Assalamualaikum Warahmatullahai Wabarakatuh

Rabu, 30 Maret 2016

Wajah Pendidikan Kita #CatatanGuruMuda

SMP Muhammadiyah 2 Sawangan
Anis Baswedan –sebelum menjadi menteri pendidikan- pernah mengungkapkan sebuah fakta kondisi peserta didik di Indonesia dalam acara talk show di salah satu TV nasional. Beliau mengatakan bahwa kondisi peserta didik kita bisa dibagi menjadi empat golongan. Pertama, siswa yang pintar sekaligus kaya. Kondisi seperti ini tentunnya tidak perlu dikuatirkan lagi. Kedua, siswa yang pintar tetapi miskin. Kondisi ini masih bisa tertolong dengan kepintarannya untuk memilih sekolah dengan beasiswa. Ketiga, tidak pintar namun kaya. Ini juga masih lumayan dengan hartanya bisa memilih sekolah yang ideal. Keempat adalah siswa yang tidak pintar sekaligus miskin. Kondisi keempat ini cukup banyak di negeri ini –jika tidak dikatakan mayoritas. Tahukah kita jika kondisi keempat ini yang menjadi peserta didik mayoritas di sekolah swasta dengan segala keterbatasannya.


Sayangnya persoalan akhlak  dan budi pekerti tidak muncul dari data beliau. Padahal anak yang sudah rusak akhlaknya biasanya motivasi belajar lemah dengan kondisi ekonomi yang rapuh pula. Dengan semua keterbatasannya, sekolah harus mampu menyukseskan mereka dengan pendidikan terbaik, tanpa diskriminasi. Disitulah letak perjuangan ini bermakna. Ini yang namanya hidup, adventure. Mencerdaskan yang bodoh, memperbaiki yang buruk, menghaluskan yang kasar.
Untuk saat ini, krisis moral adalah masalah akut dan mengerikan yang sedang dihadapi dunia pendidikan. Seperti fenomena gunung es, semakin lama semakin nyata. Ada yang salah dengan sistem pendidikan kita. Anak-anak yang miskin kasih sayang orangtua, diserbu dengan budaya-budaya barat yang notabenenya jauh dari nilai-nilai agama. Kehilangan identitas dan jati diri, seperti orang yang linglung, ikut-ikutan. Kabur melihat baik dan buruk. 
Namun, sayangnya dunia pendidikan tidak begitu menyentuh ranah ini. Sekolah lebih sibuk menggenjot nilai dan angka kelulusan. Sekolah menjadi ajang perlombaan mencerdaskan akal dan intelektual. Anak-anak dihargai dan dipuji berdasarkan deretan angka-angka dalam raport. Bersikap jujur, sopan, kasih sayang, peduli lingkungan tetap akan dianggap “Bodoh” jika nilai Matematika, IPA, dan Mapel lainnya bernilai rendah. Lahirlah manusia-manusia cerdas miskin integritas.
Setiap hari kita dipaksa untuk terus mengelus dada melihat dan menyaksikan sikap dan perkembangan kepribadian anak-anak didik yang tidak sehat. Wajah-wajah remaja lugu yang sudah melakukan kesalahan dan perbuatan yang melampaui usia mereka adalah korban. Ya, korban keegoisan orangtua,  korban ketidakberdayaan kita menyediakan lingkungan yang baik.
Banyak kisah pilu bergelantungan di atap-atap sekolah kita. Nasib anak-anak yang tak dirindu dan diharapkan. Sekali lagi, hanyalah bola salju yang terus menggelinding mengarah ke wajah kita. Kondisi realitas remaja yang saya rekam dalam goresan pena di bawah ini hanyalah sekelumit kisah dalam catatan hati guru muda. 
Seorang remaja, sejak kecil telah menjadi piatu, ditinggal mati sang ibu pasca melahirkan adiknya. Ayahnya kemudian pergi entah kemana, kabarnya menikah lagi, dan menetap di keluarga barunya. Hidup bersama nenek yang pulang sekali seminggu, karena tuntutan kerja. Sementara sang kakek sibuk kerja serabutan, agar dapur tetap bisa mengepul. Pergi pagi, pulang sore. Ia Tumbuh dalam kesendirian, hanya TV dan HP menajadi teman setia yang bisa ia ajak untuk membunuh kesepian dari gelek tawa dan kasih sayang ayah-bunda. Dalam usia yang masih belia, ia telah melakukan hubungan asusila dengan teman sekelasnya yang dilakukannya di rumah. Tidak terlihat ada penyesalan saat harus bercerita di hadapan gurunya. Seolah-olah ini sudah biasa. Diperjelas dengan desas desus omongan warga, dan kondisi fisik yang lebih subur dan berisi dibandingkan remaja seusianya.  
Kisah lainnya, remaja putri dengan perubahan fisik yang lebih cepat dari teman sekelas dan kelas yang didudukinya menunjukkan keterlambatannya sekolah. Baru seminggu di sekolah yang baru, namun telah menjadi trending topik. Pasalnya, selain tidak bisa mengikuti pelajaran, juga dari sisi akhlak, pergaulan, kesopanan, dan religiusitasnya pun raport merah. Puncaknya saat diadakan pengecekan HP,  konten handphone miliknya yang dititipkan, terpapar dengan jelas di inbox sms, dialog adengan seks dengan teman laki-lakinya. Semunya tertulis dengan vulgar, tanpa ada rasa risih. Akhirnya, pihak sekolah melayangkan undangan orangtua, namun yang datang adalah orang lain. orang yang selama ini mengadopsinya, pun dari adopsi orang lain. Entah dimana orangtua aslinya, bagaimana kabarnya, apa pekerjaannya, dan semua pertayaan tentang identitas dirinya, semunya tidak ada yang jelas. Buram. Sesuram masa depan yang akan dilaluinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar