ini kajian sejarah tidak hanya sebatas kronologis saja
(pendekatan kesejarahan), tapi juga historic-critical
method –meminjam istilah William
Montgomery Watt- sebuah pendekatan kesejarahan yang pada prinsipnya bertujuan
menemukan fakta-fakta objektif secara utuh dan mencari nilai-nilai tertentu
yang terkandung di dalamnya. Yang ditekankan dalam metode ini adalah
pengungkapan nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah data sejarah, bukan
peristiwa itu sendiri.[3]
Agar
pembahasan tidak meluas, perlu kiranya dibatasi pada apa yang dinamakan
kejayaan Islam, dari sudut mana Islam dianggap Berjaya dan maju?. Yang tidak
kalah pentingnya adalah menentukan masa/periode pertengahan dalam tinjauan
sejarah. Makalah ini akan menganalisis kajayaan Islam dalam sudut luasnya
wilayah geografis –penyajian fakta-fakta sejarah- dan penguasaan ilmu
pengetahuan di abad pertengahan. Ilmu pengetahuan merupakan ruh sebuah
peradaban. Abad pertengahan diperkirakan dimulai dari abad ke-5 hingga 1450.
Beberapa ahli sejarah menyimpulkan penguasaan Islam dalam ilmu pengetahuan
berkembang sejak abad ke-8 dan ke-12 saja. Akan tetapi, puncaknya di masa
kekhilafahan selama empat abad dari abad ke-13 hingga ke-16, khususnya di
Negara-negara Islam wilayah timur.[4] dalam
makalah ini tidak dibahas secara mendalam pergolakan politik pada masa itu,
hanya bersifat sepintas lalu karena tidak begitu urgen, seperti yang diakui
oleh W. Montgomery Watt ketika satu kekhilafahan rontok dan berganti dengan
dinasti lain kelompok rakyat (society) masih tetap bersatu. Sebagian besar
masih merasa sebagai satu kelompok. Semua sudah bersatu di dalam peninggalan
Muhammad, Rasulullah, semua telah memandang dunia dalam kerangka skema
intelektual yang berdasar Qur’an, dan setidak-tidaknya mengaku bahwa kehidupan
mereka dibimbing oleh Kitabullah dan Sunnah Nabi.[5]
B. Rumusan
masalah
Dari
uraian diatas kemudian dibuatlah rumusan masalah yang akan dielaborasi lebih
mendalam dalam makalah ini. Makalah ini akan menjawab;
1.
Seberapa luaskah wilayah geografis
kekhalifahan Islam pada awal pertengahan?
2.
Apa saja pencapaian dalam bidang ilmu
pengetahuan pada masa kejayaan Islam abad pertengahan?
3.
Apa saja faktor-faktor kemunduran ilmu
pengetahuan Islam setelah abad pertengahan?
C. Pembahasan
dan Analisis
Luas
Wilayah Geografis
Pada
dasarnya Islam dalam menyebarkan agama tidaklah menggunakan kekerasan demi
kekerasan karena Islam sendiri agama damai, cinta akan kebaikan (rahmatan
lilalamin). Padangan-pandangan miring bahwa Islam disebarkan dengan bayangan pedang
(sword) masih butuh pembuktian dan fakta-fakta yang jelas. Perang yang
dilakukan Islam sebagai pembelaan diri (Q.S. 22: 190). Dalam pembelaan diri
ini, Islam mengajarkan untuk mempersiapkan diri dan menyemakan persenjataannya
dengan apa yang dimiliki oleh lawan.[6]
Tambahan lagi, dengan adanya kebangkitan kesadaran hukum Allah yang diajarkan
oleh Rasulullah saw yang mengatur hidup dan kehidupan, baik untuk rakyat jelata
maupun bagi para penguasa. Ajaran ini dinilai sangat menggoyahkan kekuasaan
absolutism dari kekaisaran Romawi dan Persia karena saat itu, mereka tidak
mengenal pembatasan kekuasaan kekaisarannya dengan hukum.[7]
Tentunya kedatangan Islam mendapat sambutan hangat dari masyarakat setempat
atas ajaran dan cara damai yang ditempuh pasukan Islam. Seperti yang
ditunjukkan oleh Umar dan Shalahuddin al-Ayyubi.
Seratus
tahun kemudian, sesudah Rasulullah wafat, 632-732 M, daerah pengaruh Islam
telah membentang jauh keluar dari wilayah Jazirah Arabia. Di Barat, Telah
memasuki wilayah Eropa hingga ke Perancis. Di Timur, masuk ke India dan Cina
serta Nusantara Indonesia. Ke Utara, Islam berpengaruh Besar di perbatasan
Rusia Selatan dan di Selatan, Sampai Afrika Selatan.[8]
Perluasan
wilayah dimulai secara massif ketika Umar bin Khaththab (13-24 H/634-644 M)
menjadi khalifah. Islam berhasil menandingi kekuatan maritime Kekaisaran Persia
dan Romawi. Pada tahun 15 H/635 M. berhasil membebaskan Palestina dan Syiria
dari kekuasaan Kekaisaran Romawi oleh Jendral Khalid bin Walid dan disusul pada
17 H/637 M membebaskan Persia. Tiga tahun kemudian, 639-642 M diadakan
penyeberangan di bawah pimpinan jendral Amru bin Ash membebaskan rakyat Mesir
dari penindasan kekuasaan Kekaisaran Romawi. Pada tahun 22 H/643 M masih dalam
masa Khalifah Umar bin Khaththab didudukinya Tripoli. Kemudian, di bawah masa
Khalifah Utsman bin Affan, 24-36 H/644-656 M dibebaskan pula Tunisia.[9]
Perkembangan
Ilmu Pengetahuan di masa Daulah Umayah
Kesuksesan
Islam membangun peradaban yang gemilang yang melampau masanya terletak pada
pemahaman agama yang benar. Sejarawan modern setuju bahwa Islam memiliki “daya
penggerak” dibalik ilmu pengetahuan dan peradaban. Dua sumber utama, al-Qur’an
dan Hadist Nabi. Al-Qur’an menyatakan, “Allah
akan mengangkat satu derajat bagi orang yang beriman dan berilmu” dan “Orang yang berilmu dengan yang tidak
berilmu, tidak sama. Sabda Nabi, “menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap
muslim”, “menuntut ilmu dari ayunan”
dan menuntut ilmu itu tak mengenal jarak meskipun ke negeri Cina. Inilah yang
menjadi penggerak utama kebangkitan Islam dalam peradaban ilmu. Hal ini
tentunya berbeda dengan perjalan panjang Barat dalam menciptakan masa
pencerahan karena tertekan oleh otoritas gereja, seperti dalam kasus Galileo.
Berikut
ini akan dipaparkan secara singkat tokoh-tokoh ilmuwan Islam dan cabang-cabang
keilmuan yang menjadi keahlian mereka. Tentunya butuh ruang yang tidak sedikit
dalam menggambarkan secara utuh tapi karena terbatasnya makalah ini maka akan
dibagi menjadi tiga kawasan/masa. Pada masa kekhalifahan Bani Umayyah,
Kekhalifahan Abbasiyyah, dan Umayyah di Andalusia.
Pembidangan
ilmu pada masa daulah Umayyah ini dibagi menjadi dua yaitu ilmu baru (al-adabul hadisah) dan ilmu lama (al-adabul qadimah). Adapun ilmu-ilmu
baru terbagi menjadi:
a. Al-Ulumul
Islamiyah, di antaranya ilmu-ilmu al-Qur’an, Hadis, Fikih, ‘Ulumul Lisaniyah,
Tarikh, dan Jughrafi atau geografi.
b. Al-‘Ulumul
Dakhiliyah, merupakan ilmu perluasan oleh kemajuan Islam, diantaranya thib
(kedokteran), filsafat; ilmu pasti dan ilmu eksakta lainnya. Al-Adabul Qadimah,
merupakan ilmu-ilmu yang telah ada sejak masa Jahiliyah, diantaranya syair,
lugah, khitabah dan amsal
Tokoh-tokoh dalam masa pemerintahan
Daulah Umayyah antara lain:
a. Abdullah
Bin Abbas yang dikenal mempunyai keluasan ilmu dalam bidang hadsi dan hukum,
beliau juga mempunyai keahlian dalam ilmu tafsir al-Qur’an dan diberi gelar hibr al-ummah (wali umat ini)
b. Abdullah
Ibn Mas’ud seorang tokoh otoritatif dalam bidang hadis. Beliau telah
meriwayatkan 848 hadis Nabi saw.
c. Hasan
al-Bashri yang merupakan ahli hadis dan pakar hukum.[10]
Perkembangan Ilmu di Masa
Abbasiyah
Tokoh-tokoh
ilmuwan muslim pada bidangnya masing
1. Bidang
Kedokteran
a.
Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan
antara penyakit cacar dengan measles. Ar-Razi dianggap sebagai penemu prinsip
seton dalam operasi. Diantara monografnya, yang paling terkenal adalah risalah
tentang bisul dan cacat air (al-judari wa al-hasbah), dan menjadi karya pertama
dalam bidang tersebut. Dia juga orang pertama yang menyusun buku mengenai
kedokteran anak.
b.
Ibnu Sina (Avicenna) biasa disebut
sebagai al-Syaikh al-ra’is (pemimpin orang terpelajar). Ibnu Sina adalah
seorang filosof yang berhasil menemukan system peredaran darah pada manusia.
Diantara karyanya adalah al-Qanun fi al-Tibb yang merupakan ensiklopedi
kedokteran terbesar dalam sejarah
c.
Ibnu Masawyh, yang berhasil menulis
risalah sistematika berbahasa Arab paling tua tentang optalmologi (gangguan
mata)
2. Bidang
Astronomi dan Matematika
a.
Muhammad ibn Ibrahim al-Fazari adalah
astronom Islam yang pertama kali menyusun astrolabe yang meniru bentuk
astrolabe Yunani
b.
Abu al-Abbas Ahmad al-Farghani dari
fargana Transoxiana, yang dikenal di Eropa dengan nama al-Faragnus, menulis ringkasan
ilmu astronomi yang berjudul al-Mudkhil ila ‘Ilm Haya’ah al-Aflak diterjemahkan
ke dalam bahasa latin oleh Gerard Cremona dan Johannes Hispalensis
c.
Muhammad ibn Musa al-Khawarizmi,
merupakan tokoh utama dalam bidang matematika Arab. Selain menyusun table
astronomi tertua, al-Khawarizmi juga menulis karya tertua tentang aritmatika.
Salah satu karyanya adalah Hisab al-Jabr wa al-Muqabalah. Dialah yang
menciptakan ilmu aljabar.
d.
Abu Abdullah Muhammad ibn Jabir
al-Battani seorang peneliti yang mengoreksi beberapa kesimpulan Ptolemius dalam
karya-karyanya, dan memperbaiki orbit bulan, dan beberapa planet.
3. Bidang
Kimia
Jabir bin Hayyan (Geber) merupakan
tokoh terbesar dalam bidang ilmu kimia pada Abad Pertengahan dan menjadi Bapak
Kimia bangsa Arab.
4. Bidang
Filsafat
a.
Al-Kindi atau Yusuf ibn Ishaq, ia
memperoleh gelar “Filosof Bangsa Arab”, merupakan representasi pertama dan
terakhir dari seorang murid Aristoteles di dunia Timur yang murni keturunan
Arab.
b.
Muhammad ibn Muhammad ibn Tharkhan Abu
Nashr al-Farabi, system filsafatnya merupakan campuran antara platonisme,
Aristotelianisme, dan mistisme sehingga dijuluki al-Mu’allim as-Tsani (guru
kedua) setelah Aristoteles.
c.
Ibnu Sina, selain sebagai ahli
kedokteran juga banyak mengadopsi pandangan filosofis al-Farabi. Salah satu
karangannya adalah as-Syifa’.
d.
Ibnu Rusyd yang lebih dikenal dengan
nama Averroes, banyak berpengaruh di Barat dalam bidang filsafat.
e.
Ikhwanus Safa dengan buku berjudul
Rasail Ikhwanus Safa.
5. Bidang
Zoology dan Antropologi
a.
Abu Usman Amr ibn Bahr al-Jahiz,
terkenal dengan dengan karyanya Kitab al-Hayawan (Buku tentang Hewan).
b.
Al-Biruni, (juga dikenal di dunia Barat
dengan sebutan Aliboron) adalah salah satu ilmuan terbesar dalam sejarah Islam.
Sebagian ahli bahkan tak ragu menyebutnya sebagai ilmuan terbesar yang pernah
ada. Bidang keahlian al-Biruni meliputi fisika, antropologi, psikologi,
astronomi, kimia, sejarah, geografi, geodesi, geologi, matematika, farmasi,
filosofi, dan ia juga seorang guru agama.[11]
Ilmuwan multidisiplin yang sangat langka.[12]
6. Dalam
bidang ilmu tafsir
a. Ibnu
Jarir at-Thabari
b. Muhammad
bin Ishaq
c. Az-Zamakhsyari
d. Al-Qusyairi[13]
7. Bidang
Hadis
a.
Muhammad ibn Ismail al-Bukhari. Beliau
memiliki 7937 dari 600.000 hadis yang ia peroleh dari 1.000 guru dalam rentang waktu
16 tahun perjalanan dan kerja kerasnya di Persia, Irak, Suriah, Hijaz, dan
Mesir, yang dikelompokkan berdasarkan tema seperti salat, ibadah haji, dan
perang suci.
b.
Muslim ibn al-Hajjaj yang terkenal
dengan karyanya as-Shahih, kumpulan hadis asli. Muncul beberapa hadis lainnya,
yaitu Sunan Abu Dawud, Jami’ al-Tirmizi, Sunan Ibn Majah, dan Sunan Nasa’i.
8. Bidang
Fikih
a. Imam
Abu Hanifah
b. Imam
Malik bin Anas
c. Muhammad
bin Idris asy-Syafi’i. Pencapaian asy-syafi’I terbesar dalam bidang hokum
terletak dalam pembentukan disiplin baru, yaitu bidang usul fiqh, sumber-sumber
hokum, atau bisa dikatakan, asas-asas jurisprudensi. Bagi asy-Syafi’I
sumber-sumbernya adalah Kitab, Sunnah, dan Konsensus (Ijma’ dari komunitas, dan analogi (qiyas).[14]
d. Imam
Ahmad bin Hambal[15]
9. Bidang
optikal
Abu Ali al-Hasan Ibn al-Haytami, di
Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagai orang yang menentang
pendapat bahwa mata mengirim cahaya ke benda yang dilihat. Menurut teorinya
yang kemudian terbukti kebenarannya bendalah yang mengirim cahaya ke mata.
10. Bidang
Geografi
Yaqut ibn Abdullah al-Hamawi,
adalah ahli geografi muslim terbesar dari Timur yang menulis kamus geografi, Mu’jam al-Buldan.[16]
Masa
Emas Islam di Spayol
Pembukaan Eropa berawal
pada 711 semasa kepemimpinan Dinasti Umayyah. Seorang sahabat Rasul, Thariq bn
Ziyad, yang memimpin pasukan muslim dan berhasil membuka Eropa. Diutus ke sana oleh
Musa bin Nushair, seorang Gubernur Afrika Utara. Bersama tujuh ribu pasukan,
Thariq berangkat dari Afrika Utara menuju kawasan dekat gunung yang kemudian
dinamakan Jabal (gunung) Thariq, saat ini disebut dengan Gibraltar. Ia pun
dengan mudah menguasainya. Dari Gibraltar inilah kekuasaan muslim kemudian
meluas ke seluruh semenanjung Iberia.[17]
Sebelum Islam menyentuh
Eropa, Spayol masih pada masa kegelapan dan keterbelakangan. Kemajuan itu tidak
terlepas dari sosok seorang pelopor bernama ‘Abd ar-Rahman ibn Mu’awiyah atau
‘Abd Rahman I. Kekhilafahan Bani Umayyah di Andalusia, sejarah telah
menyebutnya, merupakan sebuah mutiara jaman. Kemajuan peradaban, kota
metropolitan, Negara adi daya, ilmu pengetahuan dan sains adalah cirri khas
Andalusia pada waktu itu. Ketika bangsa
Eropa berada pada masa kebodohan dan keterbelakangan, Andalusia dengan
ibukotanya Kordoba (Cordova) mengalami kemajuan yang sangat pesat. Orang Eropa
pada waktu itu melihat Andalusia bagaikan, saat ini, bangsa terbelakang Afrika
mendapati Amerika Serikat dan Eropa Barat. Ketika jalan-jalan di kota London
dan Paris gelap, becek, dan terbelakang, kota-kota Islam di Andalusia seperti
Kordoba, Sevilla, Toledo dan sebagainya indah, megah, dan gemerlap dengan
lampu-lampu. Kota yang sangat maju dengan jalan-jalan beraspal. Mereka dari
Eropa ketika memasuki kota-kota itu terperangah menyaksikan. Semua orang
bermigrasi menjadi penduduk kota metropolitan pada waktu itu.[18]
Pembangunan fisik yang
paling menonjol di Spanyol saat itu adalah pembangunan kota, istana, masjid,
pemukiman, dan taman-taman. Yang terkenal antara lain Masjid Cordoba, kota
az-Zahra, istana Ja’fariyah di Saragoza, tembok Toledo, istana al-Makmun,
mesjid Sevilla dan istana al-Hamra di Granada. Disamping kemajuan pembangunan
fisik yang menakjubkan Islam di Spanyol memberikan sumbangan yang sangat besar
pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Diantaranya bidang filsafat
dengan tokohnya Abu Bakr Muhammad ibn al-Sayigh, sains dengan tokohnya Abbas
ibn Fama yang termasyhur dalam ilmu kimia dan astronomi. Dalam bidang sejarah
dan geografi, banyak pemikir terkenal yang lahir, yaitu Ibn Jubair dari
Valencia (1145-1228 M), Ibn Bathuthah dari Tangier (1304-1337 M), dan Ibn
Khaldun (1317-1374 M) menyusun riwayat Granada.[19]
Kemunduran masa
keemasan Islam (the golden age of silam) atau berakhirnya kejayaan Islam dalam
segala bidang tidak lepas dari peristiwa penyerbuan pasukan Mongol ke Bagdad
pimpinan Hulagu Khan. Pasukan yang jauh dari peradaban ilmu tentunya melakukan
penghancuran yang biadab. Tercatat dalam sejarah bagaimana kekejaman yang dilakukan sehingga kota bagdad
berubah menjadi kota yang sangat menyeramkan. Bangsa Mongol menghancurkan
istana dan rumah penduduk, membunuh khalifah, dan memporak porandakan
perpustakaan. Konon sungai Tigris memerah karena cucuran darah para penduduk
dan juga menghitam karena lelehan tinta dari buku-buku manuskrip yang
dihempaskan ke sungai itu.
Banyak analisis sejarah
yang mengungkapkan sebab-sebab kemunduran kejayaan Islam. Salah satu artikel
Ahmad Y. al-Hassan[20],
mengupas dan menganalisis faktor-faktor di balik kemunduran ilmu pengetahuan Islam
setelah Abad ke-16. Beberapa pandangan yang keliru dalam melihat faktor
kemunduran ilmu pengetahuan dalam Islam mendapat kritikan tajam dalam tulisan
ini. Pertama, teolog dan sains: bahwa
pandangan Ash’ari dan al-Ghazali merupakan penghambat kemajuan ilmu pengetahuan
pada abad pertengahan. Menurut Sarton, pengembangan ilmu pengetahuan memiliki
tempat baik di Timur maupun di Barat sampai Abad ke-16, ketika ilmu pengetahuan
Barat mulai tumbah, peradaban Timur berhenti dan memburuk. Sehingga
kesimpulannya di sini bahwa perbedaan antara Barat dan Timur (Islam) adalah,
yang pertama memperoleh pengetahuan dibawah pengaruh teologi, semantar yang
kedua tidak dipengaruhi teologi. Teologilah yang menjadi tersangka.
Pandangan ini tentunya
sangat menyederhanakan permasalahan. Permasalahan yang sesungguhnya terletak
pada faktor ekonomi dan politik seperti yang diyakini oleh Ibnu Khaldun.
Berkurangnya minat kepada kepada sains dan bertambahnya pengkajian agama tidak
bisa dikaitkan. Yang pertama menyangkut kelemahan ekonomi dari Negara Islam dan
menurunya kekuatan secara politik. Ilmu agama menjadi kebutuhan dalam sains dan
teknologi seperti pada zaman keemasan kekhalifahan Islam, agama dan sains
berjalan tanpa ada gangguan.
Kedua,
Sistem Madrasah dan Sains: dalam masalah yang serupa, bahwa system Madrasah,
dalam hal ini pendirian Nizamiya di Bagdad oleh Nizam al-Mulk pada tahun 459
H/1067 M yang disokong ilmu agama dan hukum, telah menyebabkan keruntuhan
sains. Padahal faktanya sains memiliki institusi sendiri, dan pengkajian agama
tidak selalu pada institusi dan guru yang sama. Kajian sains dan ilmu eksak
lainya dilakukan di observatorium dan perpustakaan, kedokteran di bimaristan (rumah sakit). Fakta bahwa
system madrasah didukung oleh system waqf
dimana para dermawan mewakafkan kekayaan mereka dengan tujuan sangat agamis
dan secara almiah menyentuh ilmu agama dan hukum. Maka ketika pusat dan
institusi sains, yang terikat dengan kemakmuran, menjadi buruk dan berhenti,
ketika terjadi kemundurun Negara Islam, dan untuk alasan ini ilmu pengetahuan
tidak bisa dipertahankan dan menandingi revolusi sains Barat.
Dalam artikel yang sama
Ahmad Y. al-Hassan menguraikan faktor kemunduran itu. Pertama, faktor Lingkungan
dan Alam, berupa kekeringan alam, kebanyakan Negara-Negara Islam atau Negara
Timur Tengah terdiri dari wilayah yang kering. Dampak dari kekeringan kemudian
menciptakan bangsa Nomad yang berpindah-pindah. Kemudian bencana alam dan letak
geografis daerah. Kedua, faktor
serangan dari luar, mulai dari perang salib yang menghabiskan waktu yang cukup
panjang dan melelahkan, dan serangan Bangsa Mongol yang menimbulkan korban dan
kehancuran yang meluluhlantakkan peradaban Islam di Bagdad.
Ketiga,
faktor hilangnya perdagangan internasional dan kapitulasi kekuatan Barat.
Hilangnya perdagangan internasional yang memunculkan kekuatan baru yaitu Barat
yang mengalami stabilats politik dan kemajuan serta revolusi ilmuah dan
teknologi. Disamping perbedaan populasi antara dunia Timur dan Barat akibat
perang, dampak overektensi dan hambatan cultural. Keempat, faktor kolonialisme
dan intervensi militer, baik kolonialisme langsung maupun tidak langsung.
Mungkin masih sangat terbuka perdebatan, tapi fakta-fakta sejarah di atas pun
menemukan relevansinya
D. Penutup
The
west Debt to Islam judul bab dari buku What Islam did For Us: Understanding Islam’s
Contribution to Western Civilization (London: Watkins Publishing, 2006)
yang dirensi oleh Adian Husaini ini patut dibaca, ketika dunia Barat sangat
fobia dan antipasti terhadap Islam. Penulis buku ini –Tim Wallace-Murphy-
memberikan gambaran yang sangat indah terhadap sejarah Islam. Karena itu, tulis
Wallace-Murphy, “Kita di Barat menanggung hutang kepada dunia Islam yang tidak
akan pernah lunas terbayarkan. (We in the
West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid).[21] Hal
ini tentunya penting diketahui oleh kedua peradaban besar ini agar mis-presepsi
bisa dijembatani.
Kejayaan
Islam yang pernah ada baik di Timur maupun di Barat seperti peninggalan
al-Hambra di Granada atau melihat tugu-tugu Ibn Hazm dan Ibn Rushd di kota
Cordoba tidak hanya menjadi nostalgia belaka tanpa makna. Mereka telah
melakukan tugasnya, sekarang tugas kita adalah menjadikan Islam kembali berjaya
dengan ilmu pengetahuan. Menjadi Khaira
ummah yang dijanjikan dapat segera terwujud. Peradaban ilmu yang dibangun
oleh Islam memiliki landasan yang kuat yang melepaskan urusan ilmu dengan
mengejar kesenangan dunia. Ibn Hazm mengkritik orang yang mengejar ilmu untuk
tujuan kedunian. Ibnu Hazm menyebutnya sebagai pengorbanan besar untuk sesuatu
yang tidak bernilai. Menuntut ilmu dengan tujuan mengumpulkan harta merupakan
cita-cita yang sempit karena harta bisa didapat dengan cepat dan mudah dengan
cara lain tanpa ilmu pengetahuan. Disinilah kemudian Nabi mengingatkan tentang
niat (nawaitu). Seperti halnya sendirin kepada sahabat yang hijrah demi dunia
atau demi wanita atau untuk agama ini, dimana kesudahanya sangat tergantung
dari niatnya. Wallau’alam
Daftar
Bacaan
Hodgson,
Marshall G.S. (terj), The Venture of Islam,
Imam dan Sejarah dalam Peradaban Islam, Book 2, (Jakarta: Paramadina, 2002).
Siti Maryam dkk (ed), Sejarah Peradaban Islam, Dari masa klasik
hingga modern, (Yogyakarta: LESFI, 2003).
Sutrisno, Fazlur Rahman, Kajian Terhadap metode,
Epistemologi, dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006).
Watt, W.
Montgomery, Kejayaan Islam, Kajian Kritis
dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990)
Suryanegara,
Ahmad Mansur, Api Sejarah, (Bandung:
Salamadani, 2010)
Majelis
Pendidikan dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Kelas VIII, (Yogyakarta: Mentari,
2008)
Robingan &
Munawar Khalil, Teladan Utama Pendidikan
Agama Islam, (Solo: Tiga Serangkai, 2011)
Jurnal
Pemikiran dan Peradaban ISLAMIA, Volume V No. 1, 2009. H.101
Jurnal pemikiran dan peradaban Islam
ISLAMIA, Volume III No. 4, 2008, h
[1]
Siti Maryam dkk (ed), Sejarah Peradaban Islam,
Dari masa klasik hingga modern, (Yogyakarta: LESFI, 2003), h. 4.
[2] Ibid,
h. 7
[3]
Sutrisno, Fazlur Rahman, Kajian Terhadap
metode, Epistemologi, dan Sistem Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2006), h. 121
[4]
Jurnal pemikiran dan peradaban Islam ISLAMIA, Volume III No. 4, 2008, h. 60
[5] W.
Montgomery Watt, Kejayaan Islam, Kajian
Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h. 1
[6]
Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, (Bandung:
Salamadani, 2010), h. 64
[7] Ibid.,
h. 50
[8]
Ibid., h. 53
[9]
Ibid., h. 56
[10]
Majelis Pendidikan dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Kelas VIII, (Yogyakarta:
Mentari, 2008), h. 86
[11]
Jurnal Pemikiran dan peradaban Islam ISLAMI, Volume III No. 4, 2008, h. 95.
Tulisan Ir. Akmal dengan judul Al-Biruni Ilmuwan yang Dikenang di Bumi dan
Bulan ini membahas secara luas kehidupan intelektual Aliboron.
[12]
Maka tidak begitu mengherankan jika Al-Biruni juga dinobatkan sebagai Bapak
Indologi dan juga sebagai Bapak Geodesi dan Antropologi pertama di dunia.
[13]
Robingan & Munawar Khalil, Teladan
Utama Pendidikan Agama Islam (solo: Tiga Serangkai, 2011), h. 181
[14]
W. Montgomery Watt, Kejayaan Islam,
Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990), h.
131
[15]
Robingan & Munawar Khalil, Teladan
Utama Pendidikan Agama Islam (solo: Tiga Serangkai, 2011), h. 181.
[16]
Majelis Pendidikan dasar dan Menengah Pimpinan Pusat Muhammadiyah, al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Kelas VIII, (Yogyakarta:
Mentari, 2008), h. 89-91
[17]
Harian REPUBLIKA, Islam Digest, Ahad, 21 April 2013, h. 15. Juga dapat diakses
di republika.co.id versi E-Papernya.
[18]
Jurnal Pemikiran dan Peradaban ISLAMIA, Volume V No. 1, 2009. h.101
[19]
REPUBLIKA, Islam Digest, Ahad, 21 April 2013, h. 15. Juga dapat diakses
di republika.co.id versi E-booknya
[20]
Judul artikelnya, Faktors behind the Decline of Islamic Science After the
Sixteenth Century dalam buku Islam and Challenge of Modernity context, Ed.
Sharifa Shifa al-Attas, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1996), hal. 351-389. Artikel ini
telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dimuat dalam Jurnal ISLAMIA,
Volume III No.4, 2008.
[21] ISLAMIA,
Volume V No.1,2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar